Setelah tiga bulan berlalu, sikap keluarga Sulistyo mulai berubah. Perut Aisyah yang semakin membesar menjadi perhatian utama, terutama bagi Ratri. Kehamilan itu kini menjadi alasan mereka menunjukkan perhatian yang terasa ganjil—lebih seperti kewajiban daripada kasih sayang tulus.
"Nak, kemarilah. Waktunya makan," panggil Ratri dengan nada lembut sambil menyiapkan makanan di atas meja makan. Aisyah melangkah perlahan menuju dapur. Perutnya terasa semakin berat, tubuhnya sedikit condong ke depan karena bayi di dalam kandungannya yang mulai membesar. "Wah, cucu nenek sudah besar saja," ujar Ratri sambil tersenyum, tangannya mengusap perut Aisyah dengan lembut. "Baru tiga bulan, tapi perkembangannya luar biasa." Ratri menatap menantunya dengan pandangan yang sulit diterka. "Kau juga terlihat lebih cantik sekarang, setelah Sulistyo... yah, berhenti memperlakukanmu dengan buruk." Tangannya berpindah mengusap pipi Aisyah yang kini terlihat lebih segar. "Kulitmu halus sekali, membuat ibu jadi iri." Sulistyo tiba-tiba masuk dan duduk di kursi makan. "Aisyah, ayo duduk. Makanlah," katanya sambil menyendok makanan, menyuapkan langsung ke mulut Aisyah. Dengan enggan, Aisyah menerima suapan itu dan duduk di kursinya. Matanya melirik ke arah Sulistyo dan Ratri yang terlihat lebih lembut dari biasanya. Dalam hati, ia bertanya-tanya, "Apa yang sebenarnya terjadi? Mereka semua berubah sejak hasil pemeriksaan dokter tiga bulan lalu. Seolah-olah bayi dalam kandunganku adalah segalanya bagi mereka. Mungkinkah mereka melakukan semua ini hanya agar bayinya lahir dengan sehat?" Tangannya perlahan menyentuh perutnya yang semakin membesar. Sebuah senyum tipis terlintas di wajahnya, meski rasa curiga tetap mengganjal di pikirannya. "Bayi ini berkembang dengan sangat baik... tapi apakah semua kebaikan ini hanya sementara? Apa yang akan terjadi setelah dia lahir?" Hening melingkupi meja makan, namun pikiran Aisyah bergolak dengan berbagai pertanyaan tanpa jawaban. Ratri memecah keheningan dengan nada lembut, "Aisyah, kenapa diam saja? Apa makanannya tidak enak? Kau tidak suka makanan khas Suryaloka?" Aisyah tersenyum lebar, tetapi di balik senyum itu tersimpan kepalsuan. "Tidak, Ibu... Aku hanya merasa sangat senang hingga tidak tahu harus berkata apa. Kalian semua memperlakukanku dengan begitu baik. Aku jadi terharu..." Ratri mendekat, memeluk Aisyah dengan erat. Pelukan itu, bagi Aisyah, lebih terasa seperti jerat daripada kehangatan. "Ayolah, Nak... Kau sudah ibu anggap seperti putri ibu sendiri. Ibu sangat menyayangimu," ucap Ratri dengan nada manis, yang bagi Aisyah terdengar seperti peringatan tersembunyi. Aisyah terkekeh pelan, namun kekehannya terdengar jelas penuh kepalsuan, seperti seseorang yang terpaksa bermain peran dalam sandiwara yang melelahkan. Sulistyo, yang duduk di seberang meja, hanya sesekali melirik tajam ke arah Aisyah. Matanya memancarkan kejenuhan, seolah berpura-pura baik di depan Aisyah adalah tugas yang memberatkan baginya. Aisyah tahu, di balik semua keramahan ini, kebencian mereka terhadapnya belum benar-benar hilang—dan mungkin takkan pernah hilang. Malam perlahan merayap, membawa keheningan yang menusuk. Aisyah diarahkan ke kamar oleh seorang pelayan yang mengenakan senyum kaku, seolah sekadar menjalankan tugas. “Istrimu perlu istirahat lebih awal, demi kesehatannya dan bayi di kandungannya,” ujar pelayan itu dengan nada formal. Tanpa sepatah kata, Aisyah mengikuti. Ia tahu keramahan ini hanya kedok, sekadar protokol untuk menjaga citra. Saat memasuki kamar, hawa dingin langsung menyergap, menggantikan rasa hangat yang mestinya hadir di sebuah rumah. Dinding-dinding mewah itu tampak seperti sangkar emas—indah, tapi mencekam. Aisyah berdiri di tengah ruangan, memandang ranjang besar yang tampak terlalu megah untuk seseorang yang merasa begitu kecil di dalamnya. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir beban yang menyesakkan dadanya. “Sudahlah,” pikirnya, mencoba menenangkan diri. “Tidak peduli mereka tulus atau tidak. Yang penting aku bisa makan enak dan tidur nyenyak tanpa harus memikirkan omong kosong mereka... setidaknya untuk malam ini.” Aisyah duduk di tepi ranjang, membiarkan tubuhnya yang lelah tenggelam di atas seprai yang terasa dingin. Ia memandang ke luar jendela, menatap bulan yang tampak redup di balik awan kelabu. Dalam keheningan itu, ia berusaha mengumpulkan kekuatan, berpegang pada apa pun yang tersisa dalam dirinya. “Aku akan bertahan,” bisiknya pelan, seperti janji pada diri sendiri. Sementara malam terus melaju, kamar itu menjadi saksi diam dari seorang wanita yang mencoba berdamai dengan ketidakpastian hidupnya. Di ruang tengah, Sulistyo bersandar pada kursi dengan wajah penuh kejengkelan. Ia melirik ibunya dan berbisik, suaranya dipenuhi frustrasi. "Berapa lama lagi kita harus bertahan seperti ini, Bu? Berpura-pura baik padanya benar-benar melelahkan!" Ratri, yang tengah menata ulang kain selendangnya, hanya menghela napas berat. "Minimal sampai anak itu lahir," jawabnya singkat, nada suaranya mengisyaratkan kebosanan. "Kau kira ibu menikmatinya? Ibu juga muak harus melayani gadis itu seperti dia seorang ratu." Ia meletakkan kainnya di meja, menatap Sulistyo dengan raut wajah penuh tekanan. "Ayahmu dan adikmu sudah kembali ke ibu kota untuk mengurus pekerjaan mereka. Ibu ditinggalkan sendiri di sini untuk mengurus semua ini. Jangan pikir ibu tidak kesal." Sulistyo mendengus tajam, ekspresinya penuh ketidaksabaran. "Kenapa dia tidak cepat melahirkan saja? Semua ini sudah membuatku gila!" Ratri menatap putranya sejenak, seolah ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi memilih diam. Hanya keheningan yang tersisa, dipecah oleh suara jam dinding yang berdetak pelan. Di dalam bangunan megah itu, rasa benci dan beban berpura-pura terus bertumpuk, menunggu saat segalanya akan meledak. Keheningan di ruang tengah yang tegang akhirnya dipecahkan oleh langkah cepat seorang pria berpakaian serba hitam. Ia berlutut di hadapan Ratri dan Sulistyo, suaranya penuh kehati-hatian. “Tuan... Nyonya...” katanya, seolah memilih kata dengan hati-hati. Sulistyo menatapnya tajam, frustrasi membara di wajahnya. “Bagaimana? Rekaman CCTV aman? Masih tidak ada yang berani menyebarkan video itu, kan?” Ratri, dengan nada lebih tajam, menyusul, “Pastikan rekaman itu benar-benar lenyap. Jangan sampai menghancurkan nama baik keluarga kami!” Pria itu menunduk lebih rendah. “Kami sudah menginterogasi operator CCTV dan admin istana. Semua rekaman telah dihapus, saya jamin tidak akan bocor ke mana pun.” Sulistyo tersenyum tipis sementara Ratri menghela napas lega. Namun, pria itu melanjutkan dengan suara lebih pelan, “Namun, saya menemukan sesuatu yang lain, Tuan.” Sulistyo menyipitkan mata. “Penemuan apa?” Pria itu mengeluarkan sebuah tablet dan memutar rekaman CCTV dari dapur. Dalam video itu, seorang koki tampak memasukkan sesuatu ke makanan Sulistyo. “Apa-apaan ini?!” Sulistyo menggertakkan gigi, tatapannya tajam seperti belati. “Pantas