Keesokan harinya, istana negara dipadati para menteri, petinggi negara, dan tamu undangan penting. Hari itu adalah momen bersejarah: pelantikan presiden dan calon wakil presiden untuk periode terbaru.
Di salah satu kamar megah istana, Aisyah berdiri di depan cermin besar, menatap bayangannya dengan ekspresi muram. Tubuhnya yang ramping dibalut kebaya ketat berwarna emas, dipadukan dengan kain canting bermotif khas adat Javanagara. Rambutnya yang biasa dibiarkan terurai kini ditata rapi menjadi konde, dihias ornamen kecil yang memantulkan kilauan cahaya. Ia menghela napas panjang, kedua tangannya meraba lembut perutnya yang sedikit membuncit. Rasa tidak nyaman semakin menguat. "Kenapa harus begini?" gumamnya pelan, hampir berbisik. "Aku bahkan tidak bisa bernapas lega. Rasanya sesak sekali... Bagaimana kalau ini membahayakan bayiku?" Aisyah memutar bola matanya, lalu menunduk, melihat kain yang membungkus tubuhnya terlalu erat. "Tidak bisakah aku mengenakan sesuatu yang lebih longgar? Sesuatu yang nyaman? Kenapa harus pakaian yang seperti ini?" lanjutnya, suaranya terdengar lirih, nyaris memelas. Pikirannya melayang sejenak, membayangkan mengenakan streetwear longgar yang biasa dipadukannya dengan hijab. Tapi ia segera menggeleng, tahu itu hanya angan-angan yang tidak mungkin terwujud dalam acara seperti ini. Ketukan pintu memecah lamunannya. Tak lama, Sulistyo masuk dengan langkah tenang. Ia mengenakan kemeja hitam elegan, dipadukan dengan peci sederhana. Penampilannya santai, kontras dengan Aisyah yang tampak begitu terbebani. "Aisyah, sudah siap?" tanyanya dengan nada datar, seolah tidak peduli dengan gelisah yang terpancar dari wajah istrinya. Aisyah berbalik, menatapnya dengan mata yang mulai memerah. "Lihat aku, Sulistyo. Aku... aku bahkan tidak bisa bernapas lega di pakaian ini. Terlalu ketat, terlalu menekan perutku. Aku merasa tidak nyaman sama sekali." Suaranya melemah di akhir kalimat, lebih seperti permohonan daripada keluhan. Sulistyo menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. Ia menghela napas pendek, lalu berkata dengan nada yang dingin, "Aisyah, ini acara kenegaraan. Semua orang akan memperhatikan kita. Penampilanmu bukan hanya soal dirimu, tapi juga mencerminkan keluarga dan posisiku." "Tapi..." Aisyah mencoba membantah, tapi Sulistyo segera memotongnya. "Cukup, Aisyah. Cepat bersiap. Jangan buat masalah," katanya tegas, sebelum berbalik dan menutup pintu tanpa menunggu jawaban. Aisyah terpaku di tempatnya, kedua tangannya gemetar di sisi tubuhnya. Ia kembali menatap cermin, merasa semakin asing dengan bayangan dirinya sendiri. Matanya menelusuri setiap detail kebaya yang membungkus tubuhnya, sementara perutnya terasa semakin tertekan. Dengan hati-hati, ia menyentuh konde di kepalanya, lalu mengusap perutnya yang membuncit pelan. "Maaf ya, Nak... Ibu cuma ingin kau baik-baik saja." Ucapannya lembut, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun, di balik kata-kata itu, tersimpan sesak yang sulit ia sembunyikan. Di luar kamar, Sulistyo melangkah menuju aula utama, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Namun, dalam hati ia menggerutu, "Wanita itu selalu membuat hal kecil jadi rumit. Padahal ini hanya masalah pakaian. Mengapa harus dipermasalahkan?" Istana yang megah dan penuh kemewahan kini terasa dingin