“Apa ini, Mas?” tanya Thania terheran-heran.
“Kesepakatan pernikahan,” ucapnya datar dan tegas.Bukan lagi pria yang tengah menggerayangi tubuh polos Thania yang mengeluarkan suara lembut, seakan ia sedang jatuh cinta.“Ma—maksud kamu?” Thania terbata-bata kemudian membuka map tersebut dengan pelan.Membaca isi dari kesepakatan yang tertera di lembar kertas itu. Matanya membola dengan bulir air mata yang hampir jatuh di sudut matanya.“Apa ini, Mas? Kamu … kamu jebak aku?” tanya Thania setelah membaca isi dari kesepakatan dan perjanjian tersebut.Wiliiam menatap datar wajah Thania. “Perlu aku jelaskan padamu, Thania. Ini bukan keinginanku. Tapi, keinginan orang tuaku yang berisik bertanya kapan aku menikah. Untuk itu, aku memilih kamu menjadi perempuan yang aku nikahi. Aku tahu dari beberapa orang kalau kamu mencintaiku.”Dengan jelas dan terang-terangan, William rupanya terpaksa menikah dengan Thania karena tuntutan kedua orang tuanya.“Mereka mengira aku menyimpang. Lebih baik menikah denganmu daripada dikatai menyimpang oleh mamaku. Tapi, jangan pernah sekali pun kamu memberi tahu hal ini kepada orang tuamu bila tidak ingin terjadi apa pun padamu!” jelasnya lagi seraya mengancam Thania agar jangan memberi tahu kepada kedua orang tuanya maupun kedua orang tua Thania tentang kesepakatan itu.Air mata itu sudah tidak bisa ditahan lagi. Sembari membuang muka, Thania memejamkan matanya karena perih atas luka yang dibuat oleh William kepadanya.“Ucapan manis kamu selama ini ternyata hanya bualan semata. Tidak sepenuhnya mencintaiku. Hanya menginginkanku untuk membuktikan kalau kamu bukan pria menyimpang. Jahat kamu, Mas! Sungguh tidak ada bedanya kebohongan dan kejujuran kamu.”Thania merasa dijebak. Ia tidak menyangka bila lelaki itu hanya memanfaatkan perasaannya kemudian dia jadikan sebagai istri lantaran orang tuanya yang terus menerus mendesak William agar segera menikah.“Apa mau kamu, Mas? Kenapa kamu menjebak aku? Setelah menodaiku dengan segala kekuasan yang kamu miliki, aku berusaha menahan sakit dan perihnya saat kesucianku kamu renggut. Dengan mudahnya kamu memberikan kesepakatan pernikahan ini tanpa dosa!” pekik Thania kemudian melempar dengan kasar dokumen itu tepat di wajah William.Matanya memerah tajam menatap William yang bisa-bisanya mempermainkan pernikahan itu. “Egois kamu, Mas. Kamu tidak memikirkan perasaan aku, huh?”William tersenyum miring. “Untuk apa? Aku tidak mencintaimu. Hanya ingin menjadikanmu istriku saja. Terlepas dari itu semu—“Plak!Thania menampar wajah William dengan bahu bergetar karena isak tangis yang semakin menjadi. Air matanya tak ingin berhenti keluar dari sudut matanya.“Apa yang kamu inginkan, Mas?” tanyanya tanpa menatap wajah lelaki itu. “Tega sekali kamu memperlakukan aku seperti ini,” ucapnya lesu.William mengembuskan napasnya dengan panjang seraya menatap Thania dengan tatapan datarnya.“Beri aku anak. Setelah itu, silakan pergi dari hidupku. Aku berjanji akan menjamin hidup kamu dan carilah pasangan yang bisa mencintai kamu dengan tulus.”“Anak?” Thania menoleh dengan cepat pada William setelah mendengar ucapan tegas dari lelaki itu.William menganggukkan kepalanya. “Ya. Aku hanya menginginkan anak darimu untuk membuktikan kalau aku normal dan bisa menghamili perempuan. Jangan mengharapkan cinta dariku. Karena itu tidak akan mungkin. Sampai kapan pun, sampai kamu melahirkan. Hanya ada satu nama yang akan aku simpan di sini. Di hatiku.”Tidak ada satu pun ucapan Wiliiam yang tidak menusuk jantung dan relung hati Thania. Semuanya amat sangat terasa begitu menyakitkan hati. Air mata tak dapat dibendung lagi.