Thania menghela napas kasar. "Nggak. Masih lama. Mungkin dua bulanan lagi, aku baru mau pulang."William menghela napas lelah mendengar ucapan Thania tadi. "Kenapa harus dua bulan? Bukankah terlalu lama? Kalau nanti Mami dan Papi tanya, aku harus jawab apa?""Tinggal jawab lagi di Bandung apa susahnya, Mas? Nanti juga kamu terbiasa tanpa aku di sana. Jangan hubungi aku jika tidak ada yang urgent, Mas. Aku pulang ke rumah karena ingin menenangkan diri."William menelan saliva dengan pelan. "Setidaknya kabari aku, Thania. Seharian kamu tidak ada kabar, kamu ke mana?""Jalan-jalan. Keliling kebun teh dan melihat pemandangan hijau di sini," jawabnya dengan jujur."Sudah ya, Mas. Aku mau tidur, sudah malam. Tadi habis minum obat juga, jadinya ngantuk.""Baru beberapa menit saja kamu sudah ingin menutup panggilanku. Memangnya kamu tidak merindukanku?"Thania menggaruk alisnya kemudian menghela napasnya. "Nggak, Mas. Dulu, aku memang mencintai kamu. Dan mungkin rasa rindu itu ada. Tapi, seka
Thania berlari ke dalam kamar dan berhasil Hans meraih tangan perempuan itu hingga keduanya masuk ke dalam. Dengan gelak tawa keluar dari mulut keduanya.Hans kemudian melingkarkan kedua tangannya di pinggang Thania dan menatapnya sembari mengusapi sisian wajah Thania dengan lembut. Lalu mencubit gemas hidung perempuan itu yang sedari tadi tertawa bahagia."Hans! Stop it!" teriak Thania dengan gurauan yang terdengar begitu nyaring. Namun, tentu saja sebenarnya ia sangat menyukai hal itu. Sebab hanya dengan Hans, ia dapat melakukan hal seperti ini."Memangnya mau ngapain, hm?" tanya Hans kemudian melepaskan pelukannya itu. Tangganya menggenggam kedua tangan Thania yang tengah menatapnya itu.Thania mengatur napasnya yang terengah-engah dan menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Nggak tahu. Katanya kamu tidur. Ya udah, sono, tidur. Malah ganggu aku pakai kejar-kejaran. Emangnya kita lagi syuting film holywood?"Hans lantas terkekeh kemudian menarik tangan Thania yang sempat dilepas oleh
Malam harinya, Thania dan Hans memilih memasak untuk makan malam. Hans sudah membeli cukup banyak sembako untuk beberapa hari di sana.Mengingat Thania yang masih belum ingin pulang yang entah sampai kapan perempuan itu akan bertahan di sini, Hans tak ingin menanyakan itu lagi.Melihat Thania yang saat ini tampak tenang dan sedikit bahagia membuat Hans tak tega membiarkan Thania kembali ke Jakarta yang mungkin hatinya akan dipenuhi oleh luka lagi."Mau omelette?" tanya Hans sembari memperlihatkan telur yang tengah ia pegang."Boleh. Kamu suka juga, kan?""Tentu. Semua macam telur, aku suka.""Telur buaya juga suka, hm?"Hans lantas mengerucutkan bibirnya dan mengambil mangkuk serta daun bawang. "Kalau buayanya aku makan, aku pernah. Di Thailand dulu. Kalau telurnya, kayaknya nggak ada deh, yang jual telur buaya.""Yaa nggak usah dibahas juga, Hans!" sengal Thania kemudian."Ups! Sorry. Lupa, Sayang." Hans mencium pipi Thania lalu menerbitkan senyum lebar kepada Thania.Perempuan itu m
Nomor tak dikenal: [I hope you can visit me.]Thania semakin bingung dengan pesan yang dikirim oleh nomor tersebut. "Nggak ada fotonya jadi susah ngenalinnya. Aku telepon aja deh, kalau begitu."Ia kemudian menghubungi nomor tersebut karena penasaran dengan orang itu yang memintanya agar menemuinya."Nggak diangkat. Kok aku takut, yaa?" Thania tampak cemas.Hans kemudian mengusapi lengan perempuan itu agar lebih tenang. "Sini, biar aku aja yang balas pesannya. Kamu nggak perlu takut." Hans mengambil ponsel Thania dan membalas pesan tersebut.Thania: [Aku tadi tanya kamu siapa. Kalau kamu tidak mau memberi tahu kamu siapa, jangan harap aku mau menemui kamu!]Pesan terkirim.Hans kemudian menoleh ke arah Thania yang kembali melahap makan malamnya dengan tatapan kosong yang begitu nyata terlihat."Jangan dipikirin. Nanti aku akan menemani kamu jika kamu ingin menemuinya nanti." Hans mengusapi punggung tangan perempuan itu dengan lembut seraya menerbitkan senyumnya.Thania mengangguk keci
