Setelah acara talk show berakhir, media sosial Aisyah meledak. Notifikasi tak berhenti berdatangan—jutaan orang mulai mengikuti akun pribadinya. Banyak yang memberikan dukungan, tetapi tidak sedikit pula yang mencemoohnya.
“Aisyah! Aku sudah lihat penampilanmu di talk show tadi. Kau wanita yang sangat kuat! Tetap semangat, ya!” tulis salah satu komentar yang membanjiri kolomnya. “Aisyah adalah bukti bahwa perempuan bisa tetap berdiri meski dihancurkan oleh hidup. Terus bertahan, kami mendukungmu!” tulis pengguna lain dengan emoji hati yang memenuhi baris komentar. Namun, tak semua suara semanis itu. “Cantik darimana? Wajahnya biasa saja. Pasaran banget!” cemooh sebuah akun yang disertai tawa mengejek. “Tch! Orang-orang ini mudah sekali terbuai cerita murahan. Lihat saja, sebentar lagi dia pasti jadi model kosmetik,” sindir komentar lain yang menuai ratusan tanda suka. Namun ada pula yang membela. “Berhenti menghujat! Aisyah itu cantik, dan lebih penting lagi, dia adalah korban. Bukankah kalian harusnya mendukung?” “Kenapa kalian iri? Kalian cuma kesal karena kalian tidak secantik Aisyah, kan? Hah, dasar!” Komentar-komentar lain ikut memanaskan suasana: “Sepertinya kegugurannya itu bukan cuma karena ditendang, tapi juga karena fisik dan mentalnya belum siap. Banyak kasus seperti ini terjadi pada pengantin anak.” “Memangnya salah kalau pria menikahi gadis muda? Asalkan si pria bersedia menerima apa adanya, kenapa harus ribut? Standar kalian semua terlalu tinggi!” balas seorang pengguna, yang langsung dihujani dislike. Di sudut kamarnya, Aisyah membaca semua itu dengan ekspresi datar. Sesekali, ia terkekeh kecil, bukan karena bahagia, tetapi karena ironi yang begitu nyata. “Lihat mereka…” gumamnya, menatap layar ponselnya dengan pandangan kosong. “Mereka bisa memilih pasangan berdasarkan standar sosial, berbicara tentang cinta dan penerimaan.” Ia meletakkan ponselnya di atas meja dengan kasar. “Sedangkan aku?” lanjutnya, suaranya mulai bergetar, hampir seperti berbisik kepada dirinya sendiri. “Dinodai… lalu dinikahi demi menutupi aibnya. Cinta? Hah. Apa aku punya hak untuk membicarakan itu?” Aisyah menghela napas panjang, menahan air mata yang mendesak keluar. Ia memandang cermin di seberang kamar. Sosoknya yang terlihat sempurna di depan kamera kini hanya bayangan seorang gadis muda yang dipaksa dewasa terlalu cepat. “Mereka kasihan padaku?” Ia mendengus pelan, menatap bayangannya sendiri dengan getir. “Tidak ada yang lebih kasihan daripada diriku sendiri.” Suara notifikasi dari ponsel kembali berdentang, tapi kali ini Aisyah tidak berniat membuka layar. Ia memejamkan mata, membiarkan kebisingan itu terus berlalu tanpa balasan. Aisyah baru saja memejamkan mata, mencoba sejenak melupakan kekacauan hari itu, ketika suara ponselnya tiba-tiba berdering. Nada dering lagu pop favoritnya membuatnya langsung tersadar. Ia segera meraih ponsel dan menggeser layar untuk menerima panggilan. “Halo, selamat siang. Dengan Aisyah di sini," sapanya, meskipun nada suaranya masih terdengar lelah. “Selamat siang. Aku Nursyid. Kau pasti tahu diriku. Semua orang di negeri ini harusnya tahu,” jawab pria di seberang telpon dengan penuh percaya diri, tetapi sebelum ia sempat melanjutkan, Aisyah sudah memotong. “Brand ambassador LightGlow Cosmetics?” tebak Aisyah, nadanya datar. Ia sudah bisa menduga apa maksud pria itu menghubunginya. “Benar sekali!” seru Nursyid dengan nada puas. “Kau bisa mulai akting sekarang?” “A-apa?” Aisyah tersentak. “Tapi aku baru pulang dari acara talk show! Tidak bisakah ini—” “Hati-hati di jalan. Usahakan sampai dalam 30 menit!” kata Nursyid tegas, sebelum