Lorong itu terasa semakin sunyi ketika Kamila melangkah mendekat. Cahaya lampu neon di langit-langit memantulkan bayangannya di lantai keramik yang mengilap, menciptakan suasana dingin yang tak wajar. Detak sepatu haknya menggema, setiap langkah terdengar begitu jelas di antara keheningan yang menyesakkan.Di ujung lorong, Kaelen berdiri diam, nyaris tak bergerak. Kepalanya tertunduk, napasnya dalam dan teratur, tetapi ada sesuatu dalam cara bahunya sedikit tegang yang membuat Kamila tahu—dia sedang menahan sesuatu.Kemarahan. Frustrasi.Tatapan kosongnya tertuju pada lantai, namun sorot matanya tajam, seperti badai yang tengah berkecamuk di dalam dirinya. Rahangnya mengeras, otot-otot di pipinya menegang, dan kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, seakan berusaha keras menahan emosi yang nyaris meluap.Kamila menelan ludah. Rasa ragu menyelusup di dadanya, tetapi ia tahu ia tak bisa hanya diam. Dengan sedikit keberanian yang tersisa, ia akhirnya bertanya, suaranya nyaris bergetar
Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi lampu meja yang redup. Di tengahnya, Bleon duduk di kursi dengan santai, satu kakinya terlipat di atas lutut yang lain. Namun, ada sesuatu yang dingin dalam tatapannya saat matanya menelusuri sosok remaja lima belas tahun yang berdiri di hadapannya—Evan, seorang trainee GS Entertainment yang seumuran dengan adiknya.Tak ada suara selain detak jam di dinding.Bleon mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, ekspresi di wajahnya penuh ketidaksabaran. "Bagaimana? Apa kau sudah mendapatkan apa yang aku suruh?" tanyanya, nada suaranya terdengar tenang, tetapi ada ketegangan samar yang menyelip di baliknya.Evan tidak langsung menjawab. Rahangnya sedikit mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan merogoh ponselnya dari saku.Bleon menyeringai. Matanya berbinar penuh antisipasi."Bagus. Ini pasti rekaman skandal yang bisa menjatuhkan Kaelen."Namun, alih-
Restoran itu sunyi.Hanya ada dua orang di dalamnya—Kamila dan Kaelen. Tidak ada pelanggan lain, tidak ada suara bising dari meja-meja sekitar, hanya keheningan yang terasa begitu menekan.Kamila baru saja duduk ketika sebuah pertanyaan menghantamnya seperti petir di siang bolong."Sekarang suasana sudah sangat tenang. Apa yang mau kau katakan tentang... Kenapa memutuskan hubungan denganku saat kita masih SMK dulu?"Napas Kamila tercekat. Ia belum sempat menyesuaikan diri dengan situasi ini, belum sempat menenangkan hatinya yang berdebar karena pertemuan mereka, tapi Kaelen langsung menembaknya dengan pertanyaan yang selama ini ia hindari.Tangannya yang hendak merapikan rambutnya sedikit gemetar. Dengan cepat, ia menata ekspresinya agar tetap tenang, lalu mengalihkan pandangannya ke Kaelen yang duduk di seberang meja.Setelah beberapa detik keheningan, ia akhirnya menjawab dengan suara yang terdengar lebih mantap dari perasaanny
