Share

Bab 26

Penulis: Sylus wife
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-06 22:35:05

Selama berjam-jam, Aisyah terkurung di dalam kamarnya. Pintu itu jarang sekali terbuka, kecuali ketika para pelayan bergantian masuk untuk mengantarkan makanan. Suasana di dalam kamar terasa seperti penjara, dan Aisyah seperti seorang putri yang ditawan oleh tangan-tangan jahat.

“Bosan! Berapa lama lagi aku harus terus seperti ini? Huwaa!” Aisyah berteriak frustasi, kedua tangannya mencengkeram rambutnya sendiri. Dia menariknya dengan kasar, seolah rasa sakit itu bisa melawan kehampaan yang mencekik dadanya.

Pintu tiba-tiba terbuka, membangunkan keheningan kamar yang kelam. Sulistyo melangkah masuk dengan wajah penuh amarah. “Aisyah! Lepaskan tanganmu dari rambutmu sekarang juga!” titahnya, suaranya penuh perintah yang tak terbantahkan.

Aisyah mendongak, tersenyum miring penuh perlawanan. Tangannya justru semakin kuat menarik helai-helai rambutnya. “Kenapa? Kau takut rambutku rontok dan mengotori kamar ini?” tanyanya sarkastis, sengaja membiarkan beberapa helai rambut jatuh ke lantai.
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 27

    Sulistyo memasuki kamar lain di dekat kamar Aisyah, ruangan yang jauh lebih besar namun terasa hampa. Langkahnya terdengar berat saat mendekati lemari pakaian. Ia membuka pintu lemari dengan kasar, mengambil kemeja lain dan memakainya dengan gerakan cepat, seolah ingin melupakan sesuatu.Tiba-tiba, suara ponsel yang berdering memecah keheningan. Di layar, nama yang muncul adalah Jatmiko, ayahnya. Sulistyo segera menjawab panggilan itu, menempelkan ponsel ke telinganya dengan cepat."Ada apa, Ayah?" tanyanya singkat, suaranya terdengar datar, nyaris tanpa emosi.Di ujung sana, suara Jatmiko terdengar tajam dan dingin. "Sulistyo, bagaimana keadaan di sana?""Semuanya aman, Ayah," jawab Sulistyo singkat. Ia terdiam sejenak, lalu menambahkan, "Semua media sudah diam. Tidak ada yang berani memberitakan apapun tentang kita.""Bagaimana dengan si gadis pembuat masalah itu?" Jatmiko bertanya dengan nada mengintimidasi, seperti seorang komandan yang meminta laporan dari bawahannya.Sulistyo me

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 28

    Malam semakin larut, suasana semakin sunyi. Hanya ada suara nyanyian jangkrik yang menemani detik-detik jam yang terdengar seperti dentuman keras di tengah keheningan. Udara dingin menyelimuti kamar itu, membuat setiap napas terasa berat dan menusuk.Sulistyo, yang awalnya hanya berniat menjaga Aisyah dari kejauhan, kini tertidur di sisi ranjang. Tubuhnya bersandar pada kepala ranjang, dengan tangan yang tanpa sadar menyentuh kepala Aisyah. Sementara itu, Aisyah berbaring di pangkuannya, tubuhnya yang mungil tenggelam dalam kehangatan yang selama ini hanya ia kenal sebagai ancaman.Fajar mulai menyingsing, cahaya lembut perlahan menyelinap masuk melalui celah tirai. Kokok ayam dari kejauhan membangunkan Aisyah dari tidurnya. Kelopak matanya yang bengkak perlahan terbuka, dan pandangannya buram oleh sisa-sisa air mata yang belum sepenuhnya kering.Namun, sesuatu yang hangat di atas kepalanya membuatnya terjaga sepenuhnya. Ia mendongak, mendapati sebuah tangan besar tergeletak di sana—t

