"Apa katanya tadi?" suara Kamila melengking, penuh dengan nada kesal yang berusaha ia tekan, meski gagal total. Tatapan matanya tajam, pupil cokelatnya menatap Kaelen dengan sorot penuh kekesalan dan rasa jengah.
Kaelen mengangkat bahu dengan santai, seolah sedang menonton drama yang menyenangkan. Senyumnya kecil, tapi cukup menusuk harga diri. "Yah... Siapa tahu kau menyesal karena dulu memutuskan hubungan kita waktu masih SMK. Mungkin sekarang kau datang memohon agar kita CLBK." Kamila memutar bola matanya dengan gerakan dramatis. "Tuan idol yang terhormat," katanya, menyuarakan setiap kata dengan penuh penekanan, "saya di sini hanya untuk melamar pekerjaan. Bukan melamarmu. Mengerti?" Dengan gerakan cepat, ia menggumamkan sumpah serapah pelan yang hampir seperti desisan. "Sialan... Lagi pula, mana ada melamar posisi jadi MUA harus minta persetujuan idolnya dulu?" Kaelen menyeringai lebih lebar, senyum puas yang penuh kemenangan. "Tentu saja harus. Perusahaan ini kan aku yang punya," katanya dengan nada yang lebih meremehkan daripada yang bisa ditoleransi. "Mamaku pemilik perusahaan ini. Apa kau lupa, mantan pacar?" Kamila menggertakkan gigi, menahan dorongan untuk melempar sesuatu ke wajahnya. "Iya, aku lupa," katanya dengan sarkasme yang menetes deras. "Aku sudah pikun. Puas?!" Kaelen tertawa pelan, suara tawanya seperti cambuk kecil yang menjengkelkan. "Padahal aku lebih tua darimu, tapi aku tidak sepikun itu." Kamila mendengus, lalu melangkah maju, menabrak udara di antara mereka dengan energi penuh kemarahan. "Sudah! Hentikan! Jadi aku diterima atau tidak?" Suaranya penuh nada perintah, seolah ingin mengakhiri permainan yang menurutnya sudah kelewatan. Kaelen menatapnya, matanya berbinar penuh hiburan. "Bisa tidak ... bisa iya," jawabnya dengan suara malas yang sengaja ia pelankan, membuat tensi di ruangan semakin meningkat. "Maumu itu sebenarnya apa?!" suara Kamila meledak, penuh frustasi yang tak lagi bisa ia bendung. Di sudut ruangan, HRD yang dari tadi menjadi penonton bisu hanya bisa menyeringai kikuk. "Saya ... permisi dulu, kalau begitu—" "Tunggu!" Kaelen menoleh dengan gerakan tajam, suaranya tiba-tiba berubah tegas. "Jangan tinggalkan aku berdua bersama perempuan ini...." Ia berpura-pura bergetar, meletakkan satu tangan di dada. "Aku takut dilecehkan lagi...." Kamila merasa kepalanya hampir meledak. "Jangan menuduhku yang tidak-tidak, puqima!" teriaknya. Kaelen mengangkat alis dengan penuh kepuasan. "Puqima?" ia bertanya dengan nada geli, seperti menikmati setiap detik Kamila kehilangan kendali. "Benar-benar ... kau membuatku gila...." Ia mulai bersenandung sambil sedikit menggoyangkan bahu. "This must be crazy love...," katanya, bernyanyi dengan nada lembut, seperti seorang pria yang sedang jatuh cinta. Kamila menatapnya seolah pria itu adalah makhluk paling menjengkelkan di muka bumi. "Dasar ... dodol!" Kaelen terdiam sejenak, wajahnya yang tampan menyempit dengan kebingungan. "Kenapa dodol?" Kamila mengangkat dagu, matanya bersinar dengan api kemenangan. "Dodol itu singkatan dari 'idol tolol'!" katanya, penuh kepuasan. Kaelen memekik pura-pura tersinggung, memeluk HRD seperti anak kecil yang mengadu pada ibunya. "Pak ... lihat dia, Pak!" ujarnya dengan suara manja. "Dia berkata kasar padaku. Kata Mama, tidak ada yang boleh berucap kasar pada anak tampan sepertiku." Kamila menarik rambutnya sendiri dengan frustasi yang nyata. "Kau mau aku melakukan apa sekarang? Hah? Katakan saja!" Kaelen memiringkan kepala, matanya menyipit penuh tipu muslihat. "Minta maaf." Kamila menarik napas dalam. "Baik, aku minta maaf," katanya, penuh dengan nada malas. Kaelen menggeleng pelan, wajahnya serius. "Minta maaf yang