Thania berlari ke dalam kamar dan berhasil Hans meraih tangan perempuan itu hingga keduanya masuk ke dalam. Dengan gelak tawa keluar dari mulut keduanya.Hans kemudian melingkarkan kedua tangannya di pinggang Thania dan menatapnya sembari mengusapi sisian wajah Thania dengan lembut. Lalu mencubit gemas hidung perempuan itu yang sedari tadi tertawa bahagia."Hans! Stop it!" teriak Thania dengan gurauan yang terdengar begitu nyaring. Namun, tentu saja sebenarnya ia sangat menyukai hal itu. Sebab hanya dengan Hans, ia dapat melakukan hal seperti ini."Memangnya mau ngapain, hm?" tanya Hans kemudian melepaskan pelukannya itu. Tangganya menggenggam kedua tangan Thania yang tengah menatapnya itu.Thania mengatur napasnya yang terengah-engah dan menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Nggak tahu. Katanya kamu tidur. Ya udah, sono, tidur. Malah ganggu aku pakai kejar-kejaran. Emangnya kita lagi syuting film holywood?"Hans lantas terkekeh kemudian menarik tangan Thania yang sempat dilepas oleh
Malam harinya, Thania dan Hans memilih memasak untuk makan malam. Hans sudah membeli cukup banyak sembako untuk beberapa hari di sana.Mengingat Thania yang masih belum ingin pulang yang entah sampai kapan perempuan itu akan bertahan di sini, Hans tak ingin menanyakan itu lagi.Melihat Thania yang saat ini tampak tenang dan sedikit bahagia membuat Hans tak tega membiarkan Thania kembali ke Jakarta yang mungkin hatinya akan dipenuhi oleh luka lagi."Mau omelette?" tanya Hans sembari memperlihatkan telur yang tengah ia pegang."Boleh. Kamu suka juga, kan?""Tentu. Semua macam telur, aku suka.""Telur buaya juga suka, hm?"Hans lantas mengerucutkan bibirnya dan mengambil mangkuk serta daun bawang. "Kalau buayanya aku makan, aku pernah. Di Thailand dulu. Kalau telurnya, kayaknya nggak ada deh, yang jual telur buaya.""Yaa nggak usah dibahas juga, Hans!" sengal Thania kemudian."Ups! Sorry. Lupa, Sayang." Hans mencium pipi Thania lalu menerbitkan senyum lebar kepada Thania.Perempuan itu m
Nomor tak dikenal: [I hope you can visit me.]Thania semakin bingung dengan pesan yang dikirim oleh nomor tersebut. "Nggak ada fotonya jadi susah ngenalinnya. Aku telepon aja deh, kalau begitu."Ia kemudian menghubungi nomor tersebut karena penasaran dengan orang itu yang memintanya agar menemuinya."Nggak diangkat. Kok aku takut, yaa?" Thania tampak cemas.Hans kemudian mengusapi lengan perempuan itu agar lebih tenang. "Sini, biar aku aja yang balas pesannya. Kamu nggak perlu takut." Hans mengambil ponsel Thania dan membalas pesan tersebut.Thania: [Aku tadi tanya kamu siapa. Kalau kamu tidak mau memberi tahu kamu siapa, jangan harap aku mau menemui kamu!]Pesan terkirim.Hans kemudian menoleh ke arah Thania yang kembali melahap makan malamnya dengan tatapan kosong yang begitu nyata terlihat."Jangan dipikirin. Nanti aku akan menemani kamu jika kamu ingin menemuinya nanti." Hans mengusapi punggung tangan perempuan itu dengan lembut seraya menerbitkan senyumnya.Thania mengangguk keci
