Halaman belakang Istana Negara yang sunyi terasa seperti oasis kecil di tengah kekacauan batin Aisyah. Angin lembut yang berhembus membawa kehangatan, seakan berusaha membungkus tubuhnya yang rapuh dengan pelukan alam. Di bawah langit senja, Mahendra duduk di hadapan Aisyah, memegang perlengkapan medis kecil. Tangannya yang besar namun lembut dengan hati-hati membersihkan luka-luka di wajah Aisyah, gerakannya pelan dan penuh perhatian, seolah setiap sentuhannya dirancang untuk mengobati tidak hanya fisik, tetapi juga hatinya yang terluka."Sakit?" tanya Mahendra dengan suara lembut, nadanya penuh kepedulian. Tatapannya terpaku pada ekspresi Aisyah, memperhatikan setiap reaksi, takut jika ia melukai lebih dalam. Ketika Aisyah sedikit meringis meskipun mencoba menyembunyikannya, tangan Mahendra otomatis berhenti.Aisyah menggeleng perlahan. Meski hatinya masih terasa pedih, kepedulian pria di depannya ini seperti air yang memadamkan api di dalam dirinya. Senyumnya yang tulus, tangannya
Di sebuah kamar tamu yang besar dan mewah, jam dinding berdetak lambat, seolah menghitung setiap detik dengan penuh kehati-hatian. Keheningan di ruangan itu hampir memekakkan telinga, hanya dipecahkan oleh langkah-langkah kecil tiga gadis yang sibuk bergerak. Mereka adalah Mila, Misa, dan Aisyah. "Ah! Pinggangku...!" keluh Mila, pelayan istana, sambil memegangi pinggangnya yang terasa nyeri. Napasnya terengah setelah memindahkan koper besar milik keluarga Citra. "Mereka cuma tinggal beberapa hari, tapi barangnya seperti mau pindah rumah setahun!" "Ssst!" Misa, kakak Mila yang lebih tenang, menyenggol lengannya dengan tajam. Ia melirik sekilas ke arah Aisyah yang sedang merapikan pakaian milik anak gubernur di lemari, wajahnya tanpa ekspresi. "Jangan mengeluh terlalu keras! Lihat istri wakil presiden kita. Padahal dia bukan pelayan, tapi lebih rajin daripada kamu." Aisyah mendengar itu dan menoleh dengan senyum tipis, tapi nada bicaranya mendadak berubah tegas, seperti suara kara
Langit senja memancarkan warna merah dan oranye yang menyala terang, seolah melukis suasana dramatis di ruang kerja Nursyid, sang pemilik LightGlow Cosmetics. Dalam ruang yang penuh estetika itu, Nursyid sedang mengenakan jasnya, bersiap untuk menghadiri fanmeeting bersama brand ambassador barunya, Aisyah. Namun, sebelum ia sempat melangkah keluar, suara langkah kaki yang cepat terdengar dari arah pintu. Tanpa perlu menoleh, Nursyid sudah tahu siapa yang datang. "Masuk saja, Aisyah. Pintu tidak terkunci," katanya tenang, tanpa mengalihkan pandangan dari cermin di hadapannya. Pintu terbuka dengan suara pelan, dan Nursyid, yang hendak menyambut kedatangan Aisyah dengan senyum, langsung terpaku. Kalimat yang hendak ia ucapkan terhenti di tenggorokan saat pandangannya jatuh pada wajah gadis itu. Keningnya terlihat memar dan tertutup plester, kedua pipinya lebam dengan warna ungu yang mencolok, dan ujung bibirnya merah, bekas darah yang belum sepenuhnya kering. Nursyid mendekat dengan
Rayhan mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, melaju lincah di antara kendaraan-kendaraan besar yang merayap di jalan. Seolah sedang berpacu dengan waktu, dia menantang langit senja yang perlahan menggelap, matahari yang memancarkan warna oranye kemerahan mulai tenggelam di cakrawala. Angin malam semakin dingin, tapi Rayhan tak peduli. Ada sesuatu yang lebih mendesak daripada rasa lelah atau dingin yang menggigit kulitnya. Saat matahari akhirnya tenggelam sepenuhnya, motor Rayhan berhenti di depan istana megah. Ia menghela napas panjang, memastikan bahwa Aisyah telah sampai dengan selamat. Wanita itu turun dari motor dengan hati-hati, memegangi pipinya yang memar, mencoba menyembunyikan rasa sakit di balik senyuman tipis. “Terima kasih, Pak,” ucap Aisyah pelan. Suaranya hampir tenggelam dalam deru kendaraan yang lewat di kejauhan. Gerakan kecil pada bibirnya saja sudah cukup untuk membuat rasa sakit menjalar di kedua sisi wajahnya, mengingatkannya pada luka-luka bekas tampara
