Pagi harinya, jam sudah menunjuk di angka tujuh pagi. Thania bangun dari tidurnya setelah delapan jam lamanya tidur meski tidak terlalu nyenyak.Ia masih kepikiran tentang ucapan sang mama yang baru ia ketahui bila Ima melarang Thania mencintai Hans karena Maria yang trauma memiliki menantu yang derajatnya di bawah keluarganya.Thania menatap wajahnya sendiri di pantulan cermin seraya menghela napasnya dengan panjang. "Masih agak pucat. Apakah aku masih sakit? Tapi, punggung, kepala dan juga bagian bawahku sudah tidak terlalu sakit."Thania bergumam kemudian menggelengkan kepalanya. "Mungkin karena sudah lama tidak merias wajahku. Sampai tak sadar kalau wajahku pucat seperti ini."Thania keluar dari kamar mandi dan langsung mengenakan pakaiannya berupa jeans dan kemeja serta rambut yang dikuncir kuda.Lalu keluar dari kamarnya dan menghampiri kedua orang tua dan juga dua adiknya, Valina dan Mega. Keduanya sama-sama perempuan. Valina berusia dua puluh dan Mega berusia lima belas tahun.
"Kenapa Tante Maria melakukan itu pada kamu, Hans?" tanyanya ingin tahu dan bingung maksud dari ucapan Hans tadi.Hans menghela napasnya dengan panjang. "Karena dia sangat yakin, orang yang telah membunuh Kak Erald adalah istrinya sendiri. Dan akhirnya malah membuat Mami nggak percaya sama yang namanya menantu."And sorry for my words. Kita tahu lah ya, kamu seperti apa dan aku nggak mau mau jugde kamu seperti itu. Karena kita tidak pernah mau memiliki nasib seperti itu. Mami tahu, aku mencintai kamu bahkan aku sudah minta izin untuk melamar kamu."Dan jawaban Mami benar-benar buat aku marah juga kecewa. Papi tidak pernah mempermasalahkan ini. Dan kamu juga harus tahu, hingga saat ini Mami masih menjalani terapi di psikiater."Thania menelan salivanya dengan pelan. "Dan belum sembuh, juga belum mau, melihat anaknya menikah? Kalau kamu menikah dengan konglomerat seperti kalian, mungkin mami kamu tidak akan seperti itu."Hans menggeleng pelan. "Nggak, Thania. Sama saja. Dia pobhia menan
Sudah lima jam lamanya mereka berada di sana. Kini, keduanya memilih untuk makan siang terlebih dahulu di sebuah restoran yang ada di sana."Beberapa tahun nggak ke sini, udah banyak menu baru dan tempat makan baru di sini," ucap Thania sembari memandang makanan yang sudah tiba di atas meja.Hans mengulas senyumnya. "Dan selalu kamu, yang kubawa ke tempat ini. Tempat ternyaman untuk bisa bersantai dari penatnya dunia luar," ucapnya tak menyangka bila dirinya hanya membawa Thania ke sana.Bahkan dia juga baru ke Bandung lagi setelah selesai kuliah di Amerika. Ia langsung menghampiri pamannya dan tidak pernah kembali ke Bandung.Ditambah, ia tahu bila Thania pun ada di sana. Namun, harus menahan sakit karena tahu, wanita yang ia cintainya sudah menjadi kepunyaan orang lain.Thania terkekeh pelan. "Nggak balik lagi ke Jakarta? Bukannya kerjaan kamu banyak di sana?" tanyanya ingin tahu sembari menyantap makanan di sana."Selama kamu masih ada di sana, aku juga akan ke sana. Kapan, balik k
Thania menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Aku udah nggak berharap itu lagi, Hans. Dia sendiri yang udah buat aku nggak jadi jatuh cinta sama dia. Lima tahun mencintainya, memang bukan waktu yang sedikit."Tapi, apa lagi yang mesti aku harapkan? Dia sudah berubah. Tapi, berubahnya pun hanya karena takut dipecat dari jabatan Mahatma Grup oleh papinya jika berani menyakitiku. Aku tidak yakin, dia tulus meminta maaf dan bilang jatuh cinta padaku."Thania menjelaskan bila dirinya sudah tidak mengharapkan cinta dari William lagi. Sebab ia sudah terlanjur kecewa, cintanya hanya dibuat sandiwara oleh lelaki itu.Tidak ada yang mesti ia pertahankan meskipun William benar-benar berubah dan mau mencintai Thania juga memiliki perempuan itu selamanya. Namun, Thania sudah berubah pikiran."Setelah aku pahami, William bukan pilihan terakhirku. Mungkin kamu atau orang lain aku pun tidak tahu. Yang jelas, untuk saat ini aku sudah tidak mengharapkan William lagi di hidup aku."Thania kembali beruca