dan penuh ketegangan. Di tengah gemerlapnya acara kenegaraan, hati beberapa penghuninya justru diliputi badai kecil yang terus menggerogoti. Detik-detik pelantikan presiden dan wakil presiden akhirnya tiba. Aula megah itu dipenuhi gemuruh tepuk tangan dan sorak-sorai tamu undangan yang datang dari berbagai penjuru negeri. Di atas podium, Sulistyo Nugroho berdiri dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan jas hitam sempurna. Di usianya yang baru menginjak 35 tahun, ia telah menjadi calon wakil presiden termuda dalam sejarah. Di sampingnya, Haryanto Kartanegara, calon presiden berusia 70 tahun, berdiri dengan postur tegap yang masih mencerminkan kedisiplinan militer yang pernah membesarkan namanya. Wajahnya penuh wibawa, sebuah simbol kekuatan dan pengalaman yang tak tergoyahkan. Sementara semua mata terpaku pada mereka, Aisyah berdiri di sudut aula, jauh dari sorotan. Ia mengenakan kebaya emas yang serasi dengan kain canting, namun ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak tertarik dengan apa yang berlangsung di depan. Tangannya sibuk memegangi ponsel yang kini sudah mati, baterainya habis tanpa ia sadari. "Diam di sini saja ponselku sampai sekarat," pikirnya, mendesah kecil. Selama prosesi berlangsung, ia lebih memilih mendengarkan musik melalui earphones bluetooth yang tersembunyi di balik rambutnya yang sengaja sedikit digerai untuk menyembuhkan keberadaan earphones di telinganya. Ia telah memutar hampir semua genre—rock, R&B, bahkan akustik, hanya untuk menghindari kebosanan mendengar pidato-pidato panjang yang baginya tak ada artinya. Ketika tepuk tangan kembali membahana, Aisyah terpaksa ikut bertepuk tangan, meski hanya sekadar mengikuti kerumunan. Wajahnya tetap datar, pandangannya kosong. Ia bahkan tidak tahu pidato apa yang baru saja selesai. Baginya, semua ini hanyalah formalitas membosankan yang jauh dari dunianya. Saat prosesi pelantikan selesai, Aisyah mencabut earphones dari telinganya dan memasukkannya ke dalam tas dengan gerakan malas. Pandangannya sempat tertuju pada Sulistyo yang sedang tersenyum lebar, melambaikan tangan kepada para undangan. Sebuah ironi, pikirnya. "Mereka semua mengaguminya, tapi tak satu pun dari mereka tahu wajah aslinya di balik topeng itu." Ia menarik napas panjang, lalu berjalan perlahan meninggalkan aula, membiarkan keramaian di belakangnya. Di tengah gemerlap pesta kekuasaan itu, ia merasa lebih seperti bayangan—tidak terlihat, tidak dianggap, dan tidak peduli. Aisyah berjalan-jalan di sekitar istana negara, mencoba menjauh dari keramaian. Niatnya sederhana: mencari tempat tenang untuk menarik napas sejenak. Namun, langkahnya terhenti ketika terdengar keributan di dekat pagar depan. "Ada apa di sana?" gumamnya, alisnya berkerut. Dengan rasa penasaran, ia berjalan menghampiri sumber suara. Di sana, seorang pria paruh baya dengan kaos oblong lusuh sedang berteriak-teriak, wajahnya kusam dan penuh amarah. Ia memaksa masuk, mengabaikan penjaga berseragam lengkap yang berusaha menahannya. "Biarkan saya masuk! Saya ini mertua wakil presiden kalian!" teriak pria itu dengan nada memaksa. "Maaf, pak. Saat ini sedang berlangsung acara pelantikan presiden dan wakil presiden. Anda tidak bisa masuk tanpa undangan. Kami sarankan Anda membuat janji terlebih dahulu," ucap salah seorang penjaga, suaranya