Share

Bab 7

Author: Sylus wife
last update Last Updated: 2024-11-30 18:58:49

Keesokan harinya, istana negara dipadati para menteri, petinggi negara, dan tamu undangan penting. Hari itu adalah momen bersejarah: pelantikan presiden dan calon wakil presiden untuk periode terbaru.

Di salah satu kamar megah istana, Aisyah berdiri di depan cermin besar, menatap bayangannya dengan ekspresi muram. Tubuhnya yang ramping dibalut kebaya ketat berwarna emas, dipadukan dengan kain canting bermotif khas adat Javanagara. Rambutnya yang biasa dibiarkan terurai kini ditata rapi menjadi konde, dihias ornamen kecil yang memantulkan kilauan cahaya.

Ia menghela napas panjang, kedua tangannya meraba lembut perutnya yang sedikit membuncit. Rasa tidak nyaman semakin menguat. "Kenapa harus begini?" gumamnya pelan, hampir berbisik. "Aku bahkan tidak bisa bernapas lega. Rasanya sesak sekali... Bagaimana kalau ini membahayakan bayiku?"

Aisyah memutar bola matanya, lalu menunduk, melihat kain yang membungkus tubuhnya terlalu erat. "Tidak bisakah aku mengenakan sesuatu yang lebih longgar? Sesuatu yang nyaman? Kenapa harus pakaian yang seperti ini?" lanjutnya, suaranya terdengar lirih, nyaris memelas.

Pikirannya melayang sejenak, membayangkan mengenakan streetwear longgar yang biasa dipadukannya dengan hijab. Tapi ia segera menggeleng, tahu itu hanya angan-angan yang tidak mungkin terwujud dalam acara seperti ini.

Ketukan pintu memecah lamunannya. Tak lama, Sulistyo masuk dengan langkah tenang. Ia mengenakan kemeja hitam elegan, dipadukan dengan peci sederhana. Penampilannya santai, kontras dengan Aisyah yang tampak begitu terbebani.

"Aisyah, sudah siap?" tanyanya dengan nada datar, seolah tidak peduli dengan gelisah yang terpancar dari wajah istrinya.

Aisyah berbalik, menatapnya dengan mata yang mulai memerah. "Lihat aku, Sulistyo. Aku... aku bahkan tidak bisa bernapas lega di pakaian ini. Terlalu ketat, terlalu menekan perutku. Aku merasa tidak nyaman sama sekali." Suaranya melemah di akhir kalimat, lebih seperti permohonan daripada keluhan.

Sulistyo menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. Ia menghela napas pendek, lalu berkata dengan nada yang dingin, "Aisyah, ini acara kenegaraan. Semua orang akan memperhatikan kita. Penampilanmu bukan hanya soal dirimu, tapi juga mencerminkan keluarga dan posisiku."

"Tapi..." Aisyah mencoba membantah, tapi Sulistyo segera memotongnya.

"Cukup, Aisyah. Cepat bersiap. Jangan buat masalah," katanya tegas, sebelum berbalik dan menutup pintu tanpa menunggu jawaban.

Aisyah terpaku di tempatnya, kedua tangannya gemetar di sisi tubuhnya. Ia kembali menatap cermin, merasa semakin asing dengan bayangan dirinya sendiri. Matanya menelusuri setiap detail kebaya yang membungkus tubuhnya, sementara perutnya terasa semakin tertekan.

Dengan hati-hati, ia menyentuh konde di kepalanya, lalu mengusap perutnya yang membuncit pelan. "Maaf ya, Nak... Ibu cuma ingin kau baik-baik saja." Ucapannya lembut, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun, di balik kata-kata itu, tersimpan sesak yang sulit ia sembunyikan.

Di luar kamar, Sulistyo melangkah menuju aula utama, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Namun, dalam hati ia menggerutu, "Wanita itu selalu membuat hal kecil jadi rumit. Padahal ini hanya masalah pakaian. Mengapa harus dipermasalahkan?"

