Share

Bab 11

Author: Sylus wife
last update Last Updated: 2024-12-02 08:53:19

Aisyah duduk di perpustakaan istana dengan tenang, tenggelam dalam dunia buku yang ia baca. Hening dan damai, seperti pelarian kecil dari realitas yang menyiksa. Tapi ketenangan itu tak berlangsung lama.

"Sedang membaca? Baguslah," suara sinis Sulistyo memecah keheningan.

Aisyah menghela napas panjang, mencabut earphone bluetooth dari telinganya dengan gerakan malas. "Langsung saja. Apa maumu kali ini?"

Sulistyo melangkah mendekat, meletakkan tumpukan kertas di atas meja dengan senyum miring. "Baca ini, dan hapalkan semuanya."

Mata Aisyah menatap tajam ke arah dokumen itu. "Apa ini?" tangannya terulur, mulai membolak-balik halaman dengan cepat.

"Skrip acara talk show," jawab Sulistyo dengan nada penuh kemenangan. "Kau harus tampil besok. Tunjukkan akting terbaikmu!"

Aisyah membaca sekilas, lalu terkekeh kecil. "Jadi ini semua demi pengalihan isu jet pribadimu? Menonjolkan betapa malangnya nasibku, seorang perempuan yang keguguran karena ditendang ayah tirinya? Sungguh, kau tak pernah berhenti mencari cara licik, ya?"

"Licik atau tidak, kau tahu ini akan berhasil," Sulistyo berbisik di telinganya, dingin dan menusuk. "Dan jangan sampai kau keceplosan mengatakan bahwa dia ayah tirimu. Kita tak butuh skandal baru."

Aisyah mendongak, tatapannya menusuk balik. "Apa untungnya untukku?"

Sulistyo menyeringai tipis. "Bayaran talk show itu cukup besar. Itu semua untukmu. Anggap saja ini bonus kecil."

"Bonus kecil?" Aisyah menyipitkan matanya, nada bicaranya penuh ejekan. "Kalau begitu, aku juga ingin sesuatu yang lebih besar."

Sulistyo mendengus. "Apa lagi yang kau inginkan?"

Aisyah menegakkan punggungnya, menatap Sulistyo dengan dingin. "Biayai kedua orang tuaku dan adikku. Kalau kau benar-benar ingin aku ikut permainan ini, kau harus membayar harga yang pantas."

"Tidak!" Sulistyo menggeram, nada suaranya berubah tajam. "Itu terlalu berlebihan!"

"Kalau begitu, aku juga tidak mau," balas Aisyah sambil membuang muka, wajahnya penuh kekesalan.

Sulistyo mendekat lagi, kali ini lebih intens. Ia berbisik di telinga Aisyah, suaranya rendah tapi menekan. "Yakin kau mau menolak? Setelah acara ini, kau akan terkenal. Dan aku sudah memastikan kau menjadi brand ambassador produk LightGlow Cosmetics."

Aisyah terdiam sejenak, bibirnya mengatup rapat. Ia tahu tawaran ini menggiurkan, tapi juga penuh jebakan. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia mengulurkan tangan. "Deal," katanya dingin.

Sulistyo menyeringai, menjabat tangannya erat. "Kita punya kesepakatan, Aisyah. Jangan kecewakan aku."

Aisyah menarik tangannya, tatapannya kembali dingin. "Kita lihat saja nanti siapa yang akan kecewa," gumamnya pelan, cukup keras untuk didengar Sulistyo.

Sulistyo hanya tertawa kecil, lalu berbalik pergi, meninggalkan Aisyah sendiri di perpustakaan yang kembali sunyi. Tapi kali ini, sunyi itu terasa menyesakkan, seolah menyimpan ribuan rahasia yang siap meledak kapan saja.

Keesokan paginya, Aisyah bersiap dengan hati yang bercampur aduk. Gaun elegan yang ia kenakan terasa seperti belenggu, sementara makeup sempurna di wajahnya seolah menjadi topeng yang memaksa senyum di bibirnya. Ia melangkah keluar, menaiki mobil mewah yang telah menunggu. Sopir dan paspampres duduk di depan, membawa dirinya menuju studio acara talk show yang akan segera disiarkan secara langsung.

