Aisyah duduk di perpustakaan istana dengan tenang, tenggelam dalam dunia buku yang ia baca. Hening dan damai, seperti pelarian kecil dari realitas yang menyiksa. Tapi ketenangan itu tak berlangsung lama.
"Sedang membaca? Baguslah," suara sinis Sulistyo memecah keheningan. Aisyah menghela napas panjang, mencabut earphone bluetooth dari telinganya dengan gerakan malas. "Langsung saja. Apa maumu kali ini?" Sulistyo melangkah mendekat, meletakkan tumpukan kertas di atas meja dengan senyum miring. "Baca ini, dan hapalkan semuanya." Mata Aisyah menatap tajam ke arah dokumen itu. "Apa ini?" tangannya terulur, mulai membolak-balik halaman dengan cepat. "Skrip acara talk show," jawab Sulistyo dengan nada penuh kemenangan. "Kau harus tampil besok. Tunjukkan akting terbaikmu!" Aisyah membaca sekilas, lalu terkekeh kecil. "Jadi ini semua demi pengalihan isu jet pribadimu? Menonjolkan betapa malangnya nasibku, seorang perempuan yang keguguran karena ditendang ayah tirinya? Sungguh, kau tak pernah berhenti mencari cara licik, ya?" "Licik atau tidak, kau tahu ini akan berhasil," Sulistyo berbisik di telinganya, dingin dan menusuk. "Dan jangan sampai kau keceplosan mengatakan bahwa dia ayah tirimu. Kita tak butuh skandal baru." Aisyah mendongak, tatapannya menusuk balik. "Apa untungnya untukku?" Sulistyo menyeringai tipis. "Bayaran talk show itu cukup besar. Itu semua untukmu. Anggap saja ini bonus kecil." "Bonus kecil?" Aisyah menyipitkan matanya, nada bicaranya penuh ejekan. "Kalau begitu, aku juga ingin sesuatu yang lebih besar." Sulistyo mendengus. "Apa lagi yang kau inginkan?" Aisyah menegakkan punggungnya, menatap Sulistyo dengan dingin. "Biayai kedua orang tuaku dan adikku. Kalau kau benar-benar ingin aku ikut permainan ini, kau harus membayar harga yang pantas." "Tidak!" Sulistyo menggeram, nada suaranya berubah tajam. "Itu terlalu berlebihan!" "Kalau begitu, aku juga tidak mau," balas Aisyah sambil membuang muka, wajahnya penuh kekesalan. Sulistyo mendekat lagi, kali ini lebih intens. Ia berbisik di telinga Aisyah, suaranya rendah tapi menekan. "Yakin kau mau menolak? Setelah acara ini, kau akan terkenal. Dan aku sudah memastikan kau menjadi brand ambassador produk LightGlow Cosmetics." Aisyah terdiam sejenak, bibirnya mengatup rapat. Ia tahu tawaran ini menggiurkan, tapi juga penuh jebakan. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia mengulurkan tangan. "Deal," katanya dingin. Sulistyo menyeringai, menjabat tangannya erat. "Kita punya kesepakatan, Aisyah. Jangan kecewakan aku." Aisyah menarik tangannya, tatapannya kembali dingin. "Kita lihat saja nanti siapa yang akan kecewa," gumamnya pelan, cukup keras untuk didengar Sulistyo. Sulistyo hanya tertawa kecil, lalu berbalik pergi, meninggalkan Aisyah sendiri di perpustakaan yang kembali sunyi. Tapi kali ini, sunyi itu terasa menyesakkan, seolah menyimpan ribuan rahasia yang siap meledak kapan saja. Keesokan paginya, Aisyah bersiap dengan hati yang bercampur aduk. Gaun elegan yang ia kenakan terasa seperti belenggu, sementara makeup sempurna di wajahnya seolah menjadi topeng yang memaksa senyum di bibirnya. Ia melangkah keluar, menaiki mobil mewah yang telah menunggu. Sopir dan paspampres duduk di depan, membawa dirinya menuju studio acara talk show yang akan segera