Usapan lembut kuas bedak membelai pipi seorang pria tampan yang duduk tenang di kursi rias, seolah dirinya adalah kanvas sempurna untuk sebuah mahakarya. Kulitnya halus, pipi tirus, dan rahang yang tegas membentuk garis-garis simetris pada wajah yang tampak seperti pahatan patung karya seniman legendaris. Hidung mancung dan bibir tebalnya yang sedikit berwarna merah muda menambah kesan memesona pada sosok yang hampir mustahil terabaikan.
Kamila menarik napas dalam. Jari-jarinya yang lentik menggenggam kuas dengan percaya diri. Gerakan tangannya halus namun penuh kendali, menyapu eye shadow ke kelopak mata pria itu. Ia mengamati bagaimana pria tersebut memejamkan matanya perlahan—sepasang mata biru yang memukau, seperti langit musim panas tanpa awan. Untuk sejenak, Kamila merasa terperangkap dalam pesona yang tak boleh dimiliki. Ia segera menepis pikiran itu dan melanjutkan pekerjaannya. Sapuan terakhir kuas meninggalkan bayangan cokelat gelap yang menonjolkan tatapan misterius pada kedua matanya. Setiap sudut, setiap garis yang ia bentuk pada wajah itu membawa keindahan semakin mendekati kesempurnaan yang menyesakkan dada. Tangannya yang gemetar, tanpa alasan yang ia pahami, segera meraih lip tint merah menyala. Bibir pria itu, penuh dan tampak lembut, mengingatkannya pada sesuatu yang berbahaya dan menggoda—seperti vampir yang baru saja menyesap darah korbannya. Dengan hati-hati, ia menyapukan warna itu, membingkai lekukan bibir yang kini tampak semakin merah, mencolok di antara rona kulit yang cerah. Saat selesai, Kamila menarik diri, mengatur napasnya yang tersengal dalam diam. Ia meraih bando hitam yang menahan rambut pirang bergelombang pria itu, melepasnya perlahan. Rambut keemasan itu tergerai dengan anggun, menyapu dahinya yang lebar dan mulus, memantulkan cahaya yang membuatnya tampak seperti dewa dalam mitologi yang dilahirkan dari cahaya dan bayangan. Jemari Kamila bergerak lincah, menata rambut bergelombang itu hingga tidak terlalu menutupi wajahnya yang nyaris sempurna—sebuah karya seni yang hidup. "Bleon, semuanya sudah selesai," suara Kamila keluar lebih lembut dari biasanya, seperti bisikan yang terbungkus rasa lega dan rasa takut yang samar. Pria itu berdiri perlahan, tinggi dan tegap seperti raja yang siap menyambut para pengikutnya. Pandangannya tajam, penuh percaya diri, meski senyum tipis di bibirnya membawa kehangatan yang sulit ditebak asalnya. "Terima kasih, Kamila," ucapnya. "Aku akan segera bertemu dengan fansku dalam acara fan meeting nanti." Sebuah senyuman kecil terbit di wajah Kamila. "Semangat!" ucapnya sambil berusaha mengabaikan detak jantungnya yang masih berlomba dengan waktu. Bleon mengangguk, tubuhnya berbalik dengan elegan, meninggalkan ruang rias seolah dunia di luar pintu itu menantinya dengan penuh kerinduan. Saat ia hampir lenyap dari pandangan, Kamila mengangkat suaranya, setengah perintah, setengah doa agar ia kembali. "Kembalilah ke sini saat berkeringat! Kita harus melakukan touch up!" Pintu tertutup. Namun dalam ruangan yang kini sunyi itu, udara seolah masih bergetar dengan sisa kehadirannya—seperti aroma parfum yang belum memudar. Kamila duduk dengan santai di kursi rias, wajahnya menatap pantulan cermin besar di depannya. Senyum puas tersungging di bibir merahnya yang sempurna. "Sempurna! Aku sangat cantik..." bisiknya sambil mengagumi setiap detail di wajahnya sendiri. Mata bulatnya yang cerah dan penuh semangat membuatnya tampak imut dan segar. Rambut panjang bergelombang berwarna cokelat yang tergerai lembut di bahunya