Rayhan mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, melaju lincah di antara kendaraan-kendaraan besar yang merayap di jalan. Seolah sedang berpacu dengan waktu, dia menantang langit senja yang perlahan menggelap, matahari yang memancarkan warna oranye kemerahan mulai tenggelam di cakrawala. Angin malam semakin dingin, tapi Rayhan tak peduli. Ada sesuatu yang lebih mendesak daripada rasa lelah atau dingin yang menggigit kulitnya. Saat matahari akhirnya tenggelam sepenuhnya, motor Rayhan berhenti di depan istana megah. Ia menghela napas panjang, memastikan bahwa Aisyah telah sampai dengan selamat. Wanita itu turun dari motor dengan hati-hati, memegangi pipinya yang memar, mencoba menyembunyikan rasa sakit di balik senyuman tipis. “Terima kasih, Pak,” ucap Aisyah pelan. Suaranya hampir tenggelam dalam deru kendaraan yang lewat di kejauhan. Gerakan kecil pada bibirnya saja sudah cukup untuk membuat rasa sakit menjalar di kedua sisi wajahnya, mengingatkannya pada luka-luka bekas tampara
Malam telah menelan seluruh cahaya, meninggalkan langit pekat yang bertabur bintang jauh di atas istana. Di dapur, Aisyah sibuk membantu para koki mengaduk panci-panci besar, aroma rempah menguar ke segala penjuru. Sementara itu, Mila dan Misa berlarian ke sana kemari, membantu pelayan lainnya mengatur hidangan makan malam di meja panjang nan megah. Ketika semuanya siap, Aisyah menarik kursi di meja makan dan duduk tanpa ragu di samping Sulistyo. Tatapannya tenang, seolah tempat itu memang miliknya. Namun, keheningan tak bertahan lama. "Siapa yang menyuruh gadis rendahan sepertimu duduk di sampingku?" Suara dingin Sulistyo memecah suasana. Tatapannya tajam, aura gelap menguar dari tubuhnya, menciptakan atmosfer yang menyesakkan di sekelilingnya. Aisyah tak bergeming. Dengan tenang, ia menyendok daging dari mangkuk besar di meja dan menaruhnya di piringnya sendiri. "Tidak ada yang menyuruh," jawabnya datar. "Aku hanya ingin." Ia menoleh ke arah keluarga Citra yang duduk di seberan
Makanan mulai tersaji kembali di atas meja mewah dengan susunan yang begitu sempurna, seperti karya seni yang menggoda setiap indera. Aroma sedap memenuhi ruangan, membangkitkan selera meski keheningan tetap menggantung di udara, menciptakan suasana canggung yang terasa menekan. Jatmiko, dengan sikap tegas namun ramah, akhirnya memecah keheningan. "Selamat malam, keluarga gubernur Suryaloka sekalian... Saya, Jatmiko, sebagai kepala keluarga Nugroho, mempersilakan kalian menikmati hidangan yang telah disiapkan ini." Kata-kata itu menjadi sinyal bagi keluarga gubernur Suryaloka untuk mulai bergerak. Citra, bersama kedua orang tuanya, perlahan mengambil makanan ke piring masing-masing dengan gerakan anggun yang mencerminkan pendidikan dan status mereka. Dengan table manner yang sempurna, mereka mulai menikmati makanan, setiap potongan dilahap dengan penuh kesopanan. Namun, di tengah suasana yang mulai mencair, suara lembut namun penuh keraguan milik Citra memecah harmoni tersebut. "Um
