author-banner
Sylus wife
Sylus wife
Author

Novel-novel oleh Sylus wife

Hamil Anak Calon Wakil Presiden

Hamil Anak Calon Wakil Presiden

Setelah kesuciannya direnggut paksa oleh Sulistyo, calon wakil presiden, di malam setelah upacara kemerdekaan. Aisyah merasa sangat hancur dan kehilangan semangat hidupnya. Dua minggu kemudian, Sulistyo memberikan sekoper uang sebagai kompensasi. Mengetahui bahwa ternyata Aisyah hamil, Sulistyo terpaksa menikahinya demi menutupi perbuatan tercelanya. Namun, siapa sangka jika hidup sebagai istri calon wakil presiden ternyata tidak semudah itu. Aisyah justru terjebak drama politik dan drama keluarga Sulistyo yang tidak ada habisnya.
Baca
Chapter: Bab 108
Aisyah memalingkan wajah, matanya tertuju pada balkon terbuka yang diterangi cahaya bulan. Suara gaduh dari luar masih terdengar, gema teriakan protes dan tuntutan keadilan memantul di sepanjang dinding istana. Wajah-wajah berteriak, tubuh-tubuh yang lelah namun tak menyerah, terus berjuang meski malam telah larut."Omong-omong…" suaranya pelan, hampir seperti bisikan. "Orang-orang itu masih terus demo meskipun sudah malam."Sulistyo yang bersandar dengan santai di sisi tempat tidur, mengangkat alis dan mengikuti arah pandangan Aisyah. Matanya yang gelap berkilat dingin. "Kenapa? Apa kau merasa sangat terganggu hingga tidak bisa tidur?" katanya dengan nada sinis. "Haruskah aku memerintah polisi yang berjaga di depan untuk menembakkan gas air mata?"Nada ancaman dalam suaranya bagaikan pisau yang menggores hati Aisyah. Ia menoleh cepat, matanya membelalak panik. "Tidak! Tidak perlu! Tolong… biarkan saja mereka seperti itu. Jika mereka sudah lelah, mereka ju
Terakhir Diperbarui: 2025-01-11
Chapter: Bab 109
Keesokan paginya, deru mesin jet pribadi memecah langit pagi yang biru. Di dalam kabin yang mewah, Aisyah duduk diam di samping jendela, matanya menatap ke luar dengan pandangan kosong. Sayap pesawat mengiris awan-awan putih, dan jauh di bawah sana, dunia yang ia kenal tampak begitu kecil dan tidak berarti. Namun di dalam hatinya, sebuah badai berkecamuk—badai rasa bersalah, amarah yang dipendam, dan ketidakberdayaan yang membelenggu.Sulistyo duduk di sampingnya, dengan senyum penuh kemenangan di wajahnya yang tampan namun penuh tipu daya. "Aisyah," suaranya terdengar penuh rasa bangga, "hari ini aku ingin memamerkan sesuatu yang sangat berharga. Salah satu pulau terpencil yang sudah kubeli dengan uangku sendiri. Harta karun pribadiku."Aisyah menunduk, menyembunyikan kilatan benci yang tak sanggup ia tunjukkan di hadapannya. "Bukan uangmu," gumamnya dalam hati, setiap kata terasa seperti pisau yang menorehkan luka di jiwanya. "Itu uang rakyat. Keringat dan darah
Terakhir Diperbarui: 2025-01-11
Chapter: Bab 108
Aisyah memalingkan wajah, matanya tertuju pada balkon terbuka yang diterangi cahaya bulan. Suara gaduh dari luar masih terdengar, gema teriakan protes dan tuntutan keadilan memantul di sepanjang dinding istana. Wajah-wajah berteriak, tubuh-tubuh yang lelah namun tak menyerah, terus berjuang meski malam telah larut."Omong-omong…" suaranya pelan, hampir seperti bisikan. "Orang-orang itu masih terus demo meskipun sudah malam."Sulistyo yang bersandar dengan santai di sisi tempat tidur, mengangkat alis dan mengikuti arah pandangan Aisyah. Matanya yang gelap berkilat dingin. "Kenapa? Apa kau merasa sangat terganggu hingga tidak bisa tidur?" tanyanya dengan nada sinis. "Haruskah aku memerintah polisi yang berjaga di depan untuk menembakkan gas air mata?"Nada ancaman dalam suaranya bagaikan pisau yang menggores hati Aisyah. Ia menoleh cepat, matanya membelalak panik. "Tidak! Tidak perlu! Tolong… biarkan saja mereka seperti itu. Jika mereka sudah lelah, mereka juga akan kembali pulang ke ru
