Pagi itu, langkah berat terdengar mendekati kamar Aisyah. Pintu terbuka dengan kasar, dan Ratri, ibu Sulistyo, masuk dengan tatapan tajam. Tanpa mengatakan apapun, ia menarik selimut yang menutupi tubuh Aisyah dengan gerakan penuh emosi.
“Jam segini masih tidur? Bangun!” bentaknya, suaranya menggema di ruangan sempit itu. Aisyah membuka mata perlahan, tubuhnya terasa remuk. Wajahnya yang memar tampak lesu, dan nafasnya masih tersengal akibat malam yang panjang. “Aku sudah bangun sejak jam tiga tadi,” gumamnya lirih. “Lalu kenapa kembali tidur? Cepat bangun! Kau pikir hidupmu di sini untuk bermalas-malasan?” Ratri menarik tangan Aisyah dengan kasar, membuat tubuhnya limbung. Aisyah berusaha duduk, menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan dingin yang ia berikan. “Apa lagi?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar. “Kau itu sudah jadi istri! Cepat ke dapur dan siapkan sarapan untuk suamimu!” perintah Ratri, nadanya penuh otoritas. Aisyah menunduk, bibirnya mengepal menahan rasa marah dan sakit hati. Namun, satu kata meluncur pelan dari mulutnya, nyaris seperti bisikan. “Sial...” Ia bangkit perlahan, setiap langkahnya seperti beban yang tak tertanggungkan. Kakinya pincang, dan luka di tubuhnya semakin jelas di bawah cahaya matahari yang masuk melalui jendela. Lengan dan kakinya penuh memar kebiruan, sementara wajahnya masih terlihat bengkak. Tatapan Ratri mulai berubah. Ia menyipitkan mata, memperhatikan langkah tertatih Aisyah. Kekhawatiran sesaat melintas di wajahnya. “Anak ini... Kenapa jalannya seperti itu? Dan memar-memar itu... Apa yang dilakukan Sulistyo semalam?” pikirnya. Namun, wajahnya kembali mengeras. Ia segera menepis perasaan itu. “Dia istri. Apa pun yang terjadi, itu urusannya. Seorang istri harus patuh!” Ratri berkata dalam hati, memilih untuk tidak peduli. Aisyah tiba di dapur dengan langkah berat. Ia berdiri di sana, memandangi ruangan kosong itu. Tidak ada siapa pun, hanya suara angin yang mengalir melalui jendela. Tak lama, Ratri kembali masuk. Langkahnya mantap, tatapannya tajam. “Kenapa bengong? Kau pikir kau ini tuan putri? Dengarkan aku baik-baik,” katanya dengan nada mengejek. “Untuk membuktikan bahwa kau layak di rumah ini, selama tiga hari, kau harus memasak untuk semua orang di rumah. Ayah mertuamu, ibu mertuamu, suamimu, dan adik suamimu. Yah... Minimal sampai ayah mertuamu kembali disibukkan dengan pekerjaannya sebagai seorang presiden. Mengerti?” Aisyah hanya mengangguk, suaranya hilang entah ke mana. “Bagus. Mulailah. Aku tidak ingin melihat ada yang kurang!” Ratri berbalik, meninggalkan Aisyah yang masih berdiri terpaku. Aisyah menghela napas panjang, tangannya gemetar saat mencoba membuka lemari dapur. Luka di lengan dan jemarinya terasa semakin menyakitkan saat ia mengambil bahan-bahan makanan secara acak. “Masak apa saja. Yang penting bisa dimakan,” gumamnya. Tapi di hatinya, ada luka yang lebih dalam daripada memar-memar di tubuhnya. Sambil mengaduk penggorengan, pikirannya melayang. “Ini tempat apa? Rumah? Penjara? Atau neraka?” tanyanya dalam hati, namun tak ada yang menjawab kecuali suara angin yang menyelusup di sela-sela keheningan. --- Di ruang makan, Ratri menatap putra sulungnya yang duduk santai menunggu sarapan. “Nak, apa yang kau lakukan pada Aisyah? Kenapa wajahnya memar seperti itu?” tanyanya, suaranya dingin namun jelas mengandung teguran. Sulistyo mendengus, menyandarkan tubuhnya di kursi. “Tidak apa-apa. Tubuhnya saja yang lemah. Mudah terluka.” Ratri menghela napas, jelas tak puas