Di sebuah ruangan mewah di istana negara, suasana tegang mengalir deras. Sebuah TV swasta menayangkan Aisyah yang sedang tampil di acara talk show, duduk berdampingan dengan pengawalnya, Rayhan. Sorotan kamera tertuju pada wajah mereka, sementara tatapan penuh selidik dari host acara, Gina, menyelimuti ruang studio. "Jadi, apa kalian membantah tuduhan perselingkuhan itu?" tanya Gina, nadanya penuh dengan rasa ingin tahu yang hampir menusuk. Rayhan, dengan postur tegas namun tenang, menjawab, "Tentu saja. Saya hanyalah paspampres yang ditugaskan untuk melindungi Nona Aisyah dan mengantarkannya ke mana pun dirinya pergi. Itu adalah tugas saya." Aisyah langsung menyambung, matanya menatap langsung ke kamera. Suaranya tegas, meski ada sedikit gemetar yang menambah kesan emosional pada ucapannya. "Apalagi aku! Coba pikirkan dengan logika sederhana. Apa hanya karena dibonceng seorang pria yang adalah pengawalku, itu dianggap selingkuh? Apa berbicara dengan atasan terkait pekerjaan sebaga
Gerbang utama istana negara dipenuhi lautan manusia. Ratusan, bahkan ribuan pendemo dari berbagai kalangan memadati jalan dengan poster-poster di tangan mereka. Suara mereka menggema, menciptakan gelombang protes yang menekan setiap orang di dalam istana. "Sulistyo, wakil presiden bermasalah!" "Minta maaf pada istrimu!" "Ayo! Ayo! Ganyang huhu-haha!" "Save Aisyah!" "Free! Free! Aisyah!" Sorak-sorai massa disertai teriakan penuh amarah menghentak, memaksa aparat keamanan untuk berjaga lebih ketat. Polisi dan paspampres membentuk barikade di depan gerbang, mencoba meredam kekacauan yang semakin menjadi. Di atas balkon istana, Sulistyo berdiri bersama keluarganya, ditemani keluarga Citra. Wajahnya merah padam, sorot matanya dipenuhi kemarahan. Dari tempatnya berdiri, Sulistyo dapat melihat spanduk besar bertuliskan: "Aisyah adalah korban!". Dadanya terasa sesak. "Argh! Gadis rendahan itu benar-benar membuat masalah besar!" teriak Sulistyo, meninju pagar balkon dengan frustrasi.
Sulistyo melangkah keluar dari ruang presiden dengan langkah gontai. Wajahnya pucat pasi, mata yang biasa menyiratkan ambisi kini tampak kehilangan semangat. Air mata nyaris tumpah dari pelupuknya, namun ia menahannya dengan susah payah. Ketika tiba di ruang keluarga, ia mendapati semua orang menatapnya dengan penuh kekhawatiran. Ratri, ibunya, langsung berdiri dan menghampirinya. "Nak, ada apa?" suara Ratri gemetar, matanya berkaca-kaca melihat keadaan putranya yang begitu lemah. Sulistyo tidak menjawab. Ia hanya menjatuhkan tubuhnya di sofa, menunduk dalam-dalam. Pandangannya kosong, seperti seseorang yang baru saja kehilangan seluruh dunianya. Prasetya, adiknya, ikut berjongkok di hadapan Sulistyo, mencoba menatap wajah kakaknya. "Kak, apa yang terjadi?" tanyanya pelan, namun hanya mendapatkan keheningan sebagai balasan. Di sudut ruangan, Jatmiko mengepalkan tangan dengan kuat. Wajahnya merah padam, rahangnya mengeras. Dengan langkah tegas, ia keluar ruangan, menuju kantor pre
Setelah kerusuhan besar di Istana Negara, publik berharap kabar tentang skandal Wakil Presiden akan menjadi sorotan utama. Namun kenyataan berkata lain.“Heboh! Pesepak bola terkenal, Arya Santoso, berselingkuh dengan seorang artis. Tidak tanggung-tanggung, mereka melakukan threesome!” Suara pembawa berita menggema di seluruh saluran televisi, disertai potongan video yang sensasional. Media sosial pun dipenuhi tagar-tagar tentang Arya, menenggelamkan semua pembahasan tentang demo kemarin.Nursyid, yang menonton berita itu di layar ponselnya, mengepalkan tangan dengan geram. Matanya menyala penuh amarah. "Sialan! Mereka benar-benar mengalihkan isu dengan cara serendah ini!" pikirnya. Ia membayangkan skandal keluarga Sulistyo seharusnya menjadi headline, bukan gosip murahan seperti ini.Dengan langkah penuh keyakinan, Nursyid melangkah menuju kantor pusat televisi nasional. Langkahnya bergema di sepanjang koridor, seperti mencerminkan ketegangan dalam dirinya. Ketika ia tiba, ia melihat