langsung menutup telepon tanpa menunggu jawaban. “Huwaaa... Kenapa dadakan sekali?” Aisyah hampir melempar ponselnya ke tempat tidur, tapi ia sadar bahwa tak ada gunanya mengeluh. Dengan cepat ia keluar dari kamar, mencari sopir dan paspampresnya. “Bapak-bapak! Aku harus pergi lagi! Kali ini ke kantor pusat LightGlow Cosmetics. Dan aku harus sampai dalam waktu 30 menit!” katanya tergesa-gesa. Sopirnya menatapnya dengan ragu. “Kalau naik mobil tidak akan sempat, Nona.” “Jadi bagaimana?” Aisyah panik, menatap mereka satu per satu, berharap ada solusi. Seorang paspampres yang berdiri di dekat motor dinasnya tiba-tiba menyahut, “Tidak ada cara lain. Ini urgen, kan? Ayo, saya antar!” Mata Aisyah berbinar. Meski sedang dikejar waktu, ada sedikit kegembiraan terselip di hatinya. Ia sudah lama tidak merasakan sensasi menaiki motor, sesuatu yang dirindukannya sejak hidupnya berubah menjadi serangkaian perjalanan di dalam mobil mewah. “Ayo, Pak!” katanya, segera memasang helm yang diberikan paspampres itu. Dengan kecepatan tinggi, motor melaju membelah jalanan kota. Angin yang menerpa wajahnya terasa menenangkan sekaligus mendebarkan. Selama beberapa menit, Aisyah lupa akan beban pikirannya. Ia memejamkan mata sejenak di tengah perjalanan, membiarkan angin membawa sedikit perasaan bebas yang hampir tak pernah ia rasakan lagi. Setelah perjalanan yang terasa singkat tapi penuh adrenalin, mereka akhirnya tiba di kantor pusat LightGlow Cosmetics. “Tepat waktu,” gumam Aisyah sambil tersenyum, menurunkan helmnya. Ia menatap gedung megah di depannya dengan perasaan bercampur aduk. Ada ketegangan, tetapi juga antisipasi. “Terima kasih, Pak,” ucapnya pada paspampres yang membawanya. “Semoga sukses, Nona,” jawab pria itu, memberi salam hormat. Aisyah mengangguk, melangkah ke dalam gedung dengan langkah penuh keyakinan, meski hatinya berdegup kencang. Bagaimanapun, ini adalah babak baru dari drama yang harus ia mainkan. "Aisyah? Sudah sampai? Bagus, kau datang tepat waktu!" Nursyid menyambutnya dengan senyum lebar, berdiri di depan pintu kantor seperti telah menunggu sejak lama. Langkahnya cepat, mengisyaratkan agar Aisyah mengikutinya. "Eh? Aku baru saja masuk! Kau mau membawaku ke mana lagi?" protes Aisyah, dengan nada lelah yang tak dapat ia sembunyikan. "Ke mansionku," jawab Nursyid dengan santai sambil terus berjalan. "Di sana jet pribadiku sudah siap. Kita akan syuting di berbagai lokasi wisata, baik dalam maupun luar negeri." Aisyah menghentikan langkahnya seketika. "Apa?" tanyanya, setengah tak percaya. "Selain itu, kau juga akan beradu akting dengan beberapa artis besar dari seluruh dunia. Ini skripnya, hapalkan baik-baik!" Nursyid menyerahkan sebuah buku tebal ke tangan Aisyah. Aisyah membuka halaman pertama buku itu, matanya membelalak ketika membaca salah satu nama di daftar pemain. "Li Shen?" gumamnya, setengah teriak. Seketika, rasa lelahnya hilang. Ia melesat melewati Nursyid menuju parkiran. "Ayo! Kita harus cepat! Mobilmu yang mana? Jangan biarkan Li Shen menunggu!" desaknya dengan antusias. Nursyid hanya terkekeh melihat perubahan sikap itu. Dengan santai, ia menunjuk mobil sport mewahnya yang terparkir mencolok di tengah deretan kendaraan. "Ayo naik." --- Dua bulan berlalu, Aisyah menjalani perjalanan syuting yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dari gedung-gedung pencakar langit di Higashiyama hingga pantai-pantai eksotis di Samudranesia, ia menjelajahi tempat-tempat indah, merasakan budaya yang berbeda, dan bertemu dengan para artis kelas dunia. Bagi Aisyah, proyek ini lebih dari sekadar pekerjaan. Setiap lokasi, setiap adegan, adalah pengalaman