William menganggukkan kepalanya menyetujui permintaan Thania yang akan pergi ke Bandung seorang diri."Ya. Silakan pergi. Lagi pula, aku juga masih banyak kerjaan di sini. Tapi, aku ingin mengantar kamu ke sana agar Ibu dan Ayah tidak bertanya yang aneh-aneh jika kamu tidak kuantar ke sana."Thania hanya mengangguk. "Terserah kamu saja," ucapnya dengan pelan.Tak lama kemudian, Rani dan James tiba di sana. Perempuan itu langsung memeluk Thania dan mengusapi punggungnya dengan lembut."Semoga lekas sembuh, Sayang," ucap Rani dengan lembut."Terima kasih, Mi." Thania mengulas senyumnya.Rani lalu melepas pelukan itu dan duduk di depan perempuan itu seraya menatapnya penuh dengan rasa iba dan bersalah. Merasa bersalah atas kelakuan William kepada menantunya ini."Apa yang terjadi sebenarnya? Papi lihat, kalian seperti tidak akur." James mencurigai kondisi rumah tangga anak bungsunya itu.William menoleh pelan ke arah sang papa. "Apa yang terjadi? Aku dan Thania baik-baik saja. Aku memang
William diam tak berkutik. Hanya menatap Thania yang tengah menunggu jawaban yang akan diberikan William kepadanya."Kenapa diam? Tidak bisa menjawab apa yang aku tanyakan tadi? So! Silakan pergi dengan Mhika dan aku juga akan pergi dari hidup kamu. It's so simple, right?"William terdiam menatap kaku wajah Thania. "Kenapa kamu seyakin ini, kalau Mhika akan kembali ke Indonesia dan masih mencintaiku?"Thania menghela napasnya dengan panjang. "Karena aku sudah tidak mau menjalin rumah tangga ini lagi dengan kamu, Mas. Untuk apa? Tidak ada yang perlu kita pertahankan."Dari awal pernikahan pun rumah tangga ini sudah sangat toxic. Tidak baik untuk kesehatan hati dan batin. Aku akan kembali ke sini setelah pulang dari Bandung dan memutuskan semuanya."Thania kembali menatap wajah William. "Kamu ingin nama kamu tetap bersih, kan? Okay. Aku akan melakukan itu. Biar aku saja yang jelek dan buruk di mata keluarga kamu."William menghela napasnya dengan panjang. "Don't do it, Thania. I hope yo
Thania dan William masuk ke dalam rumah kedua orang tuanya. Perempuan itu tampak tak nyaman berjalan dengan William padahal lelaki itu adalah suaminya."Thania ...." Ima menghampiri sang anak kemudian memeluknya karena merindukan anaknya tersebut. "Kok nggak bilang, kalau kamu mau ke sini?""Maaf, Bu. Dadakan ke sininya makanya nggak bilang dulu.""Oh, gitu. Ya sudah, hayuk masuk dulu. Cuaca lagi panas soalnya di sini." Ima membawa masuk anak dan menantunya ke dalam rumah itu.William masih mengikuti mereka sampai masuk ke dalam sebab sebenarnya ia tak ingin dulu pulang dan ingin menemani Thania di sana sampai kembali ke Jakarta."Mau nginep di sini? Biar Ibu siapkan dulu kamar untuk kalian," ucap Ima bertanya kepada Thania yang kini tengah duduk bersampingan dengan William."Mas William nggak akan nginep, Ma. Cuma aku aja yang nginep di sini. Mas William lagi banyak kerjaan di Jakarta soalnya."Ima menoleh pada William. "Lho. Kenapa? Kok nggak sekalian nginep juga di sini?""Bu. Mas
Pagi harinya, jam sudah menunjuk di angka tujuh pagi. Thania bangun dari tidurnya setelah delapan jam lamanya tidur meski tidak terlalu nyenyak.Ia masih kepikiran tentang ucapan sang mama yang baru ia ketahui bila Ima melarang Thania mencintai Hans karena Maria yang trauma memiliki menantu yang derajatnya di bawah keluarganya.Thania menatap wajahnya sendiri di pantulan cermin seraya menghela napasnya dengan panjang. "Masih agak pucat. Apakah aku masih sakit? Tapi, punggung, kepala dan juga bagian bawahku sudah tidak terlalu sakit."Thania bergumam kemudian menggelengkan kepalanya. "Mungkin karena sudah lama tidak merias wajahku. Sampai tak sadar kalau wajahku pucat seperti ini."Thania keluar dari kamar mandi dan langsung mengenakan pakaiannya berupa jeans dan kemeja serta rambut yang dikuncir kuda.Lalu keluar dari kamarnya dan menghampiri kedua orang tua dan juga dua adiknya, Valina dan Mega. Keduanya sama-sama perempuan. Valina berusia dua puluh dan Mega berusia lima belas tahun.