benar," katanya tegas. Kamila mengangkat tangan ke udara. "Memangnya ada minta maaf yang benar dan salah? Minta maaf ya minta maaf saja!" Kaelen memiringkan tubuhnya ke depan, wajahnya berubah dramatis, separuh tertutup rambut biru tuanya yang bergelombang. Suaranya rendah dan penuh penyesalan palsu. "Aku minta maaf ... sungguh minta maaf karena telah memutuskan hubungan manis kita saat SMK dulu. Karena aku ... kau jadi sedih dan kehilangan nafsu makan berbulan-bulan. Aku benar-benar minta maaf." Ia mengangkat wajah, menatap Kamila dengan tatapan menuntut. "Sekarang, praktikkan!" "Tidak mau!" Kamila memalingkan wajah, rahangnya menegang menahan rasa kesal yang semakin meluap. Ia melipat tangan di depan dada, seolah menegaskan bahwa ia tidak akan tunduk pada tuntutan bodoh Kaelen. Kaelen, seperti biasa, hanya tertawa kecil dengan suara yang terdengar seperti angin dingin di tengah malam. "Kau mau diterima kerja di sini atau tidak?" Suaranya merendah, penuh sindiran. Senyum mengejek terukir di wajahnya, seperti seorang pemenang yang tahu lawannya sudah kalah sebelum pertarungan dimulai. "Kalau tidak mau minta maaf, aku tidak akan menerimamu jadi MUA di sini." Kamila mengertakkan gigi. Kedua tangannya mengepal, sementara pikirannya berpacu antara harga diri dan kebutuhan pekerjaan. Napasnya memburu, tapi dia tahu, dalam pertarungan ini, dia harus menelan rasa pahit sekali lagi. "Baiklah! Baiklah!" ucapnya dengan nada menyerah, meskipun matanya masih memancarkan kilat kemarahan. Perlahan, ia menundukkan kepala, mencoba meniru ekspresi memelas yang Kaelen peragakan sebelumnya. Gerakan tubuhnya penuh kepura-puraan yang disengaja, tetapi anehnya ... rasa yang ia coba dustakan mulai terasa nyata. "Aku ... aku minta maaf," katanya, suaranya bergetar tipis, seperti daun yang diterpa angin. Ia mengangkat sedikit pandangannya, menatap Kaelen dengan mata yang berkilauan penuh ironi. "Aku sungguh minta maaf karena ... karena sudah memutuskan hubungan denganmu." Kaelen terdiam. Detik-detik yang berjalan terasa begitu lambat, seolah waktu sendiri menahan napas menyaksikan adegan ini. Wajah Kaelen berubah. Pupil birunya melebar, dan kilatan sombong yang biasa menghuninya menghilang, digantikan oleh sesuatu yang jauh lebih dalam. Pipinya bersemu merah muda. Ia menelan ludah, mencoba menyembunyikan keterkejutannya, namun dadanya berdebar keras hingga hampir terdengar. Dalam sekejap, kenangan lama membanjiri pikirannya—tatapan pertama yang mereka bagi, tawa kecil yang pernah mereka sembunyikan di balik buku pelajaran, dan hari terakhir yang memisahkan mereka dengan luka yang tak pernah sepenuhnya sembuh. Tangannya bergerak tanpa sadar, jemarinya gatal ingin menyentuh pipi Kamila, ingin merasakan hangat yang dulu selalu menenangkannya. Tetapi ia menahan diri, menekan dorongan itu dalam-dalam. Sebuah senyum manis perlahan muncul di wajahnya—senyum yang jauh lebih lembut dari senyum mengejek yang biasa ia tunjukkan. "Aku ... memaafkanmu," katanya akhirnya, suaranya berbisik seolah-olah setiap kata adalah rahasia yang hanya ia bagi dengan Kamila. Kamila mengangkat kepalanya perlahan, senyum kecil di sudut bibirnya. Matanya bersinar dengan kemenangan yang manis dan penuh kepuasan. "Jadi, aku diterima menjadi MUA di sini?" tanyanya, nadanya datar tapi penuh semangat tersembunyi. Kaelen menelan ludah lagi, berusaha menjaga suaranya tetap stabil meskipun jantungnya berdentum seperti genderang perang. "Kita...." Ia menarik napas dalam-dalam. "Kita CLBK lagi, tidak?" Suaranya penuh harapan, seolah setiap kata adalah tali yang ia lemparkan untuk menjangkau masa lalu yang ingin ia perbaiki. "Tidak," jawab Kamila dengan tegas, nada bicaranya sekeras baja