disiarkan secara langsung. Setibanya di lokasi, Aisyah langsung disambut dengan antusias. Para kru dan host acara sudah bersiap menyambutnya dengan penuh keramahan yang terasa palsu. "Wah... Ini dia istri wakil presiden kita!" seru Gita, salah satu host acara, dengan nada berlebihan. "Pasukan pembawa bendera yang terkenal karena kecantikannya itu, kan? Dilihat dari dekat, kau jauh lebih menawan!" Aisyah hanya tersenyum tipis, mengikuti alur permainan. "Terima kasih," jawabnya singkat, berusaha tetap terlihat hangat meski ada kilatan dingin di matanya. "Ayo, ayo, masuk! Sebentar lagi kita mulai live!" Gita menuntun Aisyah ke studio syuting dengan penuh semangat. Beberapa menit kemudian, lampu sorot menyala terang, menandakan dimulainya siaran langsung. Aisyah duduk di sofa berlapis kain mewah, diapit oleh dua host acara. Kamera mulai merekam, menampilkan wajahnya ke seluruh penjuru negeri. "Baiklah, pemirsa! Hari ini kita kedatangan tamu spesial, seorang wanita luar biasa yang mencuri hati wakil presiden kita! Inilah dia, Aisyah!" seru Gita, dengan suara yang terdengar penuh energi. Tepuk tangan riuh terdengar di studio, membuat Aisyah semakin merasa muak di dalam hati. Tapi ia tahu, ini bukan saatnya untuk goyah. "Aisyah," Gina melanjutkan dengan senyuman lebar, "bisa ceritakan kepada kami semua? Bagaimana kau bisa menikah dengan wakil presiden kami? Apakah ada kisah khusus yang romantis di baliknya?" Aisyah menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum manis, senyum yang sudah ia latih semalaman di depan cermin. Dengan suara lembut tapi tegas, ia mulai menjawab sesuai dengan skrip yang telah disiapkan Sulistyo. "Wakil presiden kalian adalah pria yang sangat baik," katanya, setiap kata terasa seperti belati yang menyayat hatinya sendiri. "Beliau bilang terpesona dengan kecantikanku. Karena itulah beliau sangat menginginkan diriku. Tepat dua minggu setelah upacara kemerdekaan, beliau melamarku. Beberapa hari kemudian, kami menggelar resepsi pernikahan yang sederhana tapi penuh kebahagiaan." "Wah, sungguh luar biasa!" seru Gita dengan mata berbinar, meski jelas sekali ia hanya mengikuti naskah. "Wakil presiden kita memang pria yang sangat baik dan penuh perhatian. Tepuk tangan semua!" Seluruh studio bergemuruh oleh tepuk tangan. Aisyah ikut bertepuk tangan, tetap memamerkan senyum manis yang tak pernah lepas dari wajahnya. Tapi dalam hatinya, ia mendidih. "Pria baik? Omong kosong!" pikirnya sambil menahan diri untuk tidak meremas tangannya sendiri. "Dia menikahiku bukan karena cinta atau kagum, tapi untuk menutupi kebejatannya. Untuk menutupi fakta bahwa dia memperkosaku!" Hatinya berteriak, tapi ia hanya bisa menelan semua amarah itu bulat-bulat. Di depan jutaan pasang mata, ia harus terus memainkan peran ini. Topengnya tak boleh retak, tidak sekarang. Tidak di sini. “Omong-omong…” suara Gilang, host pria yang sejak tadi hanya menjadi pengamat, akhirnya terdengar. Ia menatap Aisyah dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. “Aku dengar kau sempat dibawa ke rumah sakit menggunakan jet pribadi oleh wakil presiden kita. Ada apa sebenarnya?” Aisyah menarik napas panjang, menjaga agar suaranya tetap tenang meski hatinya bergemuruh. Ia melatih senyuman manis yang tampak alami, lalu