Istana yang megah dan penuh kemewahan kini terasa dingin dan penuh ketegangan. Di tengah gemerlapnya acara kenegaraan, hati beberapa penghuninya justru diliputi badai kecil yang terus menggerogoti.

Detik-detik pelantikan presiden dan wakil presiden akhirnya tiba. Aula megah itu dipenuhi gemuruh tepuk tangan dan sorak-sorai tamu undangan yang datang dari berbagai penjuru negeri. Di atas podium, Sulistyo Nugroho berdiri dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan jas hitam sempurna. Di usianya yang baru menginjak 35 tahun, ia telah menjadi calon wakil presiden termuda dalam sejarah.

Di sampingnya, Haryanto Kartanegara, calon presiden berusia 70 tahun, berdiri dengan postur tegap yang masih mencerminkan kedisiplinan militer yang pernah membesarkan namanya. Wajahnya penuh wibawa, sebuah simbol kekuatan dan pengalaman yang tak tergoyahkan.

Sementara semua mata terpaku pada mereka, Aisyah berdiri di sudut aula, jauh dari sorotan. Ia mengenakan kebaya emas yang serasi dengan kain canting, namun ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak tertarik dengan apa yang berlangsung di depan. Tangannya sibuk memegangi ponsel yang kini sudah mati, baterainya habis tanpa ia sadari.

"Diam di sini saja ponselku sampai sekarat," pikirnya, mendesah kecil. Selama prosesi berlangsung, ia lebih memilih mendengarkan musik melalui earphones bluetooth yang tersembunyi di balik rambutnya yang sengaja sedikit digerai untuk menyembuhkan keberadaan earphones di telinganya. Ia telah memutar hampir semua genre—rock, R&B, bahkan akustik, hanya untuk menghindari kebosanan mendengar pidato-pidato panjang yang baginya tak ada artinya.

Ketika tepuk tangan kembali membahana, Aisyah terpaksa ikut bertepuk tangan, meski hanya sekadar mengikuti kerumunan. Wajahnya tetap datar, pandangannya kosong. Ia bahkan tidak tahu pidato apa yang baru saja selesai. Baginya, semua ini hanyalah formalitas membosankan yang jauh dari dunianya.

Saat prosesi pelantikan selesai, Aisyah mencabut earphones dari telinganya dan memasukkannya ke dalam tas dengan gerakan malas. Pandangannya sempat tertuju pada Sulistyo yang sedang tersenyum lebar, melambaikan tangan kepada para undangan. Sebuah ironi, pikirnya. "Mereka semua mengaguminya, tapi tak satu pun dari mereka tahu wajah aslinya di balik topeng itu."

Ia menarik napas panjang, lalu berjalan perlahan meninggalkan aula, membiarkan keramaian di belakangnya. Di tengah gemerlap pesta kekuasaan itu, ia merasa lebih seperti bayangan—tidak terlihat, tidak dianggap, dan tidak peduli.

Aisyah berjalan-jalan di sekitar istana negara, mencoba menjauh dari keramaian. Niatnya sederhana: mencari tempat tenang untuk menarik napas sejenak. Namun, langkahnya terhenti ketika terdengar keributan di dekat pagar depan.

"Ada apa di sana?" gumamnya, alisnya berkerut. Dengan rasa penasaran, ia berjalan menghampiri sumber suara.

Di sana, seorang pria paruh baya dengan kaos oblong lusuh sedang berteriak-teriak, wajahnya kusam dan penuh amarah. Ia memaksa masuk, mengabaikan penjaga berseragam lengkap yang berusaha menahannya.

"Biarkan saya masuk! Saya ini mertua wakil presiden kalian!" teriak pria itu dengan nada memaksa.

"Maaf, pak. Saat ini sedang berlangsung acara pelantikan presiden dan wakil presiden. Anda tidak bisa masuk tanpa undangan. Kami sarankan Anda membuat janji terlebih dahulu," ucap salah seorang penjaga, suaranya tetap tenang meski tegas.

Aisyah membeku di tempatnya, matanya membelalak. "Ayah?" bisiknya, nyaris tak percaya.