Selama berjam-jam, Aisyah terkurung di dalam kamarnya. Pintu itu jarang sekali terbuka, kecuali ketika para pelayan bergantian masuk untuk mengantarkan makanan. Suasana di dalam kamar terasa seperti penjara, dan Aisyah seperti seorang putri yang ditawan oleh tangan-tangan jahat.“Bosan! Berapa lama lagi aku harus terus seperti ini? Huwaa!” Aisyah berteriak frustasi, kedua tangannya mencengkeram rambutnya sendiri. Dia menariknya dengan kasar, seolah rasa sakit itu bisa melawan kehampaan yang mencekik dadanya.Pintu tiba-tiba terbuka, membangunkan keheningan kamar yang kelam. Sulistyo melangkah masuk dengan wajah penuh amarah. “Aisyah! Lepaskan tanganmu dari rambutmu sekarang juga!” titahnya, suaranya penuh perintah yang tak terbantahkan.Aisyah mendongak, tersenyum miring penuh perlawanan. Tangannya justru semakin kuat menarik helai-helai rambutnya. “Kenapa? Kau takut rambutku rontok dan mengotori kamar ini?” tanyanya sarkastis, sengaja membiarkan beberapa helai rambut jatuh ke lantai.
Sulistyo memasuki kamar lain di dekat kamar Aisyah, ruangan yang jauh lebih besar namun terasa hampa. Langkahnya terdengar berat saat mendekati lemari pakaian. Ia membuka pintu lemari dengan kasar, mengambil kemeja lain dan memakainya dengan gerakan cepat, seolah ingin melupakan sesuatu.Tiba-tiba, suara ponsel yang berdering memecah keheningan. Di layar, nama yang muncul adalah Jatmiko, ayahnya. Sulistyo segera menjawab panggilan itu, menempelkan ponsel ke telinganya dengan cepat."Ada apa, Ayah?" tanyanya singkat, suaranya terdengar datar, nyaris tanpa emosi.Di ujung sana, suara Jatmiko terdengar tajam dan dingin. "Sulistyo, bagaimana keadaan di sana?""Semuanya aman, Ayah," jawab Sulistyo singkat. Ia terdiam sejenak, lalu menambahkan, "Semua media sudah diam. Tidak ada yang berani memberitakan apapun tentang kita.""Bagaimana dengan si gadis pembuat masalah itu?" Jatmiko bertanya dengan nada mengintimidasi, seperti seorang komandan yang meminta laporan dari bawahannya.Sulistyo me
Malam semakin larut, suasana semakin sunyi. Hanya ada suara nyanyian jangkrik yang menemani detik-detik jam yang terdengar seperti dentuman keras di tengah keheningan. Udara dingin menyelimuti kamar itu, membuat setiap napas terasa berat dan menusuk.Sulistyo, yang awalnya hanya berniat menjaga Aisyah dari kejauhan, kini tertidur di sisi ranjang. Tubuhnya bersandar pada kepala ranjang, dengan tangan yang tanpa sadar menyentuh kepala Aisyah. Sementara itu, Aisyah berbaring di pangkuannya, tubuhnya yang mungil tenggelam dalam kehangatan yang selama ini hanya ia kenal sebagai ancaman.Fajar mulai menyingsing, cahaya lembut perlahan menyelinap masuk melalui celah tirai. Kokok ayam dari kejauhan membangunkan Aisyah dari tidurnya. Kelopak matanya yang bengkak perlahan terbuka, dan pandangannya buram oleh sisa-sisa air mata yang belum sepenuhnya kering.Namun, sesuatu yang hangat di atas kepalanya membuatnya terjaga sepenuhnya. Ia mendongak, mendapati sebuah tangan besar tergeletak di sana—t