Malam semakin larut, dingin malam menyelinap melalui celah-celah jendela, menusuk tulang siapa saja yang belum terlelap. Di dalam kamarnya yang temaram, Aisyah berbaring di atas ranjang empuk, selimut tebal membungkus tubuh mungilnya. Namun, matanya yang tajam belum juga terpejam. Di tangannya, sebuah foto tergenggam erat—foto dirinya dengan Li Shen, aktor tampan dari negara Zhonghua yang sempat beradu akting dengannya dua bulan lalu. Tatapan Aisyah penuh kekaguman, bukan hanya pada Li Shen, tetapi juga pada dirinya sendiri. Jemarinya beralih menyentuh layar ponsel, bergeser ke foto-foto lain. Di sana terpampang momen-momen kebersamaannya dengan artis-artis ternama dari berbagai negara, senyuman mereka yang memesona seolah hidup kembali melalui gambar. Tanpa sadar, bibir Aisyah melengkung, menyunggingkan senyuman kecil yang dipenuhi rasa bangga dan harapan. “Aku tidak sabar menunggu iklan LightGlow Cosmetics itu ditayangkan,” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. “Pasti luar biasa
Aisyah membuka pintu kamarnya perlahan. Cahaya matahari pagi menelusup masuk, menyinari langkah-langkahnya yang ragu. Belum sepenuhnya sadar akan kehadiran orang lain, ia mendongak dan mendapati Rayhan serta Mahendra berdiri di sana, seolah sudah menunggunya sejak lama. “Soal berita di media sosial itu—” Aisyah mencoba bicara, namun suaranya terhenti ketika Mahendra memotong dengan suara keras dan tajam. “Ini sudah keterlaluan!” Wajahnya tegang, amarahnya jelas terpancar. “Kita tidak bisa membiarkan ini terus terjadi!” “Nona, tenanglah,” sela Rayhan dengan nada lembut namun serius. “Saya sudah menceritakan semuanya kepada Tuan Mahendra. Kami berdua ada di pihak nona.” Mahendra mengepalkan tinjunya erat hingga buku-buku jarinya memutih, giginya mengatup rapat menahan marah. “Apa yang dipikirkan ayahku saat memutuskan berpasangan dengan orang seperti itu untuk pemilu?” “Agar menang,” jawab Aisyah dengan nada tenang, namun penuh ketegasan yang memotong suasana tegang itu seperti bil
Di sebuah ruangan mewah di istana negara, suasana tegang mengalir deras. Sebuah TV swasta menayangkan Aisyah yang sedang tampil di acara talk show, duduk berdampingan dengan pengawalnya, Rayhan. Sorotan kamera tertuju pada wajah mereka, sementara tatapan penuh selidik dari host acara, Gina, menyelimuti ruang studio. "Jadi, apa kalian membantah tuduhan perselingkuhan itu?" tanya Gina, nadanya penuh dengan rasa ingin tahu yang hampir menusuk. Rayhan, dengan postur tegas namun tenang, menjawab, "Tentu saja. Saya hanyalah paspampres yang ditugaskan untuk melindungi Nona Aisyah dan mengantarkannya ke mana pun dirinya pergi. Itu adalah tugas saya." Aisyah langsung menyambung, matanya menatap langsung ke kamera. Suaranya tegas, meski ada sedikit gemetar yang menambah kesan emosional pada ucapannya. "Apalagi aku! Coba pikirkan dengan logika sederhana. Apa hanya karena dibonceng seorang pria yang adalah pengawalku, itu dianggap selingkuh? Apa berbicara dengan atasan terkait pekerjaan sebaga
Gerbang utama istana negara dipenuhi lautan manusia. Ratusan, bahkan ribuan pendemo dari berbagai kalangan memadati jalan dengan poster-poster di tangan mereka. Suara mereka menggema, menciptakan gelombang protes yang menekan setiap orang di dalam istana. "Sulistyo, wakil presiden bermasalah!" "Minta maaf pada istrimu!" "Ayo! Ayo! Ganyang huhu-haha!" "Save Aisyah!" "Free! Free! Aisyah!" Sorak-sorai massa disertai teriakan penuh amarah menghentak, memaksa aparat keamanan untuk berjaga lebih ketat. Polisi dan paspampres membentuk barikade di depan gerbang, mencoba meredam kekacauan yang semakin menjadi. Di atas balkon istana, Sulistyo berdiri bersama keluarganya, ditemani keluarga Citra. Wajahnya merah padam, sorot matanya dipenuhi kemarahan. Dari tempatnya berdiri, Sulistyo dapat melihat spanduk besar bertuliskan: "Aisyah adalah korban!". Dadanya terasa sesak. "Argh! Gadis rendahan itu benar-benar membuat masalah besar!" teriak Sulistyo, meninju pagar balkon dengan frustrasi.