Hans memegang kedua sisian wajah Thania dan menatapnya dengan lekat. "Jangan berpikis seperti itu lagi, Thania. Kamu ini masih suaminya William. Kamu seperti ini saja sudah menyalahi aturan. Apalagi sampai ke arah yang lebih extrem dari ini."Hans selalu menolak ajakan Thania yang memintanya melakukan hal tersebut. Meskipun ia mencintai Thania bahkan ingin memilikinya, bukan berarti ia mengambil hak yang masih menjadi milik William.Thania menelan salivanya dengan pelan. "Maaf, Hans. Aku terlalu terbawa emosi," ucapnya dengan pelan. Merasa bersalah karena telah berucap sembarangan pada Hans.Manik matanya sudah basah, seolah ingin menangis hanya karena ucapannya tadi. "Sekali lagi aku minta maaf, Hans. Aku benar-benar bodoh," ucapnya lirih.Hans menarik tangan Thania. Memeluknya dan menenangkan perempuan itu agar berhenti memikirkan hal yang seharusnya tidak usah dipikirkan oleh perempuan itu. Menghamili Thania bukanlah jalan satu-satunya untuk bisa membebaskan dia dari William."Yang
Waktu sudah menunjuk angka sepuluh pagi. Thania dan Hans sudah di jalan menuju taman kota di mana orang yang ingin bertemu dengannya sudah di sana."Dia barusan chat aku lagi. Katanya sudah di taman. Dia lebih dulu datang dari kita," ucap Thania kepada lelaki itu."Bagus dong. Karena kamu nggak perlu nunggu lagi kalau dia sudah tiba di sana lebih dulu."Thania mengangguk pelan. "Iya. Tapi, aku kok deg-degan banget, yaa. Andai dia kasih tahu siapa dia sebenarnya, mungkin aku nggak segugup ini." Thania menghela napasnya dengan panjang.Hans menggenggam tangan perempuan itu seraya melajukan mobilnya. Menenangkan Thania sebab dirinya sendiri yang menyetujui bertemu dengan orang tersebut."Kamu harus tenang, nggak boleh nervous. Karena setelah kamu bertemu dengannya, kamu akan tahu apa yang dia inginkan dari kamu."Thania tersenyum kecil. Ia kemudian menganggukkan kepalanya dan menghela napasnya dengan panjang. Harus bisa biasa saja meski sebenarnya itu sulit.Satu pesan masuk dari William
"Kamu mau bunuh aku, huh? Itu di depan banyak mobil, Mas. Ini bukan jalanan milik kamu!" teriak Thania yang ketakutan kala William melajukan mobilnya seperti kesetanan.Namun, lelaki itu tak mengubris sedikit pun ucapan Thania. Teriakan itu sudah tak dihiraukan lagi olehnya. Ia yang tak ingin menyakiti Thania lagi dengan tangannya, lantas harus menahannya agar tidak kebablasan.Sebab sudah ia limpahkan semuanya pada Hans hingga membuat lelaki itu babak belur bukan main karena ulahnya. Bahkan kini sudah dibawa ke rumah sakit oleh dua bodyguard William."KIta bicarakan ini di rumah. Kamu sudah keterlaluan, Thania!" ucapnya penuh dengan penekanan.Thania menghela napas kasar. "Seolah-olah merasa paling tersakiti padahal karena ulah sendiri," sindirnya kemudian.William menolehkan kepalanya dengan rahang mengeras dan juga menggertakan giginya menatap tajam wajah Thania.Ia kembali fokus pada laju mobilnya yang mungkin hanya butuh satu jam saja sampai ke Jakarta mengingat kecepatan yang Wi
Lima belas menit kemudian, Thania sudah tiba di rumah sakit dan langsung dibawa ke ruang IGD. Para dokter dan perawat bergegas masuk ke dalam untuk memeriksa kondisi Thania yang tengah mengalami pendarahan.Sementara William harus menunggu di luar dengan wajah paniknya. Ia tak tahu mengapa Thania mengeluarkan darah di pangkal pahanya."Apa yang terjadi pada kamu, Thania? Kenapa kamu mengalami pendarahan? Kamu sedang hamil? Tapi, kenapa kamu tidak memberi tahu aku soal ini?" gumamnya sembari menatap ke dalam ruang IGD di mana Thania masih diperiksa oleh tim medis.Amar yang tak sengaja melihat William tengah berdiri sembari menatap ke dalam. Membuat lelaki itu mengerutkan dahi lalu menghampiri lelaki itu."Selamat siang, Pak William," sapa Amar kepada lelaki itu.William menoleh. "Ya," ucapnya dengan pelan."Apa yang terjadi, Pak?" tanyanya lalu menoleh ke dalam. Mengerutkan keningnya lagi kala melihat Thania tengah diperiksa oleh beberapa tim medis di dalam."Apa yang terjadi pada ist