Setibanya di lokasi, Aisyah langsung disambut dengan antusias. Para kru dan host acara sudah bersiap menyambutnya dengan penuh keramahan yang terasa palsu.

"Wah... Ini dia istri wakil presiden kita!" seru Gita, salah satu host acara, dengan nada berlebihan. "Pasukan pembawa bendera yang terkenal karena kecantikannya itu, kan? Dilihat dari dekat, kau jauh lebih menawan!"

Aisyah hanya tersenyum tipis, mengikuti alur permainan. "Terima kasih," jawabnya singkat, berusaha tetap terlihat hangat meski ada kilatan dingin di matanya.

"Ayo, ayo, masuk! Sebentar lagi kita mulai live!" Gita menuntun Aisyah ke studio syuting dengan penuh semangat.

Beberapa menit kemudian, lampu sorot menyala terang, menandakan dimulainya siaran langsung. Aisyah duduk di sofa berlapis kain mewah, diapit oleh dua host acara. Kamera mulai merekam, menampilkan wajahnya ke seluruh penjuru negeri.

"Baiklah, pemirsa! Hari ini kita kedatangan tamu spesial, seorang wanita luar biasa yang mencuri hati wakil presiden kita! Inilah dia, Aisyah!" seru Gita, dengan suara yang terdengar penuh energi.

Tepuk tangan riuh terdengar di studio, membuat Aisyah semakin merasa muak di dalam hati. Tapi ia tahu, ini bukan saatnya untuk goyah.

"Aisyah," Gina melanjutkan dengan senyuman lebar, "bisa ceritakan kepada kami semua? Bagaimana kau bisa menikah dengan wakil presiden kami? Apakah ada kisah khusus yang romantis di baliknya?"

Aisyah menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum manis, senyum yang sudah ia latih semalaman di depan cermin. Dengan suara lembut tapi tegas, ia mulai menjawab sesuai dengan skrip yang telah disiapkan Sulistyo.

"Wakil presiden kalian adalah pria yang sangat baik," katanya, setiap kata terasa seperti belati yang menyayat hatinya sendiri. "Beliau bilang terpesona dengan kecantikanku. Karena itulah beliau sangat menginginkan diriku. Tepat dua minggu setelah upacara kemerdekaan, beliau melamarku. Beberapa hari kemudian, kami menggelar resepsi pernikahan yang sederhana tapi penuh kebahagiaan."

"Wah, sungguh luar biasa!" seru Gita dengan mata berbinar, meski jelas sekali ia hanya mengikuti naskah. "Wakil presiden kita memang pria yang sangat baik dan penuh perhatian. Tepuk tangan semua!"

Seluruh studio bergemuruh oleh tepuk tangan. Aisyah ikut bertepuk tangan, tetap memamerkan senyum manis yang tak pernah lepas dari wajahnya. Tapi dalam hatinya, ia mendidih.

"Pria baik? Omong kosong!" pikirnya sambil menahan diri untuk tidak meremas tangannya sendiri. "Dia menikahiku bukan karena cinta atau kagum, tapi untuk menutupi kebejatannya. Untuk menutupi fakta bahwa dia memperkosaku!"

Hatinya berteriak, tapi ia hanya bisa menelan semua amarah itu bulat-bulat. Di depan jutaan pasang mata, ia harus terus memainkan peran ini. Topengnya tak boleh retak, tidak sekarang. Tidak di sini.

“Omong-omong…” suara Gilang, host pria yang sejak tadi hanya menjadi pengamat, akhirnya terdengar. Ia menatap Aisyah dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. “Aku dengar kau sempat dibawa ke rumah sakit menggunakan jet pribadi oleh wakil presiden kita. Ada apa sebenarnya?”