menjawab, “Oh, itu… Pak Wakil Presiden dan keluarganya sangat peduli padaku. Setelah acara pelantikan, aku pingsan dan tidak sadarkan diri. Dengan panik, keluarganya langsung membawaku ke rumah sakit terbaik menggunakan jet pribadi milik salah satu pengusaha terbaik di negeri Dwipantara.” “Pingsan?” Gita memiringkan kepalanya, memasang ekspresi terkejut yang hampir teatrikal. “Lalu… kau keguguran? Bagaimana bisa? Ada apa ini sebenarnya?” Aisyah menunduk perlahan, memberikan jeda agar atmosfer studio terasa semakin hening. Air mata mulai menggenang di matanya, perlahan mengalir, menciptakan momen dramatis yang begitu sempurna untuk kamera. “Karena… ayahku…” Suaranya mulai bergetar, seperti mencoba menahan luka mendalam. “Ayah kandungku sendiri… telah menendang perutku hingga aku jatuh…” “Hah?!” seruan terkejut dari Gilang dan Gita terdengar serempak, meski mereka tahu ini adalah bagian dari naskah. Studio langsung dipenuhi desahan kaget dari kru di belakang layar. “Bagaimana bisa seorang ayah melakukan itu pada putrinya sendiri?” Gilang menatap Aisyah dengan pandangan yang tampak benar-benar terkejut dan emosi yang hampir tak terbendung. Aisyah kembali terisak, air matanya mengalir deras. “Ayahku… dia marah karena aku tidak memberikan uang untuk sekolah kedua adik laki-lakiku. Padahal aku selalu rutin mengirim uang… Aku selalu berusaha memenuhi kebutuhannya… Tapi bagaimanapun juga, semua yang kulakukan… tidak pernah cukup di matanya.” Ia mengangkat wajahnya, menatap kamera dengan mata merah yang penuh air mata. “Aku hanya anak perempuan yang tidak diinginkan oleh ayahku… Sejak kecil, aku tahu itu. Ayahku hanya menyayangi adik-adikku. Karena mereka anak laki-laki… anak yang ia inginkan.” Gita segera merangkul Aisyah, mengusap punggungnya dengan penuh perhatian. “Sayang… tenang ya… Pelan-pelan saja ceritanya. Jangan terlalu memaksakan diri,” ucapnya lembut, memainkan perannya dengan sempurna. Di sisi lain, Gilang mengambil napas panjang, lalu memalingkan pandangannya ke arah kamera. Raut wajahnya penuh dengan amarah dan kekecewaan, seolah-olah ia benar-benar merasakan derita Aisyah. “Inilah salah satu alasan,” ucap Gilang dengan nada penuh penekanan, “mengapa negara Dwipantara menjadi salah satu negara dengan angka fatherless tertinggi di dunia. Padahal, apa salah gadis ini? Apakah salah dilahirkan sebagai seorang perempuan?” Studio hening sejenak, hanya terdengar isakan kecil Aisyah. “Ini pelajaran untuk kita semua,” lanjut Gilang, menatap lurus ke kamera dengan penuh intensitas. “Untuk para laki-laki, untuk para calon ayah di luar sana… Apapun gender anakmu, mereka adalah anugerah. Mereka adalah tanggung jawabmu. Sayangilah mereka dengan adil… Karena anak perempuan atau laki-laki, keduanya berharga.” Tepuk tangan kecil mulai terdengar, diikuti gemuruh tepuk tangan dari penonton studio. Aisyah mengusap matanya, lalu tersenyum samar, meski hatinya hancur berkeping-keping. Semua ini hanya sandiwara, pikirnya. Namun, ia tahu… sandiwara ini harus terus dimainkan.Setelah acara talk show berakhir, media sosial Aisyah meledak. Notifikasi tak berhenti berdatangan—jutaan orang mulai mengikuti akun pribadinya. Banyak yang memberikan dukungan, tetapi tidak sedikit pula yang mencemoohnya. “Aisyah! Aku sudah lihat penampilanmu di talk show