Sulistyo melangkah keluar dari ruang presiden dengan langkah gontai. Wajahnya pucat pasi, mata yang biasa menyiratkan ambisi kini tampak kehilangan semangat. Air mata nyaris tumpah dari pelupuknya, namun ia menahannya dengan susah payah. Ketika tiba di ruang keluarga, ia mendapati semua orang menatapnya dengan penuh kekhawatiran. Ratri, ibunya, langsung berdiri dan menghampirinya. "Nak, ada apa?" suara Ratri gemetar, matanya berkaca-kaca melihat keadaan putranya yang begitu lemah. Sulistyo tidak menjawab. Ia hanya menjatuhkan tubuhnya di sofa, menunduk dalam-dalam. Pandangannya kosong, seperti seseorang yang baru saja kehilangan seluruh dunianya. Prasetya, adiknya, ikut berjongkok di hadapan Sulistyo, mencoba menatap wajah kakaknya. "Kak, apa yang terjadi?" tanyanya pelan, namun hanya mendapatkan keheningan sebagai balasan. Di sudut ruangan, Jatmiko mengepalkan tangan dengan kuat. Wajahnya merah padam, rahangnya mengeras. Dengan langkah tegas, ia keluar ruangan, menuju kantor pre
Aisyah merasakan keringat dingin membasahi tengkuknya saat tangan Sulistyo terulur, meminta ponselnya. Dengan jari yang bergetar, ia menyerahkan benda kecil itu—bukan hanya sebuah alat komunikasi, tetapi benteng terakhir dari privasinya yang selama ini ia lindungi dengan susah payah.Sulistyo tidak sekadar mengambil ponsel itu. Ia merebutnya kasar, seolah benda tersebut adalah miliknya sejak awal. Suara gesekan antara tangan mereka menggema dalam pikiran Aisyah seperti suara rantai yang menyeret di lantai beton. Ia menahan napas ketika pria itu menyalakan layar, matanya menyusuri setiap pesan, setiap jejak digital yang mungkin menjadi bukti penghianatan dalam pikirannya yang penuh curiga.Setelah beberapa detik yang terasa seperti abad, Sulistyo mengangkat matanya dan kembali menatap Aisyah. Tatapan itu seperti pisau tumpul—datar, tanpa ampun, dan menyakitkan dengan caranya yang mengerikan. Ia menyerahkan ponsel itu kembali padanya, tapi dengan perintah yang dingin
Malam mulai merayap ketika Aisyah dan Sulistyo kembali ke istana negara setelah kunjungan panjang ke rumah sakit. Langit kelam membayangi bangunan megah itu, dan suara gemuruh jauh dari aksi demonstrasi yang terus berlangsung, terasa seperti ancaman yang tak pernah benar-benar pergi.Mereka melangkah masuk ke kamar utama. Sulistyo melempar jasnya ke kursi dan duduk di tepi ranjang, matanya menatap kosong ke depan, pikirannya seolah terperangkap dalam sesuatu yang tak terlihat. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan."Duduklah." Suaranya terdengar datar, namun perintah itu penuh kuasa, membuat Aisyah tanpa sadar menuruti dengan patuh. Ia duduk di samping suaminya, tangannya mengepal erat di atas pangkuannya, sementara perasaan tertekan membungkus tubuhnya seperti rantai yang tak terlihat.Sulistyo memutar tubuhnya sedikit, jemarinya yang besar dan dingin menyentuh kepala Aisyah, mengusapnya dengan sentuhan yang tampak lembut namun penuh pe
Pintu kamar terbuka perlahan, engselnya berderit seperti jeritan pelan yang menyeruak ke dalam keheningan. Sulistyo melangkah masuk dengan langkah tenang namun penuh kekuasaan, bayangannya yang panjang melintasi dinding seperti sosok kegelapan yang merayap mendekati mangsanya. Aisyah, yang sebelumnya tengah memegang ponselnya dengan tangan gemetar, dengan cepat menyembunyikan perangkat itu di bawah bantal dan membaringkan diri di ranjang. Matanya terpejam rapat, napasnya ditahan, seolah tidur adalah satu-satunya pelindung dari bencana yang berdiri di ambang pintu.Sulistyo mendekat, duduk di tepi ranjang, dan tangannya yang dingin terulur, mengusap rambut Aisyah dengan gerakan yang, di permukaan, tampak penuh kasih. Namun sentuhan itu bagaikan rantai besi yang melilit leher, menahan kebebasannya."Apa kau sudah memeriksanya?" Suaranya rendah, penuh tekanan yang terpendam. Setiap kata menembus jantung seperti pisau kecil yang perlahan menusuk. "Apa kau sudah hamil?"
