Share

Bab 8

Author: Sylus wife
last update Last Updated: 2024-11-30 18:59:58

Ruangan itu terasa dingin dan sunyi, hanya terdengar suara alat medis yang terus berbunyi monoton. Aisyah perlahan membuka matanya, cahaya putih menyilaukan dari lampu di langit-langit menyambut pandangannya. Ia menyadari dirinya terbaring di ranjang rumah sakit. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya begitu lemah.

Namun, suara-suara tajam mulai menusuk telinganya, menghancurkan keheningan.

"Dia sudah keguguran," suara dingin itu mengoyak kesadarannya.

"Dia sudah tidak berguna lagi!" sambung yang lain, penuh kebencian.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"

Aisyah mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasa sakit di seluruh tubuhnya membuatnya hanya bisa terbaring. Ia memandang sekeliling dengan lemah, menemukan orang-orang yang seharusnya menjadi keluarganya menatapnya dengan penuh penghinaan.

"Lihatlah dia! Sia-sia saja kita bersikap baik padanya, namun dia malah keguguran!" Ratri, ibu Sulistyo, berkata dengan nada sinis, kini tanpa basa-basi menyembunyikan kebenciannya.

"Benar! Dasar lemah! Hanya terjatuh sedikit, tapi sampai keguguran. Memalukan!" Prasetyo, adik Sulistyo, menimpali dengan nada tajam, menambah luka di hati Aisyah.

Tatapan Aisyah teralih pada Sulistyo yang berdiri di sudut ruangan. Tidak ada simpati di matanya, hanya kebencian dingin yang begitu menusuk. Ia diam, namun tatapannya berbicara lebih keras dari kata-kata.

"Gagal sudah," ucap Jatmiko, ayah Sulistyo, menggelengkan kepala dengan kecewa. "Rencana membangun politik dinasti benar-benar hancur sekarang."

"Sudahlah, Ayah," ujar Prasetyo, mencoba menenangkan. "Kak Sulistyo bisa buat anak lagi. Bukan masalah besar, kan, Kak?" katanya dengan nada ringan, seolah hidup Aisyah tidak berarti.

Sulistyo akhirnya membuka mulut, suaranya rendah namun penuh penghinaan. "Aisyah, kau sudah mengecewakan kami semua. Kau istri yang payah dan tidak berguna!"

Kata-kata itu menusuk hati Aisyah seperti belati. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis, namun rasa sakit itu terlalu dalam. Ia menatap Sulistyo dengan mata berkilauan oleh air mata, tubuhnya bergetar menahan marah dan sedih.

"Yang mau jadi istrimu siapa?" suaranya tiba-tiba pecah, tinggi dan penuh kemarahan. "Yang mau diperkosa siapa? Yang mau keguguran siapa? Tidak ada yang menginginkan semua ini!"

Air mata jatuh tanpa henti di wajahnya. Ia menunduk, kedua tangannya mengepal di atas selimut putih yang menutupi tubuh lemahnya. Kata-katanya menggantung di udara, namun tak satu pun dari mereka menunjukkan rasa bersalah.

Aisyah merasa terisolasi dalam dunia yang penuh dengan kebencian, dan untuk pertama kalinya, ia menyadari betapa tidak berharganya dirinya di mata mereka.

Jet pribadi melesat di udara, membawa keluarga Sulistyo kembali ke istana negara. Di dalamnya, suasana begitu sunyi bagi Aisyah, namun terasa ramai dengan obrolan tak peduli dari keluarga suaminya. Rasa sakit fisik dan emosional yang masih menggerogoti dirinya seolah tak dihiraukan oleh siapa pun.

Prasetyo, adik Sulistyo, sibuk dengan ponselnya. "Kak, lihat! Model ini cantik, kan?" katanya sambil menyodorkan foto seorang wanita muda dengan penampilan glamor.

Sulistyo hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada tabletnya. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Jatmiko, ayah mereka, menyela dengan nada penuh penekanan. "Kau ini! Kakakmu seharusnya menikah saja dengan anak pejabat. Lebih cocok dan menguntungkan keluarga."