"Kenapa Tante Maria melakukan itu pada kamu, Hans?" tanyanya ingin tahu dan bingung maksud dari ucapan Hans tadi.Hans menghela napasnya dengan panjang. "Karena dia sangat yakin, orang yang telah membunuh Kak Erald adalah istrinya sendiri. Dan akhirnya malah membuat Mami nggak percaya sama yang namanya menantu."And sorry for my words. Kita tahu lah ya, kamu seperti apa dan aku nggak mau mau jugde kamu seperti itu. Karena kita tidak pernah mau memiliki nasib seperti itu. Mami tahu, aku mencintai kamu bahkan aku sudah minta izin untuk melamar kamu."Dan jawaban Mami benar-benar buat aku marah juga kecewa. Papi tidak pernah mempermasalahkan ini. Dan kamu juga harus tahu, hingga saat ini Mami masih menjalani terapi di psikiater."Thania menelan salivanya dengan pelan. "Dan belum sembuh, juga belum mau, melihat anaknya menikah? Kalau kamu menikah dengan konglomerat seperti kalian, mungkin mami kamu tidak akan seperti itu."Hans menggeleng pelan. "Nggak, Thania. Sama saja. Dia pobhia menan
Sudah lima jam lamanya mereka berada di sana. Kini, keduanya memilih untuk makan siang terlebih dahulu di sebuah restoran yang ada di sana."Beberapa tahun nggak ke sini, udah banyak menu baru dan tempat makan baru di sini," ucap Thania sembari memandang makanan yang sudah tiba di atas meja.Hans mengulas senyumnya. "Dan selalu kamu, yang kubawa ke tempat ini. Tempat ternyaman untuk bisa bersantai dari penatnya dunia luar," ucapnya tak menyangka bila dirinya hanya membawa Thania ke sana.Bahkan dia juga baru ke Bandung lagi setelah selesai kuliah di Amerika. Ia langsung menghampiri pamannya dan tidak pernah kembali ke Bandung.Ditambah, ia tahu bila Thania pun ada di sana. Namun, harus menahan sakit karena tahu, wanita yang ia cintainya sudah menjadi kepunyaan orang lain.Thania terkekeh pelan. "Nggak balik lagi ke Jakarta? Bukannya kerjaan kamu banyak di sana?" tanyanya ingin tahu sembari menyantap makanan di sana."Selama kamu masih ada di sana, aku juga akan ke sana. Kapan, balik k
Thania menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Aku udah nggak berharap itu lagi, Hans. Dia sendiri yang udah buat aku nggak jadi jatuh cinta sama dia. Lima tahun mencintainya, memang bukan waktu yang sedikit."Tapi, apa lagi yang mesti aku harapkan? Dia sudah berubah. Tapi, berubahnya pun hanya karena takut dipecat dari jabatan Mahatma Grup oleh papinya jika berani menyakitiku. Aku tidak yakin, dia tulus meminta maaf dan bilang jatuh cinta padaku."Thania menjelaskan bila dirinya sudah tidak mengharapkan cinta dari William lagi. Sebab ia sudah terlanjur kecewa, cintanya hanya dibuat sandiwara oleh lelaki itu.Tidak ada yang mesti ia pertahankan meskipun William benar-benar berubah dan mau mencintai Thania juga memiliki perempuan itu selamanya. Namun, Thania sudah berubah pikiran."Setelah aku pahami, William bukan pilihan terakhirku. Mungkin kamu atau orang lain aku pun tidak tahu. Yang jelas, untuk saat ini aku sudah tidak mengharapkan William lagi di hidup aku."Thania kembali beruca
Thania menghela napas kasar. "Nggak. Masih lama. Mungkin dua bulanan lagi, aku baru mau pulang."William menghela napas lelah mendengar ucapan Thania tadi. "Kenapa harus dua bulan? Bukankah terlalu lama? Kalau nanti Mami dan Papi tanya, aku harus jawab apa?""Tinggal jawab lagi di Bandung apa susahnya, Mas? Nanti juga kamu terbiasa tanpa aku di sana. Jangan hubungi aku jika tidak ada yang urgent, Mas. Aku pulang ke rumah karena ingin menenangkan diri."William menelan saliva dengan pelan. "Setidaknya kabari aku, Thania. Seharian kamu tidak ada kabar, kamu ke mana?""Jalan-jalan. Keliling kebun teh dan melihat pemandangan hijau di sini," jawabnya dengan jujur."Sudah ya, Mas. Aku mau tidur, sudah malam. Tadi habis minum obat juga, jadinya ngantuk.""Baru beberapa menit saja kamu sudah ingin menutup panggilanku. Memangnya kamu tidak merindukanku?"Thania menggaruk alisnya kemudian menghela napasnya. "Nggak, Mas. Dulu, aku memang mencintai kamu. Dan mungkin rasa rindu itu ada. Tapi, seka