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 29

    Sulistyo akhirnya tiba di Suryaloka, kota yang masih memancarkan keindahan alam dan tradisi Javanagara yang kental. Jalan-jalannya dihiasi pohon rindang, udara segar menyapu wajahnya—kontras sekali dengan hiruk-pikuk modernitas Jayakarta, pusat pemerintahan dan industri Dwipantara. Sulistyo menatap pemandangan itu sesaat, merasakan ketenangan yang jarang ia temui di ibu kota.Di gerbang utama, Suryanto, gubernur Suryaloka, telah menunggunya. Pria paruh baya itu tersenyum ramah, menyambut tamu agungnya dengan penuh hormat."Pak Sulistyo... Sebuah kehormatan bagi kami menerima kunjungan langsung seorang wakil presiden," ucap Suryanto, menjulurkan tangannya.Sulistyo membalas senyuman itu, menjabat tangan Suryanto dengan hangat. "Sebaliknya, ini juga suatu kehormatan bagi saya bisa berada di sini dan melihat langsung kemajuan kota ini."Namun, percakapan formal itu segera berakhir. Ekspresi Sulistyo berubah serius. "Jadi, bagaimana perkembangan hilirisasi di Suryaloka? Saya ingin mendeng

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 30

    Di tengah hamparan sawah yang luas, seorang gadis muda yang sedang menanam padi tak sengaja melihat sosok pria berjas berdiri memerhatikan mereka dari kejauhan. Matanya membelalak ketika mengenali pria itu, dan dengan suara lantang, ia berteriak, "Semua! Lihat! Itu Pak Wakil Presiden! Pak Wakil Presiden ada di sini!"Kegaduhan langsung pecah di antara para petani."Mana? Mana?""Oh, itu dia! Benar, itu Pak Wakil Presiden!""Pak Wakil Presiden!""Terima kasih banyak atas programnya! Berkat Bapak Presiden dan Wakil Presiden, kami tidak menganggur lagi!"Seperti air bah, para petani meninggalkan pekerjaan mereka dan berbondong-bondong berlari ke arah Sulistyo. Langkah kaki mereka menghentak tanah sawah yang basah, menyisakan jejak lumpur di setiap tempat mereka berpijak."Eh? Ja—jangan berkerumun seperti itu! A—aduh!" seru Citra panik, matanya melirik ke kanan dan kiri mencari keberadaan paspampres Sulistyo. Namun, pria itu tampak tenang, mengangkat tangannya ke arah Citra, memberi isyar

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 31

    Aisyah duduk di sudut kamar, matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan siaran langsung Sulistyo. Wajahnya yang biasanya dingin tampak sedikit berubah saat ia melihat momen di mana suaminya, Wakil Presiden, menopang tubuh Citra agar tidak terjatuh. Jika kebanyakan istri akan marah atau cemburu melihat hal itu, reaksi Aisyah justru sebaliknya."Hore! Tidak ada Sulistyo!" serunya sambil melompat dari tempat duduknya, seolah anak kecil yang baru mendapat hadiah besar. Senyum lebar terukir di wajahnya. "Sepertinya ini kesempatan untuk kabur!"Kegembiraannya terhenti sejenak ketika pintu kamar terbuka. Mila, pelayan setia yang sudah seperti teman, muncul sambil membawa nampan berisi makanan. "Nona, ini makan siangnya," ujar Mila dengan lembut, meletakkan nampan di atas meja dekat tempat tidur."Mila!" Aisyah langsung berlari ke arahnya, tanpa ragu memeluk perempuan itu erat-erat. Mila, yang tidak siap dengan reaksi tiba-tiba itu, terdiam, wajahnya men

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 32

    "Kakak Mahendra..." Aisyah merengek pelan, suaranya hampir seperti bisikan, namun cukup jelas untuk terdengar di antara langkah-langkah mereka yang bergema di lorong. Ia menggantungkan diri pada lengannya, memohon belas kasihan. "Jangan merengek seperti anak kecil. Kau sudah besar," jawab Mahendra ketus, tanpa menoleh sedikit pun. Namun, nada suaranya yang tegas tidak cukup untuk menyembunyikan rasa lelahnya menghadapi tingkah Aisyah. Aisyah memajukan bibirnya, menahan kesal. "Kalau aku sudah besar, kenapa masih dikurung di kamar seperti anak kecil yang melakukan kesalahan berat? Aku bosan di kamar terus, Kak! Tidak ada udara, tidak ada kebebasan..." Suaranya meninggi, seolah-olah mengumpulkan energi terakhir untuk meraih simpati. Mahendra berhenti melangkah. Ia menghela napas panjang, jelas mulai luluh oleh rengekan Aisyah. Ia menatap wanita yang sedang memandang penuh harap. "Kau mau kemana?" tanyanya akhirnya, menyerah pada rasa penasaran. "Perpustakaan!" jawab Aisyah tanpa

