Aisyah duduk di perpustakaan istana dengan tenang, tenggelam dalam dunia buku yang ia baca. Hening dan damai, seperti pelarian kecil dari realitas yang menyiksa. Tapi ketenangan itu tak berlangsung lama.
"Sedang membaca? Baguslah," suara sinis Sulistyo memecah keheningan. Aisyah menghela napas panjang, mencabut earphone bluetooth dari telinganya dengan gerakan malas. "Langsung saja. Apa maumu kali ini?" Sulistyo melangkah mendekat, meletakkan tumpukan kertas di atas meja dengan senyum miring. "Baca ini, dan hapalkan semuanya." Mata Aisyah menatap tajam ke arah dokumen itu. "Apa ini?" tangannya terulur, mulai membolak-balik halaman dengan cepat. "Skrip acara talk show," jawab Sulistyo dengan nada penuh kemenangan. "Kau harus tampil besok. Tunjukkan akting terbaikmu!" Aisyah membaca sekilas, lalu terkekeh kecil. "Jadi ini semua demi pengalihan isu jet pribadimu? Menonjolkan betapa malangnya nasibku, seorang perempuan yang keguguran karena ditendang ayah tirinya? Sungguh, kau tak pernah berhenti mencari cara licik, ya?" "Licik atau tidak, kau tahu ini akan berhasil," Sulistyo berbisik di telinganya, dingin dan menusuk. "Dan jangan sampai kau keceplosan mengatakan bahwa dia ayah tirimu. Kita tak butuh skandal baru." Aisyah mendongak, tatapannya menusuk balik. "Apa untungnya untukku?" Sulistyo menyeringai tipis. "Bayaran talk show itu cukup besar. Itu semua untukmu. Anggap saja ini bonus kecil." "Bonus kecil?" Aisyah menyipitkan matanya, nada bicaranya penuh ejekan. "Kalau begitu, aku juga ingin sesuatu yang lebih besar." Sulistyo mendengus. "Apa lagi yang kau inginkan?" Aisyah menegakkan punggungnya, menatap Sulistyo dengan dingin. "Biayai kedua orang tuaku dan adikku. Kalau kau benar-benar ingin aku ikut permainan ini, kau harus membayar harga yang pantas." "Tidak!" Sulistyo menggeram, nada suaranya berubah tajam. "Itu terlalu berlebihan!" "Kalau begitu, aku juga tidak mau," balas Aisyah sambil membuang muka, wajahnya penuh kekesalan. Sulistyo mendekat lagi, kali ini lebih intens. Ia berbisik di telinga Aisyah, suaranya rendah tapi menekan. "Yakin kau mau menolak? Setelah acara ini, kau akan terkenal. Dan aku sudah memastikan kau menjadi brand ambassador produk LightGlow Cosmetics." Aisyah terdiam sejenak, bibirnya mengatup rapat. Ia tahu tawaran ini menggiurkan, tapi juga penuh jebakan. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia mengulurkan tangan. "Deal," katanya dingin. Sulistyo menyeringai, menjabat tangannya erat. "Kita punya kesepakatan, Aisyah. Jangan kecewakan aku." Aisyah menarik tangannya, tatapannya kembali dingin. "Kita lihat saja nanti siapa yang akan kecewa," gumamnya pelan, cukup keras untuk didengar Sulistyo. Sulistyo hanya tertawa kecil, lalu berbalik pergi, meninggalkan Aisyah sendiri di perpustakaan yang kembali sunyi. Tapi kali ini, sunyi itu terasa menyesakkan, seolah menyimpan ribuan rahasia yang siap meledak kapan saja. Keesokan paginya, Aisyah bersiap dengan hati yang bercampur aduk. Gaun elegan yang ia kenakan terasa seperti belenggu, sementara makeup sempurna di wajahnya seolah menjadi topeng yang memaksa senyum di bibirnya. Ia melangkah keluar, menaiki mobil mewah yang telah menunggu. Sopir dan paspampres duduk di depan, membawa dirinya menuju studio acara talk show yang akan segera disiarkan secara langsung. Setibanya di lokasi, Aisyah langsung disambut dengan antusias. Para kru dan host acara sudah bersiap menyambutnya dengan penuh keramahan yang terasa palsu. "Wah... Ini dia istri wakil presiden kita!" seru Gita, salah satu host acara, dengan nada berlebihan. "Pasukan pembawa bendera yang terkenal karena kecantikannya itu, kan? Dilihat dari dekat, kau jauh lebih menawan!" Aisyah hanya tersenyum tipis, mengikuti alur permainan. "Terima kasih," jawabnya singkat, berusaha tetap terlihat