hidup yang mengajarinya banyak hal. Namun, lelah tetap menghampiri. Di penghujung perjalanan, Nursyid akhirnya mengantarnya kembali ke bandara, tampak puas dengan hasil kerja mereka. "Baiklah, paspampresmu sudah datang. Aku pamit dulu," kata Nursyid, melambaikan tangan santai. "Sampai jumpa, dan terima kasih banyak!" balas Aisyah, melambaikan tangan dengan senyuman lebar yang tulus. Ia bersyukur untuk semua pelajaran dan kenangan yang baru saja ia dapatkan. Namun, rasa senang itu hanya bertahan sejenak. Sesampainya di istana negara, senyum Aisyah seketika memudar. Di ruang tamu yang megah, berdiri seorang gadis muda bersama keluarganya, mengenakan kebaya anggun dengan hiasan rambut yang sempurna. Aura keanggunannya terpancar jelas. "Aisyah, perkenalkan. Ini Citra Ayu, putri gubernur Suryaloka. Calon istri Sulistyo," ujar Ratri dengan penuh kebanggaan, senyumnya seolah menantang. Aisyah membeku, matanya menatap lurus ke arah gadis itu. Gadis itu menunduk dengan sopan, lalu berkata dengan lembut, "Salam kenal, nona." Suaranya halus, begitu menawan, namun terasa menusuk di telinga Aisyah. Aisyah terperangah, napasnya tercekat. Seketika, sebuah kalimat meluncur tanpa ia sadari. "Kalian gila!" Ruang tamu itu langsung sunyi, hanya menyisakan gema dari kata-kata Aisyah. Semua mata menatapnya, namun Aisyah tidak peduli. Matanya masih terpaku pada Citra Ayu, yang kini tersenyum kecil, seolah puas telah memenangkan sesuatu yang belum Aisyah mengerti.Jam dinding berdetak perlahan, menghadirkan ritme monoton di ruang tamu megah yang kini sunyi senyap. Cahaya lampu kristal memantul dingin, mempertegas keheningan. Aisyah duduk diam, tangannya perlahan memegangi perut, lalu tertawa kecil, sinis, seperti menemukan lelucon yang hanya ia pahami. "Lucu... kalian semua sangat lucu," ucapnya dengan nada tajam, memecah keheningan yang mencekam. Ia mengangkat pandangan, menatap mereka satu per satu, lalu melanjutkan dengan nada yang penuh ejekan. "Apa kalian benar-benar berpikir tindakan kalian ini tidak akan menghancurkan nama baik kalian sendiri?" Sulistyo, yang sejak tadi berdiri tegak penuh wibawa palsu, justru tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema, seolah ancaman Aisyah hanyalah bahan lelucon baginya. Dalam sekejap, tangannya yang besar mencengkeram dagu Aisyah dengan kuat, memaksa wanita itu menatap langsung ke dalam matanya yang penuh amarah. "Kau pikir aku sebodoh itu?" tanyanya dingin, senyum sinis terukir di wajahnya. Aisyah
Halaman belakang Istana Negara yang sunyi terasa seperti oasis kecil di tengah kekacauan batin Aisyah. Angin lembut yang berhembus membawa kehangatan, seakan berusaha membungkus tubuhnya yang rapuh dengan pelukan alam. Di bawah langit senja, Mahendra duduk di hadapan Aisyah, memegang perlengkapan medis kecil. Tangannya yang besar namun lembut dengan hati-hati membersihkan luka-luka di wajah Aisyah, gerakannya pelan dan penuh perhatian, seolah setiap sentuhannya dirancang untuk mengobati tidak hanya fisik, tetapi juga hatinya yang terluka."Sakit?" tanya Mahendra dengan suara lembut, nadanya penuh kepedulian. Tatapannya terpaku pada ekspresi Aisyah, memperhatikan setiap reaksi, takut jika ia melukai lebih dalam. Ketika Aisyah sedikit meringis meskipun mencoba menyembunyikannya, tangan Mahendra otomatis berhenti.Aisyah menggeleng perlahan. Meski hatinya masih terasa pedih, kepedulian pria di depannya ini seperti air yang memadamkan api di dalam dirinya. Senyumnya yang tulus, tangannya