saja waktu itu aku merasa pusing luar biasa! Siapa yang berani melakukan ini?” Pria itu menggeleng dengan ekspresi gelisah. “Kami sudah memeriksa koki istana, tapi pelaku bukan salah satu dari mereka. Menurut kesaksian, ada koki baru yang bekerja saat upacara kemerdekaan. Namun, setelah itu, dia menghilang tanpa jejak.” Sulistyo bangkit dengan amarah meluap, genggamannya di sisi meja begitu kuat hingga buku-bukunya memutih. “Siapa yang mengirim orang itu?!” Ratri menatapnya dalam diam, lalu menutup matanya, mencoba menenangkan diri. “Jika ini ulah orang luar, ini bukan sekadar pengkhianatan kecil. Ini konspirasi besar. Kita harus waspada.” Sulistyo terjatuh ke kursinya, tubuhnya lemas. Matanya kosong, dikuasai bayangan kehancuran yang perlahan menyelimuti hidupnya.Keesokan harinya, istana negara dipadati para menteri, petinggi negara, dan tamu undangan penting. Hari itu adalah momen bersejarah: pelantikan presiden dan calon wakil presiden untuk periode terbaru. Di salah satu kamar megah istana, Aisyah berdiri di depan cermin besar, menatap bayangannya dengan ekspresi muram. Tubuhnya yang ramping dibalut kebaya ketat berwarna emas, dipadukan dengan kain canting bermotif khas adat Javanagara. Rambutnya yang biasa dibiarkan terurai kini ditata rapi menjadi konde, dihias ornamen kecil yang memantulkan kilauan cahaya. Ia menghela napas panjang, kedua tangannya meraba lembut perutnya yang sedikit membuncit. Rasa tidak nyaman semakin menguat. "Kenapa harus begini?" gumamnya pelan, hampir berbisik. "Aku bahkan tidak bisa bernapas lega. Rasanya sesak sekali... Bagaimana kalau ini membahayakan bayiku?" Aisyah memutar bola matanya, lalu menunduk, melihat kain yang membungkus tubuhnya terlalu erat. "Tidak bisakah aku mengenakan sesuatu yang lebih longga
Ruangan itu terasa dingin dan sunyi, hanya terdengar suara alat medis yang terus berbunyi monoton. Aisyah perlahan membuka matanya, cahaya putih menyilaukan dari lampu di langit-langit menyambut pandangannya. Ia menyadari dirinya terbaring di ranjang rumah sakit. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya begitu lemah. Namun, suara-suara tajam mulai menusuk telinganya, menghancurkan keheningan. "Dia sudah keguguran," suara dingin itu mengoyak kesadarannya. "Dia sudah tidak berguna lagi!" sambung yang lain, penuh kebencian. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Aisyah mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasa sakit di seluruh tubuhnya membuatnya hanya bisa terbaring. Ia memandang sekeliling dengan lemah, menemukan orang-orang yang seharusnya menjadi keluarganya menatapnya dengan penuh penghinaan. "Lihatlah dia! Sia-sia saja kita bersikap baik padanya, namun dia malah keguguran!" Ratri, ibu Sulistyo, berkata dengan nada sinis, kini tanpa basa-basi menyembunyikan kebenciannya. "
Setelah Jatmiko dan Ratri kembali ke Suryaloka, situasi di istana negara berubah semakin memanas. Berita tentang Aisyah yang dibawa ke rumah sakit menggunakan jet pribadi menyebar cepat di media sosial, memicu hujatan dari berbagai pihak. “Wakil presiden baru, tapi skandal sudah langsung datang! Memalukan!” tulis salah satu netizen dengan nada marah. “Jet pribadi buat ke rumah sakit? Sementara di pedalaman orang sakit susah dapat ambulans! Gila ini!” komentar lain yang mendapatkan ribuan tanda suka. “Ini pasti pakai uang rakyat! Korupsi berkedok kemewahan! Hancur sudah moral pemimpin kita!” tambah akun lain, memperkeruh suasana. Sulistyo duduk di ruang kerjanya, wajahnya tegang menatap layar ponsel yang terus menampilkan komentar-komentar penuh cemoohan. Jari-jarinya gemetar, dan tanpa sadar ia memukul meja, membuat suara keras menggema di ruangan. “Ini... Ini semua gara-gara dia!” geramnya, giginya gemeretak menahan amarah. “Gadis miskin rendahan itu! Hidupku jadi kacau karena d