hangat meski ada kilatan dingin di matanya. "Ayo, ayo, masuk! Sebentar lagi kita mulai live!" Gita menuntun Aisyah ke studio syuting dengan penuh semangat. Beberapa menit kemudian, lampu sorot menyala terang, menandakan dimulainya siaran langsung. Aisyah duduk di sofa berlapis kain mewah, diapit oleh dua host acara. Kamera mulai merekam, menampilkan wajahnya ke seluruh penjuru negeri. "Baiklah, pemirsa! Hari ini kita kedatangan tamu spesial, seorang wanita luar biasa yang mencuri hati wakil presiden kita! Inilah dia, Aisyah!" seru Gita, dengan suara yang terdengar penuh energi. Tepuk tangan riuh terdengar di studio, membuat Aisyah semakin merasa muak di dalam hati. Tapi ia tahu, ini bukan saatnya untuk goyah. "Aisyah," Gina melanjutkan dengan senyuman lebar, "bisa ceritakan kepada kami semua? Bagaimana kau bisa menikah dengan wakil presiden kami? Apakah ada kisah khusus yang romantis di baliknya?" Aisyah menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum manis, senyum yang sudah ia latih semalaman di depan cermin. Dengan suara lembut tapi tegas, ia mulai menjawab sesuai dengan skrip yang telah disiapkan Sulistyo. "Wakil presiden kalian adalah pria yang sangat baik," katanya, setiap kata terasa seperti belati yang menyayat hatinya sendiri. "Beliau bilang terpesona dengan kecantikanku. Karena itulah beliau sangat menginginkan diriku. Tepat dua minggu setelah upacara kemerdekaan, beliau melamarku. Beberapa hari kemudian, kami menggelar resepsi pernikahan yang sederhana tapi penuh kebahagiaan." "Wah, sungguh luar biasa!" seru Gita dengan mata berbinar, meski jelas sekali ia hanya mengikuti naskah. "Wakil presiden kita memang pria yang sangat baik dan penuh perhatian. Tepuk tangan semua!" Seluruh studio bergemuruh oleh tepuk tangan. Aisyah ikut bertepuk tangan, tetap memamerkan senyum manis yang tak pernah lepas dari wajahnya. Tapi dalam hatinya, ia mendidih. "Pria baik? Omong kosong!" pikirnya sambil menahan diri untuk tidak meremas tangannya sendiri. "Dia menikahiku bukan karena cinta atau kagum, tapi untuk menutupi kebejatannya. Untuk menutupi fakta bahwa dia memperkosaku!" Hatinya berteriak, tapi ia hanya bisa menelan semua amarah itu bulat-bulat. Di depan jutaan pasang mata, ia harus terus memainkan peran ini. Topengnya tak boleh retak, tidak sekarang. Tidak di sini. “Omong-omong…” suara Gilang, host pria yang sejak tadi hanya menjadi pengamat, akhirnya terdengar. Ia menatap Aisyah dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. “Aku dengar kau sempat dibawa ke rumah sakit menggunakan jet pribadi oleh wakil presiden kita. Ada apa sebenarnya?” Aisyah menarik napas panjang, menjaga agar suaranya tetap tenang meski hatinya bergemuruh. Ia melatih senyuman manis yang tampak alami, lalu menjawab, “Oh, itu… Pak Wakil Presiden dan keluarganya sangat peduli padaku. Setelah acara pelantikan, aku pingsan dan tidak sadarkan diri. Dengan panik, keluarganya langsung membawaku ke rumah sakit terbaik menggunakan jet pribadi milik salah satu pengusaha terbaik di negeri Dwipantara.” “Pingsan?” Gita memiringkan kepalanya, memasang ekspresi terkejut yang hampir teatrikal. “Lalu… kau keguguran? Bagaimana bisa? Ada apa ini sebenarnya?” Aisyah menunduk perlahan, memberikan jeda agar atmosfer studio terasa semakin hening. Air mata mulai menggenang di matanya, perlahan mengalir, menciptakan momen dramatis yang begitu sempurna untuk kamera. “Karena… ayahku…” Suaranya mulai bergetar, seperti mencoba menahan luka mendalam. “Ayah kandungku sendiri… telah menendang perutku hingga aku jatuh…” “Hah?!” seruan terkejut dari Gilang dan Gita terdengar serempak, meski mereka tahu ini adalah bagian dari naskah. Studio langsung dipenuhi desahan kaget dari kru di belakang layar. “Bagaimana bisa seorang ayah melakukan itu pada putrinya