"Tolong! Siapa pun! Tolong aku!”
Teriakan memilukan menggema di sebuah aula besar yang gelap dan sepi dalam istana negara. Suara tangisan seorang gadis muda berusia 19 tahun merobek keheningan malam, memohon belas kasihan yang tak kunjung datang. Tubuhnya tergeletak tak berdaya, mencoba melawan kekuatan seorang pria yang memaksanya. Di atasnya, wajah dingin Sulistyo Nugroho—calon wakil presiden yang segera dilantik—tak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Dia tersenyum sinis di tengah jeritan itu, seolah menikmati kekuasaannya yang tak tergoyahkan. Di sisi lain, gadis itu menggigil, air matanya bercampur rasa sakit dan kehinaan yang tak dapat ia ungkapkan. Tidak ada saksi, hanya dinding-dinding dingin yang membisu di aula megah itu. --- Sejak dua minggu setelah kejadian itu, Aisyah terbaring diam di kamar kecilnya. Tubuhnya terasa remuk, bukan hanya karena luka fisik, tetapi juga rasa jijik dan hina yang menusuk batinnya. Ia menatap langit-langit kamar dengan mata sembab, air matanya terus mengalir meski ia mencoba menahannya. Ingatannya berputar kembali ke malam itu, di aula megah yang kini terasa seperti neraka. “Mengapa aku?” pikir Aisyah sambil memeluk tubuhnya sendiri. Ia telah menjadi pasukan pembawa bendera, berdiri dengan bangga mewakili pemuda bangsa. Tapi hadiah yang diterimanya adalah penghinaan paling kejam dari seseorang yang seharusnya menjadi pemimpin bangsa. Di atas meja kecil di sudut kamar, sebuah testpack tergeletak. Aisyah belum berani menyentuhnya lagi. Tangannya gemetar hanya dengan membayangkan kemungkinan buruk yang akan ia hadapi. --- Di sisi lain, di sebuah ruangan rahasia istana, Sulistyo Nugroho berdiri tegap dengan wajah dingin. Di hadapannya, seorang operator CCTV terlihat pucat, jelas ketakutan menghadapi ancaman pria itu. “Hapus semua rekaman CCTV di aula malam itu,” perintah Sulistyo, suaranya tajam seperti pisau. Ia berjalan mendekati operator, tatapannya menekan, penuh ancaman. “Jika sampai ada yang membocorkan rekaman itu, karier kalian habis! Dan bukan hanya karier, nyawa kalian juga dipertaruhkan.” Operator itu mengangguk gugup, segera mengetikkan perintah di komputernya. Dalam hitungan detik, semua jejak rekaman malam itu hilang, lenyap tanpa sisa. Namun, Sulistyo belum selesai. Ia memutar badannya, berbicara kepada ajudan yang berdiri di sudut ruangan. “Temukan gadis itu. Cari tahu di mana rumahnya. Aku akan menemuinya besok.” “Apakah ada instruksi lain, Tuan?” tanya ajudan dengan hati-hati. Sulistyo menatap tajam, seolah mempertimbangkan sesuatu. Lalu ia berkata dengan nada rendah, penuh perhitungan, “Dia harus tahu bahwa yang terbaik baginya adalah diam. Aku akan memastikan itu.” --- Kembali ke kamar Aisyah, ia menggigit bibirnya, mencoba menahan isak yang kian pecah. Tangannya meraih testpack di meja dengan ragu. “Tidak... Tidak mungkin,” bisiknya. Namun, dua garis merah yang jelas terlihat menghapus semua harapannya. Pintu kamarnya tiba-tiba diketuk pelan. “Aisyah, sayang, ada apa?” Suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu. Aisyah tergugu, tidak sanggup menjawab. Ia merasa semua ini terlalu berat. “Apa yang harus aku lakukan?” pikirnya. Ia tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. “Nak… keluar