menambahkan kesan anggun yang alami. Make up tipis yang ia aplikasikan sendiri memberikan efek cantik natural yang memukau tanpa berlebihan. Ia menyentuh pipinya perlahan. "Belajar make up dan merawat diri sendiri selama bertahun-tahun memang tidak sia-sia." Namun, ketenangan itu pecah seketika. Pintu ruang rias tiba-tiba terbuka lebar dengan suara berdebum, membuat Kamila terperanjat. Jeremiah, manajer Bleon, masuk dengan langkah penuh kemarahan, diikuti oleh sosok Bleon yang tampak kesal dengan wajah yang belepotan. Bibirnya merah berantakan, lip tint yang sebelumnya tertata sempurna kini seperti tumpahan cat tanpa bentuk. Kamila mengernyit, masih mencoba memahami apa yang terjadi. "Ada apa dengannya?" tanya Jeremiah dengan suara dingin, menusuk setiap kata yang terucap. "Ada apa, Pak?" Kamila bertanya, suaranya bergetar oleh ketidaktahuan. "Lihatlah sendiri!" Jeremiah menunjuk bibir Bleon dengan jarinya yang gemetar oleh amarah. "Bagaimana bisa kau sepayah ini mendandani Bleon? Dia artis terkenal, Kamila! Dia harus tampil sempurna di fan meeting sekarang, tapi kau malah membuat riasannya seperti badut murahan!" Kamila menelan ludah. "Ma—maaf ... saya akan memperbaikinya secepatnya!" "Tidak perlu!" Jeremiah menyentakkan tangannya dengan gerakan tajam. Ia menoleh ke belakang dan memanggil seseorang. "Maleta akan menggantikanmu mulai sekarang!" Langkah anggun dan penuh percaya diri terdengar ketika Maleta melangkah masuk. Wanita itu tersenyum sinis, matanya yang tajam bersinar dengan kepuasan. Saingannya sejak SMK itu kini berdiri sebagai pemenang, dengan aura licik yang sulit disembunyikan. Kamila mendesah panjang, memandang Maleta dengan ekspresi datar, hampir malas. "Oh, ternyata kau biang keroknya," gumamnya. Ia berjalan mendekati Bleon, menantang tatapan pria itu dengan sorot mata penuh keyakinan. "Kemana saja kau pergi?" tanyanya dengan nada tegas. Bleon memutar matanya, menampilkan senyum penuh arogansi. "Untuk apa kau tahu?" Kamila menyipitkan mata. "Untuk meminta rekaman CCTV. Aku yakin seratus persen," ia melirik Maleta dengan tajam, "bahwa wanita ini adalah orang yang merusak riasanmu." "Kamila, cukup!" Jeremiah memotong dengan suara yang menggema. "Kau sudah tidak punya urusan lagi di sini. Kemas barang-barangmu dan pergi sekarang juga!" Detik-detik berlalu penuh ketegangan. Kamila mengambil tasnya dengan tangan gemetar namun tetap memegang kepalanya tegak. Saat ia berjalan menuju pintu, ia menoleh sekali lagi, menatap Maleta dengan sorot mata yang penuh janji. "Nikmati waktumu. Aku akan mengungkap kejahatanmu." Pintu tertutup dengan bunyi keras, meninggalkan ruangan dalam kesunyian yang dipenuhi ketegangan dan kemenangan sementara di wajah Maleta. --- Namun, Kamila tidak menyerah. Masih di luar, ia berjongkok di sudut koridor, mengangkat ponselnya, dan dengan cepat merekam adegan yang tampak dari celah pintu. Di dalam, Maleta memeluk Bleon dengan mesra, menempelkan bibirnya ke bibir pria itu, tanpa rasa malu atau takut ketahuan. "Mau melanjutkan yang tadi?" bisik Maleta. Bleon mengangguk, menurunkan suara menjadi hampir seperti desisan. "Tentu saja, sayang..." Kamila menekan tombol rekam dengan jari yang gemetar. Bibirnya menipis menahan marah, tapi sudut bibirnya melengkung kecil. "Ini bagus," gumamnya. "Aku akan menyebarkan ini di media sosial pada waktu yang tepat." --- Langkah-langkah Kamila membawanya keluar dari gedung dengan kepala tetap tegak meskipun hatinya remuk. Udara sore menyambutnya dengan angin lembut yang menyapu rambut cokelatnya. Namun, pikirannya