Aisyah duduk di atas ranjang rumah sakit, mengenakan pakaian pasien yang longgar. Wajahnya datar, matanya malas menatap orang-orang di sekelilingnya. Ratri berdiri di depan dokter, raut wajahnya tampak khawatir—atau lebih tepatnya, pura-pura khawatir.
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Ratri dengan nada yang dibuat cemas. Dokter wanita itu tersenyum tipis, mencoba menciptakan suasana tenang. “Ananda Aisyah tidak mengalami keguguran,” jawabnya tenang. Aisyah mendesah pelan, pandangannya beralih pada dokter. “Kalau begitu, kenapa bagian bawah tubuh saya mengeluarkan begitu banyak darah?” tanyanya, nadanya terdengar santai, seolah rasa sakit yang dirasakannya tak berarti apa-apa. Dokter memperhatikan Aisyah sejenak sebelum menjawab dengan profesional, “Pendarahan itu bukan karena keguguran. Melainkan karena luka robek di dinding vagina akibat hubungan seksual yang terlalu kasar.” Ruangan itu langsung hening. Semua mata kini beralih pada Sulistyo, yang berdiri di pojok ruangan. Wajahnya tak menunjukkan emosi apapun, tapi sorotan mata dari orang-orang di sekitarnya terasa menelanjangi dirinya. Sulistyo akhirnya berbicara, dengan nada pelan dan wajah menunduk. “Saya minta maaf... Saya terlalu bersemangat saat malam pertama kami, sampai tanpa sadar melukai istri saya.” Ekspresi menyesal tergambar jelas di wajahnya, nyaris meyakinkan siapa saja yang melihatnya. Aisyah menatap Sulistyo dengan tatapan kosong, nyaris muak. Dalam hatinya, ia bergumam, "Keluarga ini benar-benar berbakat. Selain jadi politikus, mereka juga cocok menjadi aktor. Aktingnya terlalu sempurna untuk dipercaya." Ratri menghela napas panjang, seolah ingin mencairkan suasana. “Yang penting tidak ada yang serius. Kami akan lebih hati-hati ke depannya, Dok,” ucapnya dengan nada lembut yang terasa terlalu dibuat-buat. Aisyah menatap Ratri sebentar, lalu kembali bersandar di ranjang tanpa berkata apa-apa. Hatinya penuh amarah yang ia sembunyikan di balik senyuman tipis. Dalam benaknya, satu hal yang jelas: kebohongan ini akan berlanjut, dan ia akan menjadi penontonnya yang paling dingin. Aisyah duduk bersandar di ranjang, wajahnya datar, tetapi matanya menyiratkan kelelahan dan rasa ingin tahu yang mendalam. Setelah beberapa saat hening, ia menghela napas perlahan, lalu berbicara. Suaranya tenang, namun setiap kata yang keluar membawa beban besar. “Kenapa saya bisa langsung hamil hanya karena diperkosa satu kali?” tanyanya, nadanya penuh ironi, tajam namun lelah. Ruangan mendadak sunyi. Dokter menatapnya, mencoba memahami, sebelum akhirnya menjawab dengan nada profesional yang hati-hati. “Kehamilan tidak bergantung pada seberapa sering hubungan dilakukan,” katanya perlahan. “Jika terjadi saat masa subur, satu kali saja sudah cukup untuk memungkinkan pembuahan. Kadang, hanya dibutuhkan satu sperma yang berhasil mencapai sel telur. Itulah mengapa kehamilan bisa terjadi, bahkan dalam situasi yang...” Ia ragu sejenak, lalu melanjutkan dengan lebih lembut, “...tidak diinginkan.” Aisyah mendengarkan tanpa reaksi, hanya mengangguk kecil. Tatapannya kosong, seolah memandang ke ruang hampa. Namun, ada sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya, sesuatu yang sulit ia kendalikan. Ia menarik napas panjang, lalu menunduk, jemarinya meremas selimut. Suaranya, meskipun pelan, terdengar jelas di ruangan yang hening itu. “Kehamilan...” ia bergumam, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri, tetapi nadanya sarat emosi yang tertahan. “Hal yang paling misterius di dunia ini.” Semua mata tertuju padanya, tetapi ia tidak peduli. Aisyah melanjutkan, lebih kepada pikirannya sendiri daripada kepada orang