tetap tenang meski tegas. Aisyah membeku di tempatnya, matanya membelalak. "Ayah?" bisiknya, nyaris tak percaya. Pria itu menoleh, dan begitu melihat Aisyah, raut wajahnya berubah penuh otoritas. "Putriku! Biarkan ayah masuk sekarang!" titahnya dengan nada yang lebih seperti perintah daripada permintaan. Penjaga kembali menahannya. "Maaf, pak, selain tamu undangan—" Sebelum kalimat itu selesai, Aisyah melangkah keluar gerbang dengan cepat, memotong pembicaraan. "Tidak apa-apa, pak. Saya akan bicara dengannya di luar. Ayah, ikut aku!" Ia menarik tangan pria itu, memaksanya menjauh dari pagar. Tatapan Aisyah dingin, tapi ia tetap memasang wajah tenang di depan para penjaga. Baru setelah cukup jauh, ia membiarkan emosinya menguasai pikirannya. "Apa yang dia lakukan di sini? Apa lagi yang pria tua ini inginkan dari hidupku?" gumamnya dalam hati. Firasat buruk menjalari tubuhnya, tetapi ia tidak mengucapkannya. Bagi Aisyah, ayah tirinya selalu membawa lebih banyak masalah daripada jawaban. Setelah menjauh dari gerbang, Aisyah membawa ayah tirinya ke tempat yang cukup sepi di sudut taman. Ia berhenti, berbalik menghadap pria itu dengan tatapan tajam. "Ayah, katakan saja. Apa yang ayah inginkan kali ini?" Mustofa, pria dengan pakaian lusuh dan bau keringat yang menyengat, menyeringai. Senyumnya tidak pernah menyenangkan bagi Aisyah. "Wah, lihatlah putriku. Kau semakin cantik. Pakaianmu mewah, wajahmu bersih terawat. Aku hampir tidak mengenalimu," katanya sambil mengulurkan tangan, menyentuh pipi Aisyah dengan ujung jarinya. Aisyah mundur cepat, ekspresinya berubah jijik. "Jangan sentuh aku. Langsung ke intinya saja, ayah ingin apa?" Mustofa tertawa kecil, suara parau yang membuat bulu kuduk Aisyah meremang. Dengan santai, ia mengangkat tangannya, menunjukkan gestur meminta uang. "Apa lagi kalau bukan ini?" Aisyah menatapnya tanpa emosi, sudah memahami arah pembicaraan ini. "Aku tidak punya uang." Mustofa mendengus marah, wajahnya mengeras. "Kau pikir aku bodoh? Kau istri wakil presiden sekarang! Mana mungkin kau tidak punya uang?" "Aku tidak pernah diberi uang tunai," jawab Aisyah dengan suara dingin. "Semua kebutuhanku disediakan dalam bentuk barang. Percaya atau tidak, itu urusanmu." Kemarahan meledak di wajah Mustofa. "Jangan bohong padaku, Aisyah!" suaranya meninggi, menarik perhatian beberapa orang di sekitar mereka. "Percaya atau tidak, aku tidak peduli," balas Aisyah, tetap tenang meski jantungnya berdebar. Mendengar jawaban itu, Mustofa tidak lagi bisa menahan amarahnya. "Dasar anak durhaka!" teriaknya sebelum mengayunkan kakinya dengan brutal, menendang perut Aisyah yang tengah mengandung. Aisyah terjatuh dengan keras ke tanah. Rasa sakit luar biasa menusuk perutnya, membuatnya tercekik dan tak mampu bernapas sesaat. Ketika ia menyentuh perutnya, darah mulai merembes melalui kain cantingnya. Air mata membasahi wajahnya. Pandangannya kabur, tetapi ia masih bisa melihat Mustofa berdiri di sana, matanya penuh kebencian yang tidak pernah ia mengerti. Kerumunan mulai berlari mendekat, suara panik terdengar di mana-mana. Namun, bagi Aisyah, dunia terasa semakin jauh. Di dalam hatinya, ia hanya bisa berdoa untuk keajaiban, untuk nyawa yang kini terancam dalam kandungannya.Ruangan itu terasa dingin dan sunyi, hanya terdengar suara alat medis yang terus berbunyi monoton. Aisyah perlahan membuka matanya, cahaya putih menyilaukan dari lampu di langit-langit menyambut pandangannya. Ia menyadari dirinya terbaring di ranjang rumah sakit. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya begitu lemah. Namun, suara-suara tajam mulai menusuk telinganya, menghancurkan keheningan. "Dia sudah keguguran," suara dingin itu mengoyak kesadarannya. "Dia sudah tidak berguna lagi!" sambung yang lain, penuh kebencian. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Aisyah mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasa sakit di seluruh tubuhnya membuatnya hanya bisa terbaring. Ia memandang sekeliling dengan lemah, menemukan orang-orang yang seharusnya menjadi keluarganya menatapnya dengan penuh penghinaan. "Lihatlah dia! Sia-sia saja kita bersikap baik padanya, namun dia malah keguguran!" Ratri, ibu Sulistyo, berkata dengan nada sinis, kini tanpa basa-basi menyembunyikan kebenciannya. "
Setelah Jatmiko dan Ratri kembali ke Suryaloka, situasi di istana negara berubah semakin memanas. Berita tentang Aisyah yang dibawa ke rumah sakit menggunakan jet pribadi menyebar cepat di media sosial, memicu hujatan dari berbagai pihak. “Wakil presiden baru, tapi skandal sudah langsung datang! Memalukan!” tulis salah satu netizen dengan nada marah. “Jet pribadi buat ke rumah sakit? Sementara di pedalaman orang sakit susah dapat ambulans! Gila ini!” komentar lain yang mendapatkan ribuan tanda suka. “Ini pasti pakai uang rakyat! Korupsi berkedok kemewahan! Hancur sudah moral pemimpin kita!” tambah akun lain, memperkeruh suasana. Sulistyo duduk di ruang kerjanya, wajahnya tegang menatap layar ponsel yang terus menampilkan komentar-komentar penuh cemoohan. Jari-jarinya gemetar, dan tanpa sadar ia memukul meja, membuat suara keras menggema di ruangan. “Ini... Ini semua gara-gara dia!” geramnya, giginya gemeretak menahan amarah. “Gadis miskin rendahan itu! Hidupku jadi kacau karena d
Keesokannya, Nursyid mengunggah di akun media sosial pribadinya, dengan caption: "Suatu kehormatan bisa membuat wakil presiden dan keluarganya menumpang dengan nyaman di jet pribadi milik saya." Unggahan itu langsung menuai beragam komentar netizen. Beberapa membela Sulistyo, beberapa membela Nursyid, dan banyak yang menghujat keduanya. "Lihat? Keluarga wakil presiden kita tidak mungkin menggunakan uang rakyat untuk jet pribadi! Itu pasti milik salah satu pengusaha yang meminjamkan pesawatnya!" komentar akun penjilat keluarga Nugroho, menanggapi unggahan Nursyid yang menyebut pesawat itu miliknya. "Nursyid sayang... Berapa banyak uang yang kau terima untuk menipu kami semua? Kami, penggemar setia LightGlow Cosmetics, merasa dikhianati!" tulis netizen lainnya dengan nada kecewa. "Pangeran tampan... Kenapa kau tega menipu kami demi uang haram? Kembalilah ke jalan yang benar!" tambah komentar berikutnya, penuh rasa marah dan kecewa. "Tidak pemimpin negara, tidak pemimpin perusahaan,