Aisyah menarik napas panjang, menjaga agar suaranya tetap tenang meski hatinya bergemuruh. Ia melatih senyuman manis yang tampak alami, lalu menjawab, “Oh, itu… Pak Wakil Presiden dan keluarganya sangat peduli padaku. Setelah acara pelantikan, aku pingsan dan tidak sadarkan diri. Dengan panik, keluarganya langsung membawaku ke rumah sakit terbaik menggunakan jet pribadi milik salah satu pengusaha terbaik di negeri Dwipantara.”

“Pingsan?” Gita memiringkan kepalanya, memasang ekspresi terkejut yang hampir teatrikal. “Lalu… kau keguguran? Bagaimana bisa? Ada apa ini sebenarnya?”

Aisyah menunduk perlahan, memberikan jeda agar atmosfer studio terasa semakin hening. Air mata mulai menggenang di matanya, perlahan mengalir, menciptakan momen dramatis yang begitu sempurna untuk kamera.

“Karena… ayahku…” Suaranya mulai bergetar, seperti mencoba menahan luka mendalam. “Ayah kandungku sendiri… telah menendang perutku hingga aku jatuh…”

“Hah?!” seruan terkejut dari Gilang dan Gita terdengar serempak, meski mereka tahu ini adalah bagian dari naskah. Studio langsung dipenuhi desahan kaget dari kru di belakang layar.

“Bagaimana bisa seorang ayah melakukan itu pada putrinya sendiri?” Gilang menatap Aisyah dengan pandangan yang tampak benar-benar terkejut dan emosi yang hampir tak terbendung.

Aisyah kembali terisak, air matanya mengalir deras. “Ayahku… dia marah karena aku tidak memberikan uang untuk sekolah kedua adik laki-lakiku. Padahal aku selalu rutin mengirim uang… Aku selalu berusaha memenuhi kebutuhannya… Tapi bagaimanapun juga, semua yang kulakukan… tidak pernah cukup di matanya.”

Ia mengangkat wajahnya, menatap kamera dengan mata merah yang penuh air mata. “Aku hanya anak perempuan yang tidak diinginkan oleh ayahku… Sejak kecil, aku tahu itu. Ayahku hanya menyayangi adik-adikku. Karena mereka anak laki-laki… anak yang ia inginkan.”

Gita segera merangkul Aisyah, mengusap punggungnya dengan penuh perhatian. “Sayang… tenang ya… Pelan-pelan saja ceritanya. Jangan terlalu memaksakan diri,” ucapnya lembut, memainkan perannya dengan sempurna.

Di sisi lain, Gilang mengambil napas panjang, lalu memalingkan pandangannya ke arah kamera. Raut wajahnya penuh dengan amarah dan kekecewaan, seolah-olah ia benar-benar merasakan derita Aisyah.

“Inilah salah satu alasan,” ucap Gilang dengan nada penuh penekanan, “mengapa negara Dwipantara menjadi salah satu negara dengan angka fatherless tertinggi di dunia. Padahal, apa salah gadis ini? Apakah salah dilahirkan sebagai seorang perempuan?”

Studio hening sejenak, hanya terdengar isakan kecil Aisyah.

“Ini pelajaran untuk kita semua,” lanjut Gilang, menatap lurus ke kamera dengan penuh intensitas. “Untuk para laki-laki, untuk para calon ayah di luar sana… Apapun gender anakmu, mereka adalah anugerah. Mereka adalah tanggung jawabmu. Sayangilah mereka dengan adil… Karena anak perempuan atau laki-laki, keduanya berharga.”

Tepuk tangan kecil mulai terdengar, diikuti gemuruh tepuk tangan dari penonton studio. Aisyah mengusap matanya, lalu tersenyum samar, meski hatinya hancur berkeping-keping. Semua ini hanya sandiwara, pikirnya. Namun, ia tahu… sandiwara ini harus terus dimainkan.