terhenti saat matanya menangkap sebuah bangunan megah dengan papan nama besar bertuliskan TLM Entertainment—agensi terbesar di kota Jayakarta. Agensi yang bahkan lebih berkuasa daripada tempat sebelumnya. Tanpa pikir panjang, Kamila menyeberangi jalan dan masuk. Di dalam, ia duduk di ruang tunggu, dadanya berdebar kencang saat menanti giliran. Seorang pria berpakaian rapi datang menghampirinya. "Maaf, Nona," ucapnya dengan sopan. "Tapi make up artis untuk idol kami sudah penuh." Kamila menghela napas, mencoba menyembunyikan rasa kecewa. "Yah... sayang sekali..." "Tapi," pria itu tersenyum tipis, "ada satu artis yang belum menemukan make up artis yang cocok. Dia sangat pemilih dalam hal ini. Mau saya panggilkan?" Kamila menegakkan punggungnya. "Tentu saja! Mohon bantuannya!" Pintu terbuka beberapa saat kemudian, dan pria yang memasuki ruangan membuat waktu seakan berhenti. Kaelen. Pria dengan rambut biru tua bergelombang, mata biru yang menatap seperti lautan dalam penuh rahasia, dan bibir merah muda yang mengundang rasa penasaran, menatap tajam ke arah Kamila. Dialah mantan kekasihnya, seseorang yang telah menjalin hubungan romantis saat keduanya masih duduk di bangku SMK. "Halo, Kamila." Senyumnya tajam, penuh kenangan pahit dan amarah yang tertahan. "Datang kemari untuk melamar pekerjaan, atau ... melamarku?""Apa katanya tadi?" suara Kamila melengking, penuh dengan nada kesal yang berusaha ia tekan, meski gagal total. Tatapan matanya tajam, pupil cokelatnya menatap Kaelen dengan sorot penuh kekesalan dan rasa jengah. Kaelen mengangkat bahu dengan santai, seolah sedang menonton drama yang menyenangkan. Senyumnya kecil, tapi cukup menusuk harga diri. "Yah... Siapa tahu kau menyesal karena dulu memutuskan hubungan kita waktu masih SMK. Mungkin sekarang kau datang memohon agar kita CLBK." Kamila memutar bola matanya dengan gerakan dramatis. "Tuan idol yang terhormat," katanya, menyuarakan setiap kata dengan penuh penekanan, "saya di sini hanya untuk melamar pekerjaan. Bukan melamarmu. Mengerti?" Dengan gerakan cepat, ia menggumamkan sumpah serapah pelan yang hampir seperti desisan. "Sialan... Lagi pula, mana ada melamar posisi jadi MUA harus minta persetujuan idolnya dulu?" Kaelen menyeringai lebih lebar, senyum puas yang penuh kemenangan. "Tentu saja harus. Perusahaan ini kan aku yang pu
Kaelen melipat kedua tangannya di depan dada, matanya memancarkan kekesalan, dan bibirnya yang penuh memanyun dengan gaya cemberut yang terlihat hampir lucu. "Jahat! Aku sudah berharap padahal!" suaranya terdengar seperti anak kecil yang baru saja kehilangan permen favoritnya. Kamila mengangkat alis, matanya bersinar penuh kemenangan. "Oh, maaf. Aku lupa. Harapan tidak seharusnya kau gantungkan padaku, kak Kaelen. Kau pasti tahu itu." Sebelum Kaelen bisa membalas, suara seseorang memecah keheningan. "Kaelen, kau belum bersiap?" Seorang pria dengan rambut cokelat keabu-abuan muncul di ambang pintu, langkahnya mantap dan penuh wibawa. Sebagian poni rambutnya menjuntai menutupi salah satu matanya, menambah kesan misterius pada wajah tampannya. Dia berjalan mendekat dengan tatapan yang memeriksa Kaelen dari ujung kepala hingga kaki. "Kau bilang mau mengadakan fan meeting di Mall Jayakarta. Kenapa belum bersiap juga?" Kaelen, masih tenggelam dalam emosinya, hanya menoleh dengan tatapan