dengan jawaban putranya. “Kamu tidak boleh seperti itu. Kalau mau melukainya, jangan di wajah! Media bisa mencium masalah ini kalau istrimu muncul dengan memar setelah malam pertama. Kau tahu itu bisa memicu skandal besar, kan?” Jatmiko, kepala keluarga, yang sejak tadi diam, angkat bicara dengan nada tegas. “Ibumu benar. Skandal kecil saja sudah cukup untuk menghancurkan citra kita. Berhati-hatilah.” Sulistyo tersenyum kecil, matanya menyipit licik. “Tenang saja, Ayah. Wajahnya tinggal ditutup dengan make-up. Teknologi sekarang memungkinkan untuk menutupi apapun, termasuk luka memar.” Prasetyo, adik Sulistyo, tertawa kecil, menambahkan dengan santai, “Jadi biarkan make-up yang bekerja. Kita tak perlu repot-repot." Ucapan mereka terasa ringan, tapi udara di ruang makan semakin berat oleh dinginnya sikap mereka terhadap Aisyah, seolah ia hanya pion kecil dalam permainan keluarga ini. "Ini makanannya." Aisyah menyajikan empat piring nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi di atasnya. Di sampingnya, ada steak kecil dengan daun selada menghiasi pinggiran piring. Ratri menatap sajian itu dengan ekspresi jijik. “Makanan apa ini? Kau seharusnya memasak masakan khas daerah Suryaloka! Bukannya nasi goreng kampungan seperti ini! Dan... apa ini? Steak? Itu bukan makanan dari negara Dwipantara! Hargai budaya makanan negaramu sendiri, apalagi kau ini istri presiden!” Suaranya melengking, memenuhi ruangan. Aisyah mendesah panjang, lalu memutar bola mata dengan malas. “Kalau tidak mau makan, ya sudah, tidak usah dimakan. Begitu saja kok repot. Masih untung aku masak,” ujarnya datar sebelum berbalik, meninggalkan meja dengan langkah kesal. “Kurang ajar! Anak ini benar-benar—” Ratri hampir meledak, tapi suaranya terpotong oleh Prasetyo yang tiba-tiba berbicara sambil menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. “Hm... nasi goreng telur mata sapi ini ternyata enak juga,” katanya sambil mengunyah dengan lahap. “Apalagi ditambah steak. Kombinasi sempurna! Sudahlah, Ibu. Biarkan saja dia berkreasi. Yang penting makanannya enak, kan?” Ratri mendengus tak puas, tapi akhirnya mencicipi sepiring nasi goreng itu juga. Ekspresinya sedikit melunak, meski ia tak mau mengakui kelezatan masakan Aisyah. Dari ujung meja, Jatmiko memandang Aisyah yang masih berdiri di pintu dapur. “Aisyah,” panggilnya dengan nada lebih lembut dari biasanya. “Bagaimana keadaan bayi dalam kandunganmu?” Aisyah menatap Jatmiko dengan wajah datar, sebelum menjawab ringan. “Tidak tahu. Mungkin sudah keguguran.” “Hah?!” Serentak, semua orang di meja makan terkejut. Sulistyo membeku di tempat, tatapan tajamnya langsung mengarah pada Aisyah. “Apa maksudmu? Aisyah mengangkat bahu tanpa emosi. “Kalian pikir tubuhku ini baja? Setelah semua yang terjadi, apa yang kalian harapkan? Bayi itu mungkin tak sekuat kalian kira.” Ruangan itu menjadi senyap. Bahkan Prasetyo, yang biasanya santai, berhenti mengunyah. Ratri hanya menatap kosong ke arah Aisyah, sementara Jatmiko menghela napas berat. Ketegangan menggantung di udara seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.Aisyah duduk di atas ranjang rumah sakit, mengenakan pakaian pasien yang longgar. Wajahnya datar, matanya malas menatap orang-orang di sekelilingnya. Ratri berdiri di depan dokter, raut wajahnya tampak khawatir—atau lebih tepatnya, pura-pura khawatir.