"Benar, Ayah!" Ratri, ibu Sulistyo, menambahkan dengan nada yang dibuat-buat. Ia sengaja mengeraskan suaranya, memastikan Aisyah mendengar setiap kata-katanya. "Istri Sulistyo haruslah wanita sejati. Yang bisa memasak, mengurus rumah tanpa keluhan, dan yang terpenting... bisa memberi keturunan! Tidak seperti seseorang yang bahkan tidak mampu mempertahankan bayi di kandungannya."

Setiap kata itu seperti duri yang menusuk hati Aisyah. Ia menunduk, mencoba mengendalikan diri. Jemarinya meraba tas, mengambil earphones bluetooth yang selalu ia bawa. Dengan tangan gemetar, ia memasangnya di kedua telinganya dan memutar lagu, berharap suara musik bisa menenggelamkan hinaan yang terus berputar di telinganya.

Dalam hati, Aisyah berbisik pahit, "Aku masih menjadi menantu keluarga ini, tapi mereka sudah terang-terangan merendahkan aku. Jika memang keberadaanku tidak lagi diinginkan, kenapa tidak menceraikan aku saja? Daripada membiarkanku terperangkap di dalam neraka ini?"

Ia menatap jendela jet, menyembunyikan air matanya di balik lagu yang tak sepenuhnya mampu menghapus rasa sakit itu. Di luar, langit terlihat tenang. Namun di dalam dirinya, badai terus menggulung.

Istana negara kembali ramai dengan langkah-langkah keluarga Sulistyo yang baru tiba. Ratri dan Jatmiko sibuk dengan barang-barang mereka, sementara Aisyah hanya berdiri di sudut, mencoba mengatur napas agar rasa sakitnya tak kentara.

"Sulistyo sayang," Ratri memulai, nadanya manis tapi penuh sindiran, "Selamat karena sudah dilantik menjadi wakil presiden! Maaf, ibu baru sempat mengucapkan ini karena, yah..." Ia melirik tajam ke arah Aisyah. "Kau tahu kan siapa yang membuat kita semua buru-buru pergi ke rumah sakit setelah momen pelantikan itu."

Sulistyo mengangguk kecil, tersenyum sopan. "Terima kasih, Ibu. Aku mungkin tidak akan sampai di titik ini tanpa dukungan Ibu."

"Ekhem!" Suara batuk yang disengaja memotong pembicaraan. Jatmiko berdiri dengan tangan disilangkan, menatap putranya.

"Oh, tentu saja," lanjut Sulistyo cepat, beralih kepada ayahnya. "Jabatan ini juga tak lepas dari bimbingan Ayah tercinta." Ia menjabat tangan Jatmiko dengan penuh hormat.

Jatmiko mendekatkan mulutnya ke telinga Sulistyo, berbisik penuh ambisi. "Ingat, Nak, ini hanya langkah awal. Tujuanmu adalah kursi presiden. Ketika pria tua itu mati, kau akan otomatis naik."

Sulistyo tersenyum tipis, membalas dengan nada rendah. "Tenang saja, Ayah. Itu sudah ada dalam rencanaku."

Tiba-tiba suara Prasetyo memecah percakapan rahasia itu. "Ketua partai sedang mengawasi!" candanya, membuat kedua pria itu tersentak kecil.

Jatmiko terkekeh ringan, menepuk bahu anak bungsunya. "Sabar, Nak. Akan ada giliranmu juga. Suatu saat kau juga bisa jadi presiden."

"Benarkah? Wah, asik!" Prasetyo bersorak riang, tak mempedulikan ketegangan yang sempat tercipta.

Aisyah, yang merasa tidak ada lagi urusannya di sana, berbalik untuk pergi. "Kalau tidak ada yang membutuhkanku, aku akan ke kamar."

Namun langkahnya terhenti ketika suara tajam Ratri memanggil. "Tunggu dulu!"

Aisyah menoleh perlahan, menahan desah kesal yang nyaris lolos. "Ada apa lagi?"

"Bantu para pelayan membereskan barang-barang kami," perintah Ratri tanpa basa-basi. "Aku dan ayahmu akan kembali ke Suryaloka menikmati masa pensiun. Cepat, jangan lamban!"