Keesokannya, Nursyid mengunggah di akun media sosial pribadinya, dengan caption: "Suatu kehormatan bisa membuat wakil presiden dan keluarganya menumpang dengan nyaman di jet pribadi milik saya." Unggahan itu langsung menuai beragam komentar netizen. Beberapa membela Sulistyo, beberapa membela Nursyid, dan banyak yang menghujat keduanya. "Lihat? Keluarga wakil presiden kita tidak mungkin menggunakan uang rakyat untuk jet pribadi! Itu pasti milik salah satu pengusaha yang meminjamkan pesawatnya!" komentar akun penjilat keluarga Nugroho, menanggapi unggahan Nursyid yang menyebut pesawat itu miliknya. "Nursyid sayang... Berapa banyak uang yang kau terima untuk menipu kami semua? Kami, penggemar setia LightGlow Cosmetics, merasa dikhianati!" tulis netizen lainnya dengan nada kecewa. "Pangeran tampan... Kenapa kau tega menipu kami demi uang haram? Kembalilah ke jalan yang benar!" tambah komentar berikutnya, penuh rasa marah dan kecewa. "Tidak pemimpin negara, tidak pemimpin perusahaan,
Aisyah duduk di perpustakaan istana dengan tenang, tenggelam dalam dunia buku yang ia baca. Hening dan damai, seperti pelarian kecil dari realitas yang menyiksa. Tapi ketenangan itu tak berlangsung lama. "Sedang membaca? Baguslah," suara sinis Sulistyo memecah keheningan. Aisyah menghela napas panjang, mencabut earphone bluetooth dari telinganya dengan gerakan malas. "Langsung saja. Apa maumu kali ini?" Sulistyo melangkah mendekat, meletakkan tumpukan kertas di atas meja dengan senyum miring. "Baca ini, dan hapalkan semuanya." Mata Aisyah menatap tajam ke arah dokumen itu. "Apa ini?" tangannya terulur, mulai membolak-balik halaman dengan cepat. "Skrip acara talk show," jawab Sulistyo dengan nada penuh kemenangan. "Kau harus tampil besok. Tunjukkan akting terbaikmu!" Aisyah membaca sekilas, lalu terkekeh kecil. "Jadi ini semua demi pengalihan isu jet pribadimu? Menonjolkan betapa malangnya nasibku, seorang perempuan yang keguguran karena ditendang ayah tirinya? Sungguh, kau tak p
Setelah acara talk show berakhir, media sosial Aisyah meledak. Notifikasi tak berhenti berdatangan—jutaan orang mulai mengikuti akun pribadinya. Banyak yang memberikan dukungan, tetapi tidak sedikit pula yang mencemoohnya. “Aisyah! Aku sudah lihat penampilanmu di talk show tadi. Kau wanita yang sangat kuat! Tetap semangat, ya!” tulis salah satu komentar yang membanjiri kolomnya. “Aisyah adalah bukti bahwa perempuan bisa tetap berdiri meski dihancurkan oleh hidup. Terus bertahan, kami mendukungmu!” tulis pengguna lain dengan emoji hati yang memenuhi baris komentar. Namun, tak semua suara semanis itu. “Cantik darimana? Wajahnya biasa saja. Pasaran banget!” cemooh sebuah akun yang disertai tawa mengejek. “Tch! Orang-orang ini mudah sekali terbuai cerita murahan. Lihat saja, sebentar lagi dia pasti jadi model kosmetik,” sindir komentar lain yang menuai ratusan tanda suka. Namun ada pula yang membela. “Berhenti menghujat! Aisyah itu cantik, dan lebih penting lagi, dia adalah
