Lima hari sudah, William berada di Surabaya. Thania merasa aman dan bebas tidak ada suaminya itu. Meskipun setiap dua jam sekali selalu menghubunginya, baginya tidak masalah. Sebab tugasnya hanya menerima panggilan itu.Hanya dua menit saja, mereka berbincang lewat telepon. Hanya untuk memastikan jika Thania tidak bertemu dengan siapa pun karena tidak ada dirinya di sana."Huh! Bener-bener emang suami lo, Than. Posesifnya minta ampun. Kalau begitu, kenapa nggak mau lepasin Mhika aja terus jalin rumah tangga sama elo dengan damai. Kalau kayak gini kan, kelihatan banget kalau dia tuh sebenarnya suka, sama elo."Thania yang kini tengah berada di restoran milik Winda hanya mengulas senyum mendengar ucapan sahabatnya itu."Cinta nggak bisa dipaksa, Wind. Dia kayak gitu karena takut orang tuanya tahu. Karena kalau gue ketahuan jalan sama pria, dia takut gue kasih tahu semuanya ke mereka."Winda menaikan kedua alisnya. "Dih! Gak jelas banget itu orang. Takut elo ngadu, tapi masih aja nyakiti
Sepuluh hari berlalu.William sudah tidak sabar ingin segera kembali ke Jakarta setelah sepuluh hari lamanya di Surabaya menahan sabar tidak bertemu dengan Thania dengan segala kegelisahannya yang membuat dirinya tidak bisa tidur karena ulahnya sendiri."Hari ini William pulang. Kenapa aku tidak senang, dia pulang? Tidak bisakah diundur kepulangannya?" gumamnya sembari menatap kosong ke layar komputer yang ia nyalakan.Di kantor, Thania baru saja sampai di sana sebab waktu sudah menunjuk angka delapan pagi. Entah jam berapa William pulang, ia bahkan tak menanyakan hal itu pada sang suami.Masa bodoh. Meski pulang di malam atau sore hari ia benar-benar tak peduli. Bahkan yang ia inginkan adalah lelaki itu tidak pernah pulang ke rumah.Thania menghela napasnya dengan panjang. Ia lalu menoleh ke arah ponselnya yang mana terdapat panggilan masuk dari William. Dengan malas, Thania menerima panggilan tersebut."Halo?" ucapnya pelan."Kamu sudah di kantor?" tanyanya di seberang sana."Iya. A
Bukan William namanya jika tidak brutal dalam menggerayangi tubuh Thania. Hingga dua jam lamanya, lelaki itu masih menyentuh Thania dengan segala gaya yang dia lakukan kepada perempuan itu.Thania yang sudah merintih, menitikan air matanya bahkan menjambak rambut William tentu tidak akan bisa membuat lelaki itu luluh apalagi berhenti bila belum ingin menyudahi semuanya."Mas! Argh ...." Thania memekik hebat kala tubuh William mendesak lebih dalam dan bergerak tanpa ampun. Tubuhnya yang sudah dibalik ke segala arah membuatnya terasa terkoyak-koyak habis."Sebentar lagi selesai. Bersabarlah. You know i can this, right? Jangan menolak!" ucapnya penuh penekanan.Tubuhnya kembali mendorong penuh di bawah sana hingga membuat Thania memekik hebat. Tangan yang sudah lemas itu tak dapat lagi memegang apa yang ada bisa ia genggam. Tubuhnya terkulai lemas karena ulah suaminya itu.Hingga akhirnya William mencapai puncaknya. Entah mani yang ke berapa yang dia semburkan di bawah sana. Sudah tidak
Suara pintu yang terbuka membuat William menoleh. Sang mama sudah berada di sana kemudian menghampiri Thania dengan wajah paniknya."Apa yang terjadi pada Thania, Willi? Apa yang kamu lakukan padanya, huh?" tanya Rani tampak marah kepada anak bungsunya itu."Mami, calm down! Aku tidak melakukan apa pun padanya. Mungkin imunnya sedang tidak sehat makanya dia sakit, Ma. Tubuhnya demam semenjak aku pulang dari Surabaya. Saat aku masuk kamar, dia sudah pingsan."William menjelaskan dan tentunya tidak akan pernah ia beri tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ulah apa yang telah dia lakukan kepada Thania sehingga membuat perempuan itu kini harus terbaring di atas bangsal.Rani menghela napasnya. "Mulai sekarang, Thania tidak boleh jadi sekretaris kamu lagi! Dia harus bedrest di rumah, tidak ada lagi yang namanya bekerja di kantor kamu!" titah Rani kepada sang anak.William mengangguk. "Iya, Mi. Aku juga mau kasih tahu ini kepada Thania. Tidak boleh kerja lagi di kantorku. Dia pasti kelelahan ka