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 33

    Panas terik membakar sawah yang luas, menyengat kulit para petani, Sulistyo, dan Citra yang sedang giat bercocok tanam. Keringat mengucur deras dari wajah mereka. Wajah Citra memerah, kakinya bergetar, tubuhnya hampir menyerah karena tidak terbiasa dengan pekerjaan berat seperti ini."Kalau tidak kuat, berhenti saja! Untuk apa memaksakan diri?" bisik Sulistyo pelan di dekatnya, nadanya tajam namun tidak terlalu keras.Citra mengangkat wajahnya yang basah oleh keringat, matanya penuh tekad. "Tidak! Kalau Wakil Presiden saja bisa melakukan ini, aku juga bisa!" jawabnya mantap meskipun suaranya sedikit gemetar.Sulistyo hanya mendengus pelan, tidak ingin memperdebatkan semangat aneh gadis itu.Tak lama kemudian, suara seorang petani tua memecah kesibukan mereka. "Semuanya, sudah terdengar adzan. Sebaiknya kita berhenti sebentar untuk beribadah, setelah itu beristirahat.""Baik, Pak!" sahut para petani lainnya dengan serempak, meletakkan alat

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 34

    Setelah semua selesai mandi dan menunaikan ibadah, para petani berkumpul di dekat panci besar yang menggantung di atas api unggun. Aroma rempah mulai memenuhi udara, menandakan makanan tengah disiapkan. Namun, pemandangan yang tersaji membuat Citra tidak nyaman.Semua petani wanita, termasuk dirinya, sibuk memasak dengan tangan yang sudah kelelahan akibat mencangkul sepanjang pagi. Sementara itu, para petani pria, termasuk Sulistyo, duduk santai di saung, menikmati semilir angin tanpa sedikit pun terlihat berniat membantu.Citra menggigit bibirnya, menahan amarah. "Apa mereka tidak lelah? Panas-panasan di sawah, sekarang harus memasak juga? Kalau mereka tidak mau membantu, biarkan saja kelaparan!" pikirnya geram, namun ia tak berani mengutarakannya.Dari arah saung, seorang petani pria muda yang tampak gagah malah berseru lantang. "Masak yang enak, ya! Kalau tidak enak, awas kalian!" katanya sambil terkekeh.Citra menatapnya dengan tatapan menusuk

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10

Bab terbaru

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 150

    Sulistyo melangkah masuk ke kamar dengan wajah penuh percaya diri. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Aisyah duduk meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya tersembunyi di balik bantal yang ia tekan erat-erat ke kepalanya, seolah mencoba memblokir sesuatu yang tak terlihat. Sesekali, isakan kecil terdengar dari balik bantal itu.Matanya menyipit, bingung dan sedikit terganggu. Dalam hitungan detik, dia berlari menghampiri Aisyah, lututnya berlutut di samping ranjang. Dengan lembut, tangannya menarik bantal dari wajah istrinya. "Ada apa, sayang? Kenapa menangis?"Wajah Aisyah basah oleh air mata, matanya sembab dan penuh ketakutan. Suaranya bergetar saat ia berbicara. "Dari tadi… Aku terus mendengar suara tembakan dan teriakan orang-orang." Ia menggigit bibir bawahnya, suaranya semakin lirih. "Aku tidak berani melihat ke jendela. Apa yang terjadi di luar sana?"Sulistyo terdiam sejenak, menyusun kata-kata dalam pikirannya. Kemudian