Related chapters

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 12

    Setelah acara talk show berakhir, media sosial Aisyah meledak. Notifikasi tak berhenti berdatangan—jutaan orang mulai mengikuti akun pribadinya. Banyak yang memberikan dukungan, tetapi tidak sedikit pula yang mencemoohnya. “Aisyah! Aku sudah lihat penampilanmu di talk show tadi. Kau wanita yang sangat kuat! Tetap semangat, ya!” tulis salah satu komentar yang membanjiri kolomnya. “Aisyah adalah bukti bahwa perempuan bisa tetap berdiri meski dihancurkan oleh hidup. Terus bertahan, kami mendukungmu!” tulis pengguna lain dengan emoji hati yang memenuhi baris komentar. Namun, tak semua suara semanis itu. “Cantik darimana? Wajahnya biasa saja. Pasaran banget!” cemooh sebuah akun yang disertai tawa mengejek. “Tch! Orang-orang ini mudah sekali terbuai cerita murahan. Lihat saja, sebentar lagi dia pasti jadi model kosmetik,” sindir komentar lain yang menuai ratusan tanda suka. Namun ada pula yang membela. “Berhenti menghujat! Aisyah itu cantik, dan lebih penting lagi, dia adalah

    Last Updated : 2024-12-02
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 13

    Jam dinding berdetak perlahan, menghadirkan ritme monoton di ruang tamu megah yang kini sunyi senyap. Cahaya lampu kristal memantul dingin, mempertegas keheningan. Aisyah duduk diam, tangannya perlahan memegangi perut, lalu tertawa kecil, sinis, seperti menemukan lelucon yang hanya ia pahami. "Lucu... kalian semua sangat lucu," ucapnya dengan nada tajam, memecah keheningan yang mencekam. Ia mengangkat pandangan, menatap mereka satu per satu, lalu melanjutkan dengan nada yang penuh ejekan. "Apa kalian benar-benar berpikir tindakan kalian ini tidak akan menghancurkan nama baik kalian sendiri?" Sulistyo, yang sejak tadi berdiri tegak penuh wibawa palsu, justru tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema, seolah ancaman Aisyah hanyalah bahan lelucon baginya. Dalam sekejap, tangannya yang besar mencengkeram dagu Aisyah dengan kuat, memaksa wanita itu menatap langsung ke dalam matanya yang penuh amarah. "Kau pikir aku sebodoh itu?" tanyanya dingin, senyum sinis terukir di wajahnya. Aisyah

    Last Updated : 2024-12-02
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 14

    Halaman belakang Istana Negara yang sunyi terasa seperti oasis kecil di tengah kekacauan batin Aisyah. Angin lembut yang berhembus membawa kehangatan, seakan berusaha membungkus tubuhnya yang rapuh dengan pelukan alam. Di bawah langit senja, Mahendra duduk di hadapan Aisyah, memegang perlengkapan medis kecil. Tangannya yang besar namun lembut dengan hati-hati membersihkan luka-luka di wajah Aisyah, gerakannya pelan dan penuh perhatian, seolah setiap sentuhannya dirancang untuk mengobati tidak hanya fisik, tetapi juga hatinya yang terluka."Sakit?" tanya Mahendra dengan suara lembut, nadanya penuh kepedulian. Tatapannya terpaku pada ekspresi Aisyah, memperhatikan setiap reaksi, takut jika ia melukai lebih dalam. Ketika Aisyah sedikit meringis meskipun mencoba menyembunyikannya, tangan Mahendra otomatis berhenti.Aisyah menggeleng perlahan. Meski hatinya masih terasa pedih, kepedulian pria di depannya ini seperti air yang memadamkan api di dalam dirinya. Senyumnya yang tulus, tangannya

    Last Updated : 2024-12-03
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 15