Pria itu menoleh, dan begitu melihat Aisyah, raut wajahnya berubah penuh otoritas. "Putriku! Biarkan ayah masuk sekarang!" titahnya dengan nada yang lebih seperti perintah daripada permintaan.

Penjaga kembali menahannya. "Maaf, pak, selain tamu undangan—"

Sebelum kalimat itu selesai, Aisyah melangkah keluar gerbang dengan cepat, memotong pembicaraan. "Tidak apa-apa, pak. Saya akan bicara dengannya di luar. Ayah, ikut aku!"

Ia menarik tangan pria itu, memaksanya menjauh dari pagar. Tatapan Aisyah dingin, tapi ia tetap memasang wajah tenang di depan para penjaga. Baru setelah cukup jauh, ia membiarkan emosinya menguasai pikirannya.

"Apa yang dia lakukan di sini? Apa lagi yang pria tua ini inginkan dari hidupku?" gumamnya dalam hati. Firasat buruk menjalari tubuhnya, tetapi ia tidak mengucapkannya. Bagi Aisyah, ayah tirinya selalu membawa lebih banyak masalah daripada jawaban.

Setelah menjauh dari gerbang, Aisyah membawa ayah tirinya ke tempat yang cukup sepi di sudut taman. Ia berhenti, berbalik menghadap pria itu dengan tatapan tajam. "Ayah, katakan saja. Apa yang ayah inginkan kali ini?"

Mustofa, pria dengan pakaian lusuh dan bau keringat yang menyengat, menyeringai. Senyumnya tidak pernah menyenangkan bagi Aisyah. "Wah, lihatlah putriku. Kau semakin cantik. Pakaianmu mewah, wajahmu bersih terawat. Aku hampir tidak mengenalimu," katanya sambil mengulurkan tangan, menyentuh pipi Aisyah dengan ujung jarinya.

Aisyah mundur cepat, ekspresinya berubah jijik. "Jangan sentuh aku. Langsung ke intinya saja, ayah ingin apa?"

Mustofa tertawa kecil, suara parau yang membuat bulu kuduk Aisyah meremang. Dengan santai, ia mengangkat tangannya, menunjukkan gestur meminta uang. "Apa lagi kalau bukan ini?"

Aisyah menatapnya tanpa emosi, sudah memahami arah pembicaraan ini. "Aku tidak punya uang."

Mustofa mendengus marah, wajahnya mengeras. "Kau pikir aku bodoh? Kau istri wakil presiden sekarang! Mana mungkin kau tidak punya uang?"

"Aku tidak pernah diberi uang tunai," jawab Aisyah dengan suara dingin. "Semua kebutuhanku disediakan dalam bentuk barang. Percaya atau tidak, itu urusanmu."

Kemarahan meledak di wajah Mustofa. "Jangan bohong padaku, Aisyah!" suaranya meninggi, menarik perhatian beberapa orang di sekitar mereka.

"Percaya atau tidak, aku tidak peduli," balas Aisyah, tetap tenang meski jantungnya berdebar.

Mendengar jawaban itu, Mustofa tidak lagi bisa menahan amarahnya. "Dasar anak durhaka!" teriaknya sebelum mengayunkan kakinya dengan brutal, menendang perut Aisyah yang tengah mengandung.

Aisyah terjatuh dengan keras ke tanah. Rasa sakit luar biasa menusuk perutnya, membuatnya tercekik dan tak mampu bernapas sesaat. Ketika ia menyentuh perutnya, darah mulai merembes melalui kain cantingnya. Air mata membasahi wajahnya. Pandangannya kabur, tetapi ia masih bisa melihat Mustofa berdiri di sana, matanya penuh kebencian yang tidak pernah ia mengerti.

Kerumunan mulai berlari mendekat, suara panik terdengar di mana-mana. Namun, bagi Aisyah, dunia terasa semakin jauh. Di dalam hatinya, ia hanya bisa berdoa untuk keajaiban, untuk nyawa yang kini terancam dalam kandungannya.