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 149

    Sulistyo berdiri angkuh di atas balkon istana negara, tubuhnya dibalut setelan formal yang memancarkan kekuasaan. Matanya menatap ke bawah dengan pandangan tajam penuh kepuasan, seolah dunia ini adalah panggung kecil yang ia kendalikan sepenuhnya. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu mengusir kehangatan memabukkan dari rasa kemenangan yang memenuhi dirinya."Damai sekali…" gumamnya pelan, tapi penuh arogansi. Sebuah senyum licik mengembang di wajahnya. "Memang tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan uang."Ia berbalik, langkahnya perlahan namun penuh wibawa. Namun, saat punggungnya baru saja meninggalkan pandangan dari balkon, suara kerumunan mulai terdengar dari kejauhan. Raungan protes yang membakar udara malam bergema seperti guntur. Sulistyo berhenti di tengah langkah, mendengarkan dengan tenang, lalu kembali ke tepi balkon, kali ini dengan alis sedikit mengernyit.Di bawah sana, gelombang manusia mulai berkumpul di gerbang i

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 148

    Malam itu, suasana di rumah Anisa sangat sunyi. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan tirai jendela di ruang tamu tempat ia duduk sendiri, hanya ditemani oleh cahaya televisi yang menampilkan berita nasional. Adik-adiknya sudah terlelap di ranjang, tubuh kecil mereka bersandar dengan damai, tidak menyadari betapa resah hati kakak mereka.Anisa memeluk lututnya, matanya menatap layar televisi dengan raut penuh kebencian yang ia coba tahan agar tidak meledak. Lagi-lagi, layar kaca itu dipenuhi dengan berita selebriti yang sama sekali tidak penting. Perdebatan soal drama percintaan artis yang dipoles sedemikian rupa memenuhi setiap segmen, menggantikan pemberitaan luar negeri yang sebelumnya sempat membahas kebobrokan sistem pemerintahan di Dwipantara.Pemberitaan itu hanya bertahan sejenak, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat menyentuh tanah. Anisa tahu alasannya. "Tch! Pasti televisi sudah disogok pemerintah lagi!" gumamnya dengan suara pelan, meluapk

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 147

    Keesokan harinya, layar-layar televisi di seluruh penjuru negeri dipenuhi berita yang sama: "GDP Dwipantara Mengalami Penurunan Tajam, Negara Terancam Krisis Ekonomi." Gambar-gambar grafik ekonomi yang menukik tajam ke bawah terpampang jelas, diselingi laporan dari para analis ekonomi lokal dan internasional."Rendahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan pajak yang melambung tinggi telah melumpuhkan perekonomian nasional," ucap salah satu pembawa berita dengan nada serius. "UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kini bertumbangan satu per satu, tak mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi."Rekaman jalanan yang sepi dari aktivitas jual beli ditampilkan, diikuti visual mall-mall besar yang kosong melompong, dengan hanya segelintir orang yang terlihat berjalan cepat, sekadar untuk membeli kebutuhan pokok."Masyarakat Dwipantara kini bekerja tanpa henti, bagaikan kuda, hanya untuk mengisi perut mereka sendiri," lanjut pembawa berita, suaranya pen

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 146

    Aisyah berbaring di ranjang dengan tubuh yang terasa seolah terkunci. Di sebelahnya, Sulistyo bersandar santai, dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Cahaya dari televisi menerangi kamar yang megah namun terasa sesak bagi Aisyah. Film romantis yang sedang diputar menambah ironi dalam hatinya, karena adegan-adegan penuh cinta itu jauh dari apa yang ia rasakan sekarang."Aku kurang suka film romantis," ucap Aisyah akhirnya, mencoba terdengar selembut mungkin agar tidak memicu amarah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya di lengan Sulistyo, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Boleh ganti dengan film action atau thriller?" nada manjanya terasa aneh di telinganya sendiri, tetapi ia harus terus memainkan peran ini.Sulistyo menoleh ke arahnya, matanya yang tajam memerhatikan Aisyah seolah sedang membaca pikirannya. Ia terdiam beberapa detik, membuat suasana di antara mereka menjadi tegang. "Tapi, film seperti itu temanya berat," katanya akhirnya, suaranya rendah namun