yang memotong tali itu dengan satu tebasan dingin.Kaelen melipat kedua tangannya di depan dada, matanya memancarkan kekesalan, dan bibirnya yang penuh memanyun dengan gaya cemberut yang terlihat hampir lucu. "Jahat! Aku sudah berharap padahal!" suaranya terdengar seperti anak kecil yang baru saja kehilangan permen favoritnya. Kamila mengangkat alis, matanya bersinar penuh kemenangan. "Oh, maaf. Aku lupa. Harapan tidak seharusnya kau gantungkan padaku, kak Kaelen. Kau pasti tahu itu." Sebelum Kaelen bisa membalas, suara seseorang memecah keheningan. "Kaelen, kau belum bersiap?" Seorang pria dengan rambut cokelat keabu-abuan muncul di ambang pintu, langkahnya mantap dan penuh wibawa. Sebagian poni rambutnya menjuntai menutupi salah satu matanya, menambah kesan misterius pada wajah tampannya. Dia berjalan mendekat dengan tatapan yang memeriksa Kaelen dari ujung kepala hingga kaki. "Kau bilang mau mengadakan fan meeting di Mall Jayakarta. Kenapa belum bersiap juga?" Kaelen, masih tenggelam dalam emosinya, hanya menoleh dengan tatapan
Kaelen kembali ke ruangan dengan tampilan yang lebih tertutup. Kali ini, sebuah jaket kain wol berwarna gelap menggantung di bahunya, dipakai asal-asalan hanya menutupi punggungnya, seperti tirai yang menggantung malas untuk menyembunyikan tonjolan bokong yang tegas di balik celana hitamnya. Bagian depan tubuhnya masih dibalut kemeja putih, kancing atas kini tertutup rapi. Kombinasi kemeja dan jaket memberikan kesan semi formal, namun tetap bergaya khas anak muda—berantakan, tapi memikat. Kaelen berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada, matanya menyipit penuh perlawanan. "Begini? Puas sekarang?" Kamila menyelipkan tangan di saku, tatapannya menurun ke bawah, langsung terpaku pada celana hitam yang membungkus kaki Kaelen dengan ketat, seolah kain itu langsung dilukis di kulitnya. Ia mengangkat alis, sudut bibirnya terangkat nakal. "Apa tidak ada celana yang lebih longgar? Kenapa setiap kali bertemu, kau selalu pakai celana lakban?" Kaelen tersenyum bangga, memperbaiki posisi b
Kamila memegang kuas dengan jari-jarinya yang cekatan, menyapukan lembut ke wajah Kaelen. Kulitnya halus seperti porselen, lembut bagai beludru yang memantulkan kilauan cahaya lampu di sekeliling ruangan. Ia memejamkan matanya, dan saat itu hanya terlihat bulu matanya yang lentik melengkung sempurna, seperti sayap kupu-kupu yang tengah beristirahat. Setiap helainya begitu hitam dan tebal, hampir seperti lukisan yang dibuat dengan kuas paling halus. "Kak Kaelen...." Suara Kamila nyaris seperti bisikan, penuh kelembutan dan ketenangan. Kaelen membuka matanya perlahan, menunjukkan sepasang pupil biru tua yang begitu dalam dan menawan. Matanya menyerupai lautan pada malam gelap, penuh misteri dan daya pikat yang memerangkap siapa pun yang berani memandang terlalu lama. Dengan gerakan kecil namun penuh makna, ia memutar bola matanya ke atas, memperlihatkan bulu matanya yang semakin menjuntai, memikat seperti ranting willow yang menari di bawah embusan angin musim panas. Kamila menahan
Kaelen duduk dengan santai di kursi rias, sementara Kamila berdiri di belakangnya, tangan terampilnya sibuk menata rambut pria itu. Rambut biru tua Kaelen yang bergelombang mengingatkan Kamila pada gulungan ombak di laut saat badai, liar tetapi memancarkan pesona yang sulit untuk tidak diperhatikan. Dengan gerakan lembut, Kamila merapikan poni Kaelen, memastikan setiap helainya berada di tempat yang sempurna."Omong-omong," suara Kaelen memecah keheningan, nada suaranya penuh rasa ingin tahu. "Kenapa kau kepikiran untuk melamar jadi MUA di sini?"Kamila berhenti sejenak, menghela napas panjang sebelum menjawab. "Aku dipecat dari agensi tempatku bekerja." Ucapannya terkesan ringan, tetapi Kaelen dapat menangkap nada getir yang terselip di sana.Kaelen memiringkan kepalanya, alisnya terangkat. "Dipecat?" ulangnya, nada suaranya penuh keterkejutan. "Kenapa?"Kamila hanya mengangkat bahu kecil, berusaha menutupi emosinya. "Tidak tahu, aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa dipecat," jawa