Related chapters

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 8

    Ruangan itu terasa dingin dan sunyi, hanya terdengar suara alat medis yang terus berbunyi monoton. Aisyah perlahan membuka matanya, cahaya putih menyilaukan dari lampu di langit-langit menyambut pandangannya. Ia menyadari dirinya terbaring di ranjang rumah sakit. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya begitu lemah. Namun, suara-suara tajam mulai menusuk telinganya, menghancurkan keheningan. "Dia sudah keguguran," suara dingin itu mengoyak kesadarannya. "Dia sudah tidak berguna lagi!" sambung yang lain, penuh kebencian. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Aisyah mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasa sakit di seluruh tubuhnya membuatnya hanya bisa terbaring. Ia memandang sekeliling dengan lemah, menemukan orang-orang yang seharusnya menjadi keluarganya menatapnya dengan penuh penghinaan. "Lihatlah dia! Sia-sia saja kita bersikap baik padanya, namun dia malah keguguran!" Ratri, ibu Sulistyo, berkata dengan nada sinis, kini tanpa basa-basi menyembunyikan kebenciannya. "

    Last Updated : 2024-11-30
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 9

    Setelah Jatmiko dan Ratri kembali ke Suryaloka, situasi di istana negara berubah semakin memanas. Berita tentang Aisyah yang dibawa ke rumah sakit menggunakan jet pribadi menyebar cepat di media sosial, memicu hujatan dari berbagai pihak. “Wakil presiden baru, tapi skandal sudah langsung datang! Memalukan!” tulis salah satu netizen dengan nada marah. “Jet pribadi buat ke rumah sakit? Sementara di pedalaman orang sakit susah dapat ambulans! Gila ini!” komentar lain yang mendapatkan ribuan tanda suka. “Ini pasti pakai uang rakyat! Korupsi berkedok kemewahan! Hancur sudah moral pemimpin kita!” tambah akun lain, memperkeruh suasana. Sulistyo duduk di ruang kerjanya, wajahnya tegang menatap layar ponsel yang terus menampilkan komentar-komentar penuh cemoohan. Jari-jarinya gemetar, dan tanpa sadar ia memukul meja, membuat suara keras menggema di ruangan. “Ini... Ini semua gara-gara dia!” geramnya, giginya gemeretak menahan amarah. “Gadis miskin rendahan itu! Hidupku jadi kacau karena d

    Last Updated : 2024-12-01
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 10

    Keesokannya, Nursyid mengunggah di akun media sosial pribadinya, dengan caption: "Suatu kehormatan bisa membuat wakil presiden dan keluarganya menumpang dengan nyaman di jet pribadi milik saya." Unggahan itu langsung menuai beragam komentar netizen. Beberapa membela Sulistyo, beberapa membela Nursyid, dan banyak yang menghujat keduanya. "Lihat? Keluarga wakil presiden kita tidak mungkin menggunakan uang rakyat untuk jet pribadi! Itu pasti milik salah satu pengusaha yang meminjamkan pesawatnya!" komentar akun penjilat keluarga Nugroho, menanggapi unggahan Nursyid yang menyebut pesawat itu miliknya. "Nursyid sayang... Berapa banyak uang yang kau terima untuk menipu kami semua? Kami, penggemar setia LightGlow Cosmetics, merasa dikhianati!" tulis netizen lainnya dengan nada kecewa. "Pangeran tampan... Kenapa kau tega menipu kami demi uang haram? Kembalilah ke jalan yang benar!" tambah komentar berikutnya, penuh rasa marah dan kecewa. "Tidak pemimpin negara, tidak pemimpin perusahaan,

    Last Updated : 2024-12-01
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 11

