Hans mengendikan bahunya. "Dari dr. Amar yang selama tiga hari ini merawat dan memeriksa kamu, Thania. Dia takut pada orang tuanya dan kelemahan dia adalah mereka."Thania menghela napasnya dengan panjang lalu manggut-manggut dengan pelan. "Iya. Dia memang takut pada kedua orang tuanya. Dan sekarang dia takut aku mengatakan hal ini semuanya pada mereka."Dia memohon agar jangan memberi tahukan hal ini kepada kedua orang tuanya dan berjanji akan berubah, tidak akan bersikap kasar lagi padaku. Entah benar atau tidak, lihat saja nanti."Hans menganggukkan kepalanya sembari mengusapi punggung tangan perempuan itu. "Dan kamu akan menunggu juga melihat perubahan itu?" tanyanya kemudian.Thania mengendikan bahunya sembari menatap wajah Hans dengan wajah sayunya. "Hanya beberapa hari saja, Hans. Tidak akan selamanya. Aku takut. Aku takut dia melakukan hal yang pernah dia lakukan lagi padaku."Hans menghela napasnya dengan panjang. "Kenapa kamu tidak mengadukan hal ini kepada orang tuanya? Sia
Di pagi harinya, Thania bangun dari tidurnya lalu menoleh ke arah samping kanan yang mana William sudah bangun lebih dulu darinya.'Kenapa bukan Hans, yang ada di sini? Kenapa harus orang ini yang ada di sini?' ucapnya dalam hati.Thania tak mengharapkan kehadiran William di sana. Yang dia butuhkan hanya Hans, yang bisa membuatnya lebih tenang bila ada lelaki itu di sana.Thania kemudian menghela napasnya dan mencoba untuk bangun dari tidurnya. Duduk menyandar lalu menatap William yang menghampirinya."Kamu sudah bangun, Thania. Padahal baru jam tujuh. Kemarin, aku dengar kamu bangun jam delapan."Thania hanya menatap datar wajah William. 'Itu karena aku malas melihat kamu, William!' Thania kembali berucap dalam hatinya.Thania menggeleng pelan. "Matanya sudah ingin terbuka, mau bagaimana lagi?" ucapnya ketus.William menghela napas kasar. "Kamu masih marah padaku, hm?" tanyanya dengan pelan."Harus bagaimana lagi agar kamu memaafkanku dan percaya padaku jika aku hanya menginginkan ka
Hans menelan salivanya dengan pelan. "Kalau begitu, jangan dekat-dekat dia kalau kamu masih takut, Thania. Selama ini kamu bersikap kasar padanya karena kamu takut, kan?"Thania menganggukkan kepalanya. "Iya, Hans. Tapi, untuk lepas darinya sepertinya masih butuh waktu. Setelah aku sembuh, aku ingin pulang ke Bandung dulu. Aku ingin menenangkan diri aku di sana."Hans menganggukkan kepalanya. "Iya, Thania. Sebaiknya kamu pulang ke Bandung saja dulu. Semoga nanti Papi sudah mendingan dan aku bisa menemani kamu di sana.""Thank you, Hans. Aku ingin pergi ke taman bermain yang dulu sering kita datangi, Hans. Can you?""Sure! Ke mana pun kamu ingin, aku akan menemaninya. Jika tidak bersama dengan William tentunya."Thania menghela napasnya dengan panjang. "Hans. Dia bilang, dia akan menuruti semua yang aku inginkan. Dan aku ingin pergi sendirian ke Bandung tidak perlu ditemani olehnya. Itu artinya, kita tidak perlu takut William akan menggangu."Hans terkekeh pelan. "Dia pasti akan menuru
Satu minggu berlalu ....Terhitung sejak Thania masuk ke rumah sakit, perempuan itu masih terbaring lemas di atas bangsal meski pengobatan sudah dilakukan dengan tiga dokter spesialis William kerahkan.Namun, rupanya perempuan itu masih tak ingin kembali ke rumah sebab takut disentuh dan William kembali brutal seperti dulu lagi."Terima kasih ya, Dok. Atas kerja samanya. Saya masih ingin di sini sampai tiga hari ke depan, yaa. Tidak masalah 'kan, Dok?" tanya Thania kepada Amar yang baru saja memberikan obat pereda sakit pada Thania."Tidak apa-apa, Bu Thania. Karena kondisi imun Anda juga belum begitu stabil. Sambil nunggu Hans pulang dari Bandung juga, bisa."Thania mengulas senyumnya. "Sepertinya saya, yang akan menyusul dia ke sana, Dok. Saya mau ke Bandung dulu untuk sementara waktu."Amar manggut-manggut dengan pelan. "Baiklah kalau begitu. Jika ada yang dibutuhkan, boleh panggil saya saja. Nomor ponsel saya juga sudah saya beri kan, ke Ibu Thania?""Sudah, Dok. Sekali lagi terim
