Sulistyo memasuki kamar lain di dekat kamar Aisyah, ruangan yang jauh lebih besar namun terasa hampa. Langkahnya terdengar berat saat mendekati lemari pakaian. Ia membuka pintu lemari dengan kasar, mengambil kemeja lain dan memakainya dengan gerakan cepat, seolah ingin melupakan sesuatu.Tiba-tiba, suara ponsel yang berdering memecah keheningan. Di layar, nama yang muncul adalah Jatmiko, ayahnya. Sulistyo segera menjawab panggilan itu, menempelkan ponsel ke telinganya dengan cepat."Ada apa, Ayah?" tanyanya singkat, suaranya terdengar datar, nyaris tanpa emosi.Di ujung sana, suara Jatmiko terdengar tajam dan dingin. "Sulistyo, bagaimana keadaan di sana?""Semuanya aman, Ayah," jawab Sulistyo singkat. Ia terdiam sejenak, lalu menambahkan, "Semua media sudah diam. Tidak ada yang berani memberitakan apapun tentang kita.""Bagaimana dengan si gadis pembuat masalah itu?" Jatmiko bertanya dengan nada mengintimidasi, seperti seorang komandan yang meminta laporan dari bawahannya.Sulistyo me
Malam semakin larut, suasana semakin sunyi. Hanya ada suara nyanyian jangkrik yang menemani detik-detik jam yang terdengar seperti dentuman keras di tengah keheningan. Udara dingin menyelimuti kamar itu, membuat setiap napas terasa berat dan menusuk.Sulistyo, yang awalnya hanya berniat menjaga Aisyah dari kejauhan, kini tertidur di sisi ranjang. Tubuhnya bersandar pada kepala ranjang, dengan tangan yang tanpa sadar menyentuh kepala Aisyah. Sementara itu, Aisyah berbaring di pangkuannya, tubuhnya yang mungil tenggelam dalam kehangatan yang selama ini hanya ia kenal sebagai ancaman.Fajar mulai menyingsing, cahaya lembut perlahan menyelinap masuk melalui celah tirai. Kokok ayam dari kejauhan membangunkan Aisyah dari tidurnya. Kelopak matanya yang bengkak perlahan terbuka, dan pandangannya buram oleh sisa-sisa air mata yang belum sepenuhnya kering.Namun, sesuatu yang hangat di atas kepalanya membuatnya terjaga sepenuhnya. Ia mendongak, mendapati sebuah tangan besar tergeletak di sana—t
Sulistyo akhirnya tiba di Suryaloka, kota yang masih memancarkan keindahan alam dan tradisi Javanagara yang kental. Jalan-jalannya dihiasi pohon rindang, udara segar menyapu wajahnya—kontras sekali dengan hiruk-pikuk modernitas Jayakarta, pusat pemerintahan dan industri Dwipantara. Sulistyo menatap pemandangan itu sesaat, merasakan ketenangan yang jarang ia temui di ibu kota.Di gerbang utama, Suryanto, gubernur Suryaloka, telah menunggunya. Pria paruh baya itu tersenyum ramah, menyambut tamu agungnya dengan penuh hormat."Pak Sulistyo... Sebuah kehormatan bagi kami menerima kunjungan langsung seorang wakil presiden," ucap Suryanto, menjulurkan tangannya.Sulistyo membalas senyuman itu, menjabat tangan Suryanto dengan hangat. "Sebaliknya, ini juga suatu kehormatan bagi saya bisa berada di sini dan melihat langsung kemajuan kota ini."Namun, percakapan formal itu segera berakhir. Ekspresi Sulistyo berubah serius. "Jadi, bagaimana perkembangan hilirisasi di Suryaloka? Saya ingin mendeng