Sulistyo akhirnya tiba di Suryaloka, kota yang masih memancarkan keindahan alam dan tradisi Javanagara yang kental. Jalan-jalannya dihiasi pohon rindang, udara segar menyapu wajahnya—kontras sekali dengan hiruk-pikuk modernitas Jayakarta, pusat pemerintahan dan industri Dwipantara. Sulistyo menatap pemandangan itu sesaat, merasakan ketenangan yang jarang ia temui di ibu kota.Di gerbang utama, Suryanto, gubernur Suryaloka, telah menunggunya. Pria paruh baya itu tersenyum ramah, menyambut tamu agungnya dengan penuh hormat."Pak Sulistyo... Sebuah kehormatan bagi kami menerima kunjungan langsung seorang wakil presiden," ucap Suryanto, menjulurkan tangannya.Sulistyo membalas senyuman itu, menjabat tangan Suryanto dengan hangat. "Sebaliknya, ini juga suatu kehormatan bagi saya bisa berada di sini dan melihat langsung kemajuan kota ini."Namun, percakapan formal itu segera berakhir. Ekspresi Sulistyo berubah serius. "Jadi, bagaimana perkembangan hilirisasi di Suryaloka? Saya ingin mendeng
Aisyah merasakan keringat dingin membasahi tengkuknya saat tangan Sulistyo terulur, meminta ponselnya. Dengan jari yang bergetar, ia menyerahkan benda kecil itu—bukan hanya sebuah alat komunikasi, tetapi benteng terakhir dari privasinya yang selama ini ia lindungi dengan susah payah.Sulistyo tidak sekadar mengambil ponsel itu. Ia merebutnya kasar, seolah benda tersebut adalah miliknya sejak awal. Suara gesekan antara tangan mereka menggema dalam pikiran Aisyah seperti suara rantai yang menyeret di lantai beton. Ia menahan napas ketika pria itu menyalakan layar, matanya menyusuri setiap pesan, setiap jejak digital yang mungkin menjadi bukti penghianatan dalam pikirannya yang penuh curiga.Setelah beberapa detik yang terasa seperti abad, Sulistyo mengangkat matanya dan kembali menatap Aisyah. Tatapan itu seperti pisau tumpul—datar, tanpa ampun, dan menyakitkan dengan caranya yang mengerikan. Ia menyerahkan ponsel itu kembali padanya, tapi dengan perintah yang dingin
Malam mulai merayap ketika Aisyah dan Sulistyo kembali ke istana negara setelah kunjungan panjang ke rumah sakit. Langit kelam membayangi bangunan megah itu, dan suara gemuruh jauh dari aksi demonstrasi yang terus berlangsung, terasa seperti ancaman yang tak pernah benar-benar pergi.Mereka melangkah masuk ke kamar utama. Sulistyo melempar jasnya ke kursi dan duduk di tepi ranjang, matanya menatap kosong ke depan, pikirannya seolah terperangkap dalam sesuatu yang tak terlihat. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan."Duduklah." Suaranya terdengar datar, namun perintah itu penuh kuasa, membuat Aisyah tanpa sadar menuruti dengan patuh. Ia duduk di samping suaminya, tangannya mengepal erat di atas pangkuannya, sementara perasaan tertekan membungkus tubuhnya seperti rantai yang tak terlihat.Sulistyo memutar tubuhnya sedikit, jemarinya yang besar dan dingin menyentuh kepala Aisyah, mengusapnya dengan sentuhan yang tampak lembut namun penuh pe
Pintu kamar terbuka perlahan, engselnya berderit seperti jeritan pelan yang menyeruak ke dalam keheningan. Sulistyo melangkah masuk dengan langkah tenang namun penuh kekuasaan, bayangannya yang panjang melintasi dinding seperti sosok kegelapan yang merayap mendekati mangsanya. Aisyah, yang sebelumnya tengah memegang ponselnya dengan tangan gemetar, dengan cepat menyembunyikan perangkat itu di bawah bantal dan membaringkan diri di ranjang. Matanya terpejam rapat, napasnya ditahan, seolah tidur adalah satu-satunya pelindung dari bencana yang berdiri di ambang pintu.Sulistyo mendekat, duduk di tepi ranjang, dan tangannya yang dingin terulur, mengusap rambut Aisyah dengan gerakan yang, di permukaan, tampak penuh kasih. Namun sentuhan itu bagaikan rantai besi yang melilit leher, menahan kebebasannya."Apa kau sudah memeriksanya?" Suaranya rendah, penuh tekanan yang terpendam. Setiap kata menembus jantung seperti pisau kecil yang perlahan menusuk. "Apa kau sudah hamil?"