Hans masih memikirkan bagaimana cara dia menjenguk Thania di rumah sakit. Hatinya sedari tadi tidak tenang bila belum melihat langsung kondisi sahabatnya itu."Gue punya ide!" Winda mengagetkan Hans yang tengah menangkup dagunya dengan kedua tangannya."Apa?" tanya Hans menatap Winda."Kenapa nggak pura-pura jadi perawat aja di sana, Hans? Atau jadi tukang bersih-bersih di sana. Kalau aja William belum tahu muka elo, gampang sebenarnya kalau mau jengukin dia. Bilang aja, lo pacar gue."Hans menghela napas kasar. "Kalau ketahuan, kasihan Thania. Nanti makin sakit kondisinya karena dimarahi William. Dia pasti akan menyalahkan Thania karena mengundangku ke sana untuk menjenguknya.""Iya juga sih. Ya udah, kalau gitu elo harus nyamar jadi apa aja kalau masih pengen ketemu Thania. Nunggu dia sembuh belum tahu karena udah dua hari ini dia nggak ada kabar."Winda kemudian menatap Hans dengan lekat. "Hans! Apa jangan-jangan Thania koma?""Huss! Jangan bicara seperti itu, Winda. Memangnya Than
Thania masih enggan melihat wajah William yang masih bertahan duduk di sampingnya. Meski hanya hening yamg menemani mereka di sana, juga William yang sepertinya sudah luluh dan tidak mau menyakiti Thania lagi."Thania. Aku ingin meminta maaf pada kamu," ucap William yang sudah berulang kali ia katakan hal itu kepada Thania.Perempuan itu hanya menelan salivanya. Ia masih merangkai kata-kata agar bisa ia ucapkan kepada William.Sementara di luar sana, Hans mengintip di balik kaca jendela yang mana Thania dan William hanya saling diam tak berbicara apa pun kecuali William yang sedari tadi memandang sendu penuh rasa bersalah pada Thania.'Muka dua. Di saat-saat seperti ini, dia terlihat seolah apa yang telah dia lakukan kepada Thania hanya biasa. Bukan kesalahan yang fatal,' ucap Hans dalam hatinya.Amar menepuk bahu Hans dan menatapnya. "Besok pagi, jam delapan. Kita masuk ke dalam."Hans mengangguk pelan. "Thanks, Amar. Seenggaknya gue bisa ngobrol dan hibur Thania di saat-saat seperti
Thania masih bergeming. Ia ingin melihat berapa lama William bertahan dengan keyakinannya untuk meminta maaf dan rasa bersalahnya itu kepadanya.William kembali menggenggam tangan Thania agar perempuan itu dapat merasakan perasaan yang sebenarnya ia rasakan. Sangat takut kehilangan Thania yang baru ia tahu.Bahwa Thania tidak selemah yang dia bayangkan. Thania bisa melawan jika memang sudah tidak sanggup menjalani itu semua."Thania ... you hear me?" tanyanya dengan pelan.Thania masih bergeming, lalu melirik pelan ke arah suaminya yang masih berusaha itu."Aku belum percaya sepenuhnya. Tapi, seperti yang kamu bilang. Selalu ada kesempatan untuk berubah jika memang ingin berubah. Silakan berubah, untuk diri kamu sendiri."Bukan untuk aku. Jika kamu merubah diri kamu, maka akan bernilai baik untuk semua orang terdekatmu, bukan hanya bernilai baik pada diri kamu sendiri."William menganggukkan kepalanya. "Aku ingin memperbaiki semuanya. Jangan tinggalkan aku, please." William menatap se
Hans mengendikan bahunya. "Dari dr. Amar yang selama tiga hari ini merawat dan memeriksa kamu, Thania. Dia takut pada orang tuanya dan kelemahan dia adalah mereka."Thania menghela napasnya dengan panjang lalu manggut-manggut dengan pelan. "Iya. Dia memang takut pada kedua orang tuanya. Dan sekarang dia takut aku mengatakan hal ini semuanya pada mereka."Dia memohon agar jangan memberi tahukan hal ini kepada kedua orang tuanya dan berjanji akan berubah, tidak akan bersikap kasar lagi padaku. Entah benar atau tidak, lihat saja nanti."Hans menganggukkan kepalanya sembari mengusapi punggung tangan perempuan itu. "Dan kamu akan menunggu juga melihat perubahan itu?" tanyanya kemudian.Thania mengendikan bahunya sembari menatap wajah Hans dengan wajah sayunya. "Hanya beberapa hari saja, Hans. Tidak akan selamanya. Aku takut. Aku takut dia melakukan hal yang pernah dia lakukan lagi padaku."Hans menghela napasnya dengan panjang. "Kenapa kamu tidak mengadukan hal ini kepada orang tuanya? Sia