Di tengah hamparan sawah yang luas, seorang gadis muda yang sedang menanam padi tak sengaja melihat sosok pria berjas berdiri memerhatikan mereka dari kejauhan. Matanya membelalak ketika mengenali pria itu, dan dengan suara lantang, ia berteriak, "Semua! Lihat! Itu Pak Wakil Presiden! Pak Wakil Presiden ada di sini!"Kegaduhan langsung pecah di antara para petani."Mana? Mana?""Oh, itu dia! Benar, itu Pak Wakil Presiden!""Pak Wakil Presiden!""Terima kasih banyak atas programnya! Berkat Bapak Presiden dan Wakil Presiden, kami tidak menganggur lagi!"Seperti air bah, para petani meninggalkan pekerjaan mereka dan berbondong-bondong berlari ke arah Sulistyo. Langkah kaki mereka menghentak tanah sawah yang basah, menyisakan jejak lumpur di setiap tempat mereka berpijak."Eh? Ja—jangan berkerumun seperti itu! A—aduh!" seru Citra panik, matanya melirik ke kanan dan kiri mencari keberadaan paspampres Sulistyo. Namun, pria itu tampak tenang, mengangkat tangannya ke arah Citra, memberi isyar
Aisyah duduk di sudut kamar, matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan siaran langsung Sulistyo. Wajahnya yang biasanya dingin tampak sedikit berubah saat ia melihat momen di mana suaminya, Wakil Presiden, menopang tubuh Citra agar tidak terjatuh. Jika kebanyakan istri akan marah atau cemburu melihat hal itu, reaksi Aisyah justru sebaliknya."Hore! Tidak ada Sulistyo!" serunya sambil melompat dari tempat duduknya, seolah anak kecil yang baru mendapat hadiah besar. Senyum lebar terukir di wajahnya. "Sepertinya ini kesempatan untuk kabur!"Kegembiraannya terhenti sejenak ketika pintu kamar terbuka. Mila, pelayan setia yang sudah seperti teman, muncul sambil membawa nampan berisi makanan. "Nona, ini makan siangnya," ujar Mila dengan lembut, meletakkan nampan di atas meja dekat tempat tidur."Mila!" Aisyah langsung berlari ke arahnya, tanpa ragu memeluk perempuan itu erat-erat. Mila, yang tidak siap dengan reaksi tiba-tiba itu, terdiam, wajahnya men
"Kakak Mahendra..." Aisyah merengek pelan, suaranya hampir seperti bisikan, namun cukup jelas untuk terdengar di antara langkah-langkah mereka yang bergema di lorong. Ia menggantungkan diri pada lengannya, memohon belas kasihan. "Jangan merengek seperti anak kecil. Kau sudah besar," jawab Mahendra ketus, tanpa menoleh sedikit pun. Namun, nada suaranya yang tegas tidak cukup untuk menyembunyikan rasa lelahnya menghadapi tingkah Aisyah. Aisyah memajukan bibirnya, menahan kesal. "Kalau aku sudah besar, kenapa masih dikurung di kamar seperti anak kecil yang melakukan kesalahan berat? Aku bosan di kamar terus, Kak! Tidak ada udara, tidak ada kebebasan..." Suaranya meninggi, seolah-olah mengumpulkan energi terakhir untuk meraih simpati. Mahendra berhenti melangkah. Ia menghela napas panjang, jelas mulai luluh oleh rengekan Aisyah. Ia menatap wanita yang sedang memandang penuh harap. "Kau mau kemana?" tanyanya akhirnya, menyerah pada rasa penasaran. "Perpustakaan!" jawab Aisyah tanpa
Panas terik membakar sawah yang luas, menyengat kulit para petani, Sulistyo, dan Citra yang sedang giat bercocok tanam. Keringat mengucur deras dari wajah mereka. Wajah Citra memerah, kakinya bergetar, tubuhnya hampir menyerah karena tidak terbiasa dengan pekerjaan berat seperti ini."Kalau tidak kuat, berhenti saja! Untuk apa memaksakan diri?" bisik Sulistyo pelan di dekatnya, nadanya tajam namun tidak terlalu keras.Citra mengangkat wajahnya yang basah oleh keringat, matanya penuh tekad. "Tidak! Kalau Wakil Presiden saja bisa melakukan ini, aku juga bisa!" jawabnya mantap meskipun suaranya sedikit gemetar.Sulistyo hanya mendengus pelan, tidak ingin memperdebatkan semangat aneh gadis itu.Tak lama kemudian, suara seorang petani tua memecah kesibukan mereka. "Semuanya, sudah terdengar adzan. Sebaiknya kita berhenti sebentar untuk beribadah, setelah itu beristirahat.""Baik, Pak!" sahut para petani lainnya dengan serempak, meletakkan alat