Kaelen kembali ke ruangan dengan tampilan yang lebih tertutup. Kali ini, sebuah jaket kain wol berwarna gelap menggantung di bahunya, dipakai asal-asalan hanya menutupi punggungnya, seperti tirai yang menggantung malas untuk menyembunyikan tonjolan bokong yang tegas di balik celana hitamnya. Bagian depan tubuhnya masih dibalut kemeja putih, kancing atas kini tertutup rapi. Kombinasi kemeja dan jaket memberikan kesan semi formal, namun tetap bergaya khas anak muda—berantakan, tapi memikat. Kaelen berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada, matanya menyipit penuh perlawanan. "Begini? Puas sekarang?" Kamila menyelipkan tangan di saku, tatapannya menurun ke bawah, langsung terpaku pada celana hitam yang membungkus kaki Kaelen dengan ketat, seolah kain itu langsung dilukis di kulitnya. Ia mengangkat alis, sudut bibirnya terangkat nakal. "Apa tidak ada celana yang lebih longgar? Kenapa setiap kali bertemu, kau selalu pakai celana lakban?" Kaelen tersenyum bangga, memperbaiki posisi b
Kamila memegang kuas dengan jari-jarinya yang cekatan, menyapukan lembut ke wajah Kaelen. Kulitnya halus seperti porselen, lembut bagai beludru yang memantulkan kilauan cahaya lampu di sekeliling ruangan. Ia memejamkan matanya, dan saat itu hanya terlihat bulu matanya yang lentik melengkung sempurna, seperti sayap kupu-kupu yang tengah beristirahat. Setiap helainya begitu hitam dan tebal, hampir seperti lukisan yang dibuat dengan kuas paling halus. "Kak Kaelen...." Suara Kamila nyaris seperti bisikan, penuh kelembutan dan ketenangan. Kaelen membuka matanya perlahan, menunjukkan sepasang pupil biru tua yang begitu dalam dan menawan. Matanya menyerupai lautan pada malam gelap, penuh misteri dan daya pikat yang memerangkap siapa pun yang berani memandang terlalu lama. Dengan gerakan kecil namun penuh makna, ia memutar bola matanya ke atas, memperlihatkan bulu matanya yang semakin menjuntai, memikat seperti ranting willow yang menari di bawah embusan angin musim panas. Kamila menahan
Kaelen duduk dengan santai di kursi rias, sementara Kamila berdiri di belakangnya, tangan terampilnya sibuk menata rambut pria itu. Rambut biru tua Kaelen yang bergelombang mengingatkan Kamila pada gulungan ombak di laut saat badai, liar tetapi memancarkan pesona yang sulit untuk tidak diperhatikan. Dengan gerakan lembut, Kamila merapikan poni Kaelen, memastikan setiap helainya berada di tempat yang sempurna."Omong-omong," suara Kaelen memecah keheningan, nada suaranya penuh rasa ingin tahu. "Kenapa kau kepikiran untuk melamar jadi MUA di sini?"Kamila berhenti sejenak, menghela napas panjang sebelum menjawab. "Aku dipecat dari agensi tempatku bekerja." Ucapannya terkesan ringan, tetapi Kaelen dapat menangkap nada getir yang terselip di sana.Kaelen memiringkan kepalanya, alisnya terangkat. "Dipecat?" ulangnya, nada suaranya penuh keterkejutan. "Kenapa?"Kamila hanya mengangkat bahu kecil, berusaha menutupi emosinya. "Tidak tahu, aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa dipecat," jawa
"Apa rencanamu?" tanya Kamila, alisnya terangkat penuh rasa penasaran. Matanya menatap Kaelen, menunggu jawaban yang selalu penuh kejutan dari pria itu.Kaelen menyandarkan tubuhnya dengan santai di kursi rias, ekspresi penuh percaya diri terpancar dari wajahnya. Dengan gerakan ringan, ia melambaikan tangannya, memberi isyarat agar Kamila mendekat. "Kemarilah," ujarnya pelan, namun suaranya terdengar seperti sebuah perintah.Kamila mencondongkan tubuh, mendekatkan telinganya ke bibir Kaelen. Suara pria itu berubah menjadi bisikan yang begitu lembut, namun tegas, menggema di pikirannya. "Hari ini adalah hari di mana aku mengadakan fan meeting di mall Jayakarta," katanya.Mata Kamila langsung membulat, keterkejutan jelas tergambar di wajahnya. Ia mundur sedikit, menatap Kaelen dengan ekspresi penuh antisipasi. "Benarkah? Itu adalah mall yang sama dengan lokasi Bleon. Itu artinya...."Kaelen mengangguk dengan pelan, gerakannya mengisyaratkan sebuah k