sendiri?” Gilang menatap Aisyah dengan pandangan yang tampak benar-benar terkejut dan emosi yang hampir tak terbendung. Aisyah kembali terisak, air matanya mengalir deras. “Ayahku… dia marah karena aku tidak memberikan uang untuk sekolah kedua adik laki-lakiku. Padahal aku selalu rutin mengirim uang… Aku selalu berusaha memenuhi kebutuhannya… Tapi bagaimanapun juga, semua yang kulakukan… tidak pernah cukup di matanya.” Ia mengangkat wajahnya, menatap kamera dengan mata merah yang penuh air mata. “Aku hanya anak perempuan yang tidak diinginkan oleh ayahku… Sejak kecil, aku tahu itu. Ayahku hanya menyayangi adik-adikku. Karena mereka anak laki-laki… anak yang ia inginkan.” Gita segera merangkul Aisyah, mengusap punggungnya dengan penuh perhatian. “Sayang… tenang ya… Pelan-pelan saja ceritanya. Jangan terlalu memaksakan diri,” ucapnya lembut, memainkan perannya dengan sempurna. Di sisi lain, Gilang mengambil napas panjang, lalu memalingkan pandangannya ke arah kamera. Raut wajahnya penuh dengan amarah dan kekecewaan, seolah-olah ia benar-benar merasakan derita Aisyah. “Inilah salah satu alasan,” ucap Gilang dengan nada penuh penekanan, “mengapa negara Dwipantara menjadi salah satu negara dengan angka fatherless tertinggi di dunia. Padahal, apa salah gadis ini? Apakah salah dilahirkan sebagai seorang perempuan?” Studio hening sejenak, hanya terdengar isakan kecil Aisyah. “Ini pelajaran untuk kita semua,” lanjut Gilang, menatap lurus ke kamera dengan penuh intensitas. “Untuk para laki-laki, untuk para calon ayah di luar sana… Apapun gender anakmu, mereka adalah anugerah. Mereka adalah tanggung jawabmu. Sayangilah mereka dengan adil… Karena anak perempuan atau laki-laki, keduanya berharga.” Tepuk tangan kecil mulai terdengar, diikuti gemuruh tepuk tangan dari penonton studio. Aisyah mengusap matanya, lalu tersenyum samar, meski hatinya hancur berkeping-keping. Semua ini hanya sandiwara, pikirnya. Namun, ia tahu… sandiwara ini harus terus dimainkan.Setelah acara talk show berakhir, media sosial Aisyah meledak. Notifikasi tak berhenti berdatangan—jutaan orang mulai mengikuti akun pribadinya. Banyak yang memberikan dukungan, tetapi tidak sedikit pula yang mencemoohnya. “Aisyah! Aku sudah lihat penampilanmu di talk show tadi. Kau wanita yang sangat kuat! Tetap semangat, ya!” tulis salah satu komentar yang membanjiri kolomnya. “Aisyah adalah bukti bahwa perempuan bisa tetap berdiri meski dihancurkan oleh hidup. Terus bertahan, kami mendukungmu!” tulis pengguna lain dengan emoji hati yang memenuhi baris komentar. Namun, tak semua suara semanis itu. “Cantik darimana? Wajahnya biasa saja. Pasaran banget!” cemooh sebuah akun yang disertai tawa mengejek. “Tch! Orang-orang ini mudah sekali terbuai cerita murahan. Lihat saja, sebentar lagi dia pasti jadi model kosmetik,” sindir komentar lain yang menuai ratusan tanda suka. Namun ada pula yang membela. “Berhenti menghujat! Aisyah itu cantik, dan lebih penting lagi, dia adalah
Jam dinding berdetak perlahan, menghadirkan ritme monoton di ruang tamu megah yang kini sunyi senyap. Cahaya lampu kristal memantul dingin, mempertegas keheningan. Aisyah duduk diam, tangannya perlahan memegangi perut, lalu tertawa kecil, sinis, seperti menemukan lelucon yang hanya ia pahami. "Lucu... kalian semua sangat lucu," ucapnya dengan nada tajam, memecah keheningan yang mencekam. Ia mengangkat pandangan, menatap mereka satu per satu, lalu melanjutkan dengan nada yang penuh ejekan. "Apa kalian benar-benar berpikir tindakan kalian ini tidak akan menghancurkan nama baik kalian sendiri?" Sulistyo, yang sejak tadi berdiri tegak penuh wibawa palsu, justru tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema, seolah ancaman Aisyah hanyalah bahan lelucon baginya. Dalam sekejap, tangannya yang besar mencengkeram dagu Aisyah dengan kuat, memaksa wanita itu menatap langsung ke dalam matanya yang penuh amarah. "Kau pikir aku sebodoh itu?" tanyanya dingin, senyum sinis terukir di wajahnya. Aisyah