Thania menghela napas kasar. "Nggak. Masih lama. Mungkin dua bulanan lagi, aku baru mau pulang."William menghela napas lelah mendengar ucapan Thania tadi. "Kenapa harus dua bulan? Bukankah terlalu lama? Kalau nanti Mami dan Papi tanya, aku harus jawab apa?""Tinggal jawab lagi di Bandung apa susahnya, Mas? Nanti juga kamu terbiasa tanpa aku di sana. Jangan hubungi aku jika tidak ada yang urgent, Mas. Aku pulang ke rumah karena ingin menenangkan diri."William menelan saliva dengan pelan. "Setidaknya kabari aku, Thania. Seharian kamu tidak ada kabar, kamu ke mana?""Jalan-jalan. Keliling kebun teh dan melihat pemandangan hijau di sini," jawabnya dengan jujur."Sudah ya, Mas. Aku mau tidur, sudah malam. Tadi habis minum obat juga, jadinya ngantuk.""Baru beberapa menit saja kamu sudah ingin menutup panggilanku. Memangnya kamu tidak merindukanku?"Thania menggaruk alisnya kemudian menghela napasnya. "Nggak, Mas. Dulu, aku memang mencintai kamu. Dan mungkin rasa rindu itu ada. Tapi, seka
Thania berlari ke dalam kamar dan berhasil Hans meraih tangan perempuan itu hingga keduanya masuk ke dalam. Dengan gelak tawa keluar dari mulut keduanya.Hans kemudian melingkarkan kedua tangannya di pinggang Thania dan menatapnya sembari mengusapi sisian wajah Thania dengan lembut. Lalu mencubit gemas hidung perempuan itu yang sedari tadi tertawa bahagia."Hans! Stop it!" teriak Thania dengan gurauan yang terdengar begitu nyaring. Namun, tentu saja sebenarnya ia sangat menyukai hal itu. Sebab hanya dengan Hans, ia dapat melakukan hal seperti ini."Memangnya mau ngapain, hm?" tanya Hans kemudian melepaskan pelukannya itu. Tangganya menggenggam kedua tangan Thania yang tengah menatapnya itu.Thania mengatur napasnya yang terengah-engah dan menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Nggak tahu. Katanya kamu tidur. Ya udah, sono, tidur. Malah ganggu aku pakai kejar-kejaran. Emangnya kita lagi syuting film holywood?"Hans lantas terkekeh kemudian menarik tangan Thania yang sempat dilepas oleh
Malam harinya, Thania dan Hans memilih memasak untuk makan malam. Hans sudah membeli cukup banyak sembako untuk beberapa hari di sana.Mengingat Thania yang masih belum ingin pulang yang entah sampai kapan perempuan itu akan bertahan di sini, Hans tak ingin menanyakan itu lagi.Melihat Thania yang saat ini tampak tenang dan sedikit bahagia membuat Hans tak tega membiarkan Thania kembali ke Jakarta yang mungkin hatinya akan dipenuhi oleh luka lagi."Mau omelette?" tanya Hans sembari memperlihatkan telur yang tengah ia pegang."Boleh. Kamu suka juga, kan?""Tentu. Semua macam telur, aku suka.""Telur buaya juga suka, hm?"Hans lantas mengerucutkan bibirnya dan mengambil mangkuk serta daun bawang. "Kalau buayanya aku makan, aku pernah. Di Thailand dulu. Kalau telurnya, kayaknya nggak ada deh, yang jual telur buaya.""Yaa nggak usah dibahas juga, Hans!" sengal Thania kemudian."Ups! Sorry. Lupa, Sayang." Hans mencium pipi Thania lalu menerbitkan senyum lebar kepada Thania.Perempuan itu m
Nomor tak dikenal: [I hope you can visit me.]Thania semakin bingung dengan pesan yang dikirim oleh nomor tersebut. "Nggak ada fotonya jadi susah ngenalinnya. Aku telepon aja deh, kalau begitu."Ia kemudian menghubungi nomor tersebut karena penasaran dengan orang itu yang memintanya agar menemuinya."Nggak diangkat. Kok aku takut, yaa?" Thania tampak cemas.Hans kemudian mengusapi lengan perempuan itu agar lebih tenang. "Sini, biar aku aja yang balas pesannya. Kamu nggak perlu takut." Hans mengambil ponsel Thania dan membalas pesan tersebut.Thania: [Aku tadi tanya kamu siapa. Kalau kamu tidak mau memberi tahu kamu siapa, jangan harap aku mau menemui kamu!]Pesan terkirim.Hans kemudian menoleh ke arah Thania yang kembali melahap makan malamnya dengan tatapan kosong yang begitu nyata terlihat."Jangan dipikirin. Nanti aku akan menemani kamu jika kamu ingin menemuinya nanti." Hans mengusapi punggung tangan perempuan itu dengan lembut seraya menerbitkan senyumnya.Thania mengangguk keci