Komentar-komentar di komunitas media sosial terus bergulir tanpa henti seperti arus sungai yang liar, semakin deras dan panas seiring dengan berlalunya siang. Aisyah terbaring diam di tempat tidur, cahaya ponsel memantul di wajahnya yang pucat. Jemarinya menggulir layar, matanya terpaku pada setiap kata yang muncul—setiap kalimat adalah ledakan kecil yang menghantam jiwanya, mengoyak rasa tenang yang berusaha ia pertahankan.“Tapi kau lihat sendiri apa yang terjadi pada orang-orang yang menentang Sulistyo, kan? Orang-orang sekelas Nursyid saja terancam bangkrut karena berani melawannya. Apalagi orang kecil seperti kita-kita ini?”Aisyah menelan ludah, telinganya seakan mendengar gema ketakutan yang diucapkan oleh pengguna anonim di layar.“Itu benar! Apa yang bisa kita lakukan? Lihat saja para pendemo kemarin! Dua orang mati, dan jika Sulistyo tidak berbelas kasihan, mungkin lebih banyak lagi yang akan tumbang!”“Berbelas kasihan?” pikir Aisyah de
Kolom komentar di media sosial yang selama ini menjadi arena bagi suara-suara terpendam kini dipenuhi gelombang kesedihan dan kemarahan. Ratusan pesan memenuhi layar, membentuk aliran panjang yang tak henti-hentinya bergerak, mencerminkan hati dan pikiran rakyat yang mendidih."Itu sangat mengerikan!""Benar juga, Aisyah ke mana ya? Dia sudah tidak terlihat lagi di TV atau media sosial mana pun."Setiap pesan seolah-olah menjadi sumbu yang membakar api kepedihan dan kepedulian. Mereka berbicara satu sama lain, menggema dengan rasa ingin tahu yang berbalut kecemasan."Pertanyaan bodoh! Pastinya dia sudah ditahan Sulistyo karena hampir membuatnya dihukum mati.""Aisyah yang malang… Dia hanya ingin membuka mata rakyat, menunjukkan keburukan Sulistyo. Tapi apa daya? Lawannya adalah monster yang menguasai segalanya."Nama Aisyah disebut-sebut dengan penuh kasih dan simpati, seakan-akan dia adalah simbol perjuangan yang terlupakan namu
Aisyah terbangun dari tidur siangnya dengan hati yang gelisah. Udara dalam kamar terasa berat, seolah sesak oleh rahasia dan ketakutan yang tak terlihat. Tangannya terjulur meraih ponsel di meja samping tempat tidur. Dengan jantung yang berdetak cepat, ia membuka layar dan langsung menelusuri beranda media sosial yang dipenuhi berita dan komentar panas tentang Sulistyo.Berita utama yang terpampang di layar membuat matanya melebar. “Tragedi Berdarah: Dua Mahasiswa Gugur di Tangan Presiden Sulistyo.” Setiap kata terasa seperti pukulan keras yang menghantam dadanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosi yang berkecamuk, meski jauh di lubuk hati, ia sudah tahu bahwa hal seperti ini akan terjadi.Komentar-komentar dari netizen mengalir deras seperti arus sungai yang tak terbendung, penuh dengan kemarahan dan ketakutan:“Sulistyo benar-benar mengerikan! Dia membunuh dua orang mahasiswa!”“Apa dia sungguh manusia? Dia lebih seperti monste