Aisyah duduk di perpustakaan istana dengan tenang, tenggelam dalam dunia buku yang ia baca. Hening dan damai, seperti pelarian kecil dari realitas yang menyiksa. Tapi ketenangan itu tak berlangsung lama. "Sedang membaca? Baguslah," suara sinis Sulistyo memecah keheningan. Aisyah menghela napas panjang, mencabut earphone bluetooth dari telinganya dengan gerakan malas. "Langsung saja. Apa maumu kali ini?" Sulistyo melangkah mendekat, meletakkan tumpukan kertas di atas meja dengan senyum miring. "Baca ini, dan hapalkan semuanya." Mata Aisyah menatap tajam ke arah dokumen itu. "Apa ini?" tangannya terulur, mulai membolak-balik halaman dengan cepat. "Skrip acara talk show," jawab Sulistyo dengan nada penuh kemenangan. "Kau harus tampil besok. Tunjukkan akting terbaikmu!" Aisyah membaca sekilas, lalu terkekeh kecil. "Jadi ini semua demi pengalihan isu jet pribadimu? Menonjolkan betapa malangnya nasibku, seorang perempuan yang keguguran karena ditendang ayah tirinya? Sungguh, kau tak p
Setelah acara talk show berakhir, media sosial Aisyah meledak. Notifikasi tak berhenti berdatangan—jutaan orang mulai mengikuti akun pribadinya. Banyak yang memberikan dukungan, tetapi tidak sedikit pula yang mencemoohnya. “Aisyah! Aku sudah lihat penampilanmu di talk show tadi. Kau wanita yang sangat kuat! Tetap semangat, ya!” tulis salah satu komentar yang membanjiri kolomnya. “Aisyah adalah bukti bahwa perempuan bisa tetap berdiri meski dihancurkan oleh hidup. Terus bertahan, kami mendukungmu!” tulis pengguna lain dengan emoji hati yang memenuhi baris komentar. Namun, tak semua suara semanis itu. “Cantik darimana? Wajahnya biasa saja. Pasaran banget!” cemooh sebuah akun yang disertai tawa mengejek. “Tch! Orang-orang ini mudah sekali terbuai cerita murahan. Lihat saja, sebentar lagi dia pasti jadi model kosmetik,” sindir komentar lain yang menuai ratusan tanda suka. Namun ada pula yang membela. “Berhenti menghujat! Aisyah itu cantik, dan lebih penting lagi, dia adalah
Jam dinding berdetak perlahan, menghadirkan ritme monoton di ruang tamu megah yang kini sunyi senyap. Cahaya lampu kristal memantul dingin, mempertegas keheningan. Aisyah duduk diam, tangannya perlahan memegangi perut, lalu tertawa kecil, sinis, seperti menemukan lelucon yang hanya ia pahami. "Lucu... kalian semua sangat lucu," ucapnya dengan nada tajam, memecah keheningan yang mencekam. Ia mengangkat pandangan, menatap mereka satu per satu, lalu melanjutkan dengan nada yang penuh ejekan. "Apa kalian benar-benar berpikir tindakan kalian ini tidak akan menghancurkan nama baik kalian sendiri?" Sulistyo, yang sejak tadi berdiri tegak penuh wibawa palsu, justru tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema, seolah ancaman Aisyah hanyalah bahan lelucon baginya. Dalam sekejap, tangannya yang besar mencengkeram dagu Aisyah dengan kuat, memaksa wanita itu menatap langsung ke dalam matanya yang penuh amarah. "Kau pikir aku sebodoh itu?" tanyanya dingin, senyum sinis terukir di wajahnya. Aisyah
Halaman belakang Istana Negara yang sunyi terasa seperti oasis kecil di tengah kekacauan batin Aisyah. Angin lembut yang berhembus membawa kehangatan, seakan berusaha membungkus tubuhnya yang rapuh dengan pelukan alam. Di bawah langit senja, Mahendra duduk di hadapan Aisyah, memegang perlengkapan medis kecil. Tangannya yang besar namun lembut dengan hati-hati membersihkan luka-luka di wajah Aisyah, gerakannya pelan dan penuh perhatian, seolah setiap sentuhannya dirancang untuk mengobati tidak hanya fisik, tetapi juga hatinya yang terluka."Sakit?" tanya Mahendra dengan suara lembut, nadanya penuh kepedulian. Tatapannya terpaku pada ekspresi Aisyah, memperhatikan setiap reaksi, takut jika ia melukai lebih dalam. Ketika Aisyah sedikit meringis meskipun mencoba menyembunyikannya, tangan Mahendra otomatis berhenti.Aisyah menggeleng perlahan. Meski hatinya masih terasa pedih, kepedulian pria di depannya ini seperti air yang memadamkan api di dalam dirinya. Senyumnya yang tulus, tangannya