Di sebuah kamar tamu yang besar dan mewah, jam dinding berdetak lambat, seolah menghitung setiap detik dengan penuh kehati-hatian. Keheningan di ruangan itu hampir memekakkan telinga, hanya dipecahkan oleh langkah-langkah kecil tiga gadis yang sibuk bergerak. Mereka adalah Mila, Misa, dan Aisyah. "Ah! Pinggangku...!" keluh Mila, pelayan istana, sambil memegangi pinggangnya yang terasa nyeri. Napasnya terengah setelah memindahkan koper besar milik keluarga Citra. "Mereka cuma tinggal beberapa hari, tapi barangnya seperti mau pindah rumah setahun!" "Ssst!" Misa, kakak Mila yang lebih tenang, menyenggol lengannya dengan tajam. Ia melirik sekilas ke arah Aisyah yang sedang merapikan pakaian milik anak gubernur di lemari, wajahnya tanpa ekspresi. "Jangan mengeluh terlalu keras! Lihat istri wakil presiden kita. Padahal dia bukan pelayan, tapi lebih rajin daripada kamu." Aisyah mendengar itu dan menoleh dengan senyum tipis, tapi nada bicaranya mendadak berubah tegas, seperti suara kara
Langit senja memancarkan warna merah dan oranye yang menyala terang, seolah melukis suasana dramatis di ruang kerja Nursyid, sang pemilik LightGlow Cosmetics. Dalam ruang yang penuh estetika itu, Nursyid sedang mengenakan jasnya, bersiap untuk menghadiri fanmeeting bersama brand ambassador barunya, Aisyah. Namun, sebelum ia sempat melangkah keluar, suara langkah kaki yang cepat terdengar dari arah pintu. Tanpa perlu menoleh, Nursyid sudah tahu siapa yang datang. "Masuk saja, Aisyah. Pintu tidak terkunci," katanya tenang, tanpa mengalihkan pandangan dari cermin di hadapannya. Pintu terbuka dengan suara pelan, dan Nursyid, yang hendak menyambut kedatangan Aisyah dengan senyum, langsung terpaku. Kalimat yang hendak ia ucapkan terhenti di tenggorokan saat pandangannya jatuh pada wajah gadis itu. Keningnya terlihat memar dan tertutup plester, kedua pipinya lebam dengan warna ungu yang mencolok, dan ujung bibirnya merah, bekas darah yang belum sepenuhnya kering. Nursyid mendekat dengan
Rayhan mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, melaju lincah di antara kendaraan-kendaraan besar yang merayap di jalan. Seolah sedang berpacu dengan waktu, dia menantang langit senja yang perlahan menggelap, matahari yang memancarkan warna oranye kemerahan mulai tenggelam di cakrawala. Angin malam semakin dingin, tapi Rayhan tak peduli. Ada sesuatu yang lebih mendesak daripada rasa lelah atau dingin yang menggigit kulitnya. Saat matahari akhirnya tenggelam sepenuhnya, motor Rayhan berhenti di depan istana megah. Ia menghela napas panjang, memastikan bahwa Aisyah telah sampai dengan selamat. Wanita itu turun dari motor dengan hati-hati, memegangi pipinya yang memar, mencoba menyembunyikan rasa sakit di balik senyuman tipis. “Terima kasih, Pak,” ucap Aisyah pelan. Suaranya hampir tenggelam dalam deru kendaraan yang lewat di kejauhan. Gerakan kecil pada bibirnya saja sudah cukup untuk membuat rasa sakit menjalar di kedua sisi wajahnya, mengingatkannya pada luka-luka bekas tampara
Malam telah menelan seluruh cahaya, meninggalkan langit pekat yang bertabur bintang jauh di atas istana. Di dapur, Aisyah sibuk membantu para koki mengaduk panci-panci besar, aroma rempah menguar ke segala penjuru. Sementara itu, Mila dan Misa berlarian ke sana kemari, membantu pelayan lainnya mengatur hidangan makan malam di meja panjang nan megah. Ketika semuanya siap, Aisyah menarik kursi di meja makan dan duduk tanpa ragu di samping Sulistyo. Tatapannya tenang, seolah tempat itu memang miliknya. Namun, keheningan tak bertahan lama. "Siapa yang menyuruh gadis rendahan sepertimu duduk di sampingku?" Suara dingin Sulistyo memecah suasana. Tatapannya tajam, aura gelap menguar dari tubuhnya, menciptakan atmosfer yang menyesakkan di sekelilingnya. Aisyah tak bergeming. Dengan tenang, ia menyendok daging dari mangkuk besar di meja dan menaruhnya di piringnya sendiri. "Tidak ada yang menyuruh," jawabnya datar. "Aku hanya ingin." Ia menoleh ke arah keluarga Citra yang duduk di seberan