Terakhir Diperbarui: 2025-01-11
Chapter: Bab 106
Sulistyo membuka pintu kamar tanpa mengetuk, langkah kakinya mantap seakan kamar itu adalah singgasana yang harus tunduk kepadanya. Cahaya remang dari lampu meja memantulkan bayangannya yang tinggi dan menekan ke setiap sudut ruangan. Matanya yang tajam segera menangkap Aisyah yang duduk di tepi ranjang, jemarinya sibuk mengetuk layar ponsel dengan gerakan cemas namun tenang di permukaan.Dia tidak mengatakan apa-apa saat berjalan mendekat, hanya meraih ponsel dari tangan Aisyah dengan satu gerakan cepat. Ponsel itu berpindah ke tangannya seolah memang haknya, bukan milik istrinya. Mata mereka bertemu. Mata Sulistyo menyala, penuh kendali. “Jangan pernah melihat hal lain jika aku ada di sini,” katanya dengan suara rendah yang lebih dingin daripada malam paling gelap.Aisyah, yang sudah terbiasa dengan tatapan tajam seperti belati itu, tidak memberontak. Dia menatap balik, lalu mengangguk perlahan.Sulistyo tersenyum tipis. Kepatuhan seperti itu selalu memb
Terakhir Diperbarui: 2025-01-10
Chapter: Bab 105
“Baiklah, Anisa. Nanti akan aku hubungi lagi. Untuk sekarang memang ada pengurangan jumlah karyawan dan brand ambassador,” ujar Nursyid di ujung telepon, suaranya lebih rendah dari biasanya, seperti menahan emosi. “Kau tahu sendiri bagaimana si biadab Sulistyo itu sudah membuat segalanya melambung tinggi.” Anisa menggenggam ponselnya erat, rasa resah merayapi hatinya. Suara Nursyid masih terngiang-ngiang di telinganya, penuh perhatian namun terselip ketegasan yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ketika dia menyebut soal pengurangan karyawan dan kenaikan harga barang akibat kebijakan Sulistyo, tubuhnya terasa lebih berat. Seolah beban yang menumpuk di pundaknya semakin menindih, sulit bernapas. Anisa hanya bisa tertawa kecil, bukan karena lucu, melainkan sebagai pelarian dari rasa frustasi yang membekap. “Aku sampai berhutang lima ribu di warung. Uang yang kuberi ke adikku kurang. Aku bahkan tidak ingat kalau aturan meresahkan itu mu
Terakhir Diperbarui: 2025-01-10
Chapter: Bab 104
Anisa menatap ponselnya yang retak di beberapa sudut, bekas terkena lemparan penuh amarah. Sulistyo pernah melemparkannya saat asap hitam yang dia kendalikan membentuk bilah tajam yang menghantam ponsel di tangannya saat Anisa sedang merekam perlakuan kejam Sulistyo pada adiknya, Aisyah. Layar yang kini berjejak seperti sarang laba-laba masih bisa menyala, meski sedikit berkedip-kedip."Untung saja masih bisa berfungsi," gumam Anisa, mencoba menghibur dirinya sendiri meski perasaan gelisah menyelimutinya."Kak, pinjam! Pinjam ponselnya, Kak!" Suara Aqila memecah keheningan. Gadis kecil itu melompat-lompat, tangannya yang mungil berusaha meraih ponsel dari genggaman Anisa."Tidak!" Anisa dengan cepat mengangkat ponselnya tinggi-tinggi, menjauhkannya dari jangkauan adiknya. "Ini bukan untuk mainan! Kakak perlu menghubungi seseorang. Kakak harus cari kerja tambahan."Aqila mengerucutkan bibirnya, tetapi Anisa sudah melangkah pergi ke kamar. Pintu kam
Terakhir Diperbarui: 2025-01-10
Suamiku Karakter Game

Suamiku Karakter Game

Arabella, seorang gadis 20 tahun yang kecanduan game otome Love and Zombie, tak pernah menyangka keinginannya menjadi kenyataan. Dunia tiba-tiba dilanda wabah zombie, termasuk keluarga Ara yang kini berubah menjadi makhluk mengerikan. Namun, di tengah keputusasaan, Ara bertemu sosok Aezar, pria tampan berambut perak dan bermata merah, persis karakter favoritnya di game. Siapa sebenarnya Aezar? Mengapa ia memanggil Ara "istriku"? Dan, apakah ini cinta, atau hanya awal dari misteri yang lebih gelap di dunia penuh zombie? Di dunia yang hancur, cinta dan bahaya bertabrakan. Akankah Ara bertahan?