Halaman belakang Istana Negara yang sunyi terasa seperti oasis kecil di tengah kekacauan batin Aisyah. Angin lembut yang berhembus membawa kehangatan, seakan berusaha membungkus tubuhnya yang rapuh dengan pelukan alam. Di bawah langit senja, Mahendra duduk di hadapan Aisyah, memegang perlengkapan medis kecil. Tangannya yang besar namun lembut dengan hati-hati membersihkan luka-luka di wajah Aisyah, gerakannya pelan dan penuh perhatian, seolah setiap sentuhannya dirancang untuk mengobati tidak hanya fisik, tetapi juga hatinya yang terluka."Sakit?" tanya Mahendra dengan suara lembut, nadanya penuh kepedulian. Tatapannya terpaku pada ekspresi Aisyah, memperhatikan setiap reaksi, takut jika ia melukai lebih dalam. Ketika Aisyah sedikit meringis meskipun mencoba menyembunyikannya, tangan Mahendra otomatis berhenti.Aisyah menggeleng perlahan. Meski hatinya masih terasa pedih, kepedulian pria di depannya ini seperti air yang memadamkan api di dalam dirinya. Senyumnya yang tulus, tangannya
Di sebuah kamar tamu yang besar dan mewah, jam dinding berdetak lambat, seolah menghitung setiap detik dengan penuh kehati-hatian. Keheningan di ruangan itu hampir memekakkan telinga, hanya dipecahkan oleh langkah-langkah kecil tiga gadis yang sibuk bergerak. Mereka adalah Mila, Misa, dan Aisyah. "Ah! Pinggangku...!" keluh Mila, pelayan istana, sambil memegangi pinggangnya yang terasa nyeri. Napasnya terengah setelah memindahkan koper besar milik keluarga Citra. "Mereka cuma tinggal beberapa hari, tapi barangnya seperti mau pindah rumah setahun!" "Ssst!" Misa, kakak Mila yang lebih tenang, menyenggol lengannya dengan tajam. Ia melirik sekilas ke arah Aisyah yang sedang merapikan pakaian milik anak gubernur di lemari, wajahnya tanpa ekspresi. "Jangan mengeluh terlalu keras! Lihat istri wakil presiden kita. Padahal dia bukan pelayan, tapi lebih rajin daripada kamu." Aisyah mendengar itu dan menoleh dengan senyum tipis, tapi nada bicaranya mendadak berubah tegas, seperti suara kara
Langit senja memancarkan warna merah dan oranye yang menyala terang, seolah melukis suasana dramatis di ruang kerja Nursyid, sang pemilik LightGlow Cosmetics. Dalam ruang yang penuh estetika itu, Nursyid sedang mengenakan jasnya, bersiap untuk menghadiri fanmeeting bersama brand ambassador barunya, Aisyah. Namun, sebelum ia sempat melangkah keluar, suara langkah kaki yang cepat terdengar dari arah pintu. Tanpa perlu menoleh, Nursyid sudah tahu siapa yang datang. "Masuk saja, Aisyah. Pintu tidak terkunci," katanya tenang, tanpa mengalihkan pandangan dari cermin di hadapannya. Pintu terbuka dengan suara pelan, dan Nursyid, yang hendak menyambut kedatangan Aisyah dengan senyum, langsung terpaku. Kalimat yang hendak ia ucapkan terhenti di tenggorokan saat pandangannya jatuh pada wajah gadis itu. Keningnya terlihat memar dan tertutup plester, kedua pipinya lebam dengan warna ungu yang mencolok, dan ujung bibirnya merah, bekas darah yang belum sepenuhnya kering. Nursyid mendekat dengan
Rayhan mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, melaju lincah di antara kendaraan-kendaraan besar yang merayap di jalan. Seolah sedang berpacu dengan waktu, dia menantang langit senja yang perlahan menggelap, matahari yang memancarkan warna oranye kemerahan mulai tenggelam di cakrawala. Angin malam semakin dingin, tapi Rayhan tak peduli. Ada sesuatu yang lebih mendesak daripada rasa lelah atau dingin yang menggigit kulitnya. Saat matahari akhirnya tenggelam sepenuhnya, motor Rayhan berhenti di depan istana megah. Ia menghela napas panjang, memastikan bahwa Aisyah telah sampai dengan selamat. Wanita itu turun dari motor dengan hati-hati, memegangi pipinya yang memar, mencoba menyembunyikan rasa sakit di balik senyuman tipis. “Terima kasih, Pak,” ucap Aisyah pelan. Suaranya hampir tenggelam dalam deru kendaraan yang lewat di kejauhan. Gerakan kecil pada bibirnya saja sudah cukup untuk membuat rasa sakit menjalar di kedua sisi wajahnya, mengingatkannya pada luka-luka bekas tampara
