Mata penuh dengan bulir air mata dari Thania memicing tajam menatap lelaki yang sialnya telah menjadi suami gila yang ia miliki. Impian dan ekspetasi yang ia bayangkan rupanya jauh berbanding terbalik dengan kenyataan yang harus ia jalani kini.
“Mas. Setidaknya aku tahu, alasan kenapa dia pergi meninggalkan kamu. Sampai membuat kamu tidak bisa melupakan dia,” ucap Thania berharap William mau memberikan alasan mengapa perempuan itu pergi darinya.Matanya melirik Thania kemudian menarik napasnya dalam-dalam. “Dia mengalami kecelakaan, kemudian amnesia dan dibawa oleh kedua orang tuanya ke luar negeri untuk menyembuhkan kondisinya. Itu saja yang perlu kamu ketahui. Jangan pernah bertanya mengenai hal itu lagi! Aku ingin membatasi privasiku darimu!”William menyelesaikan acara mandinya dan pergi begitu saja meninggalkan Thania. Perempuan itu tersenyum getir kemudian menghela napasnya dengan panjang.“Baiklah. Jika itu yang kamu inginkan. Kamu pikir, aku akan mengalah begitu saja. Tentu tidak! Mungkin kamu, yang akan menyesal karena telah meninggalkanku setelah aku memberimu seorang anak.”Thania tak ingin kalah. Perempuan itu juga akan melakukan apa yang telah William lakukan padanya.Waktu telah menunjuk angka sepuluh pagi. William dan Thania pergi ke rumah kedua orang tuanya di mana keluarga besar lelaki itu datang ingin melihat pengantin wanita.“Halo, Oma. Apa kabar?” sapa William kemudian memeluk sang nenek. “Terima kasih sudah menyempatkan waktunya untuk datang ke Indonesia.”“No problem, Darling. Oma ingin melihat cucu menantu Oma. Selamat atas pernikahanmu, Sayang.” Sang nenek mengusapi sisian wajah cucunya itu.“Sayang. Sapalah Oma. Dia sudah datang jauh-jauh dari Belgia karena ingin melihatmu,” ucap William dengan suara lembutnya.Thania tersenyum kecut. Ingin rasanya ia menjambak rambut William. Ia kemudian menerbitkan senyum lembut dan memeluk sang nenek.“Apa kabar, Oma. Aku Thania, istrinya Mas Willy,” ucapnya dengan lembut.“Oh, Thania. Cantik sekali cucu menantu Oma. Semoga bahagia selalu menyertai kalian.”Thania tersenyum lirih. ‘Aku harap juga begitu, Oma. Namun, William sudah mematahkan semua pengharapan yang telah aku susun dengan baik,’ ucapnya dalam hati.Ia kemudian menghela napasnya dengan panjang dan menganggukkan kepalanya. “Aamiin. Doakan selalu, Oma.”Acara makan-makan dan mini party di rumah megah kedua orang William berjalan dengan lancar. Keduanya tampak serasi seolah tidak ada yang mereka sembunyikan.“Kerja yang baik, Thania. Pertahankan acting yang baik ini,” ucap William kemudian tersenyum miring.Thania menatap datar wajah suaminya itu. “Kamu pikir aku senang, membantumu seperti ini? Jika bukan karena kamu mengancam dengan membawa-bawa orang tuaku, mana mau aku melakukan hal gila seperti ini,” ucapnya dengan mata menatap nyalang wajah sang suami.William tersenyum menyeringai. “Aku tak peduli. Yang penting kamu telah melakukan hal yang aku perintahkan tadi!” ucapnya lalu melingkarkan tangannya lagi di pinggang Thania kala melihat saudaranya menghampiri mereka.“Hi, Thania. Ini, ada hadiah untukmu. Semoga kamu suka,” ucap Daisy—keponakan William memberikan hadiah kepada Thania.“Terima kasih, Daisy. Sudah repot-repot membawakan hadiah untuk kami.”