dari kamar! Kamu belum keluar dari kamar sejak pulang dari istana dua minggu lalu. Ibu bahkan tidak melihatmu keluar kamar untuk makan,” suara Nurhayati Rahmah, ibu Aisyah, terdengar cemas di balik pintu. Ia mengetuk perlahan, berusaha membujuk putrinya. Namun tidak ada jawaban, hanya keheningan yang menyakitkan. Langkah kaki Nurhayati terdengar menjauh, meninggalkan pintu kamar. Tapi beberapa saat kemudian, ia kembali dengan nada berbeda—lebih riang, hampir melupakan kekhawatirannya tadi. “Nak! Keluarlah! Lihat siapa yang datang ke rumah kita!” serunya dengan semangat. Aisyah duduk diam di tepi tempat tidur, tubuhnya lemah, matanya sembab. Dengan enggan, ia menghapus air matanya yang belum sempat kering. Setiap langkah menuju pintu terasa berat, seolah menggiringnya ke dalam mimpi buruk yang tak kunjung usai. Saat Aisyah membuka pintu, matanya langsung menangkap sosok pria yang berdiri di ruang tamu. Sulistyo Nugroho. Tubuhnya membeku. Perasaan jijik, marah, dan takut menyeruak tanpa kendali. “Nak, lihat! Ini Pak Sulistyo, calon wakil presiden kita,” ujar Nurhayati penuh antusias. Senyumnya lebar, seperti menyambut seorang tamu kehormatan. Ia tak tahu pria itu adalah pelaku yang telah menghancurkan hidup putrinya. Sulistyo berdiri dengan tenang, mengenakan jas formal yang rapi. Matanya tajam, penuh keyakinan. Tapi bagi Aisyah, tatapan itu adalah simbol dari rasa sakit dan trauma yang tak tertahankan. Dengan suara gemetar, Aisyah akhirnya berkata. “Pria ini...” Ia terdiam sejenak, mengumpulkan keberanian. “…adalah orang yang sudah memperkosaku, Bu.” Seakan dunia berhenti, Nurhayati membelalak. Senyum di wajahnya memudar, berganti keterkejutan yang membekukan. “Apa?!” teriaknya, nyaris kehilangan napas. Sulistyo tetap berdiri tegap, tak ada tanda-tanda panik di wajahnya. Sebaliknya, ia menatap Aisyah dengan dingin, penuh perhitungan, seolah sedang memikirkan langkah berikutnya untuk mengendalikan situasi. “Bu…” suara Aisyah pecah, matanya kembali dipenuhi air mata. “Dia yang menghancurkan aku… Dia yang mengambil segalanya dariku!” Nurhayati tersentak, mundur selangkah, menatap pria yang tadi ia sambut dengan hormat. Air matanya mulai jatuh, tapi lidahnya kelu, tak mampu berkata apa-apa. Sulistyo mendekat dengan langkah mantap. “Saya di sini untuk bertanggung jawab,” katanya tanpa ekspresi. Suaranya rendah, tapi jelas menekan. “Tanggung jawab?” Nurhayati akhirnya bersuara, suaranya terdengar tajam di antara tangisannya. “Apa maksud Anda dengan ‘tanggung jawab’?!” Ajudan Sulistyo membuka sebuah koper besar, memperlihatkan tumpukan uang merah yang memenuhi isinya. "Ini kompensasi dari Bapak Sulistyo. Lupakan semua kejadian yang tidak mengenakkan di istana, dan masalah selesai," ujarnya dengan dingin. Mata Mustofa Arifin, ayah tiri Aisyah, berbinar penuh nafsu. "Wah! Uangnya banyak sekali! Ini bisa dipakai untuk judi online, melunasi hutang, membeli rokok, dan—" "Ayah!" teriak Nurhayati, istrinya, dengan suara bergetar. "Putrimu baru saja diperkosa! Dan Ayah malah memikirkan uang?! Apa kau sudah kehilangan akal?!" Mustofa mendengus, wajahnya berubah dingin. "Sudahlah! Perempuan memang seperti itu, kan? Sama saja seperti barang. Bisa dipakai, bisa dirusak, asal ada