lain. “Banyak orang yang menginginkannya, berusaha bertahun-tahun dengan harapan... tetapi tetap gagal.” Ia tersenyum tipis—bukan senyuman bahagia, melainkan getir. “Di sisi lain, ada juga yang tiba-tiba hamil... karena sesuatu yang tidak pernah mereka inginkan.” Kalimatnya menggantung, menyisakan keheningan yang berat. Sulistyo berdiri di pojok ruangan, mengalihkan pandangannya dengan gelisah. Ratri hanya mendengus, sementara Jatmiko tampak terdiam, alisnya berkerut seperti tengah memikirkan sesuatu. Aisyah menutup matanya sejenak, menahan napas yang terasa berat di dadanya. Ketika ia berbicara lagi, suaranya hampir seperti bisikan, tetapi setiap kata menusuk tajam. “Ironis, bukan?” gumamnya akhirnya. Tidak ada yang menjawab. Ruangan tetap sunyi, hanya dihuni oleh emosi yang tertahan dan beban yang tidak terkatakan. Ratri menatap dokter dengan sorot mata yang tajam, rasa penasaran dan ketidakpercayaan tergambar jelas di wajahnya. “Tapi, Dok...” katanya, suaranya mencela. “Kenapa hasil diagnosa menunjukkan Aisyah sudah hamil empat minggu? Sedangkan putra saya bilang dia baru melakukan hubungan itu sekitar dua minggu lalu.” Ia menyipitkan mata, lalu melanjutkan dengan nada sinis, “Apa benar ini anak putra saya? Jangan-jangan ini anak pria lain sebelum berhubungan dengan putra saya.” Sulistyo, yang sejak tadi berdiri di pojok ruangan, akhirnya angkat bicara. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, senyum jahat tersungging di wajahnya. “Itu benar,” katanya dingin. “Bagaimana dia bisa hamil empat minggu kalau saya baru menyentuhnya dua minggu lalu?” Ruangan mendadak hening. Kata-kata itu jatuh seperti petir di tengah badai, membelah suasana menjadi tegang. Aisyah, yang duduk di ranjang, hanya diam. Wajahnya pucat, tetapi sorot matanya tetap tajam. Ia tidak bereaksi, tidak juga membela diri. Ratri membuka mulut seolah ingin melontarkan lebih banyak tuduhan, tetapi tidak ada kata yang keluar. Matanya menatap Aisyah dengan curiga, sementara Sulistyo memalingkan wajah, seakan enggan mengakui sesuatu yang tidak ia inginkan. Dokter, yang sedari tadi memerhatikan dengan tenang, akhirnya berbicara. Suaranya lembut, tetapi cukup tegas untuk memecah kebisuan. “Cara menghitung usia kehamilan sedikit berbeda dari apa yang Anda bayangkan,” ujarnya, matanya bergeser dari Ratri ke Sulistyo. “Usia kehamilan dihitung sejak hari pertama haid terakhir, bukan dari waktu hubungan seksual. Jadi, jika haid terakhir Aisyah adalah empat minggu lalu, maka kehamilannya memang berusia empat minggu, meskipun hubungan baru terjadi dua minggu lalu.” Ratri mengerutkan kening, kebingungan. “Maksud dokter apa? Bukankah itu tidak masuk akal?” Dokter menatapnya dengan sabar. “Proses pembuahan baru terjadi sekitar dua minggu setelah haid terakhir, tetapi penghitungan usia kehamilan dimulai lebih awal. Ini sudah menjadi standar medis. Jadi, tidak ada yang aneh dengan kehamilan Aisyah.” Ratri tampak tertegun. Mulutnya terbuka, tetapi kali ini tidak ada kata-kata yang keluar. Ia hanya melirik Sulistyo, berharap ada penjelasan lain yang lebih mendukung kecurigaannya. Sulistyo menggeram pelan, wajahnya memerah. Namun, alih-alih membalas, ia hanya menundukkan kepala, memalingkan wajah dari Aisyah. Aisyah akhirnya membuka suara. Dengan nada yang tenang tetapi dingin, ia berkata, “Kalian ingin menyalahkan siapa? Menuduh apa lagi? Semua sudah jelas. Masih kurang puas? Tes DNA saja sekalian kalau bayinya sudah lahir! Awas saja menuduhku yang tidak-tidak!" Ratri tidak menjawab. Hanya keheningan yang tersisa, menyesakkan, seakan semua kata-kata telah ditelan oleh ketegangan yang membebani ruangan itu.Setelah tiga bulan