    Aisyah duduk di perpustakaan istana dengan tenang, tenggelam dalam dunia buku yang ia baca. Hening dan damai, seperti pelarian kecil dari realitas yang menyiksa. Tapi ketenangan itu tak berlangsung lama. "Sedang membaca? Baguslah," suara sinis Sulistyo memecah keheningan. Aisyah menghela napas panjang, mencabut earphone bluetooth dari telinganya dengan gerakan malas. "Langsung saja. Apa maumu kali ini?" Sulistyo melangkah mendekat, meletakkan tumpukan kertas di atas meja dengan senyum miring. "Baca ini, dan hapalkan semuanya." Mata Aisyah menatap tajam ke arah dokumen itu. "Apa ini?" tangannya terulur, mulai membolak-balik halaman dengan cepat. "Skrip acara talk show," jawab Sulistyo dengan nada penuh kemenangan. "Kau harus tampil besok. Tunjukkan akting terbaikmu!" Aisyah membaca sekilas, lalu terkekeh kecil. "Jadi ini semua demi pengalihan isu jet pribadimu? Menonjolkan betapa malangnya nasibku, seorang perempuan yang keguguran karena ditendang ayah tirinya? Sungguh, kau tak p

    Last Updated : 2024-12-02
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 12

    Setelah acara talk show berakhir, media sosial Aisyah meledak. Notifikasi tak berhenti berdatangan—jutaan orang mulai mengikuti akun pribadinya. Banyak yang memberikan dukungan, tetapi tidak sedikit pula yang mencemoohnya. “Aisyah! Aku sudah lihat penampilanmu di talk show tadi. Kau wanita yang sangat kuat! Tetap semangat, ya!” tulis salah satu komentar yang membanjiri kolomnya. “Aisyah adalah bukti bahwa perempuan bisa tetap berdiri meski dihancurkan oleh hidup. Terus bertahan, kami mendukungmu!” tulis pengguna lain dengan emoji hati yang memenuhi baris komentar. Namun, tak semua suara semanis itu. “Cantik darimana? Wajahnya biasa saja. Pasaran banget!” cemooh sebuah akun yang disertai tawa mengejek. “Tch! Orang-orang ini mudah sekali terbuai cerita murahan. Lihat saja, sebentar lagi dia pasti jadi model kosmetik,” sindir komentar lain yang menuai ratusan tanda suka. Namun ada pula yang membela. “Berhenti menghujat! Aisyah itu cantik, dan lebih penting lagi, dia adalah

    Last Updated : 2024-12-02
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 13

    Jam dinding berdetak perlahan, menghadirkan ritme monoton di ruang tamu megah yang kini sunyi senyap. Cahaya lampu kristal memantul dingin, mempertegas keheningan. Aisyah duduk diam, tangannya perlahan memegangi perut, lalu tertawa kecil, sinis, seperti menemukan lelucon yang hanya ia pahami. "Lucu... kalian semua sangat lucu," ucapnya dengan nada tajam, memecah keheningan yang mencekam. Ia mengangkat pandangan, menatap mereka satu per satu, lalu melanjutkan dengan nada yang penuh ejekan. "Apa kalian benar-benar berpikir tindakan kalian ini tidak akan menghancurkan nama baik kalian sendiri?" Sulistyo, yang sejak tadi berdiri tegak penuh wibawa palsu, justru tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema, seolah ancaman Aisyah hanyalah bahan lelucon baginya. Dalam sekejap, tangannya yang besar mencengkeram dagu Aisyah dengan kuat, memaksa wanita itu menatap langsung ke dalam matanya yang penuh amarah. "Kau pikir aku sebodoh itu?" tanyanya dingin, senyum sinis terukir di wajahnya. Aisyah

    Last Updated : 2024-12-02
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 14

    Halaman belakang Istana Negara yang sunyi terasa seperti oasis kecil di tengah kekacauan batin Aisyah. Angin lembut yang berhembus membawa kehangatan, seakan berusaha membungkus tubuhnya yang rapuh dengan pelukan alam. Di bawah langit senja, Mahendra duduk di hadapan Aisyah, memegang perlengkapan medis kecil. Tangannya yang besar namun lembut dengan hati-hati membersihkan luka-luka di wajah Aisyah, gerakannya pelan dan penuh perhatian, seolah setiap sentuhannya dirancang untuk mengobati tidak hanya fisik, tetapi juga hatinya yang terluka."Sakit?" tanya Mahendra dengan suara lembut, nadanya penuh kepedulian. Tatapannya terpaku pada ekspresi Aisyah, memperhatikan setiap reaksi, takut jika ia melukai lebih dalam. Ketika Aisyah sedikit meringis meskipun mencoba menyembunyikannya, tangan Mahendra otomatis berhenti.Aisyah menggeleng perlahan. Meski hatinya masih terasa pedih, kepedulian pria di depannya ini seperti air yang memadamkan api di dalam dirinya. Senyumnya yang tulus, tangannya