Malam telah menelan seluruh cahaya, meninggalkan langit pekat yang bertabur bintang jauh di atas istana. Di dapur, Aisyah sibuk membantu para koki mengaduk panci-panci besar, aroma rempah menguar ke segala penjuru. Sementara itu, Mila dan Misa berlarian ke sana kemari, membantu pelayan lainnya mengatur hidangan makan malam di meja panjang nan megah. Ketika semuanya siap, Aisyah menarik kursi di meja makan dan duduk tanpa ragu di samping Sulistyo. Tatapannya tenang, seolah tempat itu memang miliknya. Namun, keheningan tak bertahan lama. "Siapa yang menyuruh gadis rendahan sepertimu duduk di sampingku?" Suara dingin Sulistyo memecah suasana. Tatapannya tajam, aura gelap menguar dari tubuhnya, menciptakan atmosfer yang menyesakkan di sekelilingnya. Aisyah tak bergeming. Dengan tenang, ia menyendok daging dari mangkuk besar di meja dan menaruhnya di piringnya sendiri. "Tidak ada yang menyuruh," jawabnya datar. "Aku hanya ingin." Ia menoleh ke arah keluarga Citra yang duduk di seberan
Makanan mulai tersaji kembali di atas meja mewah dengan susunan yang begitu sempurna, seperti karya seni yang menggoda setiap indera. Aroma sedap memenuhi ruangan, membangkitkan selera meski keheningan tetap menggantung di udara, menciptakan suasana canggung yang terasa menekan. Jatmiko, dengan sikap tegas namun ramah, akhirnya memecah keheningan. "Selamat malam, keluarga gubernur Suryaloka sekalian... Saya, Jatmiko, sebagai kepala keluarga Nugroho, mempersilakan kalian menikmati hidangan yang telah disiapkan ini." Kata-kata itu menjadi sinyal bagi keluarga gubernur Suryaloka untuk mulai bergerak. Citra, bersama kedua orang tuanya, perlahan mengambil makanan ke piring masing-masing dengan gerakan anggun yang mencerminkan pendidikan dan status mereka. Dengan table manner yang sempurna, mereka mulai menikmati makanan, setiap potongan dilahap dengan penuh kesopanan. Namun, di tengah suasana yang mulai mencair, suara lembut namun penuh keraguan milik Citra memecah harmoni tersebut. "Um
Sulistyo melangkah masuk ke kamar dengan wajah penuh percaya diri. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Aisyah duduk meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya tersembunyi di balik bantal yang ia tekan erat-erat ke kepalanya, seolah mencoba memblokir sesuatu yang tak terlihat. Sesekali, isakan kecil terdengar dari balik bantal itu. Matanya menyipit, bingung dan sedikit terganggu. Dalam hitungan detik, dia berlari menghampiri Aisyah, lututnya berlutut di samping ranjang. Dengan lembut, tangannya menarik bantal dari wajah istrinya. "Ada apa, sayang? Kenapa menangis?" Wajah Aisyah basah oleh air mata, matanya sembab dan penuh ketakutan. Suaranya bergetar saat ia berbicara. "Dari tadi… Aku terus mendengar suara tembakan dan teriakan orang-orang." Ia menggigit bibir bawahnya, suaranya semakin lirih. "Aku tidak berani melihat ke jendela. Apa yang terjadi di luar sana?" Sulistyo terdiam sejenak, menyusun kata-kata dalam pikirannya. Kemudian, dengan suara yang mene