“Sampai kapan pun aku tidak akan menandatangi kesepakatan konyol itu!” pekik Thania menolak perintah William.Lelaki itu naik pitam. Ia kemudian menekan keras bahu Thania dengan sorot mata yang begitu tajam menatap perempuan itu hingga membuat Thania meringkuk ketakutan.“Tidak mau menandatangani surat itu, artinya kamu telah merelakan orang tuamu hidup melarat. Orang tuamu akan kehilangan usahanya setelah toko yang sudah aku modali, aku tarik kembali. Itu, maumu?”William mulai mengeluarkan jurus ancamannya. Thania sudah diberikan semua fasilitas mewah oleh William. Rumah, kendaraan, usaha orang tuanya di Bogor dan juga fasilitas lainnya.Perempuan itu tidak bisa berkutik bila sudah membahas orang tuanya. Hanya bisa menurut dan terpaksa menandatangani kesepakatan pernikahan tersebut. Yang mana bila dirinya sudah melahirkan, rela diceraikan oleh William karena ia hanya menginginkan seorang anak darinya.“Kalau memang kamu hanya menginginkan seorang anak, kenapa harus menikahiku? Cari saja perempuan yang ingin menyewakan rahimnya untukmu, Mas!” ucap Thania seraya menatap William penuh dengan kebencian.“Mama tidak ingin punya cucu hasil dari luar nikah. Untuk itu, lebih baik aku nikahi kamu setelah itu kita berpisah. Kamu jangan khawatirkan anak kita kelak. Dia akan baik-baik saja dan segera melupakan kamu.”Begitu menusuk jantung tatkala William hendak memisahkan dia dengan anaknya kelak. Sudah direncanakan dengan sangat matang oleh lelaki itu. Thania sudah dijebak, aktingnya sangat baik hingga membuat perempuan itu masuk ke dalam perangkap William.“Sejahat dan sebusuk itu hati kamu, Mas. Hanya menginginkan seorang anak dariku, kemudian meninggalkanku tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.” Thania geleng-geleng kepala. “Lebih baik kamu ceraikan aku sekarang juga, Mas!”William tersenyum menyeringai. “Oh, yaa? Kalau ingin aku ceraikan sekarang juga, bayar semua utangmu, biaya pelatihan, rumah dan tempat usaha orang tuamu, dan jabatan kamu akan jadi taruhannya. Di mana pun kamu bekerja, jangan harap ada yang mau menerimamu. Namamu akan aku blacklist di semua perusahaan!”William James Harden—yang memiliki banyak perusahaan selain property. Perusahaan raksasa di bidang kontruksi, tekstil, baja, batu bara hingga perhiasan lantas mudah baginya untuk memberi tahu semua pengusaha untuk jangan pernah menerima Thania sebagai karyawan di sana. Tanpa terkecuali, apa pun bagiannya.Thania kembali tak berkutik. Hanya menatap nanar wajah suaminya itu.“Jangan menunda kehamilan. Lebih cepat lebih baik!” ucap William tegas.“Lalu, kalau aku tidak bisa memberimu anak, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Thania seraya mengusap air matanya. “Kamu akan menceraikan aku? Iya?”“Kenapa tidak bisa hamil? Semua perempuan bila sudah digauli, pasti akan hamil. Kecuali kamu mandul!”Thania menelan salivanya dengan pelan. “Aku baru sadar. Kamu menggauliku terlebih dahulu agar aku tidak bisa berkutik dan pergi setelah diberikan surat kesepakatan itu. Agar aku hamil, kemudian memberimu anak.” Thania tersenyum getir seraya mengusap air matanya.“Pintar. Kamu memang perempuan paling pintar yang aku kenal. Jadi istri yang baik dan sekretaris yang baik. Jangan pernah memberi tahu hal ini kepada siapa pun sampai kita cerai nanti. Aku sudah punya alasan kenapa kita bercerai nanti.”Thania menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah suaminya itu. “Bahkan hal itu pun sudah kamu persiapkan? Seolah-olah semuanya akan berjalan dengan mulus?” Thania kembali berlinang air mata.“Mas. Siapa yang hingga saat ini masih ada di dalam hati kamu? Kenapa sulit untuk melupakan dia?” tanya Thania ingin tahu. “Selama ini, selama aku menjadi sekretaris kamu lima tahun ini, tidak pernah melihat kamu kencan dengan perempuan apalagi melihat kamu menghubungi perempuan.”