Sesuai rencana, saat proyektor kecil memancarkan video ke spanduk putih besar di langit-langit Mall Jayakarta, perhatian semua orang langsung tertuju ke sana. Video itu hanya berdurasi beberapa detik, cukup untuk menunjukkan adegan mengejutkan—Bleon, aktor baru yang sedang naik daun, tertangkap kamera mencium MUA-nya dengan mesra di ruang rias. Suasana yang semula riuh menjadi hening. Tatapan terkejut, bisikan-bisikan, dan ekspresi tidak percaya memenuhi mall.Sebelum orang-orang sempat menyadari dari mana video itu berasal, operator Kaelen dengan sigap mematikan proyektor dan menyembunyikannya ke dalam tas hitamnya. Kamila, yang mengamati dari sudut, tersenyum puas. Tahap pertama rencana ini berjalan mulus. Namun, ia tahu, ini baru permulaan.Dengan langkah santai namun penuh tujuan, Kamila menjauh dari kerumunan. Ia mencari tempat yang tenang untuk melanjutkan tugas berikutnya—mengunggah video tersebut ke media sosial. Ia telah menyiapkan beberapa akun anonim, lengkap dengan fitur i
Setelah acara fan meeting yang sukses besar bagi Kaelen, dia dan Kamila kembali ke agency mereka dengan penuh percaya diri. Namun, suasana tegang langsung terasa begitu mereka tiba. Tommy, manajer senior di agency, berdiri menunggu di tengah ruang utama dengan ekspresi tajam. Tangan Tommy terlipat di dada, napasnya terdengar berat seperti sedang menahan ledakan emosi."Kalian!" seru Tommy dengan nada dingin. Matanya menatap tajam ke arah mereka berdua. "Apa kalian yang merencanakan penyebaran video aib Bleon ke media sosial?"Kamila, yang sebelumnya masih tersenyum puas, langsung panik. Matanya membelalak, tangannya refleks menunjuk ke arah Kaelen tanpa berpikir dua kali. "Bukan saya, Pak! Kak Kaelen yang melakukannya!" jawabnya cepat, nyaris memohon ampun.Kaelen hanya tersenyum sombong, santai seperti biasa, bahkan seolah menikmati situasi ini. "Kenapa? Popularitasnya hancur, ya?" tanyanya dengan nada penuh kemenangan, sambil menyilangkan tangannya di dada.Tommy menghela napas panj
Kamila menatap Kaelen, hatinya berdenyut perih melihat pria itu yang masih berusaha menutupi air matanya.Cahaya lampu restoran yang temaram memantulkan kilau pucat di wajah Kaelen, menyorot garis-garis ekspresi yang lebih dalam dari yang pernah Kamila ingat. Ia terlihat lebih dewasa, lebih dingin, tapi juga lebih rapuh dari yang pernah ia bayangkan.Jemari Kamila gemetar saat ia mengangkat tangannya sedikit. Ada dorongan dalam dirinya untuk menyentuh Kaelen, untuk menenangkan kegelisahan yang melingkupinya. Tapi sebelum ia bisa melakukannya, Kaelen sudah menurunkan tangannya sendiri, memperlihatkan sorot mata biru lautnya yang tajam—mata yang kini dipenuhi amarah dan kepedihan yang belum terobati."Kak Kaelen, aku minta maaf... Aku—""Tidak perlu minta maaf!" Kaelen memotong cepat.Suaranya menggema di ruangan yang kosong, membuat dada Kamila semakin sesak. Bukan hanya karena ketegangan yang terasa di antara mereka, tetapi juga karena emosi yang mengalir deras dalam nada suara Kaelen