Jam dinding berdetak perlahan, menghadirkan ritme monoton di ruang tamu megah yang kini sunyi senyap. Cahaya lampu kristal memantul dingin, mempertegas keheningan. Aisyah duduk diam, tangannya perlahan memegangi perut, lalu tertawa kecil, sinis, seperti menemukan lelucon yang hanya ia pahami. "Lucu... kalian semua sangat lucu," ucapnya dengan nada tajam, memecah keheningan yang mencekam. Ia mengangkat pandangan, menatap mereka satu per satu, lalu melanjutkan dengan nada yang penuh ejekan. "Apa kalian benar-benar berpikir tindakan kalian ini tidak akan menghancurkan nama baik kalian sendiri?" Sulistyo, yang sejak tadi berdiri tegak penuh wibawa palsu, justru tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema, seolah ancaman Aisyah hanyalah bahan lelucon baginya. Dalam sekejap, tangannya yang besar mencengkeram dagu Aisyah dengan kuat, memaksa wanita itu menatap langsung ke dalam matanya yang penuh amarah. "Kau pikir aku sebodoh itu?" tanyanya dingin, senyum sinis terukir di wajahnya. Aisyah
Halaman belakang Istana Negara yang sunyi terasa seperti oasis kecil di tengah kekacauan batin Aisyah. Angin lembut yang berhembus membawa kehangatan, seakan berusaha membungkus tubuhnya yang rapuh dengan pelukan alam. Di bawah langit senja, Mahendra duduk di hadapan Aisyah, memegang perlengkapan medis kecil. Tangannya yang besar namun lembut dengan hati-hati membersihkan luka-luka di wajah Aisyah, gerakannya pelan dan penuh perhatian, seolah setiap sentuhannya dirancang untuk mengobati tidak hanya fisik, tetapi juga hatinya yang terluka."Sakit?" tanya Mahendra dengan suara lembut, nadanya penuh kepedulian. Tatapannya terpaku pada ekspresi Aisyah, memperhatikan setiap reaksi, takut jika ia melukai lebih dalam. Ketika Aisyah sedikit meringis meskipun mencoba menyembunyikannya, tangan Mahendra otomatis berhenti.Aisyah menggeleng perlahan. Meski hatinya masih terasa pedih, kepedulian pria di depannya ini seperti air yang memadamkan api di dalam dirinya. Senyumnya yang tulus, tangannya
Aisyah membulatkan matanya, merasa ngeri, syok, dan tak mampu percaya pada kata-kata yang meluncur dari bibir Sulistyo. Otaknya bekerja keras, berputar dengan kecepatan penuh, berusaha mencerna setiap kalimat yang terdengar seperti dongeng gelap dari novel fantasi.Namun, sekeras apa pun dirinya mencoba menerima logika di balik cerita itu, kenyataan yang Sulistyo paparkan tetap terasa terlalu asing dan mustahil."Ini tidak mungkin..,." pikirnya, napasnya memburu, matanya yang besar penuh ketakutan memantulkan bayangan pria di hadapannya.Sulistyo menatap Aisyah dengan seringai lebar. Kekehannya yang pelan terdengar seperti suara setan yang menikmati penderitaan korbannya. "Ekspresimu...," bisiknya dengan nada manis yang beracun. "Sungguh menggemaskan."Dengan gerakan yang membuat darah Aisyah berdesir penuh jijik, Sulistyo mendekatkan wajahnya dan mengisap pipinya perlahan. Mata hitamnya menatap langsung ke dalam matanya, memancarkan kesan dominas
Sulistyo mengusap wajah Aisyah dengan lembut, jemarinya menyentuh setiap luka yang menghiasi pipi perempuan itu seolah menorehkan kasih sayang yang palsu, namun begitu meyakinkan. Dia mengoleskan obat dengan gerakan perlahan, seperti seorang pria yang benar-benar peduli pada wanita di hadapannya. Senyum tipisnya merekah, penuh pesona beracun. Aisyah hanya diam, menerima sentuhan-sentuhan itu dengan enggan, tetapi tidak melawan. Tubuhnya kaku, matanya kosong, terperangkap dalam kebisuan yang menyesakkan.“Kamu pasti penasaran,” suara Sulistyo memecah kesunyian yang melingkupi mereka. Suaranya rendah, seolah rahasia besar sedang menanti untuk diungkapkan.Aisyah mendongak perlahan. Sorot matanya yang penuh kebencian masih membara, tetapi ada sedikit kilatan rasa ingin tahu yang tak bisa ia sembunyikan.“Soal kenapa aku bisa mendapatkan kekuatan ini,” Sulistyo berbisik, memiringkan kepalanya, senyumannya semakin dalam, seakan menikmati setiap detik