“Dia kekasihku yang pergi meninggalkanku tanpa sebab. Karena itulah, aku merasa kami belum ada status yang jelas dan aku masih mencintainya hingga saat ini. Aku tegaskan sekali lagi, jangan pernah mengharapkan cinta dariku. Aku tidak pernah berniat mencintai siapa pun termasuk kamu.”Tidak ada yang lebih hina dari ucapan William kepadanya. Merendahkan, menghina dan memanfaatkan Thania tanpa ada rasa bersalah dalam diri lelaki itu.“Aku juga tidak berharap menjalani pernikahan gila seperti ini, Mas. Seandainya kamu tidak menjebakku seperti ini aku tidak akan pernah mau menikah dengan cara seperti ini!” Thania menyesali semuanya.“Aku mencintai kamu dengan tulus bahkan sudah menyimpannya sejak lama. Dan … balasan perasaan ini sangatlah menyakitkan. Kamu memberi luka yang cukup dalam di hati aku,” ucapnya dengan suara lemas.“Aku tidak peduli dengan perasaan kamu itu, Thania. Silakan mencintaiku sesuka hatimu. Yang jelas, patuhi semua perintahku dan rahasiakan kesepakatan pernikahan ini sampai kamu melahirkan nanti.”William tak peduli. Yang jelas, dia sudah menjadikan Thania istrinya. Memberi bukti bahwa dirinya lelaki normal yang mencintai seorang wanita—bukan yang dipikirkan oleh sang mama—Ayu menganggap kalau dirinya menyimpang.“Belum tentu orang tua kamu menyetujuinya, Mas. Kamu tidak pernah berpikir ke arah sana? Kenapa tidak kamu ajak nikah perempuan itu kalau memang berat untuk ditinggalkan?” Thania meminta penjelasan pada William mengenai perempuan itu.William menghela napas kasar. “Tidak perlu ikut campur dengan urusan pribadiku. Tugasmu hanya menjadi istriku sampai nanti kita berpisah setelah kamu melahirkan seorang anak untukku!”“Kalau hamil. Kalau tidak? Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Thania lagi.“Kita program hamil. Sebenarnya tidak ada salahnya bila melakukannya setiap hari. Toh, kamu sudah dibayar mahal olehku. Rasanya sayang sekali bila hanya menjadikan kamu sebagai istri pajangan di rumah ini. Bahkan, semua karyawan di kantor pun sudah tahu kalau kamu sudah menikah denganku.”Thania memijat keningnya kala mendengar ucapan William. “Kamu memiliki pribadi yang baik, Mas. Aku pikir, kamu memiliki hati yang tulus dan baik juga. Ternyata, aku telah salah menilai kamu. Kenapa aku harus mencintai pria sepertimu.”William hanya menyeringai sembari menatap Thania yang tengah terpuruk atas pernikahan itu. Dijebak dengan mengatakan cinta kepadanya. Namun, rupanya semua itu hanyalah salah satu langkah untuk meyakinkan Thania bila dirinya ingin menjadikan perempuan itu sebagai istrinya.“Jangan menangis terus, nanti matamu bengkak. Besok, ada pertemuan keluarga besarku. Mereka baru tiba di Indonesia dan ingin melihat pengantin wanita. Jangan memasang wajah murung di depan mereka bila tidak ingin keluargamu aku hancurkan!”Thania menatap nanar wajah William. “Berapa, uang yang harus aku bayarkan padamu, Mas? Aku akan melunasinya.”William terkekeh pelan. “Tentu saja tidak sedikit, Thania. Jangan mengkhayal. Lakukan saja tugasmu sebagai istri di atas kertas kesepakatan yang sudah kita sepakati!”Thania menarik napas dalam-dalam dan menatap William dengan tajam. “Sampai kapan pun aku tidak akan pernah memberimu anak!"“Apa kamu bilang? Berani-beraninya kamu mengatakan itu padaku. Ingin keluargamu hancur di tanganku, huh?” pekik William naik pitam setelah mendengar ucapan Thania tadi.Perempuan itu melepaskan tangan William dengan kasar kemudian keluar dari kamar tersebut. Melangkahkan kakinya dengan lebar meninggalkan William yang masih berdiri hanya mengenakan celana dalamnya saja.“Bagaimana bisa, pernikahan ini hanya merupakan pernikahan di atas kertas dengan kesepakatan yang bodohnya sudah aku tandatangani. Bagaimana aku bisa bertahan dengan ini semua kalau hanya aku yang mencintainya.”Thania duduk di sebuah balkon lantai dua seraya menundukkan kepalanya di antara kedua kakinya. Bahunya bergetar sebab isak t