Kamila menatap Kaelen, hatinya berdenyut perih melihat pria itu yang masih berusaha menutupi air matanya.Cahaya lampu restoran yang temaram memantulkan kilau pucat di wajah Kaelen, menyorot garis-garis ekspresi yang lebih dalam dari yang pernah Kamila ingat. Ia terlihat lebih dewasa, lebih dingin, tapi juga lebih rapuh dari yang pernah ia bayangkan.Jemari Kamila gemetar saat ia mengangkat tangannya sedikit. Ada dorongan dalam dirinya untuk menyentuh Kaelen, untuk menenangkan kegelisahan yang melingkupinya. Tapi sebelum ia bisa melakukannya, Kaelen sudah menurunkan tangannya sendiri, memperlihatkan sorot mata biru lautnya yang tajam—mata yang kini dipenuhi amarah dan kepedihan yang belum terobati."Kak Kaelen, aku minta maaf... Aku—""Tidak perlu minta maaf!" Kaelen memotong cepat.Suaranya menggema di ruangan yang kosong, membuat dada Kamila semakin sesak. Bukan hanya karena ketegangan yang terasa di antara mereka, tetapi juga karena emosi yang mengalir deras dalam nada suara Kaelen
Usapan lembut kuas bedak membelai pipi seorang pria tampan yang duduk tenang di kursi rias, seolah dirinya adalah kanvas sempurna untuk sebuah mahakarya. Kulitnya halus, pipi tirus, dan rahang yang tegas membentuk garis-garis simetris pada wajah yang tampak seperti pahatan patung karya seniman legendaris. Hidung mancung dan bibir tebalnya yang sedikit berwarna merah muda menambah kesan memesona pada sosok yang hampir mustahil terabaikan. Kamila menarik napas dalam. Jari-jarinya yang lentik menggenggam kuas dengan percaya diri. Gerakan tangannya halus namun penuh kendali, menyapu eye shadow ke kelopak mata pria itu. Ia mengamati bagaimana pria tersebut memejamkan matanya perlahan—sepasang mata biru yang memukau, seperti langit musim panas tanpa awan. Untuk sejenak, Kamila merasa terperangkap dalam pesona yang tak boleh dimiliki. Ia segera menepis pikiran itu dan melanjutkan pekerjaannya. Sapuan terakhir kuas meninggalkan bayangan cokelat gelap yang menonjolkan tatapan misterius pada
"Apa katanya tadi?" suara Kamila melengking, penuh dengan nada kesal yang berusaha ia tekan, meski gagal total. Tatapan matanya tajam, pupil cokelatnya menatap Kaelen dengan sorot penuh kekesalan dan rasa jengah. Kaelen mengangkat bahu dengan santai, seolah sedang menonton drama yang menyenangkan. Senyumnya kecil, tapi cukup menusuk harga diri. "Yah... Siapa tahu kau menyesal karena dulu memutuskan hubungan kita waktu masih SMK. Mungkin sekarang kau datang memohon agar kita CLBK." Kamila memutar bola matanya dengan gerakan dramatis. "Tuan idol yang terhormat," katanya, menyuarakan setiap kata dengan penuh penekanan, "saya di sini hanya untuk melamar pekerjaan. Bukan melamarmu. Mengerti?" Dengan gerakan cepat, ia menggumamkan sumpah serapah pelan yang hampir seperti desisan. "Sialan... Lagi pula, mana ada melamar posisi jadi MUA harus minta persetujuan idolnya dulu?" Kaelen menyeringai lebih lebar, senyum puas yang penuh kemenangan. "Tentu saja harus. Perusahaan ini kan aku yang pu
Kaelen melipat kedua tangannya di depan dada, matanya memancarkan kekesalan, dan bibirnya yang penuh memanyun dengan gaya cemberut yang terlihat hampir lucu. "Jahat! Aku sudah berharap padahal!" suaranya terdengar seperti anak kecil yang baru saja kehilangan permen favoritnya. Kamila mengangkat alis, matanya bersinar penuh kemenangan. "Oh, maaf. Aku lupa. Harapan tidak seharusnya kau gantungkan padaku, kak Kaelen. Kau pasti tahu itu." Sebelum Kaelen bisa membalas, suara seseorang memecah