Dua hari kemudian. Hans sadarkan diri dari kritisnya setelah empat puluh delapan jam tak sadarkan diri karena luka di wajahnya yang telah dilakukan oleh William karena telah membawa Thania bahkan mungkin ia tahu semuanya.Hans menghela napasnya dengan pelan kemudian menoleh ke arah samping di mana Cintya tengah tidur di sampingnya dengan tangan ia jadikan sebagai alas."Dek?" panggil Hans dengan suara pelannya. "Sejak kapan kamu di sini?" tanyanya ingin tahu.Perempuan itu kemudian mengadahkan kepalanya dan langsung menoleh ke arah sang kakak. "Kak. Akhirnya Kakak siuman juga. Udah dari Kakak masuk rumah sakit aku di sini. Aku panggil dokter dulu, yaa."Namun, Hans menahan tangan Cyntia agar jangan dulu pergi. "Sudah berapa lama, aku di sini? Mami dan Papi tahu, aku di sini?"Cyntia menghela napasnya. "Nggak, Kak. Aku nggak mau bikin jantung Papi kambuh lagi kalau kasih tahu Kakak ada di sini. Mami apalagi. Dia nggak akan peduli juga apalagi kalau tahu Kakak kayak gini karena ulah sua
Hans kemudian mengecup kening perempuan itu lalu mengusapinya dengan lembut. Menatap wajah Thania penuh dengan cinta."Jauh dari kamu itu aku gak bisa. Apalagi di saat-saat seperti ini. Aku akan selalu ada di samping kamu, Sayang. I'm promise."Thania menganggukkan kepalanya. "Iya, Hans.""Kalian ini. Udah mau punya anak dua pun masih saja romantis-romantisan. Bener-bener pasangan romantis," celetuk Maria menggoda anak dan menantunya itu yang menebar keromantisan di depan mereka tanpa ada rasa malu sedikit pun.Hans menerbitkan senyumnya. "Anak itu pelengkap rumah tangga. Untuk romantis pada pasangan itu wajib. Supaya tetap harmonis dan langgeng.""Amin. Memang kamu ini dari dulu pun sangat peduli pada Thania. Apalagi sekarang, sudah jadi istrinya.""Itu Mami tahu. Masih aja komentar kalau lihat aku memperlihatkan kepedulian aku pada Thania."Maria terkekeh pelan. "Nggak nyangka aja. Kamu akan tetap seperti ini kepada Thania. Tidak pernah malu memperlihatkan keromantisan di mana pun d
Hans mengangguk dan mengulas senyumnya. "Pasti! Terima kasih, sudah mempercayakan aset ini kepada Devan, Kak Thomas. Aku akan menjaga rumah sakit ini dengan baik sampai Devan dewasa dan berhak tahu akan hal ini." "Terima kasih, Hans. Jaga Thania dan Devan dengan baik, sayangi mereka. Jangan pernah mengecewakan mereka. Kamu sudah Tuhan takdirkan untuk menjaga keponakan kami." Hans kembali tersenyum dan mengangguk. "Iya, Kak. Aku akan memegang teguh janjiku pada Tuhan bahwa aku akan selalu menjaga dan melindungi mereka. Aku pastikan, mereka selalu bahagia." Thomas menganggukkan kepalanya. "Jangan pernah lupakan kami, Thania. Kami akan selalu menyayangi kamu juga menganggap kamu sebagai keluarga kami. Jangan pernah lupakan itu." "Iya, Kak. Kakak jaga diri, ya. Semoga keluarga Kakak selalu dalam lindungan Tuhan. Dan sekali lagi terima kasih untuk aset yang diwariskan kepada Devan. Seharusnya kalian tidak usah repot-repot memberikan ini." "No problem. Sudah seharusnya Devan mendapatka