Aisyah menatap ibu mertuanya dengan dingin, tapi tak punya pilihan selain menurut. Ia memaksakan tubuhnya yang masih lemah untuk mengangkat koper-koper berat milik Jatmiko dan Ratri, di bawah tatapan merendahkan keluarga itu. Tidak ada yang memperlakukannya seperti menantu; ia lebih tampak seperti pelayan tanpa gaji.

Dalam hati, Aisyah bergumam getir, "Apakah aku tak lebih dari ini di mata mereka? Hanya budak yang bisa mereka perintah sesuka hati? Aku sudah kehilangan semuanya, bahkan harga diriku..." Namun ia tetap melangkah, menahan rasa sakit fisik dan emosional yang terus menggerogotinya.

Related chapters

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 9

    Setelah Jatmiko dan Ratri kembali ke Suryaloka, situasi di istana negara berubah semakin memanas. Berita tentang Aisyah yang dibawa ke rumah sakit menggunakan jet pribadi menyebar cepat di media sosial, memicu hujatan dari berbagai pihak. “Wakil presiden baru, tapi skandal sudah langsung datang! Memalukan!” tulis salah satu netizen dengan nada marah. “Jet pribadi buat ke rumah sakit? Sementara di pedalaman orang sakit susah dapat ambulans! Gila ini!” komentar lain yang mendapatkan ribuan tanda suka. “Ini pasti pakai uang rakyat! Korupsi berkedok kemewahan! Hancur sudah moral pemimpin kita!” tambah akun lain, memperkeruh suasana. Sulistyo duduk di ruang kerjanya, wajahnya tegang menatap layar ponsel yang terus menampilkan komentar-komentar penuh cemoohan. Jari-jarinya gemetar, dan tanpa sadar ia memukul meja, membuat suara keras menggema di ruangan. “Ini... Ini semua gara-gara dia!” geramnya, giginya gemeretak menahan amarah. “Gadis miskin rendahan itu! Hidupku jadi kacau karena d

    Last Updated : 2024-12-01
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 10

    Keesokannya, Nursyid mengunggah di akun media sosial pribadinya, dengan caption: "Suatu kehormatan bisa membuat wakil presiden dan keluarganya menumpang dengan nyaman di jet pribadi milik saya." Unggahan itu langsung menuai beragam komentar netizen. Beberapa membela Sulistyo, beberapa membela Nursyid, dan banyak yang menghujat keduanya. "Lihat? Keluarga wakil presiden kita tidak mungkin menggunakan uang rakyat untuk jet pribadi! Itu pasti milik salah satu pengusaha yang meminjamkan pesawatnya!" komentar akun penjilat keluarga Nugroho, menanggapi unggahan Nursyid yang menyebut pesawat itu miliknya. "Nursyid sayang... Berapa banyak uang yang kau terima untuk menipu kami semua? Kami, penggemar setia LightGlow Cosmetics, merasa dikhianati!" tulis netizen lainnya dengan nada kecewa. "Pangeran tampan... Kenapa kau tega menipu kami demi uang haram? Kembalilah ke jalan yang benar!" tambah komentar berikutnya, penuh rasa marah dan kecewa. "Tidak pemimpin negara, tidak pemimpin perusahaan,

    Last Updated : 2024-12-01
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 11

    Aisyah duduk di perpustakaan istana dengan tenang, tenggelam dalam dunia buku yang ia baca. Hening dan damai, seperti pelarian kecil dari realitas yang menyiksa. Tapi ketenangan itu tak berlangsung lama. "Sedang membaca? Baguslah," suara sinis Sulistyo memecah keheningan. Aisyah menghela napas panjang, mencabut earphone bluetooth dari telinganya dengan gerakan malas. "Langsung saja. Apa maumu kali ini?" Sulistyo melangkah mendekat, meletakkan tumpukan kertas di atas meja dengan senyum miring. "Baca ini, dan hapalkan semuanya." Mata Aisyah menatap tajam ke arah dokumen itu. "Apa ini?" tangannya terulur, mulai membolak-balik halaman dengan cepat. "Skrip acara talk show," jawab Sulistyo dengan nada penuh kemenangan. "Kau harus tampil besok. Tunjukkan akting terbaikmu!" Aisyah membaca sekilas, lalu terkekeh kecil. "Jadi ini semua demi pengalihan isu jet pribadimu? Menonjolkan betapa malangnya nasibku, seorang perempuan yang keguguran karena ditendang ayah tirinya? Sungguh, kau tak p