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 145

    Aisyah duduk di atas ranjangnya yang dingin, memegangi kepala dengan kedua tangannya. Napasnya berat, penuh rasa frustrasi yang sulit ia tahan. Matanya berkaca-kaca saat kata-kata itu akhirnya keluar dari bibirnya dalam bisikan getir. "Bagaimana ini? Aku sudah hamil… Aku benar-benar mengandung anak dari tirani itu."Dengan gemetar, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang, kedua tangannya perlahan bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Sentuhan itu terasa asing, seperti menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang sekaligus membangkitkan cinta sekaligus kebencian. "Aku harus melahirkannya," gumamnya pelan. "Harus tetap melahirkannya, meskipun kemungkinan besar dia akan mewarisi tahta ayahnya sebagai presiden KKN."Aisyah mendongak, menatap kosong ke langit-langit kamar. "Tapi aku berjanji… sebagai ibunya, aku akan mendidiknya dengan benar. Kalau bisa… aku akan membuatnya menjadi senjata untuk melawan ayahnya sendiri." Matanya menyipit, penuh tekad. Ia menga

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 144

    Sulistyo duduk di tepi ranjang, menatap perut Aisyah yang mulai membesar. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap perut itu seolah mencari kehangatan dari kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Jika sudah lahir, ingin diberi nama apa bayi kita?" tanyanya dengan suara yang terdengar tenang, namun mata tajamnya tetap memancarkan dominasi.Aisyah menoleh pelan, menatapnya dengan mata yang lelah. Air mukanya penuh kebingungan dan ketidakpastian. "Entahlah…" jawabnya, suaranya hampir seperti bisikan.Sulistyo tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur di balik sikap Aisyah yang bingung. "Bagaimana dengan nama seperti Kusumo?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kebanggaan.Namun, Aisyah hanya menggeleng pelan. "Kita belum tahu yang lahir adalah anak perempuan atau anak laki-laki."Sejenak, suasana menjadi sunyi. Wajah Sulistyo yang sebelumnya terlihat tenang tiba-tiba menggelap. Matanya menyipit, dan rahangnya mengeras saat dia men

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 143

    Sulistyo memandang Aisyah dengan cemas saat ia menggenggam tubuh istrinya yang terasa lemah di pelukannya. Dalam diam, ia membawa Aisyah menuju kamar mereka. Langkahnya mantap, namun di balik ekspresi dingin yang biasa terpancar, ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Setelah membuka pintu kamar, Sulistyo membaringkan Aisyah di atas ranjang dengan hati-hati, seperti memegang barang paling rapuh di dunia. Pandangannya tidak lepas dari wajah Aisyah yang terlihat pucat, namun tetap memancarkan kelembutan. "Aisyah, apa kau baik-baik saja? Kau tidak merasa sakit hati dengan ucapan ibu kan?"Aisyah, yang tubuhnya masih terasa lelah, hanya menggeleng pelan. Suaranya terdengar kecil, nyaris berbisik. "Tidak masalah, aku sudah biasa."Namun bagi Sulistyo, jawaban itu justru menambah perih di hatinya. Wajahnya mengeras, tetapi jemarinya tetap lembut saat menggenggam tangan Aisyah. "Jangan terlalu dipikirkan!" katanya dengan nada tegas, nyaris seperti perintah. "Ka

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 142

    Dua minggu berlalu sejak peristiwa terakhir, dan kini Aisyah duduk diam di atas ranjang, tangannya gemetar memegang test pack kecil di tangannya. Dua garis merah mencolok tertera di sana, menandakan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Kehamilan.Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang, meski ia tak tahu apakah air mata itu lahir dari rasa senang, takut, atau bahkan keputusasaan. Ada kebahagiaan kecil yang menyelinap di sudut hatinya—setidaknya, Sulistyo tidak akan memaksanya lagi untuk segera hamil. Tapi di saat yang sama, ia merasa belenggu di hidupnya kini bertambah erat. Dengan kehamilan ini, kebebasan yang nyaris tak ada sebelumnya kini hilang sepenuhnya.Aisyah cepat-cepat menyembunyikan test pack itu di bawah bantal ketika mendengar langkah kaki mendekat dari luar kamar. Suara langkah itu, meski terdengar tenang, selalu membawa ketegangan di hatinya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sulistyo yang tersenyum lebar sambil me

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status