Setelah semua selesai mandi dan menunaikan ibadah, para petani berkumpul di dekat panci besar yang menggantung di atas api unggun. Aroma rempah mulai memenuhi udara, menandakan makanan tengah disiapkan. Namun, pemandangan yang tersaji membuat Citra tidak nyaman.Semua petani wanita, termasuk dirinya, sibuk memasak dengan tangan yang sudah kelelahan akibat mencangkul sepanjang pagi. Sementara itu, para petani pria, termasuk Sulistyo, duduk santai di saung, menikmati semilir angin tanpa sedikit pun terlihat berniat membantu.Citra menggigit bibirnya, menahan amarah. "Apa mereka tidak lelah? Panas-panasan di sawah, sekarang harus memasak juga? Kalau mereka tidak mau membantu, biarkan saja kelaparan!" pikirnya geram, namun ia tak berani mengutarakannya.Dari arah saung, seorang petani pria muda yang tampak gagah malah berseru lantang. "Masak yang enak, ya! Kalau tidak enak, awas kalian!" katanya sambil terkekeh.Citra menatapnya dengan tatapan menusuk
Hari semakin sore. Cahaya matahari yang hampir tenggelam memancarkan warna keemasan di ufuk barat. Suasana terasa hening di kantor gubernur saat Sulistyo menerima telepon dari ayahnya, Jatmiko. “Sulistyo, kau sudah bertemu dengan Gubernur Suryaloka?” Suara Jatmiko terdengar dingin dan tegas dari seberang. “Ajak gubernur ke rumah ayah untuk merundingkan rencana pernikahanmu dengan Citra.” Sulistyo menggenggam ponselnya erat, wajahnya tetap datar. “Baik, Ayah,” jawabnya singkat sebelum menutup telepon. Dengan langkah mantap, ia mendekati Suryanto yang masih berada di ruangan. “Pak Gubernur,” Sulistyo memulai dengan suara sopan namun formal, “Ayah saya, mantan presiden, mengundang Anda untuk datang ke rumahnya. Beliau ingin membahas rencana pernikahan saya dengan Citra.” Suryanto, meskipun terkejut, menyembunyikan reaksinya dengan senyuman tipis. “Baik, Anda berangkatlah lebih dulu. Saya akan datang ke sana bersama anak dan is
Sulistyo memicingkan mata, menatap ke arah Citra dengan tatapan penuh kebingungan. "Benarkah? Aisyah seperti itu?" tanyanya, seolah berusaha mencerna cerita yang baru saja didengarnya. Citra mengangguk mantap. “Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Dia menyelamatkanku dari tiga preman itu. Tidak ada yang lebih nyata dari itu.” Suaranya penuh keyakinan, namun matanya memancarkan emosi yang sulit dijelaskan—antara kagum, syukur, dan rasa tidak percaya atas keberanian Aisyah. Sulistyo mengusap dagunya, raut wajahnya menyiratkan bahwa dia sedang memikirkan sesuatu yang lebih dalam. Tanpa sadar, dia bergumam, “Apa ada sesuatu juga di makanan Aisyah waktu itu?” “Ya?” Citra menatapnya bingung. “Apa maksudmu?” Sulistyo tersentak dari lamunannya. “Ti-tidak. Tidak ada apa-apa,” katanya cepat, berusaha mengalihkan perhatian. Dia kemudian berjalan kembali ke sawah, bergabung dengan para petani yang sibuk mencangkul. Namun, gerak-ge