    Di sebuah kamar tamu yang besar dan mewah, jam dinding berdetak lambat, seolah menghitung setiap detik dengan penuh kehati-hatian. Keheningan di ruangan itu hampir memekakkan telinga, hanya dipecahkan oleh langkah-langkah kecil tiga gadis yang sibuk bergerak. Mereka adalah Mila, Misa, dan Aisyah. "Ah! Pinggangku...!" keluh Mila, pelayan istana, sambil memegangi pinggangnya yang terasa nyeri. Napasnya terengah setelah memindahkan koper besar milik keluarga Citra. "Mereka cuma tinggal beberapa hari, tapi barangnya seperti mau pindah rumah setahun!" "Ssst!" Misa, kakak Mila yang lebih tenang, menyenggol lengannya dengan tajam. Ia melirik sekilas ke arah Aisyah yang sedang merapikan pakaian milik anak gubernur di lemari, wajahnya tanpa ekspresi. "Jangan mengeluh terlalu keras! Lihat istri wakil presiden kita. Padahal dia bukan pelayan, tapi lebih rajin daripada kamu." Aisyah mendengar itu dan menoleh dengan senyum tipis, tapi nada bicaranya mendadak berubah tegas, seperti suara kara

    Last Updated : 2024-12-03
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 16

    Langit senja memancarkan warna merah dan oranye yang menyala terang, seolah melukis suasana dramatis di ruang kerja Nursyid, sang pemilik LightGlow Cosmetics. Dalam ruang yang penuh estetika itu, Nursyid sedang mengenakan jasnya, bersiap untuk menghadiri fanmeeting bersama brand ambassador barunya, Aisyah. Namun, sebelum ia sempat melangkah keluar, suara langkah kaki yang cepat terdengar dari arah pintu. Tanpa perlu menoleh, Nursyid sudah tahu siapa yang datang. "Masuk saja, Aisyah. Pintu tidak terkunci," katanya tenang, tanpa mengalihkan pandangan dari cermin di hadapannya. Pintu terbuka dengan suara pelan, dan Nursyid, yang hendak menyambut kedatangan Aisyah dengan senyum, langsung terpaku. Kalimat yang hendak ia ucapkan terhenti di tenggorokan saat pandangannya jatuh pada wajah gadis itu. Keningnya terlihat memar dan tertutup plester, kedua pipinya lebam dengan warna ungu yang mencolok, dan ujung bibirnya merah, bekas darah yang belum sepenuhnya kering. Nursyid mendekat dengan

    Last Updated : 2024-12-03
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 17

    Rayhan mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, melaju lincah di antara kendaraan-kendaraan besar yang merayap di jalan. Seolah sedang berpacu dengan waktu, dia menantang langit senja yang perlahan menggelap, matahari yang memancarkan warna oranye kemerahan mulai tenggelam di cakrawala. Angin malam semakin dingin, tapi Rayhan tak peduli. Ada sesuatu yang lebih mendesak daripada rasa lelah atau dingin yang menggigit kulitnya. Saat matahari akhirnya tenggelam sepenuhnya, motor Rayhan berhenti di depan istana megah. Ia menghela napas panjang, memastikan bahwa Aisyah telah sampai dengan selamat. Wanita itu turun dari motor dengan hati-hati, memegangi pipinya yang memar, mencoba menyembunyikan rasa sakit di balik senyuman tipis. “Terima kasih, Pak,” ucap Aisyah pelan. Suaranya hampir tenggelam dalam deru kendaraan yang lewat di kejauhan. Gerakan kecil pada bibirnya saja sudah cukup untuk membuat rasa sakit menjalar di kedua sisi wajahnya, mengingatkannya pada luka-luka bekas tampara

    Last Updated : 2024-12-04
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 18

    Malam telah menelan seluruh cahaya, meninggalkan langit pekat yang bertabur bintang jauh di atas istana. Di dapur, Aisyah sibuk membantu para koki mengaduk panci-panci besar, aroma rempah menguar ke segala penjuru. Sementara itu, Mila dan Misa berlarian ke sana kemari, membantu pelayan lainnya mengatur hidangan makan malam di meja panjang nan megah. Ketika semuanya siap, Aisyah menarik kursi di meja makan dan duduk tanpa ragu di samping Sulistyo. Tatapannya tenang, seolah tempat itu memang miliknya. Namun, keheningan tak bertahan lama. "Siapa yang menyuruh gadis rendahan sepertimu duduk di sampingku?" Suara dingin Sulistyo memecah suasana. Tatapannya tajam, aura gelap menguar dari tubuhnya, menciptakan atmosfer yang menyesakkan di sekelilingnya. Aisyah tak bergeming. Dengan tenang, ia menyendok daging dari mangkuk besar di meja dan menaruhnya di piringnya sendiri. "Tidak ada yang menyuruh," jawabnya datar. "Aku hanya ingin." Ia menoleh ke arah keluarga Citra yang duduk di seberan