berlalu, sikap keluarga Sulistyo mulai berubah. Perut Aisyah yang semakin membesar menjadi perhatian utama, terutama bagi Ratri. Kehamilan itu kini menjadi alasan mereka menunjukkan perhatian yang terasa ganjil—lebih seperti kewajiban daripada kasih sayang tulus."Nak, kemarilah. Waktunya makan," panggil Ratri dengan nada lembut sambil menyiapkan makanan di atas meja makan.Aisyah melangkah perlahan menuju dapur. Perutnya terasa semakin berat, tubuhnya sedikit condong ke depan karena bayi di dalam kandungannya yang mulai membesar."Wah, cucu nenek sudah besar saja," ujar Ratri sambil tersenyum, tangannya mengusap perut Aisyah dengan lembut. "Baru tiga bulan, tapi perkembangannya luar biasa."Ratri menatap menantunya dengan pandangan yang sulit diterka. "Kau juga terlihat lebih cantik sekarang, setelah Sulistyo... yah, berhenti memperlakukanmu dengan buruk." Tangannya berpindah mengusap pipi Aisyah yang kini terlihat lebih segar. "Kulitmu halus sekali, membuat ibu ja
"Tolong! Siapa pun! Tolong aku!”Teriakan memilukan menggema di sebuah aula besar yang gelap dan sepi dalam istana negara. Suara tangisan seorang gadis muda berusia 19 tahun merobek keheningan malam, memohon belas kasihan yang tak kunjung datang. Tubuhnya tergeletak tak berdaya, mencoba melawan kekuatan seorang pria yang memaksanya. Di atasnya, wajah dingin Sulistyo Nugroho—calon wakil presiden yang segera dilantik—tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.Dia tersenyum sinis di tengah jeritan itu, seolah menikmati kekuasaannya yang tak tergoyahkan. Di sisi lain, gadis itu menggigil, air matanya bercampur rasa sakit dan kehinaan yang tak dapat ia ungkapkan. Tidak ada saksi, hanya dinding-dinding dingin yang membisu di aula megah itu.---Sejak dua minggu setelah kejadian itu, Aisyah terbaring diam di kamar kecilnya. Tubuhnya terasa remuk, bukan hanya karena luka fisik, tetapi juga rasa jijik dan hina yang menusuk batinnya. Ia menatap langit-langit kamar dengan mata sembab, air matanya t
Aisyah duduk di depan meja rias, wajahnya dingin seperti porselen. Beberapa MUA sibuk merapikan riasannya, namun suasana di ruangan itu terasa berat, penuh ketegangan yang tak terlihat. Hanya suara lembut kuas bedak yang berbisik di udara, menemani keheningan yang menggantung."Wah, calon istri wakil presiden kita memang luar biasa cantik! Tidak heran kalau calon wakil presiden yang katanya dingin itu bisa jatuh hati. Rupanya pengibar bendera tidak hanya ahli mengibarkan bendera, tapi juga perasaan pria seperti seorang calon wakil presiden!" ujar salah satu MUA yang tampaknya berusaha mencairkan suasana.Aisyah meliriknya sekilas dari balik cermin, senyum tipis terukir di bibirnya. Namun, itu bukan senyum ramah, melainkan senyuman yang dingin dan penuh ketidaksenangan. Ekspresinya cukup untuk membuat orang di sekitarnya merasa kecil."Fokus saja merias," tegur seorang MUA lain, menyenggol rekannya pelan.MUA yang cerewet itu mendengus kecil, tetapi segera menunduk, kembali bekerja.Ke
Malam pertama setelah pesta pernikahan itu terasa seperti neraka bagi Aisyah. Ia duduk di depan cermin besar, berusaha melepas konde yang terasa seperti belenggu di kepalanya. Gerakannya lambat, hampir tanpa tenaga. Wajahnya memucat, menahan rasa lelah dan kehinaan yang menghimpit.Sulistyo berdiri di sudut ruangan, tangan terlipat di dada, matanya mengawasi Aisyah seperti seekor elang. Tatapannya tajam, dipenuhi kebencian yang tak berusaha ia sembunyikan.Aisyah tahu, pria itu tidak berniat menyembunyikan rasa muaknya terhadap dirinya. Namun, ia hanya bisa diam, tangannya gemetar saat mencoba membuka sanggul yang sudah membuat kepalanya nyeri. "Apalagi yang dia mau dariku?" batinnya, tapi ia tak punya keberanian untuk berkata sepatah kata pun.Sulistyo akhirnya angkat bicara, suaranya tajam menusuk. "Ini semua salahmu. Jangan bertingkah seperti korban."Aisyah terhenti sejenak, tapi tak berani berbalik. Ia hanya memejamkan matanya rapat-rapat. "Korban? Aku memang korban... Semua oran