“Tak apa. Aku senang, mendengar kabar Kak Willy menikah. Dan ternyata istrinya begitu cantik juga baik hati,” ucapnya kemudian pamit kembali. Ia datang ke sana hanya untuk memberikan hadiah saja kepada Thania.Perempuan itu menghela napasnya. “Semua anggota keluargamu sangat baik. Hanya kamu, yang memiliki hati bejad!” sarkasnya kemudian menatap datar William.Lelaki itu tersenyum tipis. “Terserah kamu saja! Aku sama sekali lagi tak peduli dengan ucapanmu. Mau kamu mencaciku seperti apa, aku tidak peduli. Asalkan jadi istri yang baik dan acting yang baik di depan keluargaku.”Thania geleng-geleng seraya menatap nanar wajah suaminya itu.“Tidak perlu naif begitu, Thania. Kamu mencintaiku, kan? Jangan menyesali apa yang telah kamu putuskan. Mencintaiku, kemudian kumanfaatkan perasaanmu untuk kujadikan sebagai istri agar aku bisa bebas menunggu kedatangannya.”Thania tersenyum getir. Ingin rasanya ia menyeret William lalu membawanya ke dasar jurang. Jiwa psikopatnya kian membara karena ucapan menyakitkan dari William. Hingga saat ini, ia masih belum tahu siapa nama kekasih dari suaminya itu. Di mana ia berada.Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Keluarga besar William sudah kembali ke hotel dan kini hanya ada William, Thania dan juga kedua orang tua William.Namun, tak lama kemudian ada Edward datang menghampiri mereka. “Sorry, Aunty. Aku ketiduran dan akhirnya harus menunggu tiket pesawat keberangkatan ke Indonesia.”Rani geleng-geleng kepala. “Selalu saja seperti itu. Beri selamat kepada kakakmu.”Edward menoleh ke arah William dan juga Thania. “Cantik sekali istrimu, Kak. Halo, Thania. Benar kan, namamu Thania?”Perempuan itu menganggukkan kepalanya. “Ya. Halo, Edward. Apa kabar?”“Baik,” ucapnya lalu menerbitkan senyumnya. “Oh, aku lupa. Aku membawakan sesuatu untuk kalian. Tunggu sebentar, aku lupa membawanya di dalam mobil.” Ia kemudian bergegas keluar dari rumah itu untuk mengambilkan hadiah di dalam mobil.“Ini, untuk kalian. Semoga suka. Hadiah dari London, jangan ditolak.” Edward kemudian menerbitkan senyumnya.“Terima kasih, Edward. Tentu saja kami menerimanya.” Thania berucap sembari menaruh hadiah itu di sampingnya.Rani menghela napasnya dengan pelan. “Mami sangat bahagia dan lega, melihat William akhirnya menikah. Karena Mami sangat khawatir, kalau dia benar-benar mencintai pria.”“Oh, Mami. Jangan bicara seperti itu lagi. Aku tidak menyimpang.” William mengeluh lesu.Rani terkekeh pelan. “Jika melihat kamu sudah menikah, Mami tidak akan mengira itu lagi. Kalau boleh tahu, sejak kapan kalian menjalin hubungan?”William menelan saliva dengan pelan. “Kenapa Mami bertanya hal itu?” tanyanya pelan.“Mami hanya ingin tahu, William. Karena Mami masih trauma dengan berita itu.”William menghela napas pelan. Sementara Thania hanya diam, tidak mau menjawab apa pun. Sebab tidak tahu jawaban apa yang akan dilontarkan oleh William kepadanya.“Mami jangan terlalu memikirkan gossip miring itu. Karena semuanya tidak benar. Aku dan Thania cukup lama menjalin hubungan dan maafkan aku karena menyembunyikan status hubungan kami dari kalian semua,” ucap William mencari jawaban yang cukup logis agar maminya percaya padanya.Rani kemudian menoleh kepada Thania. “Betul begitu, Sayang?” tanyanya memastikan jika penjelasan William benar adanya.“Iya, Mami. Apa yang dikatakan oleh Mas Willy memang benar. Kami sudah cukup lama menjalin hubungan. Hanya saja, karena statusku seorang sekretaris dari Mas Willy, kami memutuskan untuk menutupi hubungan ini.”Thania menjawabnya dengan sangat elegan dan disukai oleh William. Sebab lelaki itu menerbitkan senyum kepada Thania sembari mengusapi tangannya.Thania tersenyum kecut. Malas rasanya menatap William yang bermuka dua itu. Selalu itu yang dia inginkan darinya. Berakting, berbohong di depan kedua orang tuanya. Padahal Thania sudah gatal ingin memberi tahu semuanya kepada mertuanya itu apa yang sebenarnya terjadi.Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam.Thania dan William kembali ke rumah setelah mini party di rumah Rani dan Abraham selesai. Kini, perempuan itu tengah menyiapkan dokumen untuk besok pagi. Dua hari setelah menikah dengan William, kini statusnya sudah kembali menjadi sekretaris pribadi laki-laki itu.“Sudah tiga tahun lamanya dan kalian masih saja belum mendapatkan informasi di mana Mhika berada!” pekik William tampk marah yang kini tengah menghubungi seseorang yang dia perintahkan mencari keberadaan sang kekasih.Thania menoleh pelan ke arah William yang tengah berkacak pinggang sembari menahan emosinya. “Jadi, perempuan itu bernama Mhika. Dan dia masih belum mendapatkan alamat di mana Mhika berada.”Thania tersenyum miris. “Dan jika dia berhasil menemukan perempuan itu, aku akan dibuang dan diceraikan olehnya. Sangat licik sekali hatimu, Mas.” Thania bergumam kemudian menghela napasnya dengan panjang.“Pokoknya aku tidak mau tahu! Dalam tiga bulan ini kalian harus berhasil menemukannya! Jika tidak, jangan harap kalian masih bisa menikmati fasilitas yang telah kuberikan pada kalian!” ucapnya lalu menutup panggilan tersebut.Thania segera keluar dari ruangan itu. Ia tidak ingin mendengar apa pun sebab hanya akan membuatnya semakin sakit jika mendengar keluhan William yang masih belum bisa menemukan keberadaan Mhika ada di mana.“Mau pergi ke mana kamu?” cegah William sembari menarik tangan perempuan itu.Thania menoleh ke belakang dan mencoba menarik tangannya dari genggaman tangan William. “Tidur. Sudah malam. Besok pagi ada meeting jam sepuluh.”William tersenyum miring. “Aku tahu itu. Dan kamu pun tahu jika aku sering tidur di atas jam dua belas.”Thania menatap datar wajah William. “Lalu, aku harus menemani kamu sampai jam dua belas itu? Tidak bisa! Aku tidak terbiasa tidur di atas jam dua belas. Aku mau tidur di kamarku.”“Ini juga kamarmu!” pekik William emosi. Ia lantas menarik paksa tangan Thania hingga perempuan itu terjatuh di atas tempat tidur.“Kamu sudah menjadi istriku. Layani aku setiap aku menginginkanmu!” ucapnya sembari membuka baju tidur yang dikenakan oleh Thania.“Kemarin malam sudah, tadi pagi sudah. Kamu mau memintanya lagi, huh?” ucap Thania kesal.“Terserah aku! Siapa kamu, melarangku menyentuhmu?”Thania mengendap-ngendap keluar dari rumah megah itu sebab hendak pergi menemui Hans yang ingin bicara banyak dengannya.Ia kemudian menghela napasnya dengan lega karena ternyata William tidak ada di rumah. "Mobilnya sudah tidak ada di garasi. Aku yakin, dia sedang mencari keberadaan Mhika lagi agar segera bisa kembali padanya," ucapnya lalu masuk ke dalam mobilnya dan pergi dari rumah itu.Menyusul Hans yang menunggunya di sebuah gedung di mana Hans tinggal kini. Di sebuah apartemen yang tidak diketahui oleh siapa pun selain Thania yang ia pun baru tahu tempat tinggal sahabat dekatnya itu."Halo, Hans. Aku sudah di depan pintu apartemen kamu." Thania menghubungi Hans."Oh, iyaa. Tunggu sebentar, yaa. Aku baru selesai mandi soalnya."Thania terkekeh pelan. "Ya sudah," ucapnya kemudian menutup panggilan tersebut.Tak lama kemudian, Hans keluar dan membukakan pintu untuk perempuan itu. Thania masuk ke dalam dan duduk di sofa ruang tengah."Maaf, yaa. Masih berantakan. Aku baru satu ming