Winda masih diam sembari menatap wajah Thania yang tengah menyandar di sandaran bangsal sembari mengunyah buah anggur."Elo beneran, udah tahu perasaan Hans ke elo sebenarnya? Kok elo pura-pura nggak tahu soal itu?"Thania menghela napasnya dengan panjang. "Yaa karena gue pengen dia nyari pengganti gue di hatinya. Karena sampai kapan pun gue dan dia nggak akan pernah bersama, Wind. Gue pernah dihina oleh mamanya Hans. Dan itu buat Ibu sakit hati."Andai dia tahu gue dan Hans masih bersama dan masih tukar kabar sampai sekarang, dia pasti akan marah besar ke gue. Tapi, gue nggak mau Ibu tahu soal ini. Biar aja. Selama ini Hans selalu bersikap baik sama gue."Gue nggak mau jauhin dia karena dia nggak punya salah apa-apa. Yang jadi pemisah kita adalah orang tua kita. Padahal saat itu kami belum punya hubungan yang jelas. Tapi, nggak tahu kalau ternyata Hans udah kasih tahu ke maminya."Winda menghela napasnya dengan panjang. "Berat juga, halangannya. Kalau gitu, kasihan ke Hans-nya dong,
William menganggukkan kepalanya menyetujui permintaan Thania yang akan pergi ke Bandung seorang diri."Ya. Silakan pergi. Lagi pula, aku juga masih banyak kerjaan di sini. Tapi, aku ingin mengantar kamu ke sana agar Ibu dan Ayah tidak bertanya yang aneh-aneh jika kamu tidak kuantar ke sana."Thania hanya mengangguk. "Terserah kamu saja," ucapnya dengan pelan.Tak lama kemudian, Rani dan James tiba di sana. Perempuan itu langsung memeluk Thania dan mengusapi punggungnya dengan lembut."Semoga lekas sembuh, Sayang," ucap Rani dengan lembut."Terima kasih, Mi." Thania mengulas senyumnya.Rani lalu melepas pelukan itu dan duduk di depan perempuan itu seraya menatapnya penuh dengan rasa iba dan bersalah. Merasa bersalah atas kelakuan William kepada menantunya ini."Apa yang terjadi sebenarnya? Papi lihat, kalian seperti tidak akur." James mencurigai kondisi rumah tangga anak bungsunya itu.William menoleh pelan ke arah sang papa. "Apa yang terjadi? Aku dan Thania baik-baik saja. Aku memang
William diam tak berkutik. Hanya menatap Thania yang tengah menunggu jawaban yang akan diberikan William kepadanya."Kenapa diam? Tidak bisa menjawab apa yang aku tanyakan tadi? So! Silakan pergi dengan Mhika dan aku juga akan pergi dari hidup kamu. It's so simple, right?"William terdiam menatap kaku wajah Thania. "Kenapa kamu seyakin ini, kalau Mhika akan kembali ke Indonesia dan masih mencintaiku?"Thania menghela napasnya dengan panjang. "Karena aku sudah tidak mau menjalin rumah tangga ini lagi dengan kamu, Mas. Untuk apa? Tidak ada yang perlu kita pertahankan."Dari awal pernikahan pun rumah tangga ini sudah sangat toxic. Tidak baik untuk kesehatan hati dan batin. Aku akan kembali ke sini setelah pulang dari Bandung dan memutuskan semuanya."Thania kembali menatap wajah William. "Kamu ingin nama kamu tetap bersih, kan? Okay. Aku akan melakukan itu. Biar aku saja yang jelek dan buruk di mata keluarga kamu."William menghela napasnya dengan panjang. "Don't do it, Thania. I hope yo
Thania dan William masuk ke dalam rumah kedua orang tuanya. Perempuan itu tampak tak nyaman berjalan dengan William padahal lelaki itu adalah suaminya."Thania ...." Ima menghampiri sang anak kemudian memeluknya karena merindukan anaknya tersebut. "Kok nggak bilang, kalau kamu mau ke sini?""Maaf, Bu. Dadakan ke sininya makanya nggak bilang dulu.""Oh, gitu. Ya sudah, hayuk masuk dulu. Cuaca lagi panas soalnya di sini." Ima membawa masuk anak dan menantunya ke dalam rumah itu.William masih mengikuti mereka sampai masuk ke dalam sebab sebenarnya ia tak ingin dulu pulang dan ingin menemani Thania di sana sampai kembali ke Jakarta."Mau nginep di sini? Biar Ibu siapkan dulu kamar untuk kalian," ucap Ima bertanya kepada Thania yang kini tengah duduk bersampingan dengan William."Mas William nggak akan nginep, Ma. Cuma aku aja yang nginep di sini. Mas William lagi banyak kerjaan di Jakarta soalnya."Ima menoleh pada William. "Lho. Kenapa? Kok nggak sekalian nginep juga di sini?""Bu. Mas