Sulistyo berdiri angkuh di atas balkon istana negara, tubuhnya dibalut setelan formal yang memancarkan kekuasaan. Matanya menatap ke bawah dengan pandangan tajam penuh kepuasan, seolah dunia ini adalah panggung kecil yang ia kendalikan sepenuhnya. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu mengusir kehangatan memabukkan dari rasa kemenangan yang memenuhi dirinya."Damai sekali…" gumamnya pelan, tapi penuh arogansi. Sebuah senyum licik mengembang di wajahnya. "Memang tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan uang."Ia berbalik, langkahnya perlahan namun penuh wibawa. Namun, saat punggungnya baru saja meninggalkan pandangan dari balkon, suara kerumunan mulai terdengar dari kejauhan. Raungan protes yang membakar udara malam bergema seperti guntur. Sulistyo berhenti di tengah langkah, mendengarkan dengan tenang, lalu kembali ke tepi balkon, kali ini dengan alis sedikit mengernyit.Di bawah sana, gelombang manusia mulai berkumpul di gerbang i
Malam itu, suasana di rumah Anisa sangat sunyi. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan tirai jendela di ruang tamu tempat ia duduk sendiri, hanya ditemani oleh cahaya televisi yang menampilkan berita nasional. Adik-adiknya sudah terlelap di ranjang, tubuh kecil mereka bersandar dengan damai, tidak menyadari betapa resah hati kakak mereka.Anisa memeluk lututnya, matanya menatap layar televisi dengan raut penuh kebencian yang ia coba tahan agar tidak meledak. Lagi-lagi, layar kaca itu dipenuhi dengan berita selebriti yang sama sekali tidak penting. Perdebatan soal drama percintaan artis yang dipoles sedemikian rupa memenuhi setiap segmen, menggantikan pemberitaan luar negeri yang sebelumnya sempat membahas kebobrokan sistem pemerintahan di Dwipantara.Pemberitaan itu hanya bertahan sejenak, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat menyentuh tanah. Anisa tahu alasannya. "Tch! Pasti televisi sudah disogok pemerintah lagi!" gumamnya dengan suara pelan, meluapk
Keesokan harinya, layar-layar televisi di seluruh penjuru negeri dipenuhi berita yang sama: "GDP Dwipantara Mengalami Penurunan Tajam, Negara Terancam Krisis Ekonomi." Gambar-gambar grafik ekonomi yang menukik tajam ke bawah terpampang jelas, diselingi laporan dari para analis ekonomi lokal dan internasional."Rendahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan pajak yang melambung tinggi telah melumpuhkan perekonomian nasional," ucap salah satu pembawa berita dengan nada serius. "UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kini bertumbangan satu per satu, tak mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi."Rekaman jalanan yang sepi dari aktivitas jual beli ditampilkan, diikuti visual mall-mall besar yang kosong melompong, dengan hanya segelintir orang yang terlihat berjalan cepat, sekadar untuk membeli kebutuhan pokok."Masyarakat Dwipantara kini bekerja tanpa henti, bagaikan kuda, hanya untuk mengisi perut mereka sendiri," lanjut pembawa berita, suaranya pen
Aisyah berbaring di ranjang dengan tubuh yang terasa seolah terkunci. Di sebelahnya, Sulistyo bersandar santai, dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Cahaya dari televisi menerangi kamar yang megah namun terasa sesak bagi Aisyah. Film romantis yang sedang diputar menambah ironi dalam hatinya, karena adegan-adegan penuh cinta itu jauh dari apa yang ia rasakan sekarang."Aku kurang suka film romantis," ucap Aisyah akhirnya, mencoba terdengar selembut mungkin agar tidak memicu amarah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya di lengan Sulistyo, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Boleh ganti dengan film action atau thriller?" nada manjanya terasa aneh di telinganya sendiri, tetapi ia harus terus memainkan peran ini.Sulistyo menoleh ke arahnya, matanya yang tajam memerhatikan Aisyah seolah sedang membaca pikirannya. Ia terdiam beberapa detik, membuat suasana di antara mereka menjadi tegang. "Tapi, film seperti itu temanya berat," katanya akhirnya, suaranya rendah namun