tadi. Kau wanita yang sangat kuat! Tetap semangat, ya!” tulis salah satu komentar yang membanjiri kolomnya. “Aisyah adalah bukti bahwa perempuan bisa tetap berdiri meski dihancurkan oleh hidup. Terus bertahan, kami mendukungmu!” tulis pengguna lain dengan emoji hati yang memenuhi baris komentar. Namun, tak semua suara semanis itu. “Cantik darimana? Wajahnya biasa saja. Pasaran banget!” cemooh sebuah akun yang disertai tawa mengejek. “Tch! Orang-orang ini mudah sekali terbuai cerita murahan. Lihat saja, sebentar lagi dia pasti jadi model kosmetik,” sindir komentar lain yang menuai ratusan tanda suka. Namun ada pula yang membela. “Berhenti menghujat! Aisyah itu cantik, dan lebih penting lagi, dia adalah
Jam dinding berdetak perlahan, menghadirkan ritme monoton di ruang tamu megah yang kini sunyi senyap. Cahaya lampu kristal memantul dingin, mempertegas keheningan. Aisyah duduk diam, tangannya perlahan memegangi perut, lalu tertawa kecil, sinis, seperti menemukan lelucon yang hanya ia pahami. "Lucu... kalian semua sangat lucu," ucapnya dengan nada tajam, memecah keheningan yang mencekam. Ia mengangkat pandangan, menatap mereka satu per satu, lalu melanjutkan dengan nada yang penuh ejekan. "Apa kalian benar-benar berpikir tindakan kalian ini tidak akan menghancurkan nama baik kalian sendiri?" Sulistyo, yang sejak tadi berdiri tegak penuh wibawa palsu, justru tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema, seolah ancaman Aisyah hanyalah bahan lelucon baginya. Dalam sekejap, tangannya yang besar mencengkeram dagu Aisyah dengan kuat, memaksa wanita itu menatap langsung ke dalam matanya yang penuh amarah. "Kau pikir aku sebodoh itu?" tanyanya dingin, senyum sinis terukir di wajahnya. Aisyah
Halaman belakang Istana Negara yang sunyi terasa seperti oasis kecil di tengah kekacauan batin Aisyah. Angin lembut yang berhembus membawa kehangatan, seakan berusaha membungkus tubuhnya yang rapuh dengan pelukan alam. Di bawah langit senja, Mahendra duduk di hadapan Aisyah, memegang perlengkapan medis kecil. Tangannya yang besar namun lembut dengan hati-hati membersihkan luka-luka di wajah Aisyah, gerakannya pelan dan penuh perhatian, seolah setiap sentuhannya dirancang untuk mengobati tidak hanya fisik, tetapi juga hatinya yang terluka."Sakit?" tanya Mahendra dengan suara lembut, nadanya penuh kepedulian. Tatapannya terpaku pada ekspresi Aisyah, memperhatikan setiap reaksi, takut jika ia melukai lebih dalam. Ketika Aisyah sedikit meringis meskipun mencoba menyembunyikannya, tangan Mahendra otomatis berhenti.Aisyah menggeleng perlahan. Meski hatinya masih terasa pedih, kepedulian pria di depannya ini seperti air yang memadamkan api di dalam dirinya. Senyumnya yang tulus, tangannya
Di sebuah kamar tamu yang besar dan mewah, jam dinding berdetak lambat, seolah menghitung setiap detik dengan penuh kehati-hatian. Keheningan di ruangan itu hampir memekakkan telinga, hanya dipecahkan oleh langkah-langkah kecil tiga gadis yang sibuk bergerak. Mereka adalah Mila, Misa, dan Aisyah. "Ah! Pinggangku...!" keluh Mila, pelayan istana, sambil memegangi pinggangnya yang terasa nyeri. Napasnya terengah setelah memindahkan koper besar milik keluarga Citra. "Mereka cuma tinggal beberapa hari, tapi barangnya seperti mau pindah rumah setahun!" "Ssst!" Misa, kakak Mila yang lebih tenang, menyenggol lengannya dengan tajam. Ia melirik sekilas ke arah Aisyah yang sedang merapikan pakaian milik anak gubernur di lemari, wajahnya tanpa ekspresi. "Jangan mengeluh terlalu keras! Lihat istri wakil presiden kita. Padahal dia bukan pelayan, tapi lebih rajin daripada kamu." Aisyah mendengar itu dan menoleh dengan senyum tipis, tapi nada bicaranya mendadak berubah tegas, seperti suara kara