Sulistyo terus mengusap wajah Aisyah yang terluka dengan lembut, tangannya yang dingin terasa kontras dengan panasnya rasa sakit di kulit Aisyah. Matanya menatap langsung ke dalam mata Aisyah, sorotnya tampak penuh kelembutan yang bertolak belakang dengan semua yang baru saja terjadi. "Aku minta maaf...." katanya pelan, suaranya nyaris berbisik.Aisyah membeku. Kepalanya sedikit miring, matanya menatap Sulistyo dengan penuh ketidakpercayaan. Kata-kata itu, dari mulut seorang seperti Sulistyo, terdengar mustahil, hampir seperti ilusi. Dia ingin menjawab, tetapi tenggorokannya seperti tersumbat, seolah kata-kata yang ingin dia ucapkan tertelan bersama kejutannya."Kenapa diam, sayang?" Sulistyo melanjutkan, tangannya sekarang bergerak mengusap lembut kepala Aisyah, seperti seorang kekasih yang menenangkan pasangannya. Perlahan, jemarinya menyentuh hijab merah muda yang menutupi kepala Aisyah, lalu menariknya dengan gerakan pelan tetapi tegas. Hijab itu meluncur ke la
Sulistyo menggendong Aisyah dengan erat, tubuhnya melangkah tanpa keraguan menuju gerbang istana negara yang menjulang megah. Beberapa penjaga yang berjaga dengan waspada langsung menghalangi jalannya, senjata di tangan mereka siap jika keadaan memaksa. Salah satu dari mereka melangkah maju, menatap tajam Sulistyo. "Berhenti di sana! Siapa pun yang tidak memiliki kepentingan dilarang masuk!" Suaranya lantang, penuh kewaspadaan.Sulistyo menghentikan langkahnya sejenak. Senyumnya yang dingin terukir di wajahnya, menyiratkan ancaman yang tak terucapkan. "Tidak punya kepentingan?" gumamnya rendah, hampir seperti bisikan. Tubuhnya mulai memancarkan asap hitam pekat yang menggeliat seperti makhluk hidup, menjalar liar di udara. "Apa maksud kalian dengan aku tidak memiliki kepentingan? Aku adalah presiden sekarang! Presiden yang menggantikan pemimpin kalian yang ... telah mati."Dengan gerakan singkat, asap hitam itu melesat cepat, mencengkeram leher para penjaga, mengan
Asap hitam tebal membungkus tubuh Sulistyo dan Aisyah, mengangkat mereka perlahan dari tanah. Dalam gendongannya, Aisyah terus meronta, meski tubuhnya terasa lemah setelah tamparan dan perlakuan kasar Sulistyo."Apa lagi yang kau inginkan?!" seru Aisyah dengan suara parau, menatap pria itu dengan mata yang berkaca-kaca. "Kau ingin membawaku ke mana lagi?! Lepaskan aku!"Sulistyo hanya menyeringai, tatapan dinginnya tak beranjak dari wajah Aisyah. "Diam saja, Aisyah! Kita akan pulang ... ke rumah kita. Ke istana negara." Suaranya rendah, namun mengandung nada ancaman yang tak bisa disangkal.Tubuh Sulistyo mulai memudar, berubah menjadi gumpalan asap hitam pekat yang membungkus dirinya dan Aisyah. Aisyah berusaha menendang dan memukul dengan sisa tenaganya, namun seolah tak ada gunanya. Usahanya tenggelam dalam gelapnya asap yang kini semakin rapat."Istana negara?!" Aisyah berseru, meski suaranya terdengar lebih seperti bisikan. "Itu bukan rumahmu