"Maksudnya?" tanyanya kemudian.Hans menggeleng sembari mengulas senyumnya. "Kamu pasti akan berpisah dengannya apa pun yang terjadi, kan? Karena bagaimanapun juga pernikahan itu hanya pernikahan di atas kertas. Betul?"Thania mengangguk dengan pelan. "Iya, kamu benar. Aku kadang suka lupa, Hans."Pria itu terkekeh pelan. "Thania. Jika kamu ingin pernikahan kamu bukan lagi pernikahan kontrak, sebaiknya kamu banyak berdoa semoga William mengubah hatinya hanya untuk kamu dan melupakan kekasihnya itu."Tapi, kalau kamu tidak yakin William akan mencintaimu dengan tulus dan sungguh-sungguh, berdoa saja semoga apa pun keputusannya kelak, itu sudah menjadi yang terbaik untuk kalian. Jangan sampai menyesal setelah semuanya terjadi, yaa."Sebagai sahabat yang baik, Hans ingin menasihati Thania agar perempuan itu tidak salah memilih apa yang harus dia pilih kelak. Berharap sahabatnya itu mendapat bahagia di atas pernikahan yang cukup toxic ini."Ya. Aku akan mengikuti kata hatiku, Hans. Terima
Thania menelan salivanya dengan pelan seraya mencari alasan mengapa ia dan William keluar dari kamar yang berbeda. Dengan senyum yang terbit di bibirnya, ia menghampiri sang mertua dan menyalim tangannya."Di kamar kami yang ini, kalau disimpan lemari tas milikku sudah tidak muat, Mi. Makanya aku simpan di kamar sebelah saja. Aku habis mengambil tasku."Thania berhasil mencari alasan dan itu membuat William sedikit lega karena tidak perlu lagi mencari alasan mengapa mereka keluar dari kamar yang berbeda."Oh, begitu. Mami pikir kalian sedang bertengkar. Masa iya, pengantin baru langsung bertengkar."Thania meringis pelan. "Tidak ada, Mi. Kami baik-baik saja. Mami ada apa kemari? Ayo, sarapan sama-sama.""Tidak! Kalian saja yang sarapan. Mami hanya ingin memberikan ini kepada menantu Mama. Nanti dimakan, yaa."Thania mengambil paper bag di tangan Rani dan melihat isian di dalamnya. "Brownies?" tanyanya kepada Rani."Ya. Kesukaan kamu. Mami sendiri lho, yang buat. Dimakan, yaa. Jangan s
Hans tak bisa menjawab pertanyaan dari omnya itu. Ia hanya mengulas senyumnya kemudian menatap wajah Thania yang sengaja dia pajang di atas meja kerjanya."Gajimu selama dua tahun pun belum bisa membayar utang sebanyak itu. Aku juga tidak bisa membantumu mengeluarkan uang sebanyak itu karena perusahaan ini bukan sepenuhnya milikku. Semoga kamu paham, Hans.""Nggak apa-apa, Om. Aku paham. Lagi pula, aku tidak meminta hal ini kepada Om. Karena aku tahu, perusahaan ini bukan sepenuhnya milik Om." Hans menerbitkan senyumnya kepada Reynold."Bagaimana jika kamu minta kepada orang tuamu? Sudah tahu, jawabannya. Pasti tidak akan mau."Hans menghela napasnya dengan panjang kemudian menoleh pada ponselnya karena ada notifikasi pesan masuk dari Thania. Mengirim pizza yang sudah berhasil ia habiskan membuat Hans menyunggingkan senyum tipis."Awalnya, setelah aku wisuda, niatku ingin sekali melamar Thania. Tapi, ternyata semuanya terlambat. Ada rasa sedih saat tahu dia telah menikah. Tapi, ada ra
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. William dan Thania sudah berada di kediaman kedua orang tua William yang mengundang mereka untuk makan malam bersama."Halo, Thania. How are you?" Edward rupanya masih ada di Indonesia dan tengah duduk di meja makan."Halo, Edward. Kabarku baik. Bagaimana denganmu?" tanyanya balik."Very well," ucapnya lalu menerbitkan senyumnya. Matanya kemudian melirik pada William yang tampaknya tak suka istrinya berbicara dengannya."Will. Bagaimana dengan project di Manila? Bukankah bulan depan seharusnya sudah peresmian?" tanya Edward mengenai pekerjaan William."Ya. Tentu. Aku akan memintamu untuk datang ke sana jika aku tidak bisa datang.""Oh, come on! Jangan andalkan aku terus, Will. Kedua kakakmu saja yang kamu minta untuk datang ke sana."William menghela napas kasar kemudian mengibaskan tangannya. "Aku tidak butuh bantuan mereka. Hanya akan membuat kantorku hancur karena ulahnya."Rani menoleh pada James--sang suami yang hanya diam mendengar ucapan