Usapan lembut kuas bedak membelai pipi seorang pria tampan yang duduk tenang di kursi rias, seolah dirinya adalah kanvas sempurna untuk sebuah mahakarya. Kulitnya halus, pipi tirus, dan rahang yang tegas membentuk garis-garis simetris pada wajah yang tampak seperti pahatan patung karya seniman legendaris. Hidung mancung dan bibir tebalnya yang sedikit berwarna merah muda menambah kesan memesona pada sosok yang hampir mustahil terabaikan. Kamila menarik napas dalam. Jari-jarinya yang lentik menggenggam kuas dengan percaya diri. Gerakan tangannya halus namun penuh kendali, menyapu eye shadow ke kelopak mata pria itu. Ia mengamati bagaimana pria tersebut memejamkan matanya perlahan—sepasang mata biru yang memukau, seperti langit musim panas tanpa awan. Untuk sejenak, Kamila merasa terperangkap dalam pesona yang tak boleh dimiliki. Ia segera menepis pikiran itu dan melanjutkan pekerjaannya. Sapuan terakhir kuas meninggalkan bayangan cokelat gelap yang menonjolkan tatapan misterius pada
Kaelen duduk dengan santai di kursi rias, sementara Kamila berdiri di belakangnya, tangan terampilnya sibuk menata rambut pria itu. Rambut biru tua Kaelen yang bergelombang mengingatkan Kamila pada gulungan ombak di laut saat badai, liar tetapi memancarkan pesona yang sulit untuk tidak diperhatikan. Dengan gerakan lembut, Kamila merapikan poni Kaelen, memastikan setiap helainya berada di tempat yang sempurna."Omong-omong," suara Kaelen memecah keheningan, nada suaranya penuh rasa ingin tahu. "Kenapa kau kepikiran untuk melamar jadi MUA di sini?"Kamila berhenti sejenak, menghela napas panjang sebelum menjawab. "Aku dipecat dari agensi tempatku bekerja." Ucapannya terkesan ringan, tetapi Kaelen dapat menangkap nada getir yang terselip di sana.Kaelen memiringkan kepalanya, alisnya terangkat. "Dipecat?" ulangnya, nada suaranya penuh keterkejutan. "Kenapa?"Kamila hanya mengangkat bahu kecil, berusaha menutupi emosinya. "Tidak tahu, aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa dipecat," jawa
Kamila memegang kuas dengan jari-jarinya yang cekatan, menyapukan lembut ke wajah Kaelen. Kulitnya halus seperti porselen, lembut bagai beludru yang memantulkan kilauan cahaya lampu di sekeliling ruangan. Ia memejamkan matanya, dan saat itu hanya terlihat bulu matanya yang lentik melengkung sempurna, seperti sayap kupu-kupu yang tengah beristirahat. Setiap helainya begitu hitam dan tebal, hampir seperti lukisan yang dibuat dengan kuas paling halus. "Kak Kaelen...." Suara Kamila nyaris seperti bisikan, penuh kelembutan dan ketenangan. Kaelen membuka matanya perlahan, menunjukkan sepasang pupil biru tua yang begitu dalam dan menawan. Matanya menyerupai lautan pada malam gelap, penuh misteri dan daya pikat yang memerangkap siapa pun yang berani memandang terlalu lama. Dengan gerakan kecil namun penuh makna, ia memutar bola matanya ke atas, memperlihatkan bulu matanya yang semakin menjuntai, memikat seperti ranting willow yang menari di bawah embusan angin musim panas. Kamila menahan