Meja makan di aula megah itu dipenuhi makanan mewah, setiap piring tersaji dengan detail sempurna. Para pelayan bergerak seperti bayangan, menyajikan hidangan dengan penuh kehormatan. Di sekitar mereka, pejabat tinggi dan orang-orang berpengaruh bercakap-cakap, membicarakan nasib rakyat yang bagi mereka hanyalah angka-angka di atas kertas.Aisyah duduk dengan tenang di sisi Sulistyo, matanya memandang lurus ke depan, tapi pikirannya melayang jauh dari hiruk-pikuk. Orang-orang berlalu-lalang, wajah-wajah yang penuh tipu daya dan senyum palsu yang memuja kekuasaan. Sesekali ia menangkap mata yang menatapnya dengan iri, wajah-wajah wanita yang ingin berada di posisinya. Mereka tidak tahu. Mereka hanya melihat kemewahan dan kemuliaan, bukan rantai tak terlihat yang membelenggu jiwa.Sulistyo menoleh, menatap Aisyah dengan senyum yang tampak hangat, meski ada sesuatu yang dingin dan menguasai di balik matanya. Tangannya terulur, menyibakkan rambut Aisyah dengan lembut,
Sulistyo berdiri di tengah tempat yang dipenuhi teriakan dan jeritan mahasiswa. Tangannya terangkat perlahan, dan dari telapak tangannya, asap hitam mulai merayap keluar, bergerak dengan kehendak yang menyerupai makhluk hidup. Asap itu menyelubungi pintu-pintu dan jendela, menutup semua jalur keluar. Suasana yang sudah mencekam berubah menjadi horor murni."Cepat keluar!" teriaknya, suaranya bergema seperti guruh di langit malam. Mata gelapnya bersinar penuh kebencian. "Jangan membuatku berubah pikiran!"Dengan satu gerakan tegas, asap hitam itu surut, membuka jalan bagi para mahasiswa yang sudah pucat pasi. Mereka berlarian, berhamburan keluar seperti kawanan domba yang diterkam serigala. Tangisan dan teriakan ketakutan mereka menggema, menyayat udara malam yang dingin. Beberapa jatuh tersungkur, sementara yang lain mendorong tanpa ampun demi menyelamatkan nyawa sendiri.Di luar, kamera-kamera televisi tetap menyala, menangkap setiap momen dengan sempurna
Setelah prosesi pelantikan Sulistyo sebagai presiden dan Prasetya sebagai wakil presiden usai, gemuruh tepuk tangan memenuhi istana. Suara riuh itu memantul di dinding-dinding megah, membentuk simfoni kepalsuan yang memekakkan telinga. Para pejabat, tamu undangan, dan tokoh-tokoh penting berdiri dengan senyum penuh sanjungan, meski sebagian besar dari mereka menelan ketakutan yang tak mampu disembunyikan di balik topeng mereka.Di luar gerbang istana, barisan mahasiswa yang dulunya berdiri tegak dengan semangat perjuangan kini tertunduk lesu. Mata mereka kosong, menyimpan trauma dari kekejaman yang baru saja mereka saksikan. Dua dari mereka telah tergeletak tak bernyawa—korban terbaru dari tangan besi Sulistyo, presiden yang kini memegang kendali penuh atas kehidupan mereka. Suara perlawanan yang dulu membakar, kini sirna. Yang tersisa hanya rasa takut yang menggerogoti jiwa.Sulistyo menatap mereka. Senyum puas terpampang di wajahnya, sebuah senyuman yang lebih me