Saat upacara kemerdekaan beberapa bulan lalu, istana negara dipadati oleh lautan manusia. Para pejabat dari berbagai daerah hadir, termasuk gubernur Suryaloka bersama keluarganya.Citra, yang baru pertama kali ikut dalam acara besar seperti ini, tampak kebingungan di tengah kerumunan. “Ugh… Ayah dan Ibu di mana ya?” gumamnya, matanya mencari-cari wajah yang dikenalnya seperti anak kecil tersesat.Langkahnya membawanya semakin jauh dari keramaian utama. Tanpa sadar, ia telah menyusuri jalanan sempit yang menuju perkampungan kumuh di pinggiran istana. Aroma tak sedap bercampur dengan kesunyian subuh menyergapnya. Citra mengernyitkan hidung, merasa tidak nyaman. “Tempat macam apa ini? Kenapa aku tiba-tiba di sini?”“Eh, halo… Gadis cantik! Main sama kami, yuk!” Sebuah suara kasar terdengar dari belakang. Citra menoleh dan mendapati tiga pria bertampang seram berdiri di sana.“Kalian siapa?” tanya Citra panik, melangkah mundur dengan gugup.“
Setelah makanan kedua tersaji, piring-piring kotor mulai menumpuk di sekeliling saung. Para pria, seperti biasa, hanya meninggalkan sisa-sisa makanan begitu saja, tanpa sedikit pun niat mencucinya. Mereka duduk bersandar, berbicara seenaknya."Ayo cepat makan! Setelah ini kita mencangkul lagi!" seru pria bertubuh kekar yang tampak paling menyebalkan di antara mereka. Nada suaranya penuh otoritas, meski jelas ia tidak melakukan banyak hal selain mengatur-atur.Citra mengepalkan tangannya erat-erat. Amarahnya mendidih, namun ia berusaha menahan diri. Ia tahu, satu tindakan kasar saja dapat merusak citra dirinya sebagai putri gubernur.Namun sebelum situasi semakin memanas, Sulistyo turun dari saung dengan langkah mantap. Ia mengambil alih suasana dengan suara beratnya yang penuh wibawa. "Baiklah... Pemuda sekalian, waktu adalah uang! Seluruh warga Dwipantara menunggu hasil pertanian kita! Biarkan para wanita makan dengan tenang, dan kita duluan saja melanjut
Setelah semua selesai mandi dan menunaikan ibadah, para petani berkumpul di dekat panci besar yang menggantung di atas api unggun. Aroma rempah mulai memenuhi udara, menandakan makanan tengah disiapkan. Namun, pemandangan yang tersaji membuat Citra tidak nyaman.Semua petani wanita, termasuk dirinya, sibuk memasak dengan tangan yang sudah kelelahan akibat mencangkul sepanjang pagi. Sementara itu, para petani pria, termasuk Sulistyo, duduk santai di saung, menikmati semilir angin tanpa sedikit pun terlihat berniat membantu.Citra menggigit bibirnya, menahan amarah. "Apa mereka tidak lelah? Panas-panasan di sawah, sekarang harus memasak juga? Kalau mereka tidak mau membantu, biarkan saja kelaparan!" pikirnya geram, namun ia tak berani mengutarakannya.Dari arah saung, seorang petani pria muda yang tampak gagah malah berseru lantang. "Masak yang enak, ya! Kalau tidak enak, awas kalian!" katanya sambil terkekeh.Citra menatapnya dengan tatapan menusuk
Panas terik membakar sawah yang luas, menyengat kulit para petani, Sulistyo, dan Citra yang sedang giat bercocok tanam. Keringat mengucur deras dari wajah mereka. Wajah Citra memerah, kakinya bergetar, tubuhnya hampir menyerah karena tidak terbiasa dengan pekerjaan berat seperti ini."Kalau tidak kuat, berhenti saja! Untuk apa memaksakan diri?" bisik Sulistyo pelan di dekatnya, nadanya tajam namun tidak terlalu keras.Citra mengangkat wajahnya yang basah oleh keringat, matanya penuh tekad. "Tidak! Kalau Wakil Presiden saja bisa melakukan ini, aku juga bisa!" jawabnya mantap meskipun suaranya sedikit gemetar.Sulistyo hanya mendengus pelan, tidak ingin memperdebatkan semangat aneh gadis itu.Tak lama kemudian, suara seorang petani tua memecah kesibukan mereka. "Semuanya, sudah terdengar adzan. Sebaiknya kita berhenti sebentar untuk beribadah, setelah itu beristirahat.""Baik, Pak!" sahut para petani lainnya dengan serempak, meletakkan alat