Kaelen kembali ke ruangan dengan tampilan yang lebih tertutup. Kali ini, sebuah jaket kain wol berwarna gelap menggantung di bahunya, dipakai asal-asalan hanya menutupi punggungnya, seperti tirai yang menggantung malas untuk menyembunyikan tonjolan bokong yang tegas di balik celana hitamnya. Bagian depan tubuhnya masih dibalut kemeja putih, kancing atas kini tertutup rapi. Kombinasi kemeja dan jaket memberikan kesan semi formal, namun tetap bergaya khas anak muda—berantakan, tapi memikat. Kaelen berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada, matanya menyipit penuh perlawanan. "Begini? Puas sekarang?" Kamila menyelipkan tangan di saku, tatapannya menurun ke bawah, langsung terpaku pada celana hitam yang membungkus kaki Kaelen dengan ketat, seolah kain itu langsung dilukis di kulitnya. Ia mengangkat alis, sudut bibirnya terangkat nakal. "Apa tidak ada celana yang lebih longgar? Kenapa setiap kali bertemu, kau selalu pakai celana lakban?" Kaelen tersenyum bangga, memperbaiki posisi b
Kaelen melipat kedua tangannya di depan dada, matanya memancarkan kekesalan, dan bibirnya yang penuh memanyun dengan gaya cemberut yang terlihat hampir lucu. "Jahat! Aku sudah berharap padahal!" suaranya terdengar seperti anak kecil yang baru saja kehilangan permen favoritnya. Kamila mengangkat alis, matanya bersinar penuh kemenangan. "Oh, maaf. Aku lupa. Harapan tidak seharusnya kau gantungkan padaku, kak Kaelen. Kau pasti tahu itu." Sebelum Kaelen bisa membalas, suara seseorang memecah keheningan. "Kaelen, kau belum bersiap?" Seorang pria dengan rambut cokelat keabu-abuan muncul di ambang pintu, langkahnya mantap dan penuh wibawa. Sebagian poni rambutnya menjuntai menutupi salah satu matanya, menambah kesan misterius pada wajah tampannya. Dia berjalan mendekat dengan tatapan yang memeriksa Kaelen dari ujung kepala hingga kaki. "Kau bilang mau mengadakan fan meeting di Mall Jayakarta. Kenapa belum bersiap juga?" Kaelen, masih tenggelam dalam emosinya, hanya menoleh dengan tatapan
"Apa katanya tadi?" suara Kamila melengking, penuh dengan nada kesal yang berusaha ia tekan, meski gagal total. Tatapan matanya tajam, pupil cokelatnya menatap Kaelen dengan sorot penuh kekesalan dan rasa jengah. Kaelen mengangkat bahu dengan santai, seolah sedang menonton drama yang menyenangkan. Senyumnya kecil, tapi cukup menusuk harga diri. "Yah... Siapa tahu kau menyesal karena dulu memutuskan hubungan kita waktu masih SMK. Mungkin sekarang kau datang memohon agar kita CLBK." Kamila memutar bola matanya dengan gerakan dramatis. "Tuan idol yang terhormat," katanya, menyuarakan setiap kata dengan penuh penekanan, "saya di sini hanya untuk melamar pekerjaan. Bukan melamarmu. Mengerti?" Dengan gerakan cepat, ia menggumamkan sumpah serapah pelan yang hampir seperti desisan. "Sialan... Lagi pula, mana ada melamar posisi jadi MUA harus minta persetujuan idolnya dulu?" Kaelen menyeringai lebih lebar, senyum puas yang penuh kemenangan. "Tentu saja harus. Perusahaan ini kan aku yang pu
Usapan lembut kuas bedak membelai pipi seorang pria tampan yang duduk tenang di kursi rias, seolah dirinya adalah kanvas sempurna untuk sebuah mahakarya. Kulitnya halus, pipi tirus, dan rahang yang tegas membentuk garis-garis simetris pada wajah yang tampak seperti pahatan patung karya seniman legendaris. Hidung mancung dan bibir tebalnya yang sedikit berwarna merah muda menambah kesan memesona pada sosok yang hampir mustahil terabaikan. Kamila menarik napas dalam. Jari-jarinya yang lentik menggenggam kuas dengan percaya diri. Gerakan tangannya halus namun penuh kendali, menyapu eye shadow ke kelopak mata pria itu. Ia mengamati bagaimana pria tersebut memejamkan matanya perlahan—sepasang mata biru yang memukau, seperti langit musim panas tanpa awan. Untuk sejenak, Kamila merasa terperangkap dalam pesona yang tak boleh dimiliki. Ia segera menepis pikiran itu dan melanjutkan pekerjaannya. Sapuan terakhir kuas meninggalkan bayangan cokelat gelap yang menonjolkan tatapan misterius pada