    Last Updated : 2024-12-04
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 19

    Makanan mulai tersaji kembali di atas meja mewah dengan susunan yang begitu sempurna, seperti karya seni yang menggoda setiap indera. Aroma sedap memenuhi ruangan, membangkitkan selera meski keheningan tetap menggantung di udara, menciptakan suasana canggung yang terasa menekan. Jatmiko, dengan sikap tegas namun ramah, akhirnya memecah keheningan. "Selamat malam, keluarga gubernur Suryaloka sekalian... Saya, Jatmiko, sebagai kepala keluarga Nugroho, mempersilakan kalian menikmati hidangan yang telah disiapkan ini." Kata-kata itu menjadi sinyal bagi keluarga gubernur Suryaloka untuk mulai bergerak. Citra, bersama kedua orang tuanya, perlahan mengambil makanan ke piring masing-masing dengan gerakan anggun yang mencerminkan pendidikan dan status mereka. Dengan table manner yang sempurna, mereka mulai menikmati makanan, setiap potongan dilahap dengan penuh kesopanan. Namun, di tengah suasana yang mulai mencair, suara lembut namun penuh keraguan milik Citra memecah harmoni tersebut. "Um

    Last Updated : 2024-12-04

Latest chapter

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 135

    Malam mulai merayap ketika Aisyah dan Sulistyo kembali ke istana negara setelah kunjungan panjang ke rumah sakit. Langit kelam membayangi bangunan megah itu, dan suara gemuruh jauh dari aksi demonstrasi yang terus berlangsung, terasa seperti ancaman yang tak pernah benar-benar pergi.Mereka melangkah masuk ke kamar utama. Sulistyo melempar jasnya ke kursi dan duduk di tepi ranjang, matanya menatap kosong ke depan, pikirannya seolah terperangkap dalam sesuatu yang tak terlihat. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan."Duduklah." Suaranya terdengar datar, namun perintah itu penuh kuasa, membuat Aisyah tanpa sadar menuruti dengan patuh. Ia duduk di samping suaminya, tangannya mengepal erat di atas pangkuannya, sementara perasaan tertekan membungkus tubuhnya seperti rantai yang tak terlihat.Sulistyo memutar tubuhnya sedikit, jemarinya yang besar dan dingin menyentuh kepala Aisyah, mengusapnya dengan sentuhan yang tampak lembut namun penuh pe

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 134

    Pintu kamar terbuka perlahan, engselnya berderit seperti jeritan pelan yang menyeruak ke dalam keheningan. Sulistyo melangkah masuk dengan langkah tenang namun penuh kekuasaan, bayangannya yang panjang melintasi dinding seperti sosok kegelapan yang merayap mendekati mangsanya. Aisyah, yang sebelumnya tengah memegang ponselnya dengan tangan gemetar, dengan cepat menyembunyikan perangkat itu di bawah bantal dan membaringkan diri di ranjang. Matanya terpejam rapat, napasnya ditahan, seolah tidur adalah satu-satunya pelindung dari bencana yang berdiri di ambang pintu.Sulistyo mendekat, duduk di tepi ranjang, dan tangannya yang dingin terulur, mengusap rambut Aisyah dengan gerakan yang, di permukaan, tampak penuh kasih. Namun sentuhan itu bagaikan rantai besi yang melilit leher, menahan kebebasannya."Apa kau sudah memeriksanya?" Suaranya rendah, penuh tekanan yang terpendam. Setiap kata menembus jantung seperti pisau kecil yang perlahan menusuk. "Apa kau sudah hamil?"