Malam itu, Thania tidak bisa lepas dari kungkungan William yang sedang menginginkannya. Hanya satu hari tidak menyentuhnya, William menyetubuhi Thania dengan sangat kasar dan brutal."Rgghh!" raungnya kala mendorong lebih dalam di bawah sana. "So yummy. You look so amazing, Thania. Siapa pun pasti tidak akan menolaknya. Tapi, jangan harap aku akan membiarkanmu disentuh oleh siapa pun selain diriku!"Mata elang itu menatap penuh wajah Thania yang sedari tadi menjerit kesakitan karena ulahnya."Sudah, Mas. Lepaskan aku. Aku sudah tidak kuat lagi," ucapnya lirih, memohon agar William menghentikan aksinya. Sudah hampir satu jam lamanya William menggerayangi tubuhnya.Tidak ada ampun bagi William. "Kamu sudah membuatku marah, Thania. Pergi ke apartemen pria tanpa sepengetahuanku! Suami mana yang tidak marah jika melihat istrinya berperilaku sepertimu, huh?"William membalikan tubuh perempuan itu tanpa melepaskan gerakannya. Menjambak rambut panjang perempuan itu dan memompanya lagi lebih k
Dua hari kemudian.William dan Thania sudah berada di Kanada untuk melaksanakan bulan madu yang sempat ter-pending karena banyaknya pekerjaan juga William yang malas pergi.Namun, kali ini lelaki itu tampak bersemangat bahkan mengemas bajunya sendiri hingga membuat Thania bingung karena tingkah anehnya."Thania. Aku tahu kamu belum pernah ke sini. Maka dari itu, aku mengajakmu ke sini."Ingin rasanya ia menendang bokong suaminya itu karena selalu saja berucap tinggi dan merendahkannya."Mas. Kamu sadar kan, semenjak kita menikah, kamu selalu saja merendahkanku. Aku rasa, dulu kamu tidak pernah merendahkanku seperti ini." Thania tampak emosi.William yang mendengarnya lantas mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia kemudian menghampiri perempuan itu yang tengah merapikan pakaian miliknya di dalam koper ke dalam lemari."Kamu marah, hm? Aku hanya bertanya, bukan merendahkanmu."Thania mendengus kasar. Ia hanya melirik lelaki itu tanpa menjawab apa pun. William yang melihatnya tampak merasa bers
William kalah skak oleh Thania dan memang ia akui jika istrinya itu banyak yang menyukai. Edward yang merupakan sepupunya saja dia curigai.Ia kemudian menghela napas kasar seraya keluar dari kamar tersebut sebab tidak bisa menjawab pertanyaan dari Thania yang begitu sarkas dan membuatnya diam membisu.Lima menit setelahnya, Thania keluar dari dalam kamarnya dan menghampiri William yang tengah duduk di sofa ruang tengah.“Ayo! Aku sudah selesai,” ajak Thania membuat lelaki itu beranjak dari duduknya dan menatap Thania dari atas sampai ke bawah.“Kenapa perasaanku tidak enak, melihat kamu seperti ini?” gumamnya kemudian menarik napasnya dalam-dalam.“Ada apa lagi, Mas Willi?” tanya Thania seraya menatap lelaki itu dengan lekat.William menggeleng. “Tidak ada. Ayo! Mereka pasti sudah menunggu kita.” William kemudian melangkahkan kakinya keluar dari apartemen tersebut.Thania mengikuti langkah suaminya yang sudah keluar lebih dulu darinya.“Ingat, Thania. Kamu tidak boleh jauh-jauh darik