Pagi itu, langkah berat terdengar mendekati kamar Aisyah. Pintu terbuka dengan kasar, dan Ratri, ibu Sulistyo, masuk dengan tatapan tajam. Tanpa mengatakan apapun, ia menarik selimut yang menutupi tubuh Aisyah dengan gerakan penuh emosi.“Jam segini masih tidur? Bangun!” bentaknya, suaranya menggema di ruangan sempit itu.Aisyah membuka mata perlahan, tubuhnya terasa remuk. Wajahnya yang memar tampak lesu, dan nafasnya masih tersengal akibat malam yang panjang. “Aku sudah bangun sejak jam tiga tadi,” gumamnya lirih.“Lalu kenapa kembali tidur? Cepat bangun! Kau pikir hidupmu di sini untuk bermalas-malasan?” Ratri menarik tangan Aisyah dengan kasar, membuat tubuhnya limbung.Aisyah berusaha duduk, menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan dingin yang ia berikan. “Apa lagi?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.“Kau itu sudah jadi istri! Cepat ke dapur dan siapkan sarapan untuk suamimu!” perintah Ratri, nadanya penuh otoritas.Aisyah m
Setelah tiga bulan berlalu, sikap keluarga Sulistyo mulai berubah. Perut Aisyah yang semakin membesar menjadi perhatian utama, terutama bagi Ratri. Kehamilan itu kini menjadi alasan mereka menunjukkan perhatian yang terasa ganjil—lebih seperti kewajiban daripada kasih sayang tulus."Nak, kemarilah. Waktunya makan," panggil Ratri dengan nada lembut sambil menyiapkan makanan di atas meja makan.Aisyah melangkah perlahan menuju dapur. Perutnya terasa semakin berat, tubuhnya sedikit condong ke depan karena bayi di dalam kandungannya yang mulai membesar."Wah, cucu nenek sudah besar saja," ujar Ratri sambil tersenyum, tangannya mengusap perut Aisyah dengan lembut. "Baru tiga bulan, tapi perkembangannya luar biasa."Ratri menatap menantunya dengan pandangan yang sulit diterka. "Kau juga terlihat lebih cantik sekarang, setelah Sulistyo... yah, berhenti memperlakukanmu dengan buruk." Tangannya berpindah mengusap pipi Aisyah yang kini terlihat lebih segar. "Kulitmu halus sekali, membuat ibu ja
Aisyah duduk di atas ranjang rumah sakit, mengenakan pakaian pasien yang longgar. Wajahnya datar, matanya malas menatap orang-orang di sekelilingnya. Ratri berdiri di depan dokter, raut wajahnya tampak khawatir—atau lebih tepatnya, pura-pura khawatir.“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Ratri dengan nada yang dibuat cemas.Dokter wanita itu tersenyum tipis, mencoba menciptakan suasana tenang. “Ananda Aisyah tidak mengalami keguguran,” jawabnya tenang.Aisyah mendesah pelan, pandangannya beralih pada dokter. “Kalau begitu, kenapa bagian bawah tubuh saya mengeluarkan begitu banyak darah?” tanyanya, nadanya terdengar santai, seolah rasa sakit yang dirasakannya tak berarti apa-apa.Dokter memperhatikan Aisyah sejenak sebelum menjawab dengan profesional, “Pendarahan itu bukan karena keguguran. Melainkan karena luka robek di dinding vagina akibat hubungan seksual yang terlalu kasar.”Ruangan itu langsung hening. Semua mata kini beralih pada Sulistyo, yang berdiri di pojok ruangan. Wajahnya t