Makanan mulai tersaji kembali di atas meja mewah dengan susunan yang begitu sempurna, seperti karya seni yang menggoda setiap indera. Aroma sedap memenuhi ruangan, membangkitkan selera meski keheningan tetap menggantung di udara, menciptakan suasana canggung yang terasa menekan. Jatmiko, dengan sikap tegas namun ramah, akhirnya memecah keheningan. "Selamat malam, keluarga gubernur Suryaloka sekalian... Saya, Jatmiko, sebagai kepala keluarga Nugroho, mempersilakan kalian menikmati hidangan yang telah disiapkan ini." Kata-kata itu menjadi sinyal bagi keluarga gubernur Suryaloka untuk mulai bergerak. Citra, bersama kedua orang tuanya, perlahan mengambil makanan ke piring masing-masing dengan gerakan anggun yang mencerminkan pendidikan dan status mereka. Dengan table manner yang sempurna, mereka mulai menikmati makanan, setiap potongan dilahap dengan penuh kesopanan. Namun, di tengah suasana yang mulai mencair, suara lembut namun penuh keraguan milik Citra memecah harmoni tersebut. "Um
Malam semakin larut, dingin malam menyelinap melalui celah-celah jendela, menusuk tulang siapa saja yang belum terlelap. Di dalam kamarnya yang temaram, Aisyah berbaring di atas ranjang empuk, selimut tebal membungkus tubuh mungilnya. Namun, matanya yang tajam belum juga terpejam. Di tangannya, sebuah foto tergenggam erat—foto dirinya dengan Li Shen, aktor tampan dari negara Zhonghua yang sempat beradu akting dengannya dua bulan lalu. Tatapan Aisyah penuh kekaguman, bukan hanya pada Li Shen, tetapi juga pada dirinya sendiri. Jemarinya beralih menyentuh layar ponsel, bergeser ke foto-foto lain. Di sana terpampang momen-momen kebersamaannya dengan artis-artis ternama dari berbagai negara, senyuman mereka yang memesona seolah hidup kembali melalui gambar. Tanpa sadar, bibir Aisyah melengkung, menyunggingkan senyuman kecil yang dipenuhi rasa bangga dan harapan. “Aku tidak sabar menunggu iklan LightGlow Cosmetics itu ditayangkan,” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. “Pasti luar biasa
Hari semakin sore. Cahaya matahari yang hampir tenggelam memancarkan warna keemasan di ufuk barat. Suasana terasa hening di kantor gubernur saat Sulistyo menerima telepon dari ayahnya, Jatmiko. “Sulistyo, kau sudah bertemu dengan Gubernur Suryaloka?” Suara Jatmiko terdengar dingin dan tegas dari seberang. “Ajak gubernur ke rumah ayah untuk merundingkan rencana pernikahanmu dengan Citra.” Sulistyo menggenggam ponselnya erat, wajahnya tetap datar. “Baik, Ayah,” jawabnya singkat sebelum menutup telepon. Dengan langkah mantap, ia mendekati Suryanto yang masih berada di ruangan. “Pak Gubernur,” Sulistyo memulai dengan suara sopan namun formal, “Ayah saya, mantan presiden, mengundang Anda untuk datang ke rumahnya. Beliau ingin membahas rencana pernikahan saya dengan Citra.” Suryanto, meskipun terkejut, menyembunyikan reaksinya dengan senyuman tipis. “Baik, Anda berangkatlah lebih dulu. Saya akan datang ke sana bersama anak dan is