“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Ratri dengan nada yang dibuat cemas.Dokter wanita itu tersenyum tipis, mencoba menciptakan suasana tenang. “Ananda Aisyah tidak mengalami keguguran,” jawabnya tenang.Aisyah mendesah pelan, pandangannya beralih pada dokter. “Kalau begitu, kenapa bagian bawah tubuh saya mengeluarkan begitu banyak darah?” tanyanya, nadanya terdengar santai, seolah rasa sakit yang dirasakannya tak berarti apa-apa.Dokter memperhatikan Aisyah sejenak sebelum menjawab dengan profesional, “Pendarahan itu bukan karena keguguran. Melainkan karena luka robek di dinding vagina akibat hubungan seksual yang terlalu kasar.”Ruangan itu langsung hening. Semua mata kini beralih pada Sulistyo, yang berdiri di pojok ruangan. Wajahnya t
Setelah tiga bulan berlalu, sikap keluarga Sulistyo mulai berubah. Perut Aisyah yang semakin membesar menjadi perhatian utama, terutama bagi Ratri. Kehamilan itu kini menjadi alasan mereka menunjukkan perhatian yang terasa ganjil—lebih seperti kewajiban daripada kasih sayang tulus."Nak, kemarilah. Waktunya makan," panggil Ratri dengan nada lembut sambil menyiapkan makanan di atas meja makan.Aisyah melangkah perlahan menuju dapur. Perutnya terasa semakin berat, tubuhnya sedikit condong ke depan karena bayi di dalam kandungannya yang mulai membesar."Wah, cucu nenek sudah besar saja," ujar Ratri sambil tersenyum, tangannya mengusap perut Aisyah dengan lembut. "Baru tiga bulan, tapi perkembangannya luar biasa."Ratri menatap menantunya dengan pandangan yang sulit diterka. "Kau juga terlihat lebih cantik sekarang, setelah Sulistyo... yah, berhenti memperlakukanmu dengan buruk." Tangannya berpindah mengusap pipi Aisyah yang kini terlihat lebih segar. "Kulitmu halus sekali, membuat ibu ja
"Tolong! Siapa pun! Tolong aku!”Teriakan memilukan menggema di sebuah aula besar yang gelap dan sepi dalam istana negara. Suara tangisan seorang gadis muda berusia 19 tahun merobek keheningan malam, memohon belas kasihan yang tak kunjung datang. Tubuhnya tergeletak tak berdaya, mencoba melawan kekuatan seorang pria yang memaksanya. Di atasnya, wajah dingin Sulistyo Nugroho—calon wakil presiden yang segera dilantik—tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.Dia tersenyum sinis di tengah jeritan itu, seolah menikmati kekuasaannya yang tak tergoyahkan. Di sisi lain, gadis itu menggigil, air matanya bercampur rasa sakit dan kehinaan yang tak dapat ia ungkapkan. Tidak ada saksi, hanya dinding-dinding dingin yang membisu di aula megah itu.---Sejak dua minggu setelah kejadian itu, Aisyah terbaring diam di kamar kecilnya. Tubuhnya terasa remuk, bukan hanya karena luka fisik, tetapi juga rasa jijik dan hina yang menusuk batinnya. Ia menatap langit-langit kamar dengan mata sembab, air matanya t
Aisyah duduk di depan meja rias, wajahnya dingin seperti porselen. Beberapa MUA sibuk merapikan riasannya, namun suasana di ruangan itu terasa berat, penuh ketegangan yang tak terlihat. Hanya suara lembut kuas bedak yang berbisik di udara, menemani keheningan yang menggantung."Wah, calon istri wakil presiden kita memang luar biasa cantik! Tidak heran kalau calon wakil presiden yang katanya dingin itu bisa jatuh hati. Rupanya pengibar bendera tidak hanya ahli mengibarkan bendera, tapi juga perasaan pria seperti seorang calon wakil presiden!" ujar salah satu MUA yang tampaknya berusaha mencairkan suasana.Aisyah meliriknya sekilas dari balik cermin, senyum tipis terukir di bibirnya. Namun, itu bukan senyum ramah, melainkan senyuman yang dingin dan penuh ketidaksenangan. Ekspresinya cukup untuk membuat orang di sekitarnya merasa kecil."Fokus saja merias," tegur seorang MUA lain, menyenggol rekannya pelan.MUA yang cerewet itu mendengus kecil, tetapi segera menunduk, kembali bekerja.Ke