Pagi itu, langkah berat terdengar mendekati kamar Aisyah. Pintu terbuka dengan kasar, dan Ratri, ibu Sulistyo, masuk dengan tatapan tajam. Tanpa mengatakan apapun, ia menarik selimut yang menutupi tubuh Aisyah dengan gerakan penuh emosi.“Jam segini masih tidur? Bangun!” bentaknya, suaranya menggema di ruangan sempit itu.Aisyah membuka mata perlahan, tubuhnya terasa remuk. Wajahnya yang memar tampak lesu, dan nafasnya masih tersengal akibat malam yang panjang. “Aku sudah bangun sejak jam tiga tadi,” gumamnya lirih.“Lalu kenapa kembali tidur? Cepat bangun! Kau pikir hidupmu di sini untuk bermalas-malasan?” Ratri menarik tangan Aisyah dengan kasar, membuat tubuhnya limbung.Aisyah berusaha duduk, menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan dingin yang ia berikan. “Apa lagi?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.“Kau itu sudah jadi istri! Cepat ke dapur dan siapkan sarapan untuk suamimu!” perintah Ratri, nadanya penuh otoritas.Aisyah m
Malam pertama setelah pesta pernikahan itu terasa seperti neraka bagi Aisyah. Ia duduk di depan cermin besar, berusaha melepas konde yang terasa seperti belenggu di kepalanya. Gerakannya lambat, hampir tanpa tenaga. Wajahnya memucat, menahan rasa lelah dan kehinaan yang menghimpit.Sulistyo berdiri di sudut ruangan, tangan terlipat di dada, matanya mengawasi Aisyah seperti seekor elang. Tatapannya tajam, dipenuhi kebencian yang tak berusaha ia sembunyikan.Aisyah tahu, pria itu tidak berniat menyembunyikan rasa muaknya terhadap dirinya. Namun, ia hanya bisa diam, tangannya gemetar saat mencoba membuka sanggul yang sudah membuat kepalanya nyeri. "Apalagi yang dia mau dariku?" batinnya, tapi ia tak punya keberanian untuk berkata sepatah kata pun.Sulistyo akhirnya angkat bicara, suaranya tajam menusuk. "Ini semua salahmu. Jangan bertingkah seperti korban."Aisyah terhenti sejenak, tapi tak berani berbalik. Ia hanya memejamkan matanya rapat-rapat. "Korban? Aku memang korban... Semua oran
Aisyah duduk di depan meja rias, wajahnya dingin seperti porselen. Beberapa MUA sibuk merapikan riasannya, namun suasana di ruangan itu terasa berat, penuh ketegangan yang tak terlihat. Hanya suara lembut kuas bedak yang berbisik di udara, menemani keheningan yang menggantung."Wah, calon istri wakil presiden kita memang luar biasa cantik! Tidak heran kalau calon wakil presiden yang katanya dingin itu bisa jatuh hati. Rupanya pengibar bendera tidak hanya ahli mengibarkan bendera, tapi juga perasaan pria seperti seorang calon wakil presiden!" ujar salah satu MUA yang tampaknya berusaha mencairkan suasana.Aisyah meliriknya sekilas dari balik cermin, senyum tipis terukir di bibirnya. Namun, itu bukan senyum ramah, melainkan senyuman yang dingin dan penuh ketidaksenangan. Ekspresinya cukup untuk membuat orang di sekitarnya merasa kecil."Fokus saja merias," tegur seorang MUA lain, menyenggol rekannya pelan.MUA yang cerewet itu mendengus kecil, tetapi segera menunduk, kembali bekerja.Ke
"Tolong! Siapa pun! Tolong aku!”Teriakan memilukan menggema di sebuah aula besar yang gelap dan sepi dalam istana negara. Suara tangisan seorang gadis muda berusia 19 tahun merobek keheningan malam, memohon belas kasihan yang tak kunjung datang. Tubuhnya tergeletak tak berdaya, mencoba melawan kekuatan seorang pria yang memaksanya. Di atasnya, wajah dingin Sulistyo Nugroho—calon wakil presiden yang segera dilantik—tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.Dia tersenyum sinis di tengah jeritan itu, seolah menikmati kekuasaannya yang tak tergoyahkan. Di sisi lain, gadis itu menggigil, air matanya bercampur rasa sakit dan kehinaan yang tak dapat ia ungkapkan. Tidak ada saksi, hanya dinding-dinding dingin yang membisu di aula megah itu.---Sejak dua minggu setelah kejadian itu, Aisyah terbaring diam di kamar kecilnya. Tubuhnya terasa remuk, bukan hanya karena luka fisik, tetapi juga rasa jijik dan hina yang menusuk batinnya. Ia menatap langit-langit kamar dengan mata sembab, air matanya t