Malam telah menelan seluruh cahaya, meninggalkan langit pekat yang bertabur bintang jauh di atas istana. Di dapur, Aisyah sibuk membantu para koki mengaduk panci-panci besar, aroma rempah menguar ke segala penjuru. Sementara itu, Mila dan Misa berlarian ke sana kemari, membantu pelayan lainnya mengatur hidangan makan malam di meja panjang nan megah. Ketika semuanya siap, Aisyah menarik kursi di meja makan dan duduk tanpa ragu di samping Sulistyo. Tatapannya tenang, seolah tempat itu memang miliknya. Namun, keheningan tak bertahan lama. "Siapa yang menyuruh gadis rendahan sepertimu duduk di sampingku?" Suara dingin Sulistyo memecah suasana. Tatapannya tajam, aura gelap menguar dari tubuhnya, menciptakan atmosfer yang menyesakkan di sekelilingnya. Aisyah tak bergeming. Dengan tenang, ia menyendok daging dari mangkuk besar di meja dan menaruhnya di piringnya sendiri. "Tidak ada yang menyuruh," jawabnya datar. "Aku hanya ingin." Ia menoleh ke arah keluarga Citra yang duduk di seberan
Makanan mulai tersaji kembali di atas meja mewah dengan susunan yang begitu sempurna, seperti karya seni yang menggoda setiap indera. Aroma sedap memenuhi ruangan, membangkitkan selera meski keheningan tetap menggantung di udara, menciptakan suasana canggung yang terasa menekan. Jatmiko, dengan sikap tegas namun ramah, akhirnya memecah keheningan. "Selamat malam, keluarga gubernur Suryaloka sekalian... Saya, Jatmiko, sebagai kepala keluarga Nugroho, mempersilakan kalian menikmati hidangan yang telah disiapkan ini." Kata-kata itu menjadi sinyal bagi keluarga gubernur Suryaloka untuk mulai bergerak. Citra, bersama kedua orang tuanya, perlahan mengambil makanan ke piring masing-masing dengan gerakan anggun yang mencerminkan pendidikan dan status mereka. Dengan table manner yang sempurna, mereka mulai menikmati makanan, setiap potongan dilahap dengan penuh kesopanan. Namun, di tengah suasana yang mulai mencair, suara lembut namun penuh keraguan milik Citra memecah harmoni tersebut. "Um
Malam semakin larut, dingin malam menyelinap melalui celah-celah jendela, menusuk tulang siapa saja yang belum terlelap. Di dalam kamarnya yang temaram, Aisyah berbaring di atas ranjang empuk, selimut tebal membungkus tubuh mungilnya. Namun, matanya yang tajam belum juga terpejam. Di tangannya, sebuah foto tergenggam erat—foto dirinya dengan Li Shen, aktor tampan dari negara Zhonghua yang sempat beradu akting dengannya dua bulan lalu. Tatapan Aisyah penuh kekaguman, bukan hanya pada Li Shen, tetapi juga pada dirinya sendiri. Jemarinya beralih menyentuh layar ponsel, bergeser ke foto-foto lain. Di sana terpampang momen-momen kebersamaannya dengan artis-artis ternama dari berbagai negara, senyuman mereka yang memesona seolah hidup kembali melalui gambar. Tanpa sadar, bibir Aisyah melengkung, menyunggingkan senyuman kecil yang dipenuhi rasa bangga dan harapan. “Aku tidak sabar menunggu iklan LightGlow Cosmetics itu ditayangkan,” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. “Pasti luar biasa
Aisyah membuka pintu kamarnya perlahan. Cahaya matahari pagi menelusup masuk, menyinari langkah-langkahnya yang ragu. Belum sepenuhnya sadar akan kehadiran orang lain, ia mendongak dan mendapati Rayhan serta Mahendra berdiri di sana, seolah sudah menunggunya sejak lama. “Soal berita di media sosial itu—” Aisyah mencoba bicara, namun suaranya terhenti ketika Mahendra memotong dengan suara keras dan tajam. “Ini sudah keterlaluan!” Wajahnya tegang, amarahnya jelas terpancar. “Kita tidak bisa membiarkan ini terus terjadi!” “Nona, tenanglah,” sela Rayhan dengan nada lembut namun serius. “Saya sudah menceritakan semuanya kepada Tuan Mahendra. Kami berdua ada di pihak nona.” Mahendra mengepalkan tinjunya erat hingga buku-buku jarinya memutih, giginya mengatup rapat menahan marah. “Apa yang dipikirkan ayahku saat memutuskan berpasangan dengan orang seperti itu untuk pemilu?” “Agar menang,” jawab Aisyah dengan nada tenang, namun penuh ketegasan yang memotong suasana tegang itu seperti bil