    Last Updated : 2024-12-03
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 15

    Di sebuah kamar tamu yang besar dan mewah, jam dinding berdetak lambat, seolah menghitung setiap detik dengan penuh kehati-hatian. Keheningan di ruangan itu hampir memekakkan telinga, hanya dipecahkan oleh langkah-langkah kecil tiga gadis yang sibuk bergerak. Mereka adalah Mila, Misa, dan Aisyah. "Ah! Pinggangku...!" keluh Mila, pelayan istana, sambil memegangi pinggangnya yang terasa nyeri. Napasnya terengah setelah memindahkan koper besar milik keluarga Citra. "Mereka cuma tinggal beberapa hari, tapi barangnya seperti mau pindah rumah setahun!" "Ssst!" Misa, kakak Mila yang lebih tenang, menyenggol lengannya dengan tajam. Ia melirik sekilas ke arah Aisyah yang sedang merapikan pakaian milik anak gubernur di lemari, wajahnya tanpa ekspresi. "Jangan mengeluh terlalu keras! Lihat istri wakil presiden kita. Padahal dia bukan pelayan, tapi lebih rajin daripada kamu." Aisyah mendengar itu dan menoleh dengan senyum tipis, tapi nada bicaranya mendadak berubah tegas, seperti suara kara

    Last Updated : 2024-12-03

Latest chapter

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 135

    Malam mulai merayap ketika Aisyah dan Sulistyo kembali ke istana negara setelah kunjungan panjang ke rumah sakit. Langit kelam membayangi bangunan megah itu, dan suara gemuruh jauh dari aksi demonstrasi yang terus berlangsung, terasa seperti ancaman yang tak pernah benar-benar pergi.Mereka melangkah masuk ke kamar utama. Sulistyo melempar jasnya ke kursi dan duduk di tepi ranjang, matanya menatap kosong ke depan, pikirannya seolah terperangkap dalam sesuatu yang tak terlihat. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan."Duduklah." Suaranya terdengar datar, namun perintah itu penuh kuasa, membuat Aisyah tanpa sadar menuruti dengan patuh. Ia duduk di samping suaminya, tangannya mengepal erat di atas pangkuannya, sementara perasaan tertekan membungkus tubuhnya seperti rantai yang tak terlihat.Sulistyo memutar tubuhnya sedikit, jemarinya yang besar dan dingin menyentuh kepala Aisyah, mengusapnya dengan sentuhan yang tampak lembut namun penuh pe

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 134

    Pintu kamar terbuka perlahan, engselnya berderit seperti jeritan pelan yang menyeruak ke dalam keheningan. Sulistyo melangkah masuk dengan langkah tenang namun penuh kekuasaan, bayangannya yang panjang melintasi dinding seperti sosok kegelapan yang merayap mendekati mangsanya. Aisyah, yang sebelumnya tengah memegang ponselnya dengan tangan gemetar, dengan cepat menyembunyikan perangkat itu di bawah bantal dan membaringkan diri di ranjang. Matanya terpejam rapat, napasnya ditahan, seolah tidur adalah satu-satunya pelindung dari bencana yang berdiri di ambang pintu.Sulistyo mendekat, duduk di tepi ranjang, dan tangannya yang dingin terulur, mengusap rambut Aisyah dengan gerakan yang, di permukaan, tampak penuh kasih. Namun sentuhan itu bagaikan rantai besi yang melilit leher, menahan kebebasannya."Apa kau sudah memeriksanya?" Suaranya rendah, penuh tekanan yang terpendam. Setiap kata menembus jantung seperti pisau kecil yang perlahan menusuk. "Apa kau sudah hamil?"