Di sebuah kamar tamu yang besar dan mewah, jam dinding berdetak lambat, seolah menghitung setiap detik dengan penuh kehati-hatian. Keheningan di ruangan itu hampir memekakkan telinga, hanya dipecahkan oleh langkah-langkah kecil tiga gadis yang sibuk bergerak. Mereka adalah Mila, Misa, dan Aisyah. "Ah! Pinggangku...!" keluh Mila, pelayan istana, sambil memegangi pinggangnya yang terasa nyeri. Napasnya terengah setelah memindahkan koper besar milik keluarga Citra. "Mereka cuma tinggal beberapa hari, tapi barangnya seperti mau pindah rumah setahun!" "Ssst!" Misa, kakak Mila yang lebih tenang, menyenggol lengannya dengan tajam. Ia melirik sekilas ke arah Aisyah yang sedang merapikan pakaian milik anak gubernur di lemari, wajahnya tanpa ekspresi. "Jangan mengeluh terlalu keras! Lihat istri wakil presiden kita. Padahal dia bukan pelayan, tapi lebih rajin daripada kamu." Aisyah mendengar itu dan menoleh dengan senyum tipis, tapi nada bicaranya mendadak berubah tegas, seperti suara kara
Hari semakin sore. Cahaya matahari yang hampir tenggelam memancarkan warna keemasan di ufuk barat. Suasana terasa hening di kantor gubernur saat Sulistyo menerima telepon dari ayahnya, Jatmiko. “Sulistyo, kau sudah bertemu dengan Gubernur Suryaloka?” Suara Jatmiko terdengar dingin dan tegas dari seberang. “Ajak gubernur ke rumah ayah untuk merundingkan rencana pernikahanmu dengan Citra.” Sulistyo menggenggam ponselnya erat, wajahnya tetap datar. “Baik, Ayah,” jawabnya singkat sebelum menutup telepon. Dengan langkah mantap, ia mendekati Suryanto yang masih berada di ruangan. “Pak Gubernur,” Sulistyo memulai dengan suara sopan namun formal, “Ayah saya, mantan presiden, mengundang Anda untuk datang ke rumahnya. Beliau ingin membahas rencana pernikahan saya dengan Citra.” Suryanto, meskipun terkejut, menyembunyikan reaksinya dengan senyuman tipis. “Baik, Anda berangkatlah lebih dulu. Saya akan datang ke sana bersama anak dan is
Sulistyo memicingkan mata, menatap ke arah Citra dengan tatapan penuh kebingungan. "Benarkah? Aisyah seperti itu?" tanyanya, seolah berusaha mencerna cerita yang baru saja didengarnya. Citra mengangguk mantap. “Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Dia menyelamatkanku dari tiga preman itu. Tidak ada yang lebih nyata dari itu.” Suaranya penuh keyakinan, namun matanya memancarkan emosi yang sulit dijelaskan—antara kagum, syukur, dan rasa tidak percaya atas keberanian Aisyah. Sulistyo mengusap dagunya, raut wajahnya menyiratkan bahwa dia sedang memikirkan sesuatu yang lebih dalam. Tanpa sadar, dia bergumam, “Apa ada sesuatu juga di makanan Aisyah waktu itu?” “Ya?” Citra menatapnya bingung. “Apa maksudmu?” Sulistyo tersentak dari lamunannya. “Ti-tidak. Tidak ada apa-apa,” katanya cepat, berusaha mengalihkan perhatian. Dia kemudian berjalan kembali ke sawah, bergabung dengan para petani yang sibuk mencangkul. Namun, gerak-ge
