Tubuh Thania sangat remuk seperti baru saja dihantam batu satu truk. Terlalu semangat dan brutal perlakuan William kepadanya hingga membuatnya tak mampu menopang permainan gila suaminya itu.Ia terduduk lemas di kursi di mana kini ia sudah tiba di kantor dan telat setengah jam karena ulah William yang memintanya bermain hingga satu jam lamanya.Thania menangkup keningnya dengan kedua tangannya kemudian menghela napasnya dengan panjang."Permisi, Mbak Thania. Ada surat untuk Anda."Thania segera mengambilnya kemudian mengulas senyumnya dengan lebar. Lelah yang ia rasakan kini menjadi riang kembali setelah mendapat surat, berharap surat tersebut merupakan surat dari Hans.Ia langsung membukanya dan kembali menerbitkan senyumnya. 'Sudah pasti dari Hans. Dia tidak akan pernah mengingkari janjinya untuk selalu mengabariku,' ucapnya dalam hati sembari membacakan surat tersebut.'Hai! Besok si William ke Surabaya, yaa? Aku ada jadwal meeting ke hotel dekat kantor kamu. Bagaimana jika kita ke
Waktu sudah menunjuk angka delapan malam. Thania dan William baru saja selesai makan malam bersama. Perempuan itu langsung masuk ke dalam kamar sementara William pergi ke balkon untuk merokok dan juga menghubungi seseorang untuk menanyakan keberadaan Mhika yang masih belum ia ketahui itu.Sementara Thania mengambil ponselnya dan mengabari Hans yang belum ia kabari selama beberapa hari ini.Thania: [What are you doing, Bestie?]Pesan terkirim.Tak lama kemudian, Hans membalas pesan tersebut.Hans: [Lagi duduk di balkon apartemen sambil ngopi dan makan cake. Kamu masih sering bikin cake, Than?]Thania yang melihat pesan dari Hans lantas terkekeh. "Masih inget aja, kalau aku sering bikin kue buat dia," gumamnya kemudian membalas pesan tersebut.Thania: [Masih. Besok, kalau William sudah berangkat ke Surabaya, nanti aku buatkan. Mau rainbow cake, brownies atau wafle?]Hans: [Apa saja. Yang penting buatan kamu. Udah lama nggak makan kue buatan kamu.]Thania menerbitkan senyumnya kemudian m
Waktu sudah menunjuk angka dua siang. Tubuh Thania sudah mulai membaik setelah beberapa jam istirahat. Bersamaan dengan dirinya membuka mata, William menghubunginya.Perempuan itu lantas mengambil ponsel tersebut dan menerima panggilan itu. "Sudah sampai, Mas?" tanyanya dengan pelan."Ya. Sudah dari tadi. Kamu baru bangun tidur?" tanyanya di seberang sana."Iya. Aku baru bangun. Mau mandi dulu, habis ini bikin kue untuk makan siangku.""Kenapa kamu yang buat? Kenapa tidak kamu suruh saja, ART di rumah? Istirahat saja, supaya badan kamu kembali fit."Thania memutar bola matanya. Mendapat perhatian dari William bukanlah hal yang menyenangkan baginya. Melainkan ada hal yang dia inginkan dari perempuan itu."Kebetulan aku sedang ingin membuatnya sendiri, Mas. Tanganku masih bisa menguleni tepung. Bibi sedang sibuk dengan pekerjaannya."William menghela napasnya. "Ya sudah kalau begitu. Setiap dua jam aku akan menghubungimu selama di sini."Thania kembali memutar bola matanya. "Iya. Aku ma
"Bagaimana ini? William menghubungiku lewat panggilan video," ucapnya masih dalam keadaan panik.Winda menganga kemudian menoleh ke kanan dan kiri ruangan itu. "Masuk ke dalam kamar mandi saja, Than."Thania menoleh. "Udah mati. Lagian gue nggak pernah bawa HP ke kamar mandi. Dia bisa curiga kalau gue bawa HP ke kamar mandi.""Oooh. Gue pikir elo sering bawa HP ke kamar mandi. Ya udah, jangan kalau begitu. Balas aja, lagi mandi tadi."Thania menghela napasnya dengan panjang kemudian menoleh pada Hans yang diam dan hanya menatapnya sembari tersenyum tipis."Apa yang akan terjadi, jika kamu ketahuan sedang main di rumah teman kamu sendiri? Dia marah, padahal kamu sedang main di rumah Winda?" tanyanya ingin tahu.Thania menelan saliva dengan pelan kemudian mengangguk. "Iya, dia akan marah padaku jika tahu aku pergi ke rumah Winda tanpa izin darinya," ucapnya jujur.Hans geleng-geleng kepala. "Bisa-bisanya dia begitu. Lalu, hidupmu hanya didedikasikan hanya untuk menemaninya saja? Itu buk