Mata penuh dengan bulir air mata dari Thania memicing tajam menatap lelaki yang sialnya telah menjadi suami gila yang ia miliki. Impian dan ekspetasi yang ia bayangkan rupanya jauh berbanding terbalik dengan kenyataan yang harus ia jalani kini.“Mas. Setidaknya aku tahu, alasan kenapa dia pergi meninggalkan kamu. Sampai membuat kamu tidak bisa melupakan dia,” ucap Thania berharap William mau memberikan alasan mengapa perempuan itu pergi darinya.Matanya melirik Thania kemudian menarik napasnya dalam-dalam. “Dia mengalami kecelakaan, kemudian amnesia dan dibawa oleh kedua orang tuanya ke luar negeri untuk menyembuhkan kondisinya. Itu saja yang perlu kamu ketahui. Jangan pernah bertanya mengenai hal itu lagi! Aku ingin membatasi privasiku darimu!”William menyelesaikan acara mandinya dan pergi begitu saja meninggalkan Thania. Perempuan itu tersenyum getir kemudian menghela napasnya dengan panjang.“Baiklah. Jika itu yang kamu inginkan. Kamu pikir, aku akan mengalah begitu saja. Tentu ti
Thania mengendap-ngendap keluar dari rumah megah itu sebab hendak pergi menemui Hans yang ingin bicara banyak dengannya.Ia kemudian menghela napasnya dengan lega karena ternyata William tidak ada di rumah. "Mobilnya sudah tidak ada di garasi. Aku yakin, dia sedang mencari keberadaan Mhika lagi agar segera bisa kembali padanya," ucapnya lalu masuk ke dalam mobilnya dan pergi dari rumah itu.Menyusul Hans yang menunggunya di sebuah gedung di mana Hans tinggal kini. Di sebuah apartemen yang tidak diketahui oleh siapa pun selain Thania yang ia pun baru tahu tempat tinggal sahabat dekatnya itu."Halo, Hans. Aku sudah di depan pintu apartemen kamu." Thania menghubungi Hans."Oh, iyaa. Tunggu sebentar, yaa. Aku baru selesai mandi soalnya."Thania terkekeh pelan. "Ya sudah," ucapnya kemudian menutup panggilan tersebut.Tak lama kemudian, Hans keluar dan membukakan pintu untuk perempuan itu. Thania masuk ke dalam dan duduk di sofa ruang tengah."Maaf, yaa. Masih berantakan. Aku baru satu ming
"Maksudnya?" tanyanya kemudian.Hans menggeleng sembari mengulas senyumnya. "Kamu pasti akan berpisah dengannya apa pun yang terjadi, kan? Karena bagaimanapun juga pernikahan itu hanya pernikahan di atas kertas. Betul?"Thania mengangguk dengan pelan. "Iya, kamu benar. Aku kadang suka lupa, Hans."Pria itu terkekeh pelan. "Thania. Jika kamu ingin pernikahan kamu bukan lagi pernikahan kontrak, sebaiknya kamu banyak berdoa semoga William mengubah hatinya hanya untuk kamu dan melupakan kekasihnya itu."Tapi, kalau kamu tidak yakin William akan mencintaimu dengan tulus dan sungguh-sungguh, berdoa saja semoga apa pun keputusannya kelak, itu sudah menjadi yang terbaik untuk kalian. Jangan sampai menyesal setelah semuanya terjadi, yaa."Sebagai sahabat yang baik, Hans ingin menasihati Thania agar perempuan itu tidak salah memilih apa yang harus dia pilih kelak. Berharap sahabatnya itu mendapat bahagia di atas pernikahan yang cukup toxic ini."Ya. Aku akan mengikuti kata hatiku, Hans. Terima