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 133

    Komentar-komentar di komunitas media sosial terus bergulir tanpa henti seperti arus sungai yang liar, semakin deras dan panas seiring dengan berlalunya siang. Aisyah terbaring diam di tempat tidur, cahaya ponsel memantul di wajahnya yang pucat. Jemarinya menggulir layar, matanya terpaku pada setiap kata yang muncul—setiap kalimat adalah ledakan kecil yang menghantam jiwanya, mengoyak rasa tenang yang berusaha ia pertahankan.“Tapi kau lihat sendiri apa yang terjadi pada orang-orang yang menentang Sulistyo, kan? Orang-orang sekelas Nursyid saja terancam bangkrut karena berani melawannya. Apalagi orang kecil seperti kita-kita ini?”Aisyah menelan ludah, telinganya seakan mendengar gema ketakutan yang diucapkan oleh pengguna anonim di layar.“Itu benar! Apa yang bisa kita lakukan? Lihat saja para pendemo kemarin! Dua orang mati, dan jika Sulistyo tidak berbelas kasihan, mungkin lebih banyak lagi yang akan tumbang!”“Berbelas kasihan?” pikir Aisyah de

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 132

    Kolom komentar di media sosial yang selama ini menjadi arena bagi suara-suara terpendam kini dipenuhi gelombang kesedihan dan kemarahan. Ratusan pesan memenuhi layar, membentuk aliran panjang yang tak henti-hentinya bergerak, mencerminkan hati dan pikiran rakyat yang mendidih."Itu sangat mengerikan!""Benar juga, Aisyah ke mana ya? Dia sudah tidak terlihat lagi di TV atau media sosial mana pun."Setiap pesan seolah-olah menjadi sumbu yang membakar api kepedihan dan kepedulian. Mereka berbicara satu sama lain, menggema dengan rasa ingin tahu yang berbalut kecemasan."Pertanyaan bodoh! Pastinya dia sudah ditahan Sulistyo karena hampir membuatnya dihukum mati.""Aisyah yang malang… Dia hanya ingin membuka mata rakyat, menunjukkan keburukan Sulistyo. Tapi apa daya? Lawannya adalah monster yang menguasai segalanya."Nama Aisyah disebut-sebut dengan penuh kasih dan simpati, seakan-akan dia adalah simbol perjuangan yang terlupakan namu

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 131

    Aisyah terbangun dari tidur siangnya dengan hati yang gelisah. Udara dalam kamar terasa berat, seolah sesak oleh rahasia dan ketakutan yang tak terlihat. Tangannya terjulur meraih ponsel di meja samping tempat tidur. Dengan jantung yang berdetak cepat, ia membuka layar dan langsung menelusuri beranda media sosial yang dipenuhi berita dan komentar panas tentang Sulistyo.Berita utama yang terpampang di layar membuat matanya melebar. “Tragedi Berdarah: Dua Mahasiswa Gugur di Tangan Presiden Sulistyo.” Setiap kata terasa seperti pukulan keras yang menghantam dadanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosi yang berkecamuk, meski jauh di lubuk hati, ia sudah tahu bahwa hal seperti ini akan terjadi.Komentar-komentar dari netizen mengalir deras seperti arus sungai yang tak terbendung, penuh dengan kemarahan dan ketakutan:“Sulistyo benar-benar mengerikan! Dia membunuh dua orang mahasiswa!”“Apa dia sungguh manusia? Dia lebih seperti monste

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 130

    Meja makan di aula megah itu dipenuhi makanan mewah, setiap piring tersaji dengan detail sempurna. Para pelayan bergerak seperti bayangan, menyajikan hidangan dengan penuh kehormatan. Di sekitar mereka, pejabat tinggi dan orang-orang berpengaruh bercakap-cakap, membicarakan nasib rakyat yang bagi mereka hanyalah angka-angka di atas kertas.Aisyah duduk dengan tenang di sisi Sulistyo, matanya memandang lurus ke depan, tapi pikirannya melayang jauh dari hiruk-pikuk. Orang-orang berlalu-lalang, wajah-wajah yang penuh tipu daya dan senyum palsu yang memuja kekuasaan. Sesekali ia menangkap mata yang menatapnya dengan iri, wajah-wajah wanita yang ingin berada di posisinya. Mereka tidak tahu. Mereka hanya melihat kemewahan dan kemuliaan, bukan rantai tak terlihat yang membelenggu jiwa.Sulistyo menoleh, menatap Aisyah dengan senyum yang tampak hangat, meski ada sesuatu yang dingin dan menguasai di balik matanya. Tangannya terulur, menyibakkan rambut Aisyah dengan lembut,