Komentar-komentar di komunitas media sosial terus bergulir tanpa henti seperti arus sungai yang liar, semakin deras dan panas seiring dengan berlalunya siang. Aisyah terbaring diam di tempat tidur, cahaya ponsel memantul di wajahnya yang pucat. Jemarinya menggulir layar, matanya terpaku pada setiap kata yang muncul—setiap kalimat adalah ledakan kecil yang menghantam jiwanya, mengoyak rasa tenang yang berusaha ia pertahankan.“Tapi kau lihat sendiri apa yang terjadi pada orang-orang yang menentang Sulistyo, kan? Orang-orang sekelas Nursyid saja terancam bangkrut karena berani melawannya. Apalagi orang kecil seperti kita-kita ini?”Aisyah menelan ludah, telinganya seakan mendengar gema ketakutan yang diucapkan oleh pengguna anonim di layar.“Itu benar! Apa yang bisa kita lakukan? Lihat saja para pendemo kemarin! Dua orang mati, dan jika Sulistyo tidak berbelas kasihan, mungkin lebih banyak lagi yang akan tumbang!”“Berbelas kasihan?” pikir Aisyah de
Kolom komentar di media sosial yang selama ini menjadi arena bagi suara-suara terpendam kini dipenuhi gelombang kesedihan dan kemarahan. Ratusan pesan memenuhi layar, membentuk aliran panjang yang tak henti-hentinya bergerak, mencerminkan hati dan pikiran rakyat yang mendidih."Itu sangat mengerikan!""Benar juga, Aisyah ke mana ya? Dia sudah tidak terlihat lagi di TV atau media sosial mana pun."Setiap pesan seolah-olah menjadi sumbu yang membakar api kepedihan dan kepedulian. Mereka berbicara satu sama lain, menggema dengan rasa ingin tahu yang berbalut kecemasan."Pertanyaan bodoh! Pastinya dia sudah ditahan Sulistyo karena hampir membuatnya dihukum mati.""Aisyah yang malang… Dia hanya ingin membuka mata rakyat, menunjukkan keburukan Sulistyo. Tapi apa daya? Lawannya adalah monster yang menguasai segalanya."Nama Aisyah disebut-sebut dengan penuh kasih dan simpati, seakan-akan dia adalah simbol perjuangan yang terlupakan namu
Aisyah terbangun dari tidur siangnya dengan hati yang gelisah. Udara dalam kamar terasa berat, seolah sesak oleh rahasia dan ketakutan yang tak terlihat. Tangannya terjulur meraih ponsel di meja samping tempat tidur. Dengan jantung yang berdetak cepat, ia membuka layar dan langsung menelusuri beranda media sosial yang dipenuhi berita dan komentar panas tentang Sulistyo.Berita utama yang terpampang di layar membuat matanya melebar. “Tragedi Berdarah: Dua Mahasiswa Gugur di Tangan Presiden Sulistyo.” Setiap kata terasa seperti pukulan keras yang menghantam dadanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosi yang berkecamuk, meski jauh di lubuk hati, ia sudah tahu bahwa hal seperti ini akan terjadi.Komentar-komentar dari netizen mengalir deras seperti arus sungai yang tak terbendung, penuh dengan kemarahan dan ketakutan:“Sulistyo benar-benar mengerikan! Dia membunuh dua orang mahasiswa!”“Apa dia sungguh manusia? Dia lebih seperti monste