Sulistyo memicingkan mata, menatap ke arah Citra dengan tatapan penuh kebingungan. "Benarkah? Aisyah seperti itu?" tanyanya, seolah berusaha mencerna cerita yang baru saja didengarnya. Citra mengangguk mantap. “Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Dia menyelamatkanku dari tiga preman itu. Tidak ada yang lebih nyata dari itu.” Suaranya penuh keyakinan, namun matanya memancarkan emosi yang sulit dijelaskan—antara kagum, syukur, dan rasa tidak percaya atas keberanian Aisyah. Sulistyo mengusap dagunya, raut wajahnya menyiratkan bahwa dia sedang memikirkan sesuatu yang lebih dalam. Tanpa sadar, dia bergumam, “Apa ada sesuatu juga di makanan Aisyah waktu itu?” “Ya?” Citra menatapnya bingung. “Apa maksudmu?” Sulistyo tersentak dari lamunannya. “Ti-tidak. Tidak ada apa-apa,” katanya cepat, berusaha mengalihkan perhatian. Dia kemudian berjalan kembali ke sawah, bergabung dengan para petani yang sibuk mencangkul. Namun, gerak-ge
Saat upacara kemerdekaan beberapa bulan lalu, istana negara dipadati oleh lautan manusia. Para pejabat dari berbagai daerah hadir, termasuk gubernur Suryaloka bersama keluarganya.Citra, yang baru pertama kali ikut dalam acara besar seperti ini, tampak kebingungan di tengah kerumunan. “Ugh… Ayah dan Ibu di mana ya?” gumamnya, matanya mencari-cari wajah yang dikenalnya seperti anak kecil tersesat.Langkahnya membawanya semakin jauh dari keramaian utama. Tanpa sadar, ia telah menyusuri jalanan sempit yang menuju perkampungan kumuh di pinggiran istana. Aroma tak sedap bercampur dengan kesunyian subuh menyergapnya. Citra mengernyitkan hidung, merasa tidak nyaman. “Tempat macam apa ini? Kenapa aku tiba-tiba di sini?”“Eh, halo… Gadis cantik! Main sama kami, yuk!” Sebuah suara kasar terdengar dari belakang. Citra menoleh dan mendapati tiga pria bertampang seram berdiri di sana.“Kalian siapa?” tanya Citra panik, melangkah mundur dengan gugup.“
Setelah makanan kedua tersaji, piring-piring kotor mulai menumpuk di sekeliling saung. Para pria, seperti biasa, hanya meninggalkan sisa-sisa makanan begitu saja, tanpa sedikit pun niat mencucinya. Mereka duduk bersandar, berbicara seenaknya."Ayo cepat makan! Setelah ini kita mencangkul lagi!" seru pria bertubuh kekar yang tampak paling menyebalkan di antara mereka. Nada suaranya penuh otoritas, meski jelas ia tidak melakukan banyak hal selain mengatur-atur.Citra mengepalkan tangannya erat-erat. Amarahnya mendidih, namun ia berusaha menahan diri. Ia tahu, satu tindakan kasar saja dapat merusak citra dirinya sebagai putri gubernur.Namun sebelum situasi semakin memanas, Sulistyo turun dari saung dengan langkah mantap. Ia mengambil alih suasana dengan suara beratnya yang penuh wibawa. "Baiklah... Pemuda sekalian, waktu adalah uang! Seluruh warga Dwipantara menunggu hasil pertanian kita! Biarkan para wanita makan dengan tenang, dan kita duluan saja melanjut
Setelah semua selesai mandi dan menunaikan ibadah, para petani berkumpul di dekat panci besar yang menggantung di atas api unggun. Aroma rempah mulai memenuhi udara, menandakan makanan tengah disiapkan. Namun, pemandangan yang tersaji membuat Citra tidak nyaman.Semua petani wanita, termasuk dirinya, sibuk memasak dengan tangan yang sudah kelelahan akibat mencangkul sepanjang pagi. Sementara itu, para petani pria, termasuk Sulistyo, duduk santai di saung, menikmati semilir angin tanpa sedikit pun terlihat berniat membantu.Citra menggigit bibirnya, menahan amarah. "Apa mereka tidak lelah? Panas-panasan di sawah, sekarang harus memasak juga? Kalau mereka tidak mau membantu, biarkan saja kelaparan!" pikirnya geram, namun ia tak berani mengutarakannya.Dari arah saung, seorang petani pria muda yang tampak gagah malah berseru lantang. "Masak yang enak, ya! Kalau tidak enak, awas kalian!" katanya sambil terkekeh.Citra menatapnya dengan tatapan menusuk