Baca
Chapter: Bab 59
Dharma menarik napas panjang, mencoba menenangkan gelombang emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Matanya memandang lembut ke arah Ara yang duduk di hadapannya, bahunya yang mungil terlihat bergetar halus karena tangis yang tertahan. Ia mendekatkan diri, menunduk sedikit hingga wajah mereka hampir sejajar. Dengan nada yang pelan tapi penuh ketegasan, ia berkata, "Ara, kau tidak perlu membohongi Papa. Papa tahu, kau tidak mungkin mempertaruhkan nyawamu untuk seseorang yang hanya kau anggap sebagai sekadar tumpuan. Jika kau sampai sejauh itu, berarti kau benar-benar peduli. Papa bisa melihatnya."Ara terdiam, seolah kata-kata ayahnya itu menghantam benteng yang selama ini ia bangun. Pandangannya jatuh ke lantai, matanya berusaha menghindari tatapan Dharma. Namun, tak mampu lagi menahan semua yang mengganjal, air matanya mulai mengalir deras. Butiran-butiran hangat itu jatuh tanpa henti, seperti banjir yang tak terbendung. Dengan suara yang bergetar, ia b
Terakhir Diperbarui: 2025-01-11
Chapter: Bab 58
Malam semakin larut, hanya suara angin yang berdesir lembut di luar jendela. Ara tertidur di pelukan Dharma, wajahnya basah oleh air mata yang mengering, tampak begitu rapuh seperti seorang anak kecil yang kembali ke pelukan ayahnya untuk berlindung dari dunia yang keras. Dharma memandangi wajah putrinya dengan perasaan yang bercampur aduk—kasih sayang, penyesalan, dan tekad yang semakin menguat.Dengan hati-hati, Dharma meletakkan Ara di sofa. Ia merapikan posisi tidur putrinya agar lebih nyaman, lalu menyelimuti tubuhnya yang mungil. Tangannya terulur, mengusap lembut rambut Ara, merasakan kehalusan setiap helaian rambutnya. Sebuah senyum tipis yang penuh kepedihan muncul di wajahnya. "Ara... Papa tahu kau kuat. Tapi di balik kekuatan itu, kau tetap putri kecil Papa yang butuh perlindungan. Papa hanya ingin yang terbaik untukmu."Dharma menghela napas panjang, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Suaranya keluar seperti bisikan yang ditujukan untuk dirinya sendiri. "Sebenarn
Terakhir Diperbarui: 2025-01-11
Chapter: Bab 57
Malam semakin larut, dan kesunyian di ruang tamu terasa begitu mencekam. Ara duduk di sofa, tubuhnya sedikit membungkuk, tangan meremas ujung bajunya. Matanya yang sembab dan memerah akibat terlalu banyak menangis kini hanya menatap kosong ke lantai. Di kepalanya, kata-kata Dharma terus terulang, seperti gema yang menghantam dinding pikirannya tanpa henti."Papa benar... Apa yang papa katakan adalah benar..." gumamnya pelan, hampir seperti bisikan kepada dirinya sendiri. Bibirnya bergetar, mencoba menyangkal perasaan yang terus mencabik hatinya. "Sangat mencurigakan pria sesempurna dirinya memberikan semua perhatian itu padaku. Mana mungkin ada pria seperti itu? Tidak ada pria yang lebih tulus dari Papa! Bahkan di luar sana, banyak ayah yang meninggalkan istri dan anak-anaknya demi wanita lain. Apa yang aku harapkan dari pria seperti Aezar?"Ara menunduk semakin dalam, mencengkeram kepalanya dengan kedua tangan. Logika dan emosinya terus bertarung, saling beradu tanpa ada yang mau men
Terakhir Diperbarui: 2025-01-10
Chapter: Bab 56