Meja makan di aula megah itu dipenuhi makanan mewah, setiap piring tersaji dengan detail sempurna. Para pelayan bergerak seperti bayangan, menyajikan hidangan dengan penuh kehormatan. Di sekitar mereka, pejabat tinggi dan orang-orang berpengaruh bercakap-cakap, membicarakan nasib rakyat yang bagi mereka hanyalah angka-angka di atas kertas.Aisyah duduk dengan tenang di sisi Sulistyo, matanya memandang lurus ke depan, tapi pikirannya melayang jauh dari hiruk-pikuk. Orang-orang berlalu-lalang, wajah-wajah yang penuh tipu daya dan senyum palsu yang memuja kekuasaan. Sesekali ia menangkap mata yang menatapnya dengan iri, wajah-wajah wanita yang ingin berada di posisinya. Mereka tidak tahu. Mereka hanya melihat kemewahan dan kemuliaan, bukan rantai tak terlihat yang membelenggu jiwa.Sulistyo menoleh, menatap Aisyah dengan senyum yang tampak hangat, meski ada sesuatu yang dingin dan menguasai di balik matanya. Tangannya terulur, menyibakkan rambut Aisyah dengan lembut,
Sulistyo berdiri di tengah tempat yang dipenuhi teriakan dan jeritan mahasiswa. Tangannya terangkat perlahan, dan dari telapak tangannya, asap hitam mulai merayap keluar, bergerak dengan kehendak yang menyerupai makhluk hidup. Asap itu menyelubungi pintu-pintu dan jendela, menutup semua jalur keluar. Suasana yang sudah mencekam berubah menjadi horor murni."Cepat keluar!" teriaknya, suaranya bergema seperti guruh di langit malam. Mata gelapnya bersinar penuh kebencian. "Jangan membuatku berubah pikiran!"Dengan satu gerakan tegas, asap hitam itu surut, membuka jalan bagi para mahasiswa yang sudah pucat pasi. Mereka berlarian, berhamburan keluar seperti kawanan domba yang diterkam serigala. Tangisan dan teriakan ketakutan mereka menggema, menyayat udara malam yang dingin. Beberapa jatuh tersungkur, sementara yang lain mendorong tanpa ampun demi menyelamatkan nyawa sendiri.Di luar, kamera-kamera televisi tetap menyala, menangkap setiap momen dengan sempurna
Setelah prosesi pelantikan Sulistyo sebagai presiden dan Prasetya sebagai wakil presiden usai, gemuruh tepuk tangan memenuhi istana. Suara riuh itu memantul di dinding-dinding megah, membentuk simfoni kepalsuan yang memekakkan telinga. Para pejabat, tamu undangan, dan tokoh-tokoh penting berdiri dengan senyum penuh sanjungan, meski sebagian besar dari mereka menelan ketakutan yang tak mampu disembunyikan di balik topeng mereka.Di luar gerbang istana, barisan mahasiswa yang dulunya berdiri tegak dengan semangat perjuangan kini tertunduk lesu. Mata mereka kosong, menyimpan trauma dari kekejaman yang baru saja mereka saksikan. Dua dari mereka telah tergeletak tak bernyawa—korban terbaru dari tangan besi Sulistyo, presiden yang kini memegang kendali penuh atas kehidupan mereka. Suara perlawanan yang dulu membakar, kini sirna. Yang tersisa hanya rasa takut yang menggerogoti jiwa.Sulistyo menatap mereka. Senyum puas terpampang di wajahnya, sebuah senyuman yang lebih me