Aisyah duduk di atas ranjangnya yang dingin, memegangi kepala dengan kedua tangannya. Napasnya berat, penuh rasa frustrasi yang sulit ia tahan. Matanya berkaca-kaca saat kata-kata itu akhirnya keluar dari bibirnya dalam bisikan getir. "Bagaimana ini? Aku sudah hamil… Aku benar-benar mengandung anak dari tirani itu."Dengan gemetar, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang, kedua tangannya perlahan bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Sentuhan itu terasa asing, seperti menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang sekaligus membangkitkan cinta sekaligus kebencian. "Aku harus melahirkannya," gumamnya pelan. "Harus tetap melahirkannya, meskipun kemungkinan besar dia akan mewarisi tahta ayahnya sebagai presiden KKN."Aisyah mendongak, menatap kosong ke langit-langit kamar. "Tapi aku berjanji… sebagai ibunya, aku akan mendidiknya dengan benar. Kalau bisa… aku akan membuatnya menjadi senjata untuk melawan ayahnya sendiri." Matanya menyipit, penuh tekad. Ia menga
Sulistyo duduk di tepi ranjang, menatap perut Aisyah yang mulai membesar. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap perut itu seolah mencari kehangatan dari kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Jika sudah lahir, ingin diberi nama apa bayi kita?" tanyanya dengan suara yang terdengar tenang, namun mata tajamnya tetap memancarkan dominasi.Aisyah menoleh pelan, menatapnya dengan mata yang lelah. Air mukanya penuh kebingungan dan ketidakpastian. "Entahlah…" jawabnya, suaranya hampir seperti bisikan.Sulistyo tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur di balik sikap Aisyah yang bingung. "Bagaimana dengan nama seperti Kusumo?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kebanggaan.Namun, Aisyah hanya menggeleng pelan. "Kita belum tahu yang lahir adalah anak perempuan atau anak laki-laki."Sejenak, suasana menjadi sunyi. Wajah Sulistyo yang sebelumnya terlihat tenang tiba-tiba menggelap. Matanya menyipit, dan rahangnya mengeras saat dia men
Sulistyo memandang Aisyah dengan cemas saat ia menggenggam tubuh istrinya yang terasa lemah di pelukannya. Dalam diam, ia membawa Aisyah menuju kamar mereka. Langkahnya mantap, namun di balik ekspresi dingin yang biasa terpancar, ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Setelah membuka pintu kamar, Sulistyo membaringkan Aisyah di atas ranjang dengan hati-hati, seperti memegang barang paling rapuh di dunia. Pandangannya tidak lepas dari wajah Aisyah yang terlihat pucat, namun tetap memancarkan kelembutan. "Aisyah, apa kau baik-baik saja? Kau tidak merasa sakit hati dengan ucapan ibu kan?"Aisyah, yang tubuhnya masih terasa lelah, hanya menggeleng pelan. Suaranya terdengar kecil, nyaris berbisik. "Tidak masalah, aku sudah biasa."Namun bagi Sulistyo, jawaban itu justru menambah perih di hatinya. Wajahnya mengeras, tetapi jemarinya tetap lembut saat menggenggam tangan Aisyah. "Jangan terlalu dipikirkan!" katanya dengan nada tegas, nyaris seperti perintah. "Ka
Dua minggu berlalu sejak peristiwa terakhir, dan kini Aisyah duduk diam di atas ranjang, tangannya gemetar memegang test pack kecil di tangannya. Dua garis merah mencolok tertera di sana, menandakan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Kehamilan.Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang, meski ia tak tahu apakah air mata itu lahir dari rasa senang, takut, atau bahkan keputusasaan. Ada kebahagiaan kecil yang menyelinap di sudut hatinya—setidaknya, Sulistyo tidak akan memaksanya lagi untuk segera hamil. Tapi di saat yang sama, ia merasa belenggu di hidupnya kini bertambah erat. Dengan kehamilan ini, kebebasan yang nyaris tak ada sebelumnya kini hilang sepenuhnya.Aisyah cepat-cepat menyembunyikan test pack itu di bawah bantal ketika mendengar langkah kaki mendekat dari luar kamar. Suara langkah itu, meski terdengar tenang, selalu membawa ketegangan di hatinya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sulistyo yang tersenyum lebar sambil me