    Last Updated : 2024-12-02
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 12

    Setelah acara talk show berakhir, media sosial Aisyah meledak. Notifikasi tak berhenti berdatangan—jutaan orang mulai mengikuti akun pribadinya. Banyak yang memberikan dukungan, tetapi tidak sedikit pula yang mencemoohnya. “Aisyah! Aku sudah lihat penampilanmu di talk show tadi. Kau wanita yang sangat kuat! Tetap semangat, ya!” tulis salah satu komentar yang membanjiri kolomnya. “Aisyah adalah bukti bahwa perempuan bisa tetap berdiri meski dihancurkan oleh hidup. Terus bertahan, kami mendukungmu!” tulis pengguna lain dengan emoji hati yang memenuhi baris komentar. Namun, tak semua suara semanis itu. “Cantik darimana? Wajahnya biasa saja. Pasaran banget!” cemooh sebuah akun yang disertai tawa mengejek. “Tch! Orang-orang ini mudah sekali terbuai cerita murahan. Lihat saja, sebentar lagi dia pasti jadi model kosmetik,” sindir komentar lain yang menuai ratusan tanda suka. Namun ada pula yang membela. “Berhenti menghujat! Aisyah itu cantik, dan lebih penting lagi, dia adalah

    Last Updated : 2024-12-02
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 13

    Jam dinding berdetak perlahan, menghadirkan ritme monoton di ruang tamu megah yang kini sunyi senyap. Cahaya lampu kristal memantul dingin, mempertegas keheningan. Aisyah duduk diam, tangannya perlahan memegangi perut, lalu tertawa kecil, sinis, seperti menemukan lelucon yang hanya ia pahami. "Lucu... kalian semua sangat lucu," ucapnya dengan nada tajam, memecah keheningan yang mencekam. Ia mengangkat pandangan, menatap mereka satu per satu, lalu melanjutkan dengan nada yang penuh ejekan. "Apa kalian benar-benar berpikir tindakan kalian ini tidak akan menghancurkan nama baik kalian sendiri?" Sulistyo, yang sejak tadi berdiri tegak penuh wibawa palsu, justru tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema, seolah ancaman Aisyah hanyalah bahan lelucon baginya. Dalam sekejap, tangannya yang besar mencengkeram dagu Aisyah dengan kuat, memaksa wanita itu menatap langsung ke dalam matanya yang penuh amarah. "Kau pikir aku sebodoh itu?" tanyanya dingin, senyum sinis terukir di wajahnya. Aisyah

    Last Updated : 2024-12-02
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 14

    Halaman belakang Istana Negara yang sunyi terasa seperti oasis kecil di tengah kekacauan batin Aisyah. Angin lembut yang berhembus membawa kehangatan, seakan berusaha membungkus tubuhnya yang rapuh dengan pelukan alam. Di bawah langit senja, Mahendra duduk di hadapan Aisyah, memegang perlengkapan medis kecil. Tangannya yang besar namun lembut dengan hati-hati membersihkan luka-luka di wajah Aisyah, gerakannya pelan dan penuh perhatian, seolah setiap sentuhannya dirancang untuk mengobati tidak hanya fisik, tetapi juga hatinya yang terluka."Sakit?" tanya Mahendra dengan suara lembut, nadanya penuh kepedulian. Tatapannya terpaku pada ekspresi Aisyah, memperhatikan setiap reaksi, takut jika ia melukai lebih dalam. Ketika Aisyah sedikit meringis meskipun mencoba menyembunyikannya, tangan Mahendra otomatis berhenti.Aisyah menggeleng perlahan. Meski hatinya masih terasa pedih, kepedulian pria di depannya ini seperti air yang memadamkan api di dalam dirinya. Senyumnya yang tulus, tangannya

    Last Updated : 2024-12-03
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 15