Thania menelan salivanya dengan pelan seraya mencari alasan mengapa ia dan William keluar dari kamar yang berbeda. Dengan senyum yang terbit di bibirnya, ia menghampiri sang mertua dan menyalim tangannya."Di kamar kami yang ini, kalau disimpan lemari tas milikku sudah tidak muat, Mi. Makanya aku simpan di kamar sebelah saja. Aku habis mengambil tasku."Thania berhasil mencari alasan dan itu membuat William sedikit lega karena tidak perlu lagi mencari alasan mengapa mereka keluar dari kamar yang berbeda."Oh, begitu. Mami pikir kalian sedang bertengkar. Masa iya, pengantin baru langsung bertengkar."Thania meringis pelan. "Tidak ada, Mi. Kami baik-baik saja. Mami ada apa kemari? Ayo, sarapan sama-sama.""Tidak! Kalian saja yang sarapan. Mami hanya ingin memberikan ini kepada menantu Mama. Nanti dimakan, yaa."Thania mengambil paper bag di tangan Rani dan melihat isian di dalamnya. "Brownies?" tanyanya kepada Rani."Ya. Kesukaan kamu. Mami sendiri lho, yang buat. Dimakan, yaa. Jangan s
Hans tak bisa menjawab pertanyaan dari omnya itu. Ia hanya mengulas senyumnya kemudian menatap wajah Thania yang sengaja dia pajang di atas meja kerjanya."Gajimu selama dua tahun pun belum bisa membayar utang sebanyak itu. Aku juga tidak bisa membantumu mengeluarkan uang sebanyak itu karena perusahaan ini bukan sepenuhnya milikku. Semoga kamu paham, Hans.""Nggak apa-apa, Om. Aku paham. Lagi pula, aku tidak meminta hal ini kepada Om. Karena aku tahu, perusahaan ini bukan sepenuhnya milik Om." Hans menerbitkan senyumnya kepada Reynold."Bagaimana jika kamu minta kepada orang tuamu? Sudah tahu, jawabannya. Pasti tidak akan mau."Hans menghela napasnya dengan panjang kemudian menoleh pada ponselnya karena ada notifikasi pesan masuk dari Thania. Mengirim pizza yang sudah berhasil ia habiskan membuat Hans menyunggingkan senyum tipis."Awalnya, setelah aku wisuda, niatku ingin sekali melamar Thania. Tapi, ternyata semuanya terlambat. Ada rasa sedih saat tahu dia telah menikah. Tapi, ada ra
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. William dan Thania sudah berada di kediaman kedua orang tua William yang mengundang mereka untuk makan malam bersama."Halo, Thania. How are you?" Edward rupanya masih ada di Indonesia dan tengah duduk di meja makan."Halo, Edward. Kabarku baik. Bagaimana denganmu?" tanyanya balik."Very well," ucapnya lalu menerbitkan senyumnya. Matanya kemudian melirik pada William yang tampaknya tak suka istrinya berbicara dengannya."Will. Bagaimana dengan project di Manila? Bukankah bulan depan seharusnya sudah peresmian?" tanya Edward mengenai pekerjaan William."Ya. Tentu. Aku akan memintamu untuk datang ke sana jika aku tidak bisa datang.""Oh, come on! Jangan andalkan aku terus, Will. Kedua kakakmu saja yang kamu minta untuk datang ke sana."William menghela napas kasar kemudian mengibaskan tangannya. "Aku tidak butuh bantuan mereka. Hanya akan membuat kantorku hancur karena ulahnya."Rani menoleh pada James--sang suami yang hanya diam mendengar ucapan
Malam itu, Thania tidak bisa lepas dari kungkungan William yang sedang menginginkannya. Hanya satu hari tidak menyentuhnya, William menyetubuhi Thania dengan sangat kasar dan brutal."Rgghh!" raungnya kala mendorong lebih dalam di bawah sana. "So yummy. You look so amazing, Thania. Siapa pun pasti tidak akan menolaknya. Tapi, jangan harap aku akan membiarkanmu disentuh oleh siapa pun selain diriku!"Mata elang itu menatap penuh wajah Thania yang sedari tadi menjerit kesakitan karena ulahnya."Sudah, Mas. Lepaskan aku. Aku sudah tidak kuat lagi," ucapnya lirih, memohon agar William menghentikan aksinya. Sudah hampir satu jam lamanya William menggerayangi tubuhnya.Tidak ada ampun bagi William. "Kamu sudah membuatku marah, Thania. Pergi ke apartemen pria tanpa sepengetahuanku! Suami mana yang tidak marah jika melihat istrinya berperilaku sepertimu, huh?"William membalikan tubuh perempuan itu tanpa melepaskan gerakannya. Menjambak rambut panjang perempuan itu dan memompanya lagi lebih k