Saat upacara kemerdekaan beberapa bulan lalu, istana negara dipadati oleh lautan manusia. Para pejabat dari berbagai daerah hadir, termasuk gubernur Suryaloka bersama keluarganya.Citra, yang baru pertama kali ikut dalam acara besar seperti ini, tampak kebingungan di tengah kerumunan. “Ugh… Ayah dan Ibu di mana ya?” gumamnya, matanya mencari-cari wajah yang dikenalnya seperti anak kecil tersesat.Langkahnya membawanya semakin jauh dari keramaian utama. Tanpa sadar, ia telah menyusuri jalanan sempit yang menuju perkampungan kumuh di pinggiran istana. Aroma tak sedap bercampur dengan kesunyian subuh menyergapnya. Citra mengernyitkan hidung, merasa tidak nyaman. “Tempat macam apa ini? Kenapa aku tiba-tiba di sini?”“Eh, halo… Gadis cantik! Main sama kami, yuk!” Sebuah suara kasar terdengar dari belakang. Citra menoleh dan mendapati tiga pria bertampang seram berdiri di sana.“Kalian siapa?” tanya Citra panik, melangkah mundur dengan gugup.“
Setelah makanan kedua tersaji, piring-piring kotor mulai menumpuk di sekeliling saung. Para pria, seperti biasa, hanya meninggalkan sisa-sisa makanan begitu saja, tanpa sedikit pun niat mencucinya. Mereka duduk bersandar, berbicara seenaknya."Ayo cepat makan! Setelah ini kita mencangkul lagi!" seru pria bertubuh kekar yang tampak paling menyebalkan di antara mereka. Nada suaranya penuh otoritas, meski jelas ia tidak melakukan banyak hal selain mengatur-atur.Citra mengepalkan tangannya erat-erat. Amarahnya mendidih, namun ia berusaha menahan diri. Ia tahu, satu tindakan kasar saja dapat merusak citra dirinya sebagai putri gubernur.Namun sebelum situasi semakin memanas, Sulistyo turun dari saung dengan langkah mantap. Ia mengambil alih suasana dengan suara beratnya yang penuh wibawa. "Baiklah... Pemuda sekalian, waktu adalah uang! Seluruh warga Dwipantara menunggu hasil pertanian kita! Biarkan para wanita makan dengan tenang, dan kita duluan saja melanjut
Setelah semua selesai mandi dan menunaikan ibadah, para petani berkumpul di dekat panci besar yang menggantung di atas api unggun. Aroma rempah mulai memenuhi udara, menandakan makanan tengah disiapkan. Namun, pemandangan yang tersaji membuat Citra tidak nyaman.Semua petani wanita, termasuk dirinya, sibuk memasak dengan tangan yang sudah kelelahan akibat mencangkul sepanjang pagi. Sementara itu, para petani pria, termasuk Sulistyo, duduk santai di saung, menikmati semilir angin tanpa sedikit pun terlihat berniat membantu.Citra menggigit bibirnya, menahan amarah. "Apa mereka tidak lelah? Panas-panasan di sawah, sekarang harus memasak juga? Kalau mereka tidak mau membantu, biarkan saja kelaparan!" pikirnya geram, namun ia tak berani mengutarakannya.Dari arah saung, seorang petani pria muda yang tampak gagah malah berseru lantang. "Masak yang enak, ya! Kalau tidak enak, awas kalian!" katanya sambil terkekeh.Citra menatapnya dengan tatapan menusuk
Panas terik membakar sawah yang luas, menyengat kulit para petani, Sulistyo, dan Citra yang sedang giat bercocok tanam. Keringat mengucur deras dari wajah mereka. Wajah Citra memerah, kakinya bergetar, tubuhnya hampir menyerah karena tidak terbiasa dengan pekerjaan berat seperti ini."Kalau tidak kuat, berhenti saja! Untuk apa memaksakan diri?" bisik Sulistyo pelan di dekatnya, nadanya tajam namun tidak terlalu keras.Citra mengangkat wajahnya yang basah oleh keringat, matanya penuh tekad. "Tidak! Kalau Wakil Presiden saja bisa melakukan ini, aku juga bisa!" jawabnya mantap meskipun suaranya sedikit gemetar.Sulistyo hanya mendengus pelan, tidak ingin memperdebatkan semangat aneh gadis itu.Tak lama kemudian, suara seorang petani tua memecah kesibukan mereka. "Semuanya, sudah terdengar adzan. Sebaiknya kita berhenti sebentar untuk beribadah, setelah itu beristirahat.""Baik, Pak!" sahut para petani lainnya dengan serempak, meletakkan alat