    Di sebuah kamar tamu yang besar dan mewah, jam dinding berdetak lambat, seolah menghitung setiap detik dengan penuh kehati-hatian. Keheningan di ruangan itu hampir memekakkan telinga, hanya dipecahkan oleh langkah-langkah kecil tiga gadis yang sibuk bergerak. Mereka adalah Mila, Misa, dan Aisyah. "Ah! Pinggangku...!" keluh Mila, pelayan istana, sambil memegangi pinggangnya yang terasa nyeri. Napasnya terengah setelah memindahkan koper besar milik keluarga Citra. "Mereka cuma tinggal beberapa hari, tapi barangnya seperti mau pindah rumah setahun!" "Ssst!" Misa, kakak Mila yang lebih tenang, menyenggol lengannya dengan tajam. Ia melirik sekilas ke arah Aisyah yang sedang merapikan pakaian milik anak gubernur di lemari, wajahnya tanpa ekspresi. "Jangan mengeluh terlalu keras! Lihat istri wakil presiden kita. Padahal dia bukan pelayan, tapi lebih rajin daripada kamu." Aisyah mendengar itu dan menoleh dengan senyum tipis, tapi nada bicaranya mendadak berubah tegas, seperti suara kara

    Last Updated : 2024-12-03
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 16

    Langit senja memancarkan warna merah dan oranye yang menyala terang, seolah melukis suasana dramatis di ruang kerja Nursyid, sang pemilik LightGlow Cosmetics. Dalam ruang yang penuh estetika itu, Nursyid sedang mengenakan jasnya, bersiap untuk menghadiri fanmeeting bersama brand ambassador barunya, Aisyah. Namun, sebelum ia sempat melangkah keluar, suara langkah kaki yang cepat terdengar dari arah pintu. Tanpa perlu menoleh, Nursyid sudah tahu siapa yang datang. "Masuk saja, Aisyah. Pintu tidak terkunci," katanya tenang, tanpa mengalihkan pandangan dari cermin di hadapannya. Pintu terbuka dengan suara pelan, dan Nursyid, yang hendak menyambut kedatangan Aisyah dengan senyum, langsung terpaku. Kalimat yang hendak ia ucapkan terhenti di tenggorokan saat pandangannya jatuh pada wajah gadis itu. Keningnya terlihat memar dan tertutup plester, kedua pipinya lebam dengan warna ungu yang mencolok, dan ujung bibirnya merah, bekas darah yang belum sepenuhnya kering. Nursyid mendekat dengan

    Last Updated : 2024-12-03

Latest chapter

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 135

    Malam mulai merayap ketika Aisyah dan Sulistyo kembali ke istana negara setelah kunjungan panjang ke rumah sakit. Langit kelam membayangi bangunan megah itu, dan suara gemuruh jauh dari aksi demonstrasi yang terus berlangsung, terasa seperti ancaman yang tak pernah benar-benar pergi.Mereka melangkah masuk ke kamar utama. Sulistyo melempar jasnya ke kursi dan duduk di tepi ranjang, matanya menatap kosong ke depan, pikirannya seolah terperangkap dalam sesuatu yang tak terlihat. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan."Duduklah." Suaranya terdengar datar, namun perintah itu penuh kuasa, membuat Aisyah tanpa sadar menuruti dengan patuh. Ia duduk di samping suaminya, tangannya mengepal erat di atas pangkuannya, sementara perasaan tertekan membungkus tubuhnya seperti rantai yang tak terlihat.Sulistyo memutar tubuhnya sedikit, jemarinya yang besar dan dingin menyentuh kepala Aisyah, mengusapnya dengan sentuhan yang tampak lembut namun penuh pe

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 134

    Pintu kamar terbuka perlahan, engselnya berderit seperti jeritan pelan yang menyeruak ke dalam keheningan. Sulistyo melangkah masuk dengan langkah tenang namun penuh kekuasaan, bayangannya yang panjang melintasi dinding seperti sosok kegelapan yang merayap mendekati mangsanya. Aisyah, yang sebelumnya tengah memegang ponselnya dengan tangan gemetar, dengan cepat menyembunyikan perangkat itu di bawah bantal dan membaringkan diri di ranjang. Matanya terpejam rapat, napasnya ditahan, seolah tidur adalah satu-satunya pelindung dari bencana yang berdiri di ambang pintu.Sulistyo mendekat, duduk di tepi ranjang, dan tangannya yang dingin terulur, mengusap rambut Aisyah dengan gerakan yang, di permukaan, tampak penuh kasih. Namun sentuhan itu bagaikan rantai besi yang melilit leher, menahan kebebasannya."Apa kau sudah memeriksanya?" Suaranya rendah, penuh tekanan yang terpendam. Setiap kata menembus jantung seperti pisau kecil yang perlahan menusuk. "Apa kau sudah hamil?"