Panas terik membakar sawah yang luas, menyengat kulit para petani, Sulistyo, dan Citra yang sedang giat bercocok tanam. Keringat mengucur deras dari wajah mereka. Wajah Citra memerah, kakinya bergetar, tubuhnya hampir menyerah karena tidak terbiasa dengan pekerjaan berat seperti ini."Kalau tidak kuat, berhenti saja! Untuk apa memaksakan diri?" bisik Sulistyo pelan di dekatnya, nadanya tajam namun tidak terlalu keras.Citra mengangkat wajahnya yang basah oleh keringat, matanya penuh tekad. "Tidak! Kalau Wakil Presiden saja bisa melakukan ini, aku juga bisa!" jawabnya mantap meskipun suaranya sedikit gemetar.Sulistyo hanya mendengus pelan, tidak ingin memperdebatkan semangat aneh gadis itu.Tak lama kemudian, suara seorang petani tua memecah kesibukan mereka. "Semuanya, sudah terdengar adzan. Sebaiknya kita berhenti sebentar untuk beribadah, setelah itu beristirahat.""Baik, Pak!" sahut para petani lainnya dengan serempak, meletakkan alat
"Kakak Mahendra..." Aisyah merengek pelan, suaranya hampir seperti bisikan, namun cukup jelas untuk terdengar di antara langkah-langkah mereka yang bergema di lorong. Ia menggantungkan diri pada lengannya, memohon belas kasihan. "Jangan merengek seperti anak kecil. Kau sudah besar," jawab Mahendra ketus, tanpa menoleh sedikit pun. Namun, nada suaranya yang tegas tidak cukup untuk menyembunyikan rasa lelahnya menghadapi tingkah Aisyah. Aisyah memajukan bibirnya, menahan kesal. "Kalau aku sudah besar, kenapa masih dikurung di kamar seperti anak kecil yang melakukan kesalahan berat? Aku bosan di kamar terus, Kak! Tidak ada udara, tidak ada kebebasan..." Suaranya meninggi, seolah-olah mengumpulkan energi terakhir untuk meraih simpati. Mahendra berhenti melangkah. Ia menghela napas panjang, jelas mulai luluh oleh rengekan Aisyah. Ia menatap wanita yang sedang memandang penuh harap. "Kau mau kemana?" tanyanya akhirnya, menyerah pada rasa penasaran. "Perpustakaan!" jawab Aisyah tanpa
Aisyah duduk di sudut kamar, matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan siaran langsung Sulistyo. Wajahnya yang biasanya dingin tampak sedikit berubah saat ia melihat momen di mana suaminya, Wakil Presiden, menopang tubuh Citra agar tidak terjatuh. Jika kebanyakan istri akan marah atau cemburu melihat hal itu, reaksi Aisyah justru sebaliknya."Hore! Tidak ada Sulistyo!" serunya sambil melompat dari tempat duduknya, seolah anak kecil yang baru mendapat hadiah besar. Senyum lebar terukir di wajahnya. "Sepertinya ini kesempatan untuk kabur!"Kegembiraannya terhenti sejenak ketika pintu kamar terbuka. Mila, pelayan setia yang sudah seperti teman, muncul sambil membawa nampan berisi makanan. "Nona, ini makan siangnya," ujar Mila dengan lembut, meletakkan nampan di atas meja dekat tempat tidur."Mila!" Aisyah langsung berlari ke arahnya, tanpa ragu memeluk perempuan itu erat-erat. Mila, yang tidak siap dengan reaksi tiba-tiba itu, terdiam, wajahnya men
Di tengah hamparan sawah yang luas, seorang gadis muda yang sedang menanam padi tak sengaja melihat sosok pria berjas berdiri memerhatikan mereka dari kejauhan. Matanya membelalak ketika mengenali pria itu, dan dengan suara lantang, ia berteriak, "Semua! Lihat! Itu Pak Wakil Presiden! Pak Wakil Presiden ada di sini!"Kegaduhan langsung pecah di antara para petani."Mana? Mana?""Oh, itu dia! Benar, itu Pak Wakil Presiden!""Pak Wakil Presiden!""Terima kasih banyak atas programnya! Berkat Bapak Presiden dan Wakil Presiden, kami tidak menganggur lagi!"Seperti air bah, para petani meninggalkan pekerjaan mereka dan berbondong-bondong berlari ke arah Sulistyo. Langkah kaki mereka menghentak tanah sawah yang basah, menyisakan jejak lumpur di setiap tempat mereka berpijak."Eh? Ja—jangan berkerumun seperti itu! A—aduh!" seru Citra panik, matanya melirik ke kanan dan kiri mencari keberadaan paspampres Sulistyo. Namun, pria itu tampak tenang, mengangkat tangannya ke arah Citra, memberi isyar