Thania menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Hans ....""Thania. Aku sayang sama kamu. Aku nggak tega lihat kamu menderita kayak gini. Lebih cepat lebih baik. Kamu nggak perlu khawatirkan kondisi aku. Yang penting kamu bebas. Hanya sepuluh miliar kan, yang dia minta? Aku akan memberikannya!"Hans kemudian menutup panggilan tersebut lalu masuk ke dalam ruangan Reynold. "Om?"Reynold memutar kursinya menghadap Hans yang memanggilnya. "Ada apa, Hans?" tanyanya kemudian."Aku harus pulang ke Bandung."Reynold menghela napas kasar. "Hans. Orang tuamu masih trauma. Jangan buat mereka semakin membenci kamu karena hal ini. Untuk apa lagi, kalau bukan untuk Thania. Kamu harus ingat itu, Hans."Hans menelan saliva dengan pelan. "Om. Aku nggak tega melihat Thania diancam, ditekan bahkan dimanfaatkan oleh William. Aku yakin, kekayaan aku dan dia sama banyaknya. Dia memiliki banyak perusahaan di berbagai kota, aku pun punya."Memangnya itu semua punya dia? Punya orang tuanya, kan? Dan dia semena-
Keesokan harinya. Thania tengah bersiap untuk pergi ke kantor karena sudah mulai beraktivitas seperti biasa lagi."Hari ini aku ada jadwal meeting di Jakarta Timur. Kamu tidak perlu menyiapkan materinya karena sudah aku siapkan kemarin. Kalau mau makan siang, langsung pesan saja karena mungkin aku akan lama di sana," ucap William memberi tahu yang kini yang tengah mengenakan dasi.Thania mengangguk. "Iya, Mas. Hari ini aku ada meeting dengan para manager di kantor untuk membahas project baru yang akan segera meluncur."William mengangguk. "Ya. Awasi semua manager, jangan sampai ada yang lengah apalagi lalai. Project ini sangat penting dan harus segera rilis sebelum saingan kita merilisnya lebih dulu.""Baik, Mas. Dimengerti. Kamu tenang saja. Aku akan mengingatkan seluruh manager dan juga staff divisi untuk fokus dalam pengerjaan project ini."William tersenyum tipis lalu mengusap pucuk kepala istrinya itu. "Kamu memang sangat bisa aku andalkan. Tetap profesional seperti ini meski kam
Wlliam mengerutkan keningnya melihat raut wajah Thania yang lebih bersemangat kala mendengar nama Mhika."Kenapa sepertinya kamu sangat antusias saat mendengar namanya?" tanyanya bingung.Thania menelan saliva dengan pelan. "Hanya ingin tahu saja. Kamu yang mulai, bertanya apakah aku masih ingat jika kamu masih memiliki kekasih. Tentu aku akan mengingatnya." Thania menjawabnya dengan ketus dan datar.William menggaruk alisnya. "Tapi, bukan karena dia sudah kembali. Mana mungkin aku kusut seperti ini jika dia sudah kembali. Tentu saja aku sangat bahagia."Thania memutar bola matanya. 'Memang biadab kamu itu, Willia!' ucapnya dalam hati."Ck! Lalu, kenapa kamu bahas dia kalau dia belum kembali?" tanyanya ingin tahu.William menghela napas kasar. "Aku masih belum menemukan di mana dia berada."Thania menaikan kedua alisnya. "Mas. Kamu ini kan, kaya raya. Banyak uang. Seharusnya bisa, mencarinya menggunakan anak buah yang kamu sewa. Kenapa malah diam saja, seolah sudah tidak mengharapkan
Tubuh Thania sangat remuk seperti baru saja dihantam batu satu truk. Terlalu semangat dan brutal perlakuan William kepadanya hingga membuatnya tak mampu menopang permainan gila suaminya itu.Ia terduduk lemas di kursi di mana kini ia sudah tiba di kantor dan telat setengah jam karena ulah William yang memintanya bermain hingga satu jam lamanya.Thania menangkup keningnya dengan kedua tangannya kemudian menghela napasnya dengan panjang."Permisi, Mbak Thania. Ada surat untuk Anda."Thania segera mengambilnya kemudian mengulas senyumnya dengan lebar. Lelah yang ia rasakan kini menjadi riang kembali setelah mendapat surat, berharap surat tersebut merupakan surat dari Hans.Ia langsung membukanya dan kembali menerbitkan senyumnya. 'Sudah pasti dari Hans. Dia tidak akan pernah mengingkari janjinya untuk selalu mengabariku,' ucapnya dalam hati sembari membacakan surat tersebut.'Hai! Besok si William ke Surabaya, yaa? Aku ada jadwal meeting ke hotel dekat kantor kamu. Bagaimana jika kita ke