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 133

    Komentar-komentar di komunitas media sosial terus bergulir tanpa henti seperti arus sungai yang liar, semakin deras dan panas seiring dengan berlalunya siang. Aisyah terbaring diam di tempat tidur, cahaya ponsel memantul di wajahnya yang pucat. Jemarinya menggulir layar, matanya terpaku pada setiap kata yang muncul—setiap kalimat adalah ledakan kecil yang menghantam jiwanya, mengoyak rasa tenang yang berusaha ia pertahankan.“Tapi kau lihat sendiri apa yang terjadi pada orang-orang yang menentang Sulistyo, kan? Orang-orang sekelas Nursyid saja terancam bangkrut karena berani melawannya. Apalagi orang kecil seperti kita-kita ini?”Aisyah menelan ludah, telinganya seakan mendengar gema ketakutan yang diucapkan oleh pengguna anonim di layar.“Itu benar! Apa yang bisa kita lakukan? Lihat saja para pendemo kemarin! Dua orang mati, dan jika Sulistyo tidak berbelas kasihan, mungkin lebih banyak lagi yang akan tumbang!”“Berbelas kasihan?” pikir Aisyah de

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 132

    Kolom komentar di media sosial yang selama ini menjadi arena bagi suara-suara terpendam kini dipenuhi gelombang kesedihan dan kemarahan. Ratusan pesan memenuhi layar, membentuk aliran panjang yang tak henti-hentinya bergerak, mencerminkan hati dan pikiran rakyat yang mendidih."Itu sangat mengerikan!""Benar juga, Aisyah ke mana ya? Dia sudah tidak terlihat lagi di TV atau media sosial mana pun."Setiap pesan seolah-olah menjadi sumbu yang membakar api kepedihan dan kepedulian. Mereka berbicara satu sama lain, menggema dengan rasa ingin tahu yang berbalut kecemasan."Pertanyaan bodoh! Pastinya dia sudah ditahan Sulistyo karena hampir membuatnya dihukum mati.""Aisyah yang malang… Dia hanya ingin membuka mata rakyat, menunjukkan keburukan Sulistyo. Tapi apa daya? Lawannya adalah monster yang menguasai segalanya."Nama Aisyah disebut-sebut dengan penuh kasih dan simpati, seakan-akan dia adalah simbol perjuangan yang terlupakan namu

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 131

    Aisyah terbangun dari tidur siangnya dengan hati yang gelisah. Udara dalam kamar terasa berat, seolah sesak oleh rahasia dan ketakutan yang tak terlihat. Tangannya terjulur meraih ponsel di meja samping tempat tidur. Dengan jantung yang berdetak cepat, ia membuka layar dan langsung menelusuri beranda media sosial yang dipenuhi berita dan komentar panas tentang Sulistyo.Berita utama yang terpampang di layar membuat matanya melebar. “Tragedi Berdarah: Dua Mahasiswa Gugur di Tangan Presiden Sulistyo.” Setiap kata terasa seperti pukulan keras yang menghantam dadanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosi yang berkecamuk, meski jauh di lubuk hati, ia sudah tahu bahwa hal seperti ini akan terjadi.Komentar-komentar dari netizen mengalir deras seperti arus sungai yang tak terbendung, penuh dengan kemarahan dan ketakutan:“Sulistyo benar-benar mengerikan! Dia membunuh dua orang mahasiswa!”“Apa dia sungguh manusia? Dia lebih seperti monste