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 133

    Komentar-komentar di komunitas media sosial terus bergulir tanpa henti seperti arus sungai yang liar, semakin deras dan panas seiring dengan berlalunya siang. Aisyah terbaring diam di tempat tidur, cahaya ponsel memantul di wajahnya yang pucat. Jemarinya menggulir layar, matanya terpaku pada setiap kata yang muncul—setiap kalimat adalah ledakan kecil yang menghantam jiwanya, mengoyak rasa tenang yang berusaha ia pertahankan.“Tapi kau lihat sendiri apa yang terjadi pada orang-orang yang menentang Sulistyo, kan? Orang-orang sekelas Nursyid saja terancam bangkrut karena berani melawannya. Apalagi orang kecil seperti kita-kita ini?”Aisyah menelan ludah, telinganya seakan mendengar gema ketakutan yang diucapkan oleh pengguna anonim di layar.“Itu benar! Apa yang bisa kita lakukan? Lihat saja para pendemo kemarin! Dua orang mati, dan jika Sulistyo tidak berbelas kasihan, mungkin lebih banyak lagi yang akan tumbang!”“Berbelas kasihan?” pikir Aisyah de

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 132

    Kolom komentar di media sosial yang selama ini menjadi arena bagi suara-suara terpendam kini dipenuhi gelombang kesedihan dan kemarahan. Ratusan pesan memenuhi layar, membentuk aliran panjang yang tak henti-hentinya bergerak, mencerminkan hati dan pikiran rakyat yang mendidih."Itu sangat mengerikan!""Benar juga, Aisyah ke mana ya? Dia sudah tidak terlihat lagi di TV atau media sosial mana pun."Setiap pesan seolah-olah menjadi sumbu yang membakar api kepedihan dan kepedulian. Mereka berbicara satu sama lain, menggema dengan rasa ingin tahu yang berbalut kecemasan."Pertanyaan bodoh! Pastinya dia sudah ditahan Sulistyo karena hampir membuatnya dihukum mati.""Aisyah yang malang… Dia hanya ingin membuka mata rakyat, menunjukkan keburukan Sulistyo. Tapi apa daya? Lawannya adalah monster yang menguasai segalanya."Nama Aisyah disebut-sebut dengan penuh kasih dan simpati, seakan-akan dia adalah simbol perjuangan yang terlupakan namu

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 131

    Aisyah terbangun dari tidur siangnya dengan hati yang gelisah. Udara dalam kamar terasa berat, seolah sesak oleh rahasia dan ketakutan yang tak terlihat. Tangannya terjulur meraih ponsel di meja samping tempat tidur. Dengan jantung yang berdetak cepat, ia membuka layar dan langsung menelusuri beranda media sosial yang dipenuhi berita dan komentar panas tentang Sulistyo.Berita utama yang terpampang di layar membuat matanya melebar. “Tragedi Berdarah: Dua Mahasiswa Gugur di Tangan Presiden Sulistyo.” Setiap kata terasa seperti pukulan keras yang menghantam dadanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosi yang berkecamuk, meski jauh di lubuk hati, ia sudah tahu bahwa hal seperti ini akan terjadi.Komentar-komentar dari netizen mengalir deras seperti arus sungai yang tak terbendung, penuh dengan kemarahan dan ketakutan:“Sulistyo benar-benar mengerikan! Dia membunuh dua orang mahasiswa!”“Apa dia sungguh manusia? Dia lebih seperti monste

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 130

    Meja makan di aula megah itu dipenuhi makanan mewah, setiap piring tersaji dengan detail sempurna. Para pelayan bergerak seperti bayangan, menyajikan hidangan dengan penuh kehormatan. Di sekitar mereka, pejabat tinggi dan orang-orang berpengaruh bercakap-cakap, membicarakan nasib rakyat yang bagi mereka hanyalah angka-angka di atas kertas.Aisyah duduk dengan tenang di sisi Sulistyo, matanya memandang lurus ke depan, tapi pikirannya melayang jauh dari hiruk-pikuk. Orang-orang berlalu-lalang, wajah-wajah yang penuh tipu daya dan senyum palsu yang memuja kekuasaan. Sesekali ia menangkap mata yang menatapnya dengan iri, wajah-wajah wanita yang ingin berada di posisinya. Mereka tidak tahu. Mereka hanya melihat kemewahan dan kemuliaan, bukan rantai tak terlihat yang membelenggu jiwa.Sulistyo menoleh, menatap Aisyah dengan senyum yang tampak hangat, meski ada sesuatu yang dingin dan menguasai di balik matanya. Tangannya terulur, menyibakkan rambut Aisyah dengan lembut,