Lima hari sudah, William berada di Surabaya. Thania merasa aman dan bebas tidak ada suaminya itu. Meskipun setiap dua jam sekali selalu menghubunginya, baginya tidak masalah. Sebab tugasnya hanya menerima panggilan itu.Hanya dua menit saja, mereka berbincang lewat telepon. Hanya untuk memastikan jika Thania tidak bertemu dengan siapa pun karena tidak ada dirinya di sana."Huh! Bener-bener emang suami lo, Than. Posesifnya minta ampun. Kalau begitu, kenapa nggak mau lepasin Mhika aja terus jalin rumah tangga sama elo dengan damai. Kalau kayak gini kan, kelihatan banget kalau dia tuh sebenarnya suka, sama elo."Thania yang kini tengah berada di restoran milik Winda hanya mengulas senyum mendengar ucapan sahabatnya itu."Cinta nggak bisa dipaksa, Wind. Dia kayak gitu karena takut orang tuanya tahu. Karena kalau gue ketahuan jalan sama pria, dia takut gue kasih tahu semuanya ke mereka."Winda menaikan kedua alisnya. "Dih! Gak jelas banget itu orang. Takut elo ngadu, tapi masih aja nyakiti
Sepuluh hari berlalu.William sudah tidak sabar ingin segera kembali ke Jakarta setelah sepuluh hari lamanya di Surabaya menahan sabar tidak bertemu dengan Thania dengan segala kegelisahannya yang membuat dirinya tidak bisa tidur karena ulahnya sendiri."Hari ini William pulang. Kenapa aku tidak senang, dia pulang? Tidak bisakah diundur kepulangannya?" gumamnya sembari menatap kosong ke layar komputer yang ia nyalakan.Di kantor, Thania baru saja sampai di sana sebab waktu sudah menunjuk angka delapan pagi. Entah jam berapa William pulang, ia bahkan tak menanyakan hal itu pada sang suami.Masa bodoh. Meski pulang di malam atau sore hari ia benar-benar tak peduli. Bahkan yang ia inginkan adalah lelaki itu tidak pernah pulang ke rumah.Thania menghela napasnya dengan panjang. Ia lalu menoleh ke arah ponselnya yang mana terdapat panggilan masuk dari William. Dengan malas, Thania menerima panggilan tersebut."Halo?" ucapnya pelan."Kamu sudah di kantor?" tanyanya di seberang sana."Iya. A
Bukan William namanya jika tidak brutal dalam menggerayangi tubuh Thania. Hingga dua jam lamanya, lelaki itu masih menyentuh Thania dengan segala gaya yang dia lakukan kepada perempuan itu.Thania yang sudah merintih, menitikan air matanya bahkan menjambak rambut William tentu tidak akan bisa membuat lelaki itu luluh apalagi berhenti bila belum ingin menyudahi semuanya."Mas! Argh ...." Thania memekik hebat kala tubuh William mendesak lebih dalam dan bergerak tanpa ampun. Tubuhnya yang sudah dibalik ke segala arah membuatnya terasa terkoyak-koyak habis."Sebentar lagi selesai. Bersabarlah. You know i can this, right? Jangan menolak!" ucapnya penuh penekanan.Tubuhnya kembali mendorong penuh di bawah sana hingga membuat Thania memekik hebat. Tangan yang sudah lemas itu tak dapat lagi memegang apa yang ada bisa ia genggam. Tubuhnya terkulai lemas karena ulah suaminya itu.Hingga akhirnya William mencapai puncaknya. Entah mani yang ke berapa yang dia semburkan di bawah sana. Sudah tidak
Suara pintu yang terbuka membuat William menoleh. Sang mama sudah berada di sana kemudian menghampiri Thania dengan wajah paniknya."Apa yang terjadi pada Thania, Willi? Apa yang kamu lakukan padanya, huh?" tanya Rani tampak marah kepada anak bungsunya itu."Mami, calm down! Aku tidak melakukan apa pun padanya. Mungkin imunnya sedang tidak sehat makanya dia sakit, Ma. Tubuhnya demam semenjak aku pulang dari Surabaya. Saat aku masuk kamar, dia sudah pingsan."William menjelaskan dan tentunya tidak akan pernah ia beri tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ulah apa yang telah dia lakukan kepada Thania sehingga membuat perempuan itu kini harus terbaring di atas bangsal.Rani menghela napasnya. "Mulai sekarang, Thania tidak boleh jadi sekretaris kamu lagi! Dia harus bedrest di rumah, tidak ada lagi yang namanya bekerja di kantor kamu!" titah Rani kepada sang anak.William mengangguk. "Iya, Mi. Aku juga mau kasih tahu ini kepada Thania. Tidak boleh kerja lagi di kantorku. Dia pasti kelelahan ka