Hans memegang kedua sisian wajah Thania dan menatapnya dengan lekat. "Jangan berpikis seperti itu lagi, Thania. Kamu ini masih suaminya William. Kamu seperti ini saja sudah menyalahi aturan. Apalagi sampai ke arah yang lebih extrem dari ini."Hans selalu menolak ajakan Thania yang memintanya melakukan hal tersebut. Meskipun ia mencintai Thania bahkan ingin memilikinya, bukan berarti ia mengambil hak yang masih menjadi milik William.Thania menelan salivanya dengan pelan. "Maaf, Hans. Aku terlalu terbawa emosi," ucapnya dengan pelan. Merasa bersalah karena telah berucap sembarangan pada Hans.Manik matanya sudah basah, seolah ingin menangis hanya karena ucapannya tadi. "Sekali lagi aku minta maaf, Hans. Aku benar-benar bodoh," ucapnya lirih.Hans menarik tangan Thania. Memeluknya dan menenangkan perempuan itu agar berhenti memikirkan hal yang seharusnya tidak usah dipikirkan oleh perempuan itu. Menghamili Thania bukanlah jalan satu-satunya untuk bisa membebaskan dia dari William."Yang
Waktu sudah menunjuk angka sepuluh pagi. Thania dan Hans sudah di jalan menuju taman kota di mana orang yang ingin bertemu dengannya sudah di sana."Dia barusan chat aku lagi. Katanya sudah di taman. Dia lebih dulu datang dari kita," ucap Thania kepada lelaki itu."Bagus dong. Karena kamu nggak perlu nunggu lagi kalau dia sudah tiba di sana lebih dulu."Thania mengangguk pelan. "Iya. Tapi, aku kok deg-degan banget, yaa. Andai dia kasih tahu siapa dia sebenarnya, mungkin aku nggak segugup ini." Thania menghela napasnya dengan panjang.Hans menggenggam tangan perempuan itu seraya melajukan mobilnya. Menenangkan Thania sebab dirinya sendiri yang menyetujui bertemu dengan orang tersebut."Kamu harus tenang, nggak boleh nervous. Karena setelah kamu bertemu dengannya, kamu akan tahu apa yang dia inginkan dari kamu."Thania tersenyum kecil. Ia kemudian menganggukkan kepalanya dan menghela napasnya dengan panjang. Harus bisa biasa saja meski sebenarnya itu sulit.Satu pesan masuk dari William
"Kamu mau bunuh aku, huh? Itu di depan banyak mobil, Mas. Ini bukan jalanan milik kamu!" teriak Thania yang ketakutan kala William melajukan mobilnya seperti kesetanan.Namun, lelaki itu tak mengubris sedikit pun ucapan Thania. Teriakan itu sudah tak dihiraukan lagi olehnya. Ia yang tak ingin menyakiti Thania lagi dengan tangannya, lantas harus menahannya agar tidak kebablasan.Sebab sudah ia limpahkan semuanya pada Hans hingga membuat lelaki itu babak belur bukan main karena ulahnya. Bahkan kini sudah dibawa ke rumah sakit oleh dua bodyguard William."KIta bicarakan ini di rumah. Kamu sudah keterlaluan, Thania!" ucapnya penuh dengan penekanan.Thania menghela napas kasar. "Seolah-olah merasa paling tersakiti padahal karena ulah sendiri," sindirnya kemudian.William menolehkan kepalanya dengan rahang mengeras dan juga menggertakan giginya menatap tajam wajah Thania.Ia kembali fokus pada laju mobilnya yang mungkin hanya butuh satu jam saja sampai ke Jakarta mengingat kecepatan yang Wi
Lima belas menit kemudian, Thania sudah tiba di rumah sakit dan langsung dibawa ke ruang IGD. Para dokter dan perawat bergegas masuk ke dalam untuk memeriksa kondisi Thania yang tengah mengalami pendarahan.Sementara William harus menunggu di luar dengan wajah paniknya. Ia tak tahu mengapa Thania mengeluarkan darah di pangkal pahanya."Apa yang terjadi pada kamu, Thania? Kenapa kamu mengalami pendarahan? Kamu sedang hamil? Tapi, kenapa kamu tidak memberi tahu aku soal ini?" gumamnya sembari menatap ke dalam ruang IGD di mana Thania masih diperiksa oleh tim medis.Amar yang tak sengaja melihat William tengah berdiri sembari menatap ke dalam. Membuat lelaki itu mengerutkan dahi lalu menghampiri lelaki itu."Selamat siang, Pak William," sapa Amar kepada lelaki itu.William menoleh. "Ya," ucapnya dengan pelan."Apa yang terjadi, Pak?" tanyanya lalu menoleh ke dalam. Mengerutkan keningnya lagi kala melihat Thania tengah diperiksa oleh beberapa tim medis di dalam."Apa yang terjadi pada ist