"Kakak Mahendra..." Aisyah merengek pelan, suaranya hampir seperti bisikan, namun cukup jelas untuk terdengar di antara langkah-langkah mereka yang bergema di lorong. Ia menggantungkan diri pada lengannya, memohon belas kasihan. "Jangan merengek seperti anak kecil. Kau sudah besar," jawab Mahendra ketus, tanpa menoleh sedikit pun. Namun, nada suaranya yang tegas tidak cukup untuk menyembunyikan rasa lelahnya menghadapi tingkah Aisyah. Aisyah memajukan bibirnya, menahan kesal. "Kalau aku sudah besar, kenapa masih dikurung di kamar seperti anak kecil yang melakukan kesalahan berat? Aku bosan di kamar terus, Kak! Tidak ada udara, tidak ada kebebasan..." Suaranya meninggi, seolah-olah mengumpulkan energi terakhir untuk meraih simpati. Mahendra berhenti melangkah. Ia menghela napas panjang, jelas mulai luluh oleh rengekan Aisyah. Ia menatap wanita yang sedang memandang penuh harap. "Kau mau kemana?" tanyanya akhirnya, menyerah pada rasa penasaran. "Perpustakaan!" jawab Aisyah tanpa
Aisyah duduk di sudut kamar, matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan siaran langsung Sulistyo. Wajahnya yang biasanya dingin tampak sedikit berubah saat ia melihat momen di mana suaminya, Wakil Presiden, menopang tubuh Citra agar tidak terjatuh. Jika kebanyakan istri akan marah atau cemburu melihat hal itu, reaksi Aisyah justru sebaliknya."Hore! Tidak ada Sulistyo!" serunya sambil melompat dari tempat duduknya, seolah anak kecil yang baru mendapat hadiah besar. Senyum lebar terukir di wajahnya. "Sepertinya ini kesempatan untuk kabur!"Kegembiraannya terhenti sejenak ketika pintu kamar terbuka. Mila, pelayan setia yang sudah seperti teman, muncul sambil membawa nampan berisi makanan. "Nona, ini makan siangnya," ujar Mila dengan lembut, meletakkan nampan di atas meja dekat tempat tidur."Mila!" Aisyah langsung berlari ke arahnya, tanpa ragu memeluk perempuan itu erat-erat. Mila, yang tidak siap dengan reaksi tiba-tiba itu, terdiam, wajahnya men
Di tengah hamparan sawah yang luas, seorang gadis muda yang sedang menanam padi tak sengaja melihat sosok pria berjas berdiri memerhatikan mereka dari kejauhan. Matanya membelalak ketika mengenali pria itu, dan dengan suara lantang, ia berteriak, "Semua! Lihat! Itu Pak Wakil Presiden! Pak Wakil Presiden ada di sini!"Kegaduhan langsung pecah di antara para petani."Mana? Mana?""Oh, itu dia! Benar, itu Pak Wakil Presiden!""Pak Wakil Presiden!""Terima kasih banyak atas programnya! Berkat Bapak Presiden dan Wakil Presiden, kami tidak menganggur lagi!"Seperti air bah, para petani meninggalkan pekerjaan mereka dan berbondong-bondong berlari ke arah Sulistyo. Langkah kaki mereka menghentak tanah sawah yang basah, menyisakan jejak lumpur di setiap tempat mereka berpijak."Eh? Ja—jangan berkerumun seperti itu! A—aduh!" seru Citra panik, matanya melirik ke kanan dan kiri mencari keberadaan paspampres Sulistyo. Namun, pria itu tampak tenang, mengangkat tangannya ke arah Citra, memberi isyar