Waktu sudah menunjuk angka delapan malam. Thania dan William baru saja selesai makan malam bersama. Perempuan itu langsung masuk ke dalam kamar sementara William pergi ke balkon untuk merokok dan juga menghubungi seseorang untuk menanyakan keberadaan Mhika yang masih belum ia ketahui itu.Sementara Thania mengambil ponselnya dan mengabari Hans yang belum ia kabari selama beberapa hari ini.Thania: [What are you doing, Bestie?]Pesan terkirim.Tak lama kemudian, Hans membalas pesan tersebut.Hans: [Lagi duduk di balkon apartemen sambil ngopi dan makan cake. Kamu masih sering bikin cake, Than?]Thania yang melihat pesan dari Hans lantas terkekeh. "Masih inget aja, kalau aku sering bikin kue buat dia," gumamnya kemudian membalas pesan tersebut.Thania: [Masih. Besok, kalau William sudah berangkat ke Surabaya, nanti aku buatkan. Mau rainbow cake, brownies atau wafle?]Hans: [Apa saja. Yang penting buatan kamu. Udah lama nggak makan kue buatan kamu.]Thania menerbitkan senyumnya kemudian m
Waktu sudah menunjuk angka dua siang. Tubuh Thania sudah mulai membaik setelah beberapa jam istirahat. Bersamaan dengan dirinya membuka mata, William menghubunginya.Perempuan itu lantas mengambil ponsel tersebut dan menerima panggilan itu. "Sudah sampai, Mas?" tanyanya dengan pelan."Ya. Sudah dari tadi. Kamu baru bangun tidur?" tanyanya di seberang sana."Iya. Aku baru bangun. Mau mandi dulu, habis ini bikin kue untuk makan siangku.""Kenapa kamu yang buat? Kenapa tidak kamu suruh saja, ART di rumah? Istirahat saja, supaya badan kamu kembali fit."Thania memutar bola matanya. Mendapat perhatian dari William bukanlah hal yang menyenangkan baginya. Melainkan ada hal yang dia inginkan dari perempuan itu."Kebetulan aku sedang ingin membuatnya sendiri, Mas. Tanganku masih bisa menguleni tepung. Bibi sedang sibuk dengan pekerjaannya."William menghela napasnya. "Ya sudah kalau begitu. Setiap dua jam aku akan menghubungimu selama di sini."Thania kembali memutar bola matanya. "Iya. Aku ma
"Bagaimana ini? William menghubungiku lewat panggilan video," ucapnya masih dalam keadaan panik.Winda menganga kemudian menoleh ke kanan dan kiri ruangan itu. "Masuk ke dalam kamar mandi saja, Than."Thania menoleh. "Udah mati. Lagian gue nggak pernah bawa HP ke kamar mandi. Dia bisa curiga kalau gue bawa HP ke kamar mandi.""Oooh. Gue pikir elo sering bawa HP ke kamar mandi. Ya udah, jangan kalau begitu. Balas aja, lagi mandi tadi."Thania menghela napasnya dengan panjang kemudian menoleh pada Hans yang diam dan hanya menatapnya sembari tersenyum tipis."Apa yang akan terjadi, jika kamu ketahuan sedang main di rumah teman kamu sendiri? Dia marah, padahal kamu sedang main di rumah Winda?" tanyanya ingin tahu.Thania menelan saliva dengan pelan kemudian mengangguk. "Iya, dia akan marah padaku jika tahu aku pergi ke rumah Winda tanpa izin darinya," ucapnya jujur.Hans geleng-geleng kepala. "Bisa-bisanya dia begitu. Lalu, hidupmu hanya didedikasikan hanya untuk menemaninya saja? Itu buk
Lima hari sudah, William berada di Surabaya. Thania merasa aman dan bebas tidak ada suaminya itu. Meskipun setiap dua jam sekali selalu menghubunginya, baginya tidak masalah. Sebab tugasnya hanya menerima panggilan itu.Hanya dua menit saja, mereka berbincang lewat telepon. Hanya untuk memastikan jika Thania tidak bertemu dengan siapa pun karena tidak ada dirinya di sana."Huh! Bener-bener emang suami lo, Than. Posesifnya minta ampun. Kalau begitu, kenapa nggak mau lepasin Mhika aja terus jalin rumah tangga sama elo dengan damai. Kalau kayak gini kan, kelihatan banget kalau dia tuh sebenarnya suka, sama elo."Thania yang kini tengah berada di restoran milik Winda hanya mengulas senyum mendengar ucapan sahabatnya itu."Cinta nggak bisa dipaksa, Wind. Dia kayak gitu karena takut orang tuanya tahu. Karena kalau gue ketahuan jalan sama pria, dia takut gue kasih tahu semuanya ke mereka."Winda menaikan kedua alisnya. "Dih! Gak jelas banget itu orang. Takut elo ngadu, tapi masih aja nyakiti