Restoran itu sunyi.Hanya ada dua orang di dalamnya—Kamila dan Kaelen. Tidak ada pelanggan lain, tidak ada suara bising dari meja-meja sekitar, hanya keheningan yang terasa begitu menekan.Kamila baru saja duduk ketika sebuah pertanyaan menghantamnya seperti petir di siang bolong."Sekarang suasana sudah sangat tenang. Apa yang mau kau katakan tentang... Kenapa memutuskan hubungan denganku saat kita masih SMK dulu?"Napas Kamila tercekat. Ia belum sempat menyesuaikan diri dengan situasi ini, belum sempat menenangkan hatinya yang berdebar karena pertemuan mereka, tapi Kaelen langsung menembaknya dengan pertanyaan yang selama ini ia hindari.Tangannya yang hendak merapikan rambutnya sedikit gemetar. Dengan cepat, ia menata ekspresinya agar tetap tenang, lalu mengalihkan pandangannya ke Kaelen yang duduk di seberang meja.Setelah beberapa detik keheningan, ia akhirnya menjawab dengan suara yang terdengar lebih mantap dari perasaanny
Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi lampu meja yang redup. Di tengahnya, Bleon duduk di kursi dengan santai, satu kakinya terlipat di atas lutut yang lain. Namun, ada sesuatu yang dingin dalam tatapannya saat matanya menelusuri sosok remaja lima belas tahun yang berdiri di hadapannya—Evan, seorang trainee GS Entertainment yang seumuran dengan adiknya.Tak ada suara selain detak jam di dinding.Bleon mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, ekspresi di wajahnya penuh ketidaksabaran. "Bagaimana? Apa kau sudah mendapatkan apa yang aku suruh?" tanyanya, nada suaranya terdengar tenang, tetapi ada ketegangan samar yang menyelip di baliknya.Evan tidak langsung menjawab. Rahangnya sedikit mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan merogoh ponselnya dari saku.Bleon menyeringai. Matanya berbinar penuh antisipasi."Bagus. Ini pasti rekaman skandal yang bisa menjatuhkan Kaelen."Namun, alih-
Lorong itu terasa semakin sunyi ketika Kamila melangkah mendekat. Cahaya lampu neon di langit-langit memantulkan bayangannya di lantai keramik yang mengilap, menciptakan suasana dingin yang tak wajar. Detak sepatu haknya menggema, setiap langkah terdengar begitu jelas di antara keheningan yang menyesakkan.Di ujung lorong, Kaelen berdiri diam, nyaris tak bergerak. Kepalanya tertunduk, napasnya dalam dan teratur, tetapi ada sesuatu dalam cara bahunya sedikit tegang yang membuat Kamila tahu—dia sedang menahan sesuatu.Kemarahan. Frustrasi.Tatapan kosongnya tertuju pada lantai, namun sorot matanya tajam, seperti badai yang tengah berkecamuk di dalam dirinya. Rahangnya mengeras, otot-otot di pipinya menegang, dan kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, seakan berusaha keras menahan emosi yang nyaris meluap.Kamila menelan ludah. Rasa ragu menyelusup di dadanya, tetapi ia tahu ia tak bisa hanya diam. Dengan sedikit keberanian yang tersisa, ia akhirnya bertanya, suaranya nyaris bergetar
"Ka- Kaelen... Sepertinya... Ki-kita harus keluar dulu dari sini," suara Kamila terdengar lemah, hampir bergetar. Ia menunduk, berusaha mengatur napasnya yang masih tersengal, tapi jelas sekali tubuhnya sedikit gemetar. Kaelen menatapnya dalam diam, masih bisa merasakan denyut jantungnya yang berpacu setelah konfrontasi barusan. Rasa frustrasi masih bergelayut di dadanya, tapi melihat ekspresi Kamila yang ketakutan, ia hanya bisa menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia menurunkan tangannya dari sisi kepala Kamila, memberinya ruang. "Baiklah," ucapnya akhirnya, suaranya lebih tenang. "Ayo kita saling jelaskan di luar saja." Begitu pintu kamar mandi terbuka, Kamila langsung berlari keluar dengan tergesa-gesa. Kaelen menatap punggungnya yang menjauh. Dia bisa melihat bagaimana bahu gadis itu naik turun cepat, napasnya masih belum stabil. Apa yang baru saja terjadi memang terlalu mendadak—bagi mereka berdua. Namun, ada sesuatu yang janggal.