Pukul 07.00 Pagi.Thania mengikuti saran dari Hans untuk memeriksa kehamilannya menggunakan alat tes kehamilan. Ia pun masuk ke dalam kamar mandi dan menunggu hasil tersebut.Tampak perempuan itu menghela napasnya dengan panjang sembari menunggu hasilnya keluar. Setelah lima menit, Thania mengambil alat tersebut dan melihat hasilnya.Thania tersenyum kala melihatnya. Ia pun keluar dari kamar mandi dan menghampiri Hans yang tengah mengenakan kemeja kerjanya."Hans?" panggil Thania dengan suara lembutnya."Hows, Honey?" tanya Hans yang sudah tidak sabar ingin tahu hasilnya.Thania menerbitkan senyum kepada suaminya itu. "Seperti yang kamu duga. Dua garis.""Serius?" tanya Hans begitu antusias.Thania mengangguk. "Ya! You're gonna be a father."Spontan lelaki itu memeluk sang istri. Betapa senang ia rasakan karena hasil yang memang sangat ia harapkan."Kita ke rumah sakit sekarang, ya," ucap Hans dengan lembut.Thania mengangguk. "
Ia lalu duduk kembali dan menatap sang anak yang tengah menatap paman yang tidak ia ketahui itu."Baik. Kamu apa kabar? Ini, anak kamu?"Thania mengangguk. "Aku baik. Dan ya, dia Devan. Zayden Devandra. Anakku."Thomas tersenyum lirih kemudian menatap sayu wajah keponakannya itu. "Kamu tampan sekali, Nak. Matamu, mirip sekali dengan ayahmu."Thania tersenyum tipis. Memang, mata Devan sangat mirip sekali dengan William. Dan itu tidak bisa dia pungkiri."Maafkan kami, karena tidak pernah mengunjungi kamu. Semenjak ditinggal Mami, kondisi Papi semakin drop. Sakit-sakitan."Thania menutup mulutnya. "Kak. Kakak serius?"Thomas mengangguk. "Iya. Bukannya kami tidak ingin menjenguk kamu dan melihat anak kamu. Tapi, aku tidak punya waktu, Papi sakit dan Andrew sedang ada masalah dengan istrinya."Kami hancur, Thania. Perusahaan yang dipegang oleh William ditutup karena banyak kasus di dalamnya termasuk kematian Erald, kakaknya Hans. Me
Hans lalu menarik wajah perempuan itu dan kembali meraup bibirnya dengan lembut. Menyesapnya penuh dengan nafsu dengan tangan bergelirya di atas gundukan kenyal nan padat itu hingga membuat Thania membusung spontann merasakan tangan kekar itu menyentuhnya.Tubuhnya kini dibawa di atas tempat tidur. Merebahkan tubuh perempuan itu kemudian menurunkan kepalanya dan kini tengah berada di depan kedua gundukan itu dan menyesapnya satu persatu dengan lembut.“Euumpphh!” lenguhnya seraya mencengkeram erat sprei yang ada di sampingnya.Isapan yang penuh itu membuat gairah Hans semakin bangkit. Telinganya yang sedari tadi mendengar desahan dari mulut Thania semakin membuatnya tak karuan.Ia lantas menyelesaikan permainan di atas gundukan kenyal itu. Hendak membawa masuk miliknya ke dalam goa yang pernah terbawa mimpi karena ingin merasakannya lagi.Hans menyatukan dirinya di bawah sana dengan mata menatap wajah Thania yang sudah bersiap merasakan gempuran
Satu tahun kemudian ....Hari ini adalah hari ulang tahu Devan yang kesatu. Perayaan yang begitu mewah dan megah di sebuah hotel yang ada di kota tersebut.Para tamu undangan sudah hadir memberikan selamat kepada Devan yang kini sudah menginjak satu tahun."Selamat ulang tahun untuk anaknya, Pak Hans," ucap salah satu tamu memberikan selamat kepada Hans untuk Devan."Terima kasih, Pak. Terima kasih juga sudah hadir di acara ulang tahun anak kami," ucapnya sembari tersenyum kepada lelaki itu.Sebuah lagu dinyanyikan dalam acara yang sudah dimulai itu. Thania tampak bahagia menyanbut hari ulang tahun anaknya tersebut."Nggak kerasa ya, udah satu tahun aja usia Devan. Perasaan baru kemarin, masih merangkak. Sekarang udah mulai bisa jalan," ucap Maria kepada anaknya itu.Hans menganggukkan kepalanya. "Iya, Mi. Dan bentar lagi Cyntia mau punya anak. Nanti disusul Thania satu tahun lagi.""Mau kasih adek buat Devan ceritanya?" tanya Maria kemudian.