Langit senja memancarkan warna merah dan oranye yang menyala terang, seolah melukis suasana dramatis di ruang kerja Nursyid, sang pemilik LightGlow Cosmetics. Dalam ruang yang penuh estetika itu, Nursyid sedang mengenakan jasnya, bersiap untuk menghadiri fanmeeting bersama brand ambassador barunya, Aisyah. Namun, sebelum ia sempat melangkah keluar, suara langkah kaki yang cepat terdengar dari arah pintu. Tanpa perlu menoleh, Nursyid sudah tahu siapa yang datang. "Masuk saja, Aisyah. Pintu tidak terkunci," katanya tenang, tanpa mengalihkan pandangan dari cermin di hadapannya. Pintu terbuka dengan suara pelan, dan Nursyid, yang hendak menyambut kedatangan Aisyah dengan senyum, langsung terpaku. Kalimat yang hendak ia ucapkan terhenti di tenggorokan saat pandangannya jatuh pada wajah gadis itu. Keningnya terlihat memar dan tertutup plester, kedua pipinya lebam dengan warna ungu yang mencolok, dan ujung bibirnya merah, bekas darah yang belum sepenuhnya kering. Nursyid mendekat dengan
Rayhan mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, melaju lincah di antara kendaraan-kendaraan besar yang merayap di jalan. Seolah sedang berpacu dengan waktu, dia menantang langit senja yang perlahan menggelap, matahari yang memancarkan warna oranye kemerahan mulai tenggelam di cakrawala. Angin malam semakin dingin, tapi Rayhan tak peduli. Ada sesuatu yang lebih mendesak daripada rasa lelah atau dingin yang menggigit kulitnya. Saat matahari akhirnya tenggelam sepenuhnya, motor Rayhan berhenti di depan istana megah. Ia menghela napas panjang, memastikan bahwa Aisyah telah sampai dengan selamat. Wanita itu turun dari motor dengan hati-hati, memegangi pipinya yang memar, mencoba menyembunyikan rasa sakit di balik senyuman tipis. “Terima kasih, Pak,” ucap Aisyah pelan. Suaranya hampir tenggelam dalam deru kendaraan yang lewat di kejauhan. Gerakan kecil pada bibirnya saja sudah cukup untuk membuat rasa sakit menjalar di kedua sisi wajahnya, mengingatkannya pada luka-luka bekas tampara
Malam telah menelan seluruh cahaya, meninggalkan langit pekat yang bertabur bintang jauh di atas istana. Di dapur, Aisyah sibuk membantu para koki mengaduk panci-panci besar, aroma rempah menguar ke segala penjuru. Sementara itu, Mila dan Misa berlarian ke sana kemari, membantu pelayan lainnya mengatur hidangan makan malam di meja panjang nan megah. Ketika semuanya siap, Aisyah menarik kursi di meja makan dan duduk tanpa ragu di samping Sulistyo. Tatapannya tenang, seolah tempat itu memang miliknya. Namun, keheningan tak bertahan lama. "Siapa yang menyuruh gadis rendahan sepertimu duduk di sampingku?" Suara dingin Sulistyo memecah suasana. Tatapannya tajam, aura gelap menguar dari tubuhnya, menciptakan atmosfer yang menyesakkan di sekelilingnya. Aisyah tak bergeming. Dengan tenang, ia menyendok daging dari mangkuk besar di meja dan menaruhnya di piringnya sendiri. "Tidak ada yang menyuruh," jawabnya datar. "Aku hanya ingin." Ia menoleh ke arah keluarga Citra yang duduk di seberan