Ruangan terasa dingin dan sunyi setelah kepergian Aezar, tetapi ketegangan yang tersisa membakar seperti api yang tak terlihat. Ara berdiri mematung, wajahnya dipenuhi air mata yang tak berhenti mengalir. Namun, bukan hanya kesedihan yang terpancar dari matanya—melainkan amarah yang mendidih. Ia menatap ayahnya dengan tajam, suaranya penuh getaran emosi. "Papa... Papa jahat! Papa sudah mengusir Daddy!"Dharma menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Ara," katanya, suaranya berat dan penuh penekanan. "Papa melakukan ini demi kebaikanmu, demi keamananmu. Kau harus memahami itu. Lihat luka di lenganmu—""Itu bukan Daddy yang salah!" Ara memotong dengan suara yang bergetar, tetapi tegas. "Aku sendiri yang memaksanya meminum darahku! Daddy tidak mau, tapi aku memaksa karena dia tidak bisa meminum darah zombie. Apa salahnya, Pa? Mendonorkan darah kepada yang membutuhkan, apa itu salah?!"Tatapan Dharma mengeras, namun ada rasa frustrasi yang mendalam di matanya. Ia menatap putr
Terakhir Diperbarui: 2025-01-10
Chapter: Bab 55
Ruangan lobi yang sebelumnya hening kini dipenuhi ketegangan yang pekat. Suara Dharma yang menggelegar menggema di dinding, memecah keheningan seperti petir di malam gelap. "Pergi dari sini!" titahnya dengan tegas, matanya menatap tajam ke arah Aezar, penuh amarah dan ketidakpercayaan.Aezar tetap berdiri tegak, wajahnya dingin tetapi ada sedikit rasa bersalah yang tersirat. "Maaf, Paman," ucapnya pelan namun tegas, "Saya tidak bisa melakukannya. Saya sudah berjanji pada Ara untuk melindunginya.""Pergi!" Dharma memukul meja dengan keras. Dentuman suara meja kayu yang terhantam menggema, membuat tubuh Aezar tetap tak bergeming, tetapi Ara yang tertidur di sofa tersentak. Ia membuka mata dengan bingung, wajahnya yang lelah tampak kebingungan menatap ayahnya."Papa? Ada apa ini?" tanyanya dengan suara serak, matanya berkedip menyesuaikan diri dengan cahaya di ruangan.Dharma segera berbalik, suaranya berubah menjadi lebih lembut tetapi masih penuh rasa khawatir. "Ara, kau baik-baik saja
Terakhir Diperbarui: 2025-01-09
Chapter: Bab 54
Dharma berdiri di depan wastafel, air mengalir deras dari keran, membasahi tangannya yang sibuk mencuci piring. Tapi pikirannya melayang jauh, meninggalkan kesibukan fisiknya. Tatapannya kosong menatap piring yang dipegangnya, sementara pikirannya penuh dengan satu sosok—Aezar."Anak muda itu..." gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar di tengah suara gemericik air. Matanya menyipit seolah sedang menilai sesuatu yang tidak kasat mata. "Dia sangat tampan, mandiri, tegas, baik, dan ramah. Dia terlihat terlalu sempurna... tanpa celah."Ia berhenti sejenak, menaruh piring yang telah selesai dicuci ke rak. Namun, pikirannya semakin gelisah. "Sempurna... Justru itulah masalahnya."Dharma menghela napas panjang, mengambil piring lain dari tumpukan, lalu kembali mencuci. Air yang dingin mengalir di tangannya, tapi dadanya terasa panas, penuh oleh kecurigaan yang terus tumbuh. "Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Semua orang punya kekurangan, sisi gelap, sesuatu yang disembunyikan...," ucapny
Terakhir Diperbarui: 2025-01-09
DMCA.com Protection Status