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 129

    Sulistyo berdiri di tengah tempat yang dipenuhi teriakan dan jeritan mahasiswa. Tangannya terangkat perlahan, dan dari telapak tangannya, asap hitam mulai merayap keluar, bergerak dengan kehendak yang menyerupai makhluk hidup. Asap itu menyelubungi pintu-pintu dan jendela, menutup semua jalur keluar. Suasana yang sudah mencekam berubah menjadi horor murni."Cepat keluar!" teriaknya, suaranya bergema seperti guruh di langit malam. Mata gelapnya bersinar penuh kebencian. "Jangan membuatku berubah pikiran!"Dengan satu gerakan tegas, asap hitam itu surut, membuka jalan bagi para mahasiswa yang sudah pucat pasi. Mereka berlarian, berhamburan keluar seperti kawanan domba yang diterkam serigala. Tangisan dan teriakan ketakutan mereka menggema, menyayat udara malam yang dingin. Beberapa jatuh tersungkur, sementara yang lain mendorong tanpa ampun demi menyelamatkan nyawa sendiri.Di luar, kamera-kamera televisi tetap menyala, menangkap setiap momen dengan sempurna

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 128

    Setelah prosesi pelantikan Sulistyo sebagai presiden dan Prasetya sebagai wakil presiden usai, gemuruh tepuk tangan memenuhi istana. Suara riuh itu memantul di dinding-dinding megah, membentuk simfoni kepalsuan yang memekakkan telinga. Para pejabat, tamu undangan, dan tokoh-tokoh penting berdiri dengan senyum penuh sanjungan, meski sebagian besar dari mereka menelan ketakutan yang tak mampu disembunyikan di balik topeng mereka.Di luar gerbang istana, barisan mahasiswa yang dulunya berdiri tegak dengan semangat perjuangan kini tertunduk lesu. Mata mereka kosong, menyimpan trauma dari kekejaman yang baru saja mereka saksikan. Dua dari mereka telah tergeletak tak bernyawa—korban terbaru dari tangan besi Sulistyo, presiden yang kini memegang kendali penuh atas kehidupan mereka. Suara perlawanan yang dulu membakar, kini sirna. Yang tersisa hanya rasa takut yang menggerogoti jiwa.Sulistyo menatap mereka. Senyum puas terpampang di wajahnya, sebuah senyuman yang lebih me

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 127

    Di tengah kemegahan istana yang dipenuhi sorotan kamera dan kilauan lampu, Sulistyo berdiri dengan tegak di atas podium. Senyum liciknya terukir sempurna, menampilkan gigi-gigi yang seolah siap menerkam siapa saja. Suaranya menggema, mengisi setiap sudut dengan nada kemenangan yang menusuk hati."Hadirin sekalian… Kali ini kita kedatangan tamu yang sangat penting. Sekumpulan anak-anak mahasiswa. Calon-calon pemimpin negara ini di masa depan," katanya, suaranya tegas namun sarat dengan penghinaan terselubung. "Oleh karena itu, mari kita dengarkan pidato dari presiden kalian yang baru dengan saksama!"Dia mengangkat tangannya seolah memerintah dunia untuk tunduk di bawah kakinya. Sorak-sorai dari beberapa orang bayaran bergema, menciptakan ilusi bahwa Sulistyo benar-benar dihormati.Di barisan belakang, Ratri menyaksikan dengan tubuh gemetar. Matanya membelalak, ekspresinya penuh campuran antara ngeri dan tidak percaya. "Sulistyo…" bisiknya, suaranya bergeta

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status