"Kakak Mahendra..." Aisyah merengek pelan, suaranya hampir seperti bisikan, namun cukup jelas untuk terdengar di antara langkah-langkah mereka yang bergema di lorong. Ia menggantungkan diri pada lengannya, memohon belas kasihan. "Jangan merengek seperti anak kecil. Kau sudah besar," jawab Mahendra ketus, tanpa menoleh sedikit pun. Namun, nada suaranya yang tegas tidak cukup untuk menyembunyikan rasa lelahnya menghadapi tingkah Aisyah. Aisyah memajukan bibirnya, menahan kesal. "Kalau aku sudah besar, kenapa masih dikurung di kamar seperti anak kecil yang melakukan kesalahan berat? Aku bosan di kamar terus, Kak! Tidak ada udara, tidak ada kebebasan..." Suaranya meninggi, seolah-olah mengumpulkan energi terakhir untuk meraih simpati. Mahendra berhenti melangkah. Ia menghela napas panjang, jelas mulai luluh oleh rengekan Aisyah. Ia menatap wanita yang sedang memandang penuh harap. "Kau mau kemana?" tanyanya akhirnya, menyerah pada rasa penasaran. "Perpustakaan!" jawab Aisyah tanpa
Aisyah duduk di sudut kamar, matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan siaran langsung Sulistyo. Wajahnya yang biasanya dingin tampak sedikit berubah saat ia melihat momen di mana suaminya, Wakil Presiden, menopang tubuh Citra agar tidak terjatuh. Jika kebanyakan istri akan marah atau cemburu melihat hal itu, reaksi Aisyah justru sebaliknya."Hore! Tidak ada Sulistyo!" serunya sambil melompat dari tempat duduknya, seolah anak kecil yang baru mendapat hadiah besar. Senyum lebar terukir di wajahnya. "Sepertinya ini kesempatan untuk kabur!"Kegembiraannya terhenti sejenak ketika pintu kamar terbuka. Mila, pelayan setia yang sudah seperti teman, muncul sambil membawa nampan berisi makanan. "Nona, ini makan siangnya," ujar Mila dengan lembut, meletakkan nampan di atas meja dekat tempat tidur."Mila!" Aisyah langsung berlari ke arahnya, tanpa ragu memeluk perempuan itu erat-erat. Mila, yang tidak siap dengan reaksi tiba-tiba itu, terdiam, wajahnya men
Di tengah hamparan sawah yang luas, seorang gadis muda yang sedang menanam padi tak sengaja melihat sosok pria berjas berdiri memerhatikan mereka dari kejauhan. Matanya membelalak ketika mengenali pria itu, dan dengan suara lantang, ia berteriak, "Semua! Lihat! Itu Pak Wakil Presiden! Pak Wakil Presiden ada di sini!"Kegaduhan langsung pecah di antara para petani."Mana? Mana?""Oh, itu dia! Benar, itu Pak Wakil Presiden!""Pak Wakil Presiden!""Terima kasih banyak atas programnya! Berkat Bapak Presiden dan Wakil Presiden, kami tidak menganggur lagi!"Seperti air bah, para petani meninggalkan pekerjaan mereka dan berbondong-bondong berlari ke arah Sulistyo. Langkah kaki mereka menghentak tanah sawah yang basah, menyisakan jejak lumpur di setiap tempat mereka berpijak."Eh? Ja—jangan berkerumun seperti itu! A—aduh!" seru Citra panik, matanya melirik ke kanan dan kiri mencari keberadaan paspampres Sulistyo. Namun, pria itu tampak tenang, mengangkat tangannya ke arah Citra, memberi isyar