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 129

    Sulistyo berdiri di tengah tempat yang dipenuhi teriakan dan jeritan mahasiswa. Tangannya terangkat perlahan, dan dari telapak tangannya, asap hitam mulai merayap keluar, bergerak dengan kehendak yang menyerupai makhluk hidup. Asap itu menyelubungi pintu-pintu dan jendela, menutup semua jalur keluar. Suasana yang sudah mencekam berubah menjadi horor murni."Cepat keluar!" teriaknya, suaranya bergema seperti guruh di langit malam. Mata gelapnya bersinar penuh kebencian. "Jangan membuatku berubah pikiran!"Dengan satu gerakan tegas, asap hitam itu surut, membuka jalan bagi para mahasiswa yang sudah pucat pasi. Mereka berlarian, berhamburan keluar seperti kawanan domba yang diterkam serigala. Tangisan dan teriakan ketakutan mereka menggema, menyayat udara malam yang dingin. Beberapa jatuh tersungkur, sementara yang lain mendorong tanpa ampun demi menyelamatkan nyawa sendiri.Di luar, kamera-kamera televisi tetap menyala, menangkap setiap momen dengan sempurna

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 128

    Setelah prosesi pelantikan Sulistyo sebagai presiden dan Prasetya sebagai wakil presiden usai, gemuruh tepuk tangan memenuhi istana. Suara riuh itu memantul di dinding-dinding megah, membentuk simfoni kepalsuan yang memekakkan telinga. Para pejabat, tamu undangan, dan tokoh-tokoh penting berdiri dengan senyum penuh sanjungan, meski sebagian besar dari mereka menelan ketakutan yang tak mampu disembunyikan di balik topeng mereka.Di luar gerbang istana, barisan mahasiswa yang dulunya berdiri tegak dengan semangat perjuangan kini tertunduk lesu. Mata mereka kosong, menyimpan trauma dari kekejaman yang baru saja mereka saksikan. Dua dari mereka telah tergeletak tak bernyawa—korban terbaru dari tangan besi Sulistyo, presiden yang kini memegang kendali penuh atas kehidupan mereka. Suara perlawanan yang dulu membakar, kini sirna. Yang tersisa hanya rasa takut yang menggerogoti jiwa.Sulistyo menatap mereka. Senyum puas terpampang di wajahnya, sebuah senyuman yang lebih me

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 127

    Di tengah kemegahan istana yang dipenuhi sorotan kamera dan kilauan lampu, Sulistyo berdiri dengan tegak di atas podium. Senyum liciknya terukir sempurna, menampilkan gigi-gigi yang seolah siap menerkam siapa saja. Suaranya menggema, mengisi setiap sudut dengan nada kemenangan yang menusuk hati."Hadirin sekalian… Kali ini kita kedatangan tamu yang sangat penting. Sekumpulan anak-anak mahasiswa. Calon-calon pemimpin negara ini di masa depan," katanya, suaranya tegas namun sarat dengan penghinaan terselubung. "Oleh karena itu, mari kita dengarkan pidato dari presiden kalian yang baru dengan saksama!"Dia mengangkat tangannya seolah memerintah dunia untuk tunduk di bawah kakinya. Sorak-sorai dari beberapa orang bayaran bergema, menciptakan ilusi bahwa Sulistyo benar-benar dihormati.Di barisan belakang, Ratri menyaksikan dengan tubuh gemetar. Matanya membelalak, ekspresinya penuh campuran antara ngeri dan tidak percaya. "Sulistyo…" bisiknya, suaranya bergeta

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status