Makanan mulai tersaji kembali di atas meja mewah dengan susunan yang begitu sempurna, seperti karya seni yang menggoda setiap indera. Aroma sedap memenuhi ruangan, membangkitkan selera meski keheningan tetap menggantung di udara, menciptakan suasana canggung yang terasa menekan. Jatmiko, dengan sikap tegas namun ramah, akhirnya memecah keheningan. "Selamat malam, keluarga gubernur Suryaloka sekalian... Saya, Jatmiko, sebagai kepala keluarga Nugroho, mempersilakan kalian menikmati hidangan yang telah disiapkan ini." Kata-kata itu menjadi sinyal bagi keluarga gubernur Suryaloka untuk mulai bergerak. Citra, bersama kedua orang tuanya, perlahan mengambil makanan ke piring masing-masing dengan gerakan anggun yang mencerminkan pendidikan dan status mereka. Dengan table manner yang sempurna, mereka mulai menikmati makanan, setiap potongan dilahap dengan penuh kesopanan. Namun, di tengah suasana yang mulai mencair, suara lembut namun penuh keraguan milik Citra memecah harmoni tersebut. "Um
Hari semakin sore. Cahaya matahari yang hampir tenggelam memancarkan warna keemasan di ufuk barat. Suasana terasa hening di kantor gubernur saat Sulistyo menerima telepon dari ayahnya, Jatmiko. “Sulistyo, kau sudah bertemu dengan Gubernur Suryaloka?” Suara Jatmiko terdengar dingin dan tegas dari seberang. “Ajak gubernur ke rumah ayah untuk merundingkan rencana pernikahanmu dengan Citra.” Sulistyo menggenggam ponselnya erat, wajahnya tetap datar. “Baik, Ayah,” jawabnya singkat sebelum menutup telepon. Dengan langkah mantap, ia mendekati Suryanto yang masih berada di ruangan. “Pak Gubernur,” Sulistyo memulai dengan suara sopan namun formal, “Ayah saya, mantan presiden, mengundang Anda untuk datang ke rumahnya. Beliau ingin membahas rencana pernikahan saya dengan Citra.” Suryanto, meskipun terkejut, menyembunyikan reaksinya dengan senyuman tipis. “Baik, Anda berangkatlah lebih dulu. Saya akan datang ke sana bersama anak dan is
Sulistyo memicingkan mata, menatap ke arah Citra dengan tatapan penuh kebingungan. "Benarkah? Aisyah seperti itu?" tanyanya, seolah berusaha mencerna cerita yang baru saja didengarnya. Citra mengangguk mantap. “Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Dia menyelamatkanku dari tiga preman itu. Tidak ada yang lebih nyata dari itu.” Suaranya penuh keyakinan, namun matanya memancarkan emosi yang sulit dijelaskan—antara kagum, syukur, dan rasa tidak percaya atas keberanian Aisyah. Sulistyo mengusap dagunya, raut wajahnya menyiratkan bahwa dia sedang memikirkan sesuatu yang lebih dalam. Tanpa sadar, dia bergumam, “Apa ada sesuatu juga di makanan Aisyah waktu itu?” “Ya?” Citra menatapnya bingung. “Apa maksudmu?” Sulistyo tersentak dari lamunannya. “Ti-tidak. Tidak ada apa-apa,” katanya cepat, berusaha mengalihkan perhatian. Dia kemudian berjalan kembali ke sawah, bergabung dengan para petani yang sibuk mencangkul. Namun, gerak-ge