keheningan. "Kaelen, kau belum bersiap?" Seorang pria dengan rambut cokelat keabu-abuan muncul di ambang pintu, langkahnya mantap dan penuh wibawa. Sebagian poni rambutnya menjuntai menutupi salah satu matanya, menambah kesan misterius pada wajah tampannya. Dia berjalan mendekat dengan tatapan yang memeriksa Kaelen dari ujung kepala hingga kaki. "Kau bilang mau mengadakan fan meeting di Mall Jayakarta. Kenapa belum bersiap juga?" Kaelen, masih tenggelam dalam emosinya, hanya menoleh dengan tatapan
Kaelen kembali ke ruangan dengan tampilan yang lebih tertutup. Kali ini, sebuah jaket kain wol berwarna gelap menggantung di bahunya, dipakai asal-asalan hanya menutupi punggungnya, seperti tirai yang menggantung malas untuk menyembunyikan tonjolan bokong yang tegas di balik celana hitamnya. Bagian depan tubuhnya masih dibalut kemeja putih, kancing atas kini tertutup rapi. Kombinasi kemeja dan jaket memberikan kesan semi formal, namun tetap bergaya khas anak muda—berantakan, tapi memikat. Kaelen berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada, matanya menyipit penuh perlawanan. "Begini? Puas sekarang?" Kamila menyelipkan tangan di saku, tatapannya menurun ke bawah, langsung terpaku pada celana hitam yang membungkus kaki Kaelen dengan ketat, seolah kain itu langsung dilukis di kulitnya. Ia mengangkat alis, sudut bibirnya terangkat nakal. "Apa tidak ada celana yang lebih longgar? Kenapa setiap kali bertemu, kau selalu pakai celana lakban?" Kaelen tersenyum bangga, memperbaiki posisi b
Kamila menatap Kaelen, hatinya berdenyut perih melihat pria itu yang masih berusaha menutupi air matanya.Cahaya lampu restoran yang temaram memantulkan kilau pucat di wajah Kaelen, menyorot garis-garis ekspresi yang lebih dalam dari yang pernah Kamila ingat. Ia terlihat lebih dewasa, lebih dingin, tapi juga lebih rapuh dari yang pernah ia bayangkan.Jemari Kamila gemetar saat ia mengangkat tangannya sedikit. Ada dorongan dalam dirinya untuk menyentuh Kaelen, untuk menenangkan kegelisahan yang melingkupinya. Tapi sebelum ia bisa melakukannya, Kaelen sudah menurunkan tangannya sendiri, memperlihatkan sorot mata biru lautnya yang tajam—mata yang kini dipenuhi amarah dan kepedihan yang belum terobati."Kak Kaelen, aku minta maaf... Aku—""Tidak perlu minta maaf!" Kaelen memotong cepat.Suaranya menggema di ruangan yang kosong, membuat dada Kamila semakin sesak. Bukan hanya karena ketegangan yang terasa di antara mereka, tetapi juga karena emosi yang mengalir deras dalam nada suara Kaelen
Restoran itu sunyi.Hanya ada dua orang di dalamnya—Kamila dan Kaelen. Tidak ada pelanggan lain, tidak ada suara bising dari meja-meja sekitar, hanya keheningan yang terasa begitu menekan.Kamila baru saja duduk ketika sebuah pertanyaan menghantamnya seperti petir di siang bolong."Sekarang suasana sudah sangat tenang. Apa yang mau kau katakan tentang... Kenapa memutuskan hubungan denganku saat kita masih SMK dulu?"Napas Kamila tercekat. Ia belum sempat menyesuaikan diri dengan situasi ini, belum sempat menenangkan hatinya yang berdebar karena pertemuan mereka, tapi Kaelen langsung menembaknya dengan pertanyaan yang selama ini ia hindari.Tangannya yang hendak merapikan rambutnya sedikit gemetar. Dengan cepat, ia menata ekspresinya agar tetap tenang, lalu mengalihkan pandangannya ke Kaelen yang duduk di seberang meja.Setelah beberapa detik keheningan, ia akhirnya menjawab dengan suara yang terdengar lebih mantap dari perasaanny
Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi lampu meja yang redup. Di tengahnya, Bleon duduk di kursi dengan santai, satu kakinya terlipat di atas lutut yang lain. Namun, ada sesuatu yang dingin dalam tatapannya saat matanya menelusuri sosok remaja lima belas tahun yang berdiri di hadapannya—Evan, seorang trainee GS Entertainment yang seumuran dengan adiknya.Tak ada suara selain detak jam di dinding.Bleon mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, ekspresi di wajahnya penuh ketidaksabaran. "Bagaimana? Apa kau sudah mendapatkan apa yang aku suruh?" tanyanya, nada suaranya terdengar tenang, tetapi ada ketegangan samar yang menyelip di baliknya.Evan tidak langsung menjawab. Rahangnya sedikit mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan merogoh ponselnya dari saku.Bleon menyeringai. Matanya berbinar penuh antisipasi."Bagus. Ini pasti rekaman skandal yang bisa menjatuhkan Kaelen."Namun, alih-
Lorong itu terasa semakin sunyi ketika Kamila melangkah mendekat. Cahaya lampu neon di langit-langit memantulkan bayangannya di lantai keramik yang mengilap, menciptakan suasana dingin yang tak wajar. Detak sepatu haknya menggema, setiap langkah terdengar begitu jelas di antara keheningan yang menyesakkan.Di ujung lorong, Kaelen berdiri diam, nyaris tak bergerak. Kepalanya tertunduk, napasnya dalam dan teratur, tetapi ada sesuatu dalam cara bahunya sedikit tegang yang membuat Kamila tahu—dia sedang menahan sesuatu.Kemarahan. Frustrasi.Tatapan kosongnya tertuju pada lantai, namun sorot matanya tajam, seperti badai yang tengah berkecamuk di dalam dirinya. Rahangnya mengeras, otot-otot di pipinya menegang, dan kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, seakan berusaha keras menahan emosi yang nyaris meluap.Kamila menelan ludah. Rasa ragu menyelusup di dadanya, tetapi ia tahu ia tak bisa hanya diam. Dengan sedikit keberanian yang tersisa, ia akhirnya bertanya, suaranya nyaris bergetar
"Ka- Kaelen... Sepertinya... Ki-kita harus keluar dulu dari sini," suara Kamila terdengar lemah, hampir bergetar. Ia menunduk, berusaha mengatur napasnya yang masih tersengal, tapi jelas sekali tubuhnya sedikit gemetar. Kaelen menatapnya dalam diam, masih bisa merasakan denyut jantungnya yang berpacu setelah konfrontasi barusan. Rasa frustrasi masih bergelayut di dadanya, tapi melihat ekspresi Kamila yang ketakutan, ia hanya bisa menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia menurunkan tangannya dari sisi kepala Kamila, memberinya ruang. "Baiklah," ucapnya akhirnya, suaranya lebih tenang. "Ayo kita saling jelaskan di luar saja." Begitu pintu kamar mandi terbuka, Kamila langsung berlari keluar dengan tergesa-gesa. Kaelen menatap punggungnya yang menjauh. Dia bisa melihat bagaimana bahu gadis itu naik turun cepat, napasnya masih belum stabil. Apa yang baru saja terjadi memang terlalu mendadak—bagi mereka berdua. Namun, ada sesuatu yang janggal.