Malam pertama setelah pesta pernikahan itu terasa seperti neraka bagi Aisyah. Ia duduk di depan cermin besar, berusaha melepas konde yang terasa seperti belenggu di kepalanya. Gerakannya lambat, hampir tanpa tenaga. Wajahnya memucat, menahan rasa lelah dan kehinaan yang menghimpit.Sulistyo berdiri di sudut ruangan, tangan terlipat di dada, matanya mengawasi Aisyah seperti seekor elang. Tatapannya tajam, dipenuhi kebencian yang tak berusaha ia sembunyikan.Aisyah tahu, pria itu tidak berniat menyembunyikan rasa muaknya terhadap dirinya. Namun, ia hanya bisa diam, tangannya gemetar saat mencoba membuka sanggul yang sudah membuat kepalanya nyeri. "Apalagi yang dia mau dariku?" batinnya, tapi ia tak punya keberanian untuk berkata sepatah kata pun.Sulistyo akhirnya angkat bicara, suaranya tajam menusuk. "Ini semua salahmu. Jangan bertingkah seperti korban."Aisyah terhenti sejenak, tapi tak berani berbalik. Ia hanya memejamkan matanya rapat-rapat. "Korban? Aku memang korban... Semua oran
Setelah tiga bulan berlalu, sikap keluarga Sulistyo mulai berubah. Perut Aisyah yang semakin membesar menjadi perhatian utama, terutama bagi Ratri. Kehamilan itu kini menjadi alasan mereka menunjukkan perhatian yang terasa ganjil—lebih seperti kewajiban daripada kasih sayang tulus."Nak, kemarilah. Waktunya makan," panggil Ratri dengan nada lembut sambil menyiapkan makanan di atas meja makan.Aisyah melangkah perlahan menuju dapur. Perutnya terasa semakin berat, tubuhnya sedikit condong ke depan karena bayi di dalam kandungannya yang mulai membesar."Wah, cucu nenek sudah besar saja," ujar Ratri sambil tersenyum, tangannya mengusap perut Aisyah dengan lembut. "Baru tiga bulan, tapi perkembangannya luar biasa."Ratri menatap menantunya dengan pandangan yang sulit diterka. "Kau juga terlihat lebih cantik sekarang, setelah Sulistyo... yah, berhenti memperlakukanmu dengan buruk." Tangannya berpindah mengusap pipi Aisyah yang kini terlihat lebih segar. "Kulitmu halus sekali, membuat ibu ja
Aisyah duduk di atas ranjang rumah sakit, mengenakan pakaian pasien yang longgar. Wajahnya datar, matanya malas menatap orang-orang di sekelilingnya. Ratri berdiri di depan dokter, raut wajahnya tampak khawatir—atau lebih tepatnya, pura-pura khawatir.“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Ratri dengan nada yang dibuat cemas.Dokter wanita itu tersenyum tipis, mencoba menciptakan suasana tenang. “Ananda Aisyah tidak mengalami keguguran,” jawabnya tenang.Aisyah mendesah pelan, pandangannya beralih pada dokter. “Kalau begitu, kenapa bagian bawah tubuh saya mengeluarkan begitu banyak darah?” tanyanya, nadanya terdengar santai, seolah rasa sakit yang dirasakannya tak berarti apa-apa.Dokter memperhatikan Aisyah sejenak sebelum menjawab dengan profesional, “Pendarahan itu bukan karena keguguran. Melainkan karena luka robek di dinding vagina akibat hubungan seksual yang terlalu kasar.”Ruangan itu langsung hening. Semua mata kini beralih pada Sulistyo, yang berdiri di pojok ruangan. Wajahnya t