Sulistyo melangkah masuk ke kamar dengan wajah penuh percaya diri. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Aisyah duduk meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya tersembunyi di balik bantal yang ia tekan erat-erat ke kepalanya, seolah mencoba memblokir sesuatu yang tak terlihat. Sesekali, isakan kecil terdengar dari balik bantal itu.Matanya menyipit, bingung dan sedikit terganggu. Dalam hitungan detik, dia berlari menghampiri Aisyah, lututnya berlutut di samping ranjang. Dengan lembut, tangannya menarik bantal dari wajah istrinya. "Ada apa, sayang? Kenapa menangis?"Wajah Aisyah basah oleh air mata, matanya sembab dan penuh ketakutan. Suaranya bergetar saat ia berbicara. "Dari tadi… Aku terus mendengar suara tembakan dan teriakan orang-orang." Ia menggigit bibir bawahnya, suaranya semakin lirih. "Aku tidak berani melihat ke jendela. Apa yang terjadi di luar sana?"Sulistyo terdiam sejenak, menyusun kata-kata dalam pikirannya. Kemudian
Sulistyo berdiri angkuh di atas balkon istana negara, tubuhnya dibalut setelan formal yang memancarkan kekuasaan. Matanya menatap ke bawah dengan pandangan tajam penuh kepuasan, seolah dunia ini adalah panggung kecil yang ia kendalikan sepenuhnya. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu mengusir kehangatan memabukkan dari rasa kemenangan yang memenuhi dirinya."Damai sekali…" gumamnya pelan, tapi penuh arogansi. Sebuah senyum licik mengembang di wajahnya. "Memang tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan uang."Ia berbalik, langkahnya perlahan namun penuh wibawa. Namun, saat punggungnya baru saja meninggalkan pandangan dari balkon, suara kerumunan mulai terdengar dari kejauhan. Raungan protes yang membakar udara malam bergema seperti guntur. Sulistyo berhenti di tengah langkah, mendengarkan dengan tenang, lalu kembali ke tepi balkon, kali ini dengan alis sedikit mengernyit.Di bawah sana, gelombang manusia mulai berkumpul di gerbang i
Malam itu, suasana di rumah Anisa sangat sunyi. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan tirai jendela di ruang tamu tempat ia duduk sendiri, hanya ditemani oleh cahaya televisi yang menampilkan berita nasional. Adik-adiknya sudah terlelap di ranjang, tubuh kecil mereka bersandar dengan damai, tidak menyadari betapa resah hati kakak mereka.Anisa memeluk lututnya, matanya menatap layar televisi dengan raut penuh kebencian yang ia coba tahan agar tidak meledak. Lagi-lagi, layar kaca itu dipenuhi dengan berita selebriti yang sama sekali tidak penting. Perdebatan soal drama percintaan artis yang dipoles sedemikian rupa memenuhi setiap segmen, menggantikan pemberitaan luar negeri yang sebelumnya sempat membahas kebobrokan sistem pemerintahan di Dwipantara.Pemberitaan itu hanya bertahan sejenak, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat menyentuh tanah. Anisa tahu alasannya. "Tch! Pasti televisi sudah disogok pemerintah lagi!" gumamnya dengan suara pelan, meluapk
Keesokan harinya, layar-layar televisi di seluruh penjuru negeri dipenuhi berita yang sama: "GDP Dwipantara Mengalami Penurunan Tajam, Negara Terancam Krisis Ekonomi." Gambar-gambar grafik ekonomi yang menukik tajam ke bawah terpampang jelas, diselingi laporan dari para analis ekonomi lokal dan internasional."Rendahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan pajak yang melambung tinggi telah melumpuhkan perekonomian nasional," ucap salah satu pembawa berita dengan nada serius. "UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kini bertumbangan satu per satu, tak mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi."Rekaman jalanan yang sepi dari aktivitas jual beli ditampilkan, diikuti visual mall-mall besar yang kosong melompong, dengan hanya segelintir orang yang terlihat berjalan cepat, sekadar untuk membeli kebutuhan pokok."Masyarakat Dwipantara kini bekerja tanpa henti, bagaikan kuda, hanya untuk mengisi perut mereka sendiri," lanjut pembawa berita, suaranya pen
Aisyah berbaring di ranjang dengan tubuh yang terasa seolah terkunci. Di sebelahnya, Sulistyo bersandar santai, dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Cahaya dari televisi menerangi kamar yang megah namun terasa sesak bagi Aisyah. Film romantis yang sedang diputar menambah ironi dalam hatinya, karena adegan-adegan penuh cinta itu jauh dari apa yang ia rasakan sekarang."Aku kurang suka film romantis," ucap Aisyah akhirnya, mencoba terdengar selembut mungkin agar tidak memicu amarah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya di lengan Sulistyo, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Boleh ganti dengan film action atau thriller?" nada manjanya terasa aneh di telinganya sendiri, tetapi ia harus terus memainkan peran ini.Sulistyo menoleh ke arahnya, matanya yang tajam memerhatikan Aisyah seolah sedang membaca pikirannya. Ia terdiam beberapa detik, membuat suasana di antara mereka menjadi tegang. "Tapi, film seperti itu temanya berat," katanya akhirnya, suaranya rendah namun