Makan malam pun sudah tidak berselera lagi. Hans pun beranjak dari duduknya dan menghampiri Thania yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar.Tampak perempuan itu tengah melipat pakaian milik Devan sembari duduk di sofa dekat lemari anaknya itu.Hans lalu menghampirinya. Duduk di samping perempuan itu sembari menghela napasnya dengan panjang."Maaf, karena sudah buat kamu jadi emosi dan marah padaku. Tapi, sumpah demi Tuhan aku tidak punya pikiran seperti itu. Jangan marah lagi. Kita cari solusi sama-sama, ya."Thania hanya menelan salivanya. Masih belum mau mengeluarkan satu kata pun kepada suaminya itu."Thania. Berapa pun biaya yang mesti kita keluarkan, aku akan menyanggupinya. Jangan marah lagi, yaa. Apalagi berpikir seperti ini. Aku mohon, Thania."Hans menggenggam tangan Thania agar dia mau bicara dengannya. Menaruh baju Devan di depan lalu menatap perempuan itu dengan lekat."Please!" ucapnya dengan pelan.Thania menelan salivanya dengan pelan. "Aku bingung, Hans. Aku takut.
Tiga hari kemudian, ada panggilan telepon dari dr. Fahmi di ponsel Hans. Ia lalu segera menerima panggilan tersebut sebab sudah tahu, bila lelaki itu akan memberi kabar tentang diagnosa Devan."Selamat siang, Dok.""Selamat siang, Pak Hans. Maaf, mengganggu waktunya. Saya ingin memberi tahu kalau hasil scan Nak Devan sudah keluar. Apakah bisa bertemu sekarang?""Bisa, Dok. Bisa. Saya akan segera ke rumah sakit sekarang juga.""Baiklah kalau begitu. Saya tunggu kedatangannya, Pak Hans. Terima kasih."Hans kemudian menutup panggilan tersebut hendak menghubungi Thania memberi tahu hal ini."Halo, Sayang. Kamu lagi apa?" tanyanya setelah Thania menerima panggilan tersebut."Lagi menyusui Devan. Kenapa, Hans?"Lelaki itu menghela napasnya dengan panjang. "Hasil scan Devan sudah ada, Than. Hari ini, dr. Fahmi mengajak kita untuk bertemu di sana."Thania menelan salivanya dengan pelan. "Ya sudah. Kamu sibuk nggak, hari ini? Kalau sibuk, biar aku saja yang ke sana.""Nggak. Aku jemput kamu se
Usai pulang dari rumah sakit, meski belum mendapatkan hasilnya, tetap saja membuat hati Thania tidak tenang karena ucapan dr. Fahmi tadi.Thania kemudian menghela napasnya dengan pelan. Hans menghampiri perempuan itu dan duduk di sampingnya.Mencium bahu istrinya itu lalu menatapnya dengan lembut."I'm here, Thania. Jangan takut, menghadapi ini sendirian. Ada aku yang akan menemani kamu menghadapi ini semua. Andai pun memang harus menderita penyakit seperti ayahnya, kita akan menyembuhkannya sampai sembuh. Oke?"Thania tersenyum tipis dan mengangguk dengan pelan. "Iya. Aku akan mencari cara apa pun itu. Bantu aku membesarkan dan menyembuhkan Devan, Hans."Lelaki itu mengangguk dan mengulas senyumnya. "Iya, Sayang. I'm promise." Hans mengusapi sisian wajah perempuan itu lalu mengecup keningnya dengan lembut."Aku nggak pernah menganggap Devan anak tiriku, Thania. Dia sudah aku rawat sejak masih dalam kandungan. Bahkan yang menemani saat dia keluar dari rahim kamu pun aku, yang menemani