Konser akhirnya usai. Sorak-sorai penonton mulai mereda, digantikan dengan suara idol-idol yang kelelahan menyeka keringat mereka. Beberapa duduk di sofa ruang tunggu, meneguk air dalam sekali minum, sementara yang lain masih tertawa dan mengobrol, berbagi euforia atas kesuksesan panggung mereka malam ini. Namun, di sudut ruangan, Kaelen tidak ikut bersantai seperti yang lain. Ia menghilang ke kamar mandi, meninggalkan jejak basah di lantai setelah penampilannya yang spektakuler dalam akuarium raksasa. Kamila menggigit bibirnya, rasa penasaran menggerogoti pikirannya. Kaelen adalah seorang idol. Seorang profesional. Ia bisa saja benar-benar hanya cosplay sebagai merman. Tapi... kenapa semuanya terasa begitu nyata? Sisanya yang sempat ia lihat—sisik samar yang terlihat di kaki Kaelen, cara tubuhnya bergerak begitu alami di dalam air, dan ekspresi yang muncul di wajahnya saat melayang di sana. Itu bukan sekadar akting. Itu... sesuatu yang lebih dari sekadar pertunjukan. Tanpa b
Konser besar TLM Entertainment akhirnya digelar. Stadion megah itu bergemuruh oleh suara teriakan dan sorakan ribuan penggemar yang telah menanti momen ini selama berbulan-bulan. Cahaya sorot panggung berputar-putar, menciptakan kilauan yang seakan menari di udara, sementara layar raksasa di belakang panggung menampilkan logo agensi dengan efek visual yang memukau.Di balik panggung, suasana tak kalah sibuk. Para makeup artist dan stylist berlarian ke sana kemari, memastikan setiap idol tampil sempurna di bawah sorotan lampu. Aroma hairspray dan foundation bercampur dengan suara panik para kru yang memberi instruksi melalui headset mereka.Di salah satu sudut ruang rias, Kamila tengah menyempurnakan sentuhan terakhir pada Kaelen. Dengan cekatan, tangannya mengusap foundation di wajah pria itu, memastikan kulitnya tampak sempurna di bawah lampu panggung."Semangat!" ujar Kamila, suaranya lembut namun penuh dorongan.Kaelen menoleh dan tersenyum. Sorot matanya berkilat dengan kepercayaa
Kaelen memasuki kamarnya dalam diam, langkah kakinya terdengar berat di lantai kayu yang dingin. Pintu ditutup perlahan, namun suara klik kunci terasa nyaring di telinganya sendiri, seolah mengunci segala gejolak yang bergemuruh di dalam dadanya.Tanpa menyalakan lampu, dia berjalan menuju ranjang dan membiarkan tubuhnya jatuh ke atas kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar. Cahaya bulan yang masuk melalui celah jendela menerpa wajahnya, membuat sorot matanya yang biru semakin redup, nyaris seperti samudra yang kehilangan kilauannya."Kamila... Sebenarnya apa yang terjadi padamu?"Pikiran itu terus berputar di kepalanya, menari-nari dalam bayangannya seperti hantu yang enggan pergi. Bayangan Kamila—dengan sorot mata ketakutan, suara yang bergetar saat memohon kepadanya, tangan yang mencengkeram lengannya dengan erat—semuanya terasa begitu nyata, seakan kejadian tadi masih berlangsung di depan matanya.Kaelen menghela napas berat, mencoba memejamkan mata, memaksa dirinya untuk tid
Mata Kamila berkaca-kaca, bibirnya bergetar ketika dia berbisik, seolah suaranya sendiri nyaris tak sanggup menahan ketakutan yang menggerogoti hatinya."Kak Kaelen, aku mohon... Aku tidak mau memperpanjang masalah ini. Tolong hapus rekamannya... Aku mohon..."Suasana di dalam mobil terasa mencekam, seakan udara di antara mereka dipenuhi oleh ketegangan yang bisa meledak kapan saja. Kaelen menatapnya dengan sorot tajam, rahangnya mengeras, jemarinya mencengkeram setir dengan erat. Ada kemarahan yang bergejolak dalam dirinya, bukan hanya karena situasi ini, tetapi karena kebiasaan Kamila yang selalu menelan sendiri semua kepedihannya."Kenapa kau seperti ini, Kamila? Kenapa kau selalu saja menyembunyikan semua rasa sakitmu sendiri?" suaranya berat, penuh emosi yang tertahan, hampir terdengar putus asa. Matanya menatap Kamila dengan tajam, mencoba menembus tembok yang selalu gadis itu bangun. "Aku tidak mau menghapusnya! Aku akan menjadikan ini barang bukti jika kau ingin melaporkannya!