Pagi itu, langkah berat terdengar mendekati kamar Aisyah. Pintu terbuka dengan kasar, dan Ratri, ibu Sulistyo, masuk dengan tatapan tajam. Tanpa mengatakan apapun, ia menarik selimut yang menutupi tubuh Aisyah dengan gerakan penuh emosi.“Jam segini masih tidur? Bangun!” bentaknya, suaranya menggema di ruangan sempit itu.Aisyah membuka mata perlahan, tubuhnya terasa remuk. Wajahnya yang memar tampak lesu, dan nafasnya masih tersengal akibat malam yang panjang. “Aku sudah bangun sejak jam tiga tadi,” gumamnya lirih.“Lalu kenapa kembali tidur? Cepat bangun! Kau pikir hidupmu di sini untuk bermalas-malasan?” Ratri menarik tangan Aisyah dengan kasar, membuat tubuhnya limbung.Aisyah berusaha duduk, menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan dingin yang ia berikan. “Apa lagi?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.“Kau itu sudah jadi istri! Cepat ke dapur dan siapkan sarapan untuk suamimu!” perintah Ratri, nadanya penuh otoritas.Aisyah m
Malam pertama setelah pesta pernikahan itu terasa seperti neraka bagi Aisyah. Ia duduk di depan cermin besar, berusaha melepas konde yang terasa seperti belenggu di kepalanya. Gerakannya lambat, hampir tanpa tenaga. Wajahnya memucat, menahan rasa lelah dan kehinaan yang menghimpit.Sulistyo berdiri di sudut ruangan, tangan terlipat di dada, matanya mengawasi Aisyah seperti seekor elang. Tatapannya tajam, dipenuhi kebencian yang tak berusaha ia sembunyikan.Aisyah tahu, pria itu tidak berniat menyembunyikan rasa muaknya terhadap dirinya. Namun, ia hanya bisa diam, tangannya gemetar saat mencoba membuka sanggul yang sudah membuat kepalanya nyeri. "Apalagi yang dia mau dariku?" batinnya, tapi ia tak punya keberanian untuk berkata sepatah kata pun.Sulistyo akhirnya angkat bicara, suaranya tajam menusuk. "Ini semua salahmu. Jangan bertingkah seperti korban."Aisyah terhenti sejenak, tapi tak berani berbalik. Ia hanya memejamkan matanya rapat-rapat. "Korban? Aku memang korban... Semua oran
Aisyah duduk di depan meja rias, wajahnya dingin seperti porselen. Beberapa MUA sibuk merapikan riasannya, namun suasana di ruangan itu terasa berat, penuh ketegangan yang tak terlihat. Hanya suara lembut kuas bedak yang berbisik di udara, menemani keheningan yang menggantung."Wah, calon istri wakil presiden kita memang luar biasa cantik! Tidak heran kalau calon wakil presiden yang katanya dingin itu bisa jatuh hati. Rupanya pengibar bendera tidak hanya ahli mengibarkan bendera, tapi juga perasaan pria seperti seorang calon wakil presiden!" ujar salah satu MUA yang tampaknya berusaha mencairkan suasana.Aisyah meliriknya sekilas dari balik cermin, senyum tipis terukir di bibirnya. Namun, itu bukan senyum ramah, melainkan senyuman yang dingin dan penuh ketidaksenangan. Ekspresinya cukup untuk membuat orang di sekitarnya merasa kecil."Fokus saja merias," tegur seorang MUA lain, menyenggol rekannya pelan.MUA yang cerewet itu mendengus kecil, tetapi segera menunduk, kembali bekerja.Ke
"Tolong! Siapa pun! Tolong aku!”Teriakan memilukan menggema di sebuah aula besar yang gelap dan sepi dalam istana negara. Suara tangisan seorang gadis muda berusia 19 tahun merobek keheningan malam, memohon belas kasihan yang tak kunjung datang. Tubuhnya tergeletak tak berdaya, mencoba melawan kekuatan seorang pria yang memaksanya. Di atasnya, wajah dingin Sulistyo Nugroho—calon wakil presiden yang segera dilantik—tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.Dia tersenyum sinis di tengah jeritan itu, seolah menikmati kekuasaannya yang tak tergoyahkan. Di sisi lain, gadis itu menggigil, air matanya bercampur rasa sakit dan kehinaan yang tak dapat ia ungkapkan. Tidak ada saksi, hanya dinding-dinding dingin yang membisu di aula megah itu.---Sejak dua minggu setelah kejadian itu, Aisyah terbaring diam di kamar kecilnya. Tubuhnya terasa remuk, bukan hanya karena luka fisik, tetapi juga rasa jijik dan hina yang menusuk batinnya. Ia menatap langit-langit kamar dengan mata sembab, air matanya t