Saat upacara kemerdekaan beberapa bulan lalu, istana negara dipadati oleh lautan manusia. Para pejabat dari berbagai daerah hadir, termasuk gubernur Suryaloka bersama keluarganya.Citra, yang baru pertama kali ikut dalam acara besar seperti ini, tampak kebingungan di tengah kerumunan. “Ugh… Ayah dan Ibu di mana ya?” gumamnya, matanya mencari-cari wajah yang dikenalnya seperti anak kecil tersesat.Langkahnya membawanya semakin jauh dari keramaian utama. Tanpa sadar, ia telah menyusuri jalanan sempit yang menuju perkampungan kumuh di pinggiran istana. Aroma tak sedap bercampur dengan kesunyian subuh menyergapnya. Citra mengernyitkan hidung, merasa tidak nyaman. “Tempat macam apa ini? Kenapa aku tiba-tiba di sini?”“Eh, halo… Gadis cantik! Main sama kami, yuk!” Sebuah suara kasar terdengar dari belakang. Citra menoleh dan mendapati tiga pria bertampang seram berdiri di sana.“Kalian siapa?” tanya Citra panik, melangkah mundur dengan gugup.“
Setelah makanan kedua tersaji, piring-piring kotor mulai menumpuk di sekeliling saung. Para pria, seperti biasa, hanya meninggalkan sisa-sisa makanan begitu saja, tanpa sedikit pun niat mencucinya. Mereka duduk bersandar, berbicara seenaknya."Ayo cepat makan! Setelah ini kita mencangkul lagi!" seru pria bertubuh kekar yang tampak paling menyebalkan di antara mereka. Nada suaranya penuh otoritas, meski jelas ia tidak melakukan banyak hal selain mengatur-atur.Citra mengepalkan tangannya erat-erat. Amarahnya mendidih, namun ia berusaha menahan diri. Ia tahu, satu tindakan kasar saja dapat merusak citra dirinya sebagai putri gubernur.Namun sebelum situasi semakin memanas, Sulistyo turun dari saung dengan langkah mantap. Ia mengambil alih suasana dengan suara beratnya yang penuh wibawa. "Baiklah... Pemuda sekalian, waktu adalah uang! Seluruh warga Dwipantara menunggu hasil pertanian kita! Biarkan para wanita makan dengan tenang, dan kita duluan saja melanjut
Setelah semua selesai mandi dan menunaikan ibadah, para petani berkumpul di dekat panci besar yang menggantung di atas api unggun. Aroma rempah mulai memenuhi udara, menandakan makanan tengah disiapkan. Namun, pemandangan yang tersaji membuat Citra tidak nyaman.Semua petani wanita, termasuk dirinya, sibuk memasak dengan tangan yang sudah kelelahan akibat mencangkul sepanjang pagi. Sementara itu, para petani pria, termasuk Sulistyo, duduk santai di saung, menikmati semilir angin tanpa sedikit pun terlihat berniat membantu.Citra menggigit bibirnya, menahan amarah. "Apa mereka tidak lelah? Panas-panasan di sawah, sekarang harus memasak juga? Kalau mereka tidak mau membantu, biarkan saja kelaparan!" pikirnya geram, namun ia tak berani mengutarakannya.Dari arah saung, seorang petani pria muda yang tampak gagah malah berseru lantang. "Masak yang enak, ya! Kalau tidak enak, awas kalian!" katanya sambil terkekeh.Citra menatapnya dengan tatapan menusuk
Panas terik membakar sawah yang luas, menyengat kulit para petani, Sulistyo, dan Citra yang sedang giat bercocok tanam. Keringat mengucur deras dari wajah mereka. Wajah Citra memerah, kakinya bergetar, tubuhnya hampir menyerah karena tidak terbiasa dengan pekerjaan berat seperti ini."Kalau tidak kuat, berhenti saja! Untuk apa memaksakan diri?" bisik Sulistyo pelan di dekatnya, nadanya tajam namun tidak terlalu keras.Citra mengangkat wajahnya yang basah oleh keringat, matanya penuh tekad. "Tidak! Kalau Wakil Presiden saja bisa melakukan ini, aku juga bisa!" jawabnya mantap meskipun suaranya sedikit gemetar.Sulistyo hanya mendengus pelan, tidak ingin memperdebatkan semangat aneh gadis itu.Tak lama kemudian, suara seorang petani tua memecah kesibukan mereka. "Semuanya, sudah terdengar adzan. Sebaiknya kita berhenti sebentar untuk beribadah, setelah itu beristirahat.""Baik, Pak!" sahut para petani lainnya dengan serempak, meletakkan alat