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 130

    Meja makan di aula megah itu dipenuhi makanan mewah, setiap piring tersaji dengan detail sempurna. Para pelayan bergerak seperti bayangan, menyajikan hidangan dengan penuh kehormatan. Di sekitar mereka, pejabat tinggi dan orang-orang berpengaruh bercakap-cakap, membicarakan nasib rakyat yang bagi mereka hanyalah angka-angka di atas kertas.Aisyah duduk dengan tenang di sisi Sulistyo, matanya memandang lurus ke depan, tapi pikirannya melayang jauh dari hiruk-pikuk. Orang-orang berlalu-lalang, wajah-wajah yang penuh tipu daya dan senyum palsu yang memuja kekuasaan. Sesekali ia menangkap mata yang menatapnya dengan iri, wajah-wajah wanita yang ingin berada di posisinya. Mereka tidak tahu. Mereka hanya melihat kemewahan dan kemuliaan, bukan rantai tak terlihat yang membelenggu jiwa.Sulistyo menoleh, menatap Aisyah dengan senyum yang tampak hangat, meski ada sesuatu yang dingin dan menguasai di balik matanya. Tangannya terulur, menyibakkan rambut Aisyah dengan lembut,

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 129

    Sulistyo berdiri di tengah tempat yang dipenuhi teriakan dan jeritan mahasiswa. Tangannya terangkat perlahan, dan dari telapak tangannya, asap hitam mulai merayap keluar, bergerak dengan kehendak yang menyerupai makhluk hidup. Asap itu menyelubungi pintu-pintu dan jendela, menutup semua jalur keluar. Suasana yang sudah mencekam berubah menjadi horor murni."Cepat keluar!" teriaknya, suaranya bergema seperti guruh di langit malam. Mata gelapnya bersinar penuh kebencian. "Jangan membuatku berubah pikiran!"Dengan satu gerakan tegas, asap hitam itu surut, membuka jalan bagi para mahasiswa yang sudah pucat pasi. Mereka berlarian, berhamburan keluar seperti kawanan domba yang diterkam serigala. Tangisan dan teriakan ketakutan mereka menggema, menyayat udara malam yang dingin. Beberapa jatuh tersungkur, sementara yang lain mendorong tanpa ampun demi menyelamatkan nyawa sendiri.Di luar, kamera-kamera televisi tetap menyala, menangkap setiap momen dengan sempurna

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 128

    Setelah prosesi pelantikan Sulistyo sebagai presiden dan Prasetya sebagai wakil presiden usai, gemuruh tepuk tangan memenuhi istana. Suara riuh itu memantul di dinding-dinding megah, membentuk simfoni kepalsuan yang memekakkan telinga. Para pejabat, tamu undangan, dan tokoh-tokoh penting berdiri dengan senyum penuh sanjungan, meski sebagian besar dari mereka menelan ketakutan yang tak mampu disembunyikan di balik topeng mereka.Di luar gerbang istana, barisan mahasiswa yang dulunya berdiri tegak dengan semangat perjuangan kini tertunduk lesu. Mata mereka kosong, menyimpan trauma dari kekejaman yang baru saja mereka saksikan. Dua dari mereka telah tergeletak tak bernyawa—korban terbaru dari tangan besi Sulistyo, presiden yang kini memegang kendali penuh atas kehidupan mereka. Suara perlawanan yang dulu membakar, kini sirna. Yang tersisa hanya rasa takut yang menggerogoti jiwa.Sulistyo menatap mereka. Senyum puas terpampang di wajahnya, sebuah senyuman yang lebih me

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 127

    Di tengah kemegahan istana yang dipenuhi sorotan kamera dan kilauan lampu, Sulistyo berdiri dengan tegak di atas podium. Senyum liciknya terukir sempurna, menampilkan gigi-gigi yang seolah siap menerkam siapa saja. Suaranya menggema, mengisi setiap sudut dengan nada kemenangan yang menusuk hati."Hadirin sekalian… Kali ini kita kedatangan tamu yang sangat penting. Sekumpulan anak-anak mahasiswa. Calon-calon pemimpin negara ini di masa depan," katanya, suaranya tegas namun sarat dengan penghinaan terselubung. "Oleh karena itu, mari kita dengarkan pidato dari presiden kalian yang baru dengan saksama!"Dia mengangkat tangannya seolah memerintah dunia untuk tunduk di bawah kakinya. Sorak-sorai dari beberapa orang bayaran bergema, menciptakan ilusi bahwa Sulistyo benar-benar dihormati.Di barisan belakang, Ratri menyaksikan dengan tubuh gemetar. Matanya membelalak, ekspresinya penuh campuran antara ngeri dan tidak percaya. "Sulistyo…" bisiknya, suaranya bergeta

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status