Konser akhirnya usai. Sorak-sorai penonton mulai mereda, digantikan dengan suara idol-idol yang kelelahan menyeka keringat mereka. Beberapa duduk di sofa ruang tunggu, meneguk air dalam sekali minum, sementara yang lain masih tertawa dan mengobrol, berbagi euforia atas kesuksesan panggung mereka malam ini. Namun, di sudut ruangan, Kaelen tidak ikut bersantai seperti yang lain. Ia menghilang ke kamar mandi, meninggalkan jejak basah di lantai setelah penampilannya yang spektakuler dalam akuarium raksasa. Kamila menggigit bibirnya, rasa penasaran menggerogoti pikirannya. Kaelen adalah seorang idol. Seorang profesional. Ia bisa saja benar-benar hanya cosplay sebagai merman. Tapi... kenapa semuanya terasa begitu nyata? Sisanya yang sempat ia lihat—sisik samar yang terlihat di kaki Kaelen, cara tubuhnya bergerak begitu alami di dalam air, dan ekspresi yang muncul di wajahnya saat melayang di sana. Itu bukan sekadar akting. Itu... sesuatu yang lebih dari sekadar pertunjukan. Tanpa b
Konser besar TLM Entertainment akhirnya digelar. Stadion megah itu bergemuruh oleh suara teriakan dan sorakan ribuan penggemar yang telah menanti momen ini selama berbulan-bulan. Cahaya sorot panggung berputar-putar, menciptakan kilauan yang seakan menari di udara, sementara layar raksasa di belakang panggung menampilkan logo agensi dengan efek visual yang memukau.Di balik panggung, suasana tak kalah sibuk. Para makeup artist dan stylist berlarian ke sana kemari, memastikan setiap idol tampil sempurna di bawah sorotan lampu. Aroma hairspray dan foundation bercampur dengan suara panik para kru yang memberi instruksi melalui headset mereka.Di salah satu sudut ruang rias, Kamila tengah menyempurnakan sentuhan terakhir pada Kaelen. Dengan cekatan, tangannya mengusap foundation di wajah pria itu, memastikan kulitnya tampak sempurna di bawah lampu panggung."Semangat!" ujar Kamila, suaranya lembut namun penuh dorongan.Kaelen menoleh dan tersenyum. Sorot matanya berkilat dengan kepercayaa
Kaelen memasuki kamarnya dalam diam, langkah kakinya terdengar berat di lantai kayu yang dingin. Pintu ditutup perlahan, namun suara klik kunci terasa nyaring di telinganya sendiri, seolah mengunci segala gejolak yang bergemuruh di dalam dadanya.Tanpa menyalakan lampu, dia berjalan menuju ranjang dan membiarkan tubuhnya jatuh ke atas kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar. Cahaya bulan yang masuk melalui celah jendela menerpa wajahnya, membuat sorot matanya yang biru semakin redup, nyaris seperti samudra yang kehilangan kilauannya."Kamila... Sebenarnya apa yang terjadi padamu?"Pikiran itu terus berputar di kepalanya, menari-nari dalam bayangannya seperti hantu yang enggan pergi. Bayangan Kamila—dengan sorot mata ketakutan, suara yang bergetar saat memohon kepadanya, tangan yang mencengkeram lengannya dengan erat—semuanya terasa begitu nyata, seakan kejadian tadi masih berlangsung di depan matanya.Kaelen menghela napas berat, mencoba memejamkan mata, memaksa dirinya untuk tid
Mata Kamila berkaca-kaca, bibirnya bergetar ketika dia berbisik, seolah suaranya sendiri nyaris tak sanggup menahan ketakutan yang menggerogoti hatinya."Kak Kaelen, aku mohon... Aku tidak mau memperpanjang masalah ini. Tolong hapus rekamannya... Aku mohon..."Suasana di dalam mobil terasa mencekam, seakan udara di antara mereka dipenuhi oleh ketegangan yang bisa meledak kapan saja. Kaelen menatapnya dengan sorot tajam, rahangnya mengeras, jemarinya mencengkeram setir dengan erat. Ada kemarahan yang bergejolak dalam dirinya, bukan hanya karena situasi ini, tetapi karena kebiasaan Kamila yang selalu menelan sendiri semua kepedihannya."Kenapa kau seperti ini, Kamila? Kenapa kau selalu saja menyembunyikan semua rasa sakitmu sendiri?" suaranya berat, penuh emosi yang tertahan, hampir terdengar putus asa. Matanya menatap Kamila dengan tajam, mencoba menembus tembok yang selalu gadis itu bangun. "Aku tidak mau menghapusnya! Aku akan menjadikan ini barang bukti jika kau ingin melaporkannya!