"Kakak Mahendra..." Aisyah merengek pelan, suaranya hampir seperti bisikan, namun cukup jelas untuk terdengar di antara langkah-langkah mereka yang bergema di lorong. Ia menggantungkan diri pada lengannya, memohon belas kasihan. "Jangan merengek seperti anak kecil. Kau sudah besar," jawab Mahendra ketus, tanpa menoleh sedikit pun. Namun, nada suaranya yang tegas tidak cukup untuk menyembunyikan rasa lelahnya menghadapi tingkah Aisyah. Aisyah memajukan bibirnya, menahan kesal. "Kalau aku sudah besar, kenapa masih dikurung di kamar seperti anak kecil yang melakukan kesalahan berat? Aku bosan di kamar terus, Kak! Tidak ada udara, tidak ada kebebasan..." Suaranya meninggi, seolah-olah mengumpulkan energi terakhir untuk meraih simpati. Mahendra berhenti melangkah. Ia menghela napas panjang, jelas mulai luluh oleh rengekan Aisyah. Ia menatap wanita yang sedang memandang penuh harap. "Kau mau kemana?" tanyanya akhirnya, menyerah pada rasa penasaran. "Perpustakaan!" jawab Aisyah tanpa
Aisyah duduk di sudut kamar, matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan siaran langsung Sulistyo. Wajahnya yang biasanya dingin tampak sedikit berubah saat ia melihat momen di mana suaminya, Wakil Presiden, menopang tubuh Citra agar tidak terjatuh. Jika kebanyakan istri akan marah atau cemburu melihat hal itu, reaksi Aisyah justru sebaliknya."Hore! Tidak ada Sulistyo!" serunya sambil melompat dari tempat duduknya, seolah anak kecil yang baru mendapat hadiah besar. Senyum lebar terukir di wajahnya. "Sepertinya ini kesempatan untuk kabur!"Kegembiraannya terhenti sejenak ketika pintu kamar terbuka. Mila, pelayan setia yang sudah seperti teman, muncul sambil membawa nampan berisi makanan. "Nona, ini makan siangnya," ujar Mila dengan lembut, meletakkan nampan di atas meja dekat tempat tidur."Mila!" Aisyah langsung berlari ke arahnya, tanpa ragu memeluk perempuan itu erat-erat. Mila, yang tidak siap dengan reaksi tiba-tiba itu, terdiam, wajahnya men
Di tengah hamparan sawah yang luas, seorang gadis muda yang sedang menanam padi tak sengaja melihat sosok pria berjas berdiri memerhatikan mereka dari kejauhan. Matanya membelalak ketika mengenali pria itu, dan dengan suara lantang, ia berteriak, "Semua! Lihat! Itu Pak Wakil Presiden! Pak Wakil Presiden ada di sini!"Kegaduhan langsung pecah di antara para petani."Mana? Mana?""Oh, itu dia! Benar, itu Pak Wakil Presiden!""Pak Wakil Presiden!""Terima kasih banyak atas programnya! Berkat Bapak Presiden dan Wakil Presiden, kami tidak menganggur lagi!"Seperti air bah, para petani meninggalkan pekerjaan mereka dan berbondong-bondong berlari ke arah Sulistyo. Langkah kaki mereka menghentak tanah sawah yang basah, menyisakan jejak lumpur di setiap tempat mereka berpijak."Eh? Ja—jangan berkerumun seperti itu! A—aduh!" seru Citra panik, matanya melirik ke kanan dan kiri mencari keberadaan paspampres Sulistyo. Namun, pria itu tampak tenang, mengangkat tangannya ke arah Citra, memberi isyar