Aisyah duduk di atas ranjangnya yang dingin, memegangi kepala dengan kedua tangannya. Napasnya berat, penuh rasa frustrasi yang sulit ia tahan. Matanya berkaca-kaca saat kata-kata itu akhirnya keluar dari bibirnya dalam bisikan getir. "Bagaimana ini? Aku sudah hamil… Aku benar-benar mengandung anak dari tirani itu."Dengan gemetar, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang, kedua tangannya perlahan bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Sentuhan itu terasa asing, seperti menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang sekaligus membangkitkan cinta sekaligus kebencian. "Aku harus melahirkannya," gumamnya pelan. "Harus tetap melahirkannya, meskipun kemungkinan besar dia akan mewarisi tahta ayahnya sebagai presiden KKN."Aisyah mendongak, menatap kosong ke langit-langit kamar. "Tapi aku berjanji… sebagai ibunya, aku akan mendidiknya dengan benar. Kalau bisa… aku akan membuatnya menjadi senjata untuk melawan ayahnya sendiri." Matanya menyipit, penuh tekad. Ia menga
Sulistyo duduk di tepi ranjang, menatap perut Aisyah yang mulai membesar. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap perut itu seolah mencari kehangatan dari kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Jika sudah lahir, ingin diberi nama apa bayi kita?" tanyanya dengan suara yang terdengar tenang, namun mata tajamnya tetap memancarkan dominasi.Aisyah menoleh pelan, menatapnya dengan mata yang lelah. Air mukanya penuh kebingungan dan ketidakpastian. "Entahlah…" jawabnya, suaranya hampir seperti bisikan.Sulistyo tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur di balik sikap Aisyah yang bingung. "Bagaimana dengan nama seperti Kusumo?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kebanggaan.Namun, Aisyah hanya menggeleng pelan. "Kita belum tahu yang lahir adalah anak perempuan atau anak laki-laki."Sejenak, suasana menjadi sunyi. Wajah Sulistyo yang sebelumnya terlihat tenang tiba-tiba menggelap. Matanya menyipit, dan rahangnya mengeras saat dia men
Sulistyo memandang Aisyah dengan cemas saat ia menggenggam tubuh istrinya yang terasa lemah di pelukannya. Dalam diam, ia membawa Aisyah menuju kamar mereka. Langkahnya mantap, namun di balik ekspresi dingin yang biasa terpancar, ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Setelah membuka pintu kamar, Sulistyo membaringkan Aisyah di atas ranjang dengan hati-hati, seperti memegang barang paling rapuh di dunia. Pandangannya tidak lepas dari wajah Aisyah yang terlihat pucat, namun tetap memancarkan kelembutan. "Aisyah, apa kau baik-baik saja? Kau tidak merasa sakit hati dengan ucapan ibu kan?"Aisyah, yang tubuhnya masih terasa lelah, hanya menggeleng pelan. Suaranya terdengar kecil, nyaris berbisik. "Tidak masalah, aku sudah biasa."Namun bagi Sulistyo, jawaban itu justru menambah perih di hatinya. Wajahnya mengeras, tetapi jemarinya tetap lembut saat menggenggam tangan Aisyah. "Jangan terlalu dipikirkan!" katanya dengan nada tegas, nyaris seperti perintah. "Ka
Dua minggu berlalu sejak peristiwa terakhir, dan kini Aisyah duduk diam di atas ranjang, tangannya gemetar memegang test pack kecil di tangannya. Dua garis merah mencolok tertera di sana, menandakan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Kehamilan.Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang, meski ia tak tahu apakah air mata itu lahir dari rasa senang, takut, atau bahkan keputusasaan. Ada kebahagiaan kecil yang menyelinap di sudut hatinya—setidaknya, Sulistyo tidak akan memaksanya lagi untuk segera hamil. Tapi di saat yang sama, ia merasa belenggu di hidupnya kini bertambah erat. Dengan kehamilan ini, kebebasan yang nyaris tak ada sebelumnya kini hilang sepenuhnya.Aisyah cepat-cepat menyembunyikan test pack itu di bawah bantal ketika mendengar langkah kaki mendekat dari luar kamar. Suara langkah itu, meski terdengar tenang, selalu membawa ketegangan di hatinya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sulistyo yang tersenyum lebar sambil me