Langit senja yang cerah di atas taman kota menjadi saksi momen yang penuh harapan. Mahendra, dengan senyum hangat di wajahnya, perlahan memegang tangan Aisyah. Sentuhan itu lembut namun penuh makna, seolah ingin mengatakan bahwa mulai detik ini, Aisyah adalah miliknya. Dengan hati-hati, ia menyematkan cincin ke jari manis Aisyah, sebuah simbol pengikat antara mereka berdua.Namun, kebahagiaan itu seketika berubah menjadi horor yang tak terbayangkan. Sebuah pisau kecil melesat dari arah tak terduga, menusuk punggung Mahendra dengan keras. Darah segar memancar keluar, membasahi pakaian biru mudanya. Ia tersentak, tubuhnya limbung dan hampir jatuh ke tanah."Kak Mahendra!" Aisyah berteriak, kedua tangannya terulur untuk menangkap tubuh Mahendra yang terhuyung-huyung. Namun, belum sempat ia menyentuhnya, sebuah pisau lain terbang cepat ke arah tangannya. Pisau itu melukai kulitnya, meninggalkan garis luka yang dalam. Darah mulai mengalir dari tangannya, membuat gaun me
Hari yang dinanti tiba. Sebuah taman kota yang luas dan rindang menjadi saksi pertunangan Mahendra dan Aisyah. Acara itu dirancang sederhana namun penuh makna, dihiasi bunga-bunga mawar merah muda yang menyatu dengan keanggunan senja.Meski terlihat sederhana, tamu-tamu yang hadir merupakan tokoh-tokoh penting—anggota legislatif, pengurus bank sentral, hingga beberapa tokoh bisnis yang menyempatkan diri untuk datang, membawa suasana eksklusif di balik kesederhanaan.Mahendra berdiri di sisi panggung, menatap layar ponselnya. Sebuah pesan baru masuk dari ayahnya, yang langsung menarik perhatiannya. "Nak, maafkan Ayah karena tidak bisa datang. Ayah masih sibuk mengurus kekacauan yang dibuat keluarga itu. Tapi Ayah janji, Ayah akan menghadiri pernikahanmu dengan Aisyah nanti."Senyum tipis terlukis di wajah Mahendra. Meski sedikit kecewa, ia mengerti beban yang ditanggung ayahnya. Dengan cepat, ia mengetik balasan. "Terima kasih, Ayah. Jangan khawatir, semuan
Mahendra mendekati dua saudari kembar itu dengan langkah tenang. Di tangannya, ada dua es krim yang ia sodorkan kepada mereka. Kehadirannya membuat suasana di antara mereka berubah—ringan, tapi penuh dengan getaran yang sulit dijelaskan."Ka-kak Mahendra!" suara Aisyah terdengar bergetar. Wajahnya seketika memerah saat melihat Mahendra berdiri di depannya dengan senyum lembut yang begitu khas.Anisa, sebaliknya, menyambut Mahendra dengan santai. Ia meraih salah satu es krim dari tangan pria itu tanpa ragu, kemudian menjilatnya sambil menyeringai. "Pangeran sudah datang untuk menjemput tuan putri!" ejeknya, membuat suasana semakin canggung bagi Aisyah."Kakak ini bicara apa sih?" Aisyah menyenggol lengan Anisa, berusaha menyembunyikan rasa malunya.Mahendra tertawa kecil, lalu duduk di tanah, tepat di depan mereka. Pandangannya bergantian menatap kedua saudari itu. "Ternyata benar, kalian memang sangat mirip."Anisa mengangkat bahu dengan
Di sebuah taman kecil di sudut kampus Universitas Dwipantara, Aisyah duduk di bangku panjang sambil mengunyah camilan ringan. Wajahnya yang tenang menampakkan kelegaan setelah menyelesaikan ujian masuk universitas yang menegangkan. Namun, pikirannya masih dipenuhi harapan dan kekhawatiran tentang masa depannya.Tiba-tiba, suara lembut namun penuh semangat memecah lamunannya. "Halo, adikku!"Aisyah mendongak dengan cepat. Di depannya, seorang wanita berhijab yang sangat mirip dengannya melambaikan tangan, senyuman hangat menghiasi wajahnya. Wanita itu adalah Anisa, saudari kembarnya."Kakak?" Aisyah langsung bangkit berdiri, senyumnya merekah. "Selamat siang, kak!""Selamat siang juga," jawab Anisa sambil menghampiri Aisyah. Tanpa ragu, ia duduk di sebelah adiknya, memandangnya dengan penuh perhatian.Aisyah memiringkan kepalanya, menatap kakaknya dengan tatapan ingin tahu. "Aku dengar kakak kuliah jurusan bisnis? Aku tidak menyangka terny