uang untuk membayarnya." Aisyah mengepalkan tangan erat, gemetar menahan amarah. Ia sudah terbiasa dengan perlakuan tidak adil dari ayah tirinya, tapi kali ini hatinya benar-benar hancur. Matanya yang penuh amarah beralih menjadi senyum masam, meski air mata mengalir di pipinya. "Biasa... ayah tiri." Sulistyo yang sejak tadi diam memperhatikan, akhirnya membuka suara. "Jadi bagaimana, Saudari Aisyah? Apakah Anda bersedia menerima kompensasi ini dan melupakan semuanya?" tanyanya dengan nada datar sambil menaikkan alisnya. Aisyah menatap Sulistyo dengan pandangan penuh kebencian. Senyum sinis terukir di wajahnya. "Jadi, maksud Anda, bayi di dalam kandungan saya juga harus digugurkan agar kasus ini benar-benar tertutup, ya?" Sulistyo menatapnya tajam, dahi berkerut. "Bayi di dalam kandungan?" tanyanya, mencoba memastikan apa yang baru saja ia dengar. Aisyah menghela napas berat, mengambil sebuah testpack dari sakunya, lalu melemparkannya ke lantai di depan Sulistyo. "Aku hamil. Puas?" suaranya gemetar, tapi penuh dengan kemarahan yang tertahan. Ruangan menjadi hening. Napas Nurhayati tersengal, sementara Mustofa melotot tak percaya. Seketika, wajah Mustofa berubah merah. "Aisyah! Kau tidak boleh bersikap tidak sopan di depan calon wakil presiden!" katanya dengan nada penuh kemarahan, sebelum tangannya terangkat tinggi dan mendarat keras di pipi kiri putrinya. "Pak, hentikan!" Sulistyo maju dengan langkah cepat, menangkap tangan Mustofa yang hendak mengayun lagi. Dengan gerakan tegas, ia berdiri di depan Aisyah, melindunginya di balik tubuhnya. Sulistyo menghela napas panjang, menenangkan diri. "Jika begini keadaannya, saya tidak punya pilihan lain," ujarnya dengan nada tenang, tapi tegas. "Saya harus menikahi Aisyah. Bayi di dalam kandungannya adalah darah daging saya, penerus keluarga saya di masa depan. Saya akan bertanggung jawab." Aisyah menatap Sulistyo dengan mata penuh kebencian, tapi bibirnya terkunci. Di satu sisi, ia tidak percaya dengan drama kepura-puraan yang sedang dimainkan Sulistyo. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa dirinya tidak punya kekuatan untuk menolak.Aisyah duduk di depan meja rias, wajahnya dingin seperti porselen. Beberapa MUA sibuk merapikan riasannya, namun suasana di ruangan itu terasa berat, penuh ketegangan yang tak terlihat. Hanya suara lembut kuas bedak yang berbisik di udara, menemani keheningan yang menggantung."Wah, calon istri wakil presiden kita memang luar biasa cantik! Tidak heran kalau calon wakil presiden yang katanya dingin itu bisa jatuh hati. Rupanya pengibar bendera tidak hanya ahli mengibarkan bendera, tapi juga perasaan pria seperti seorang calon wakil presiden!" ujar salah satu MUA yang tampaknya berusaha mencairkan suasana.Aisyah meliriknya sekilas dari balik cermin, senyum tipis terukir di bibirnya. Namun, itu bukan senyum ramah, melainkan senyuman yang dingin dan penuh ketidaksenangan. Ekspresinya cukup untuk membuat orang di sekitarnya merasa kecil."Fokus saja merias," tegur seorang MUA lain, menyenggol rekannya pelan.MUA yang cerewet itu mendengus kecil, tetapi segera menunduk, kembali bekerja.Ke
Malam pertama setelah pesta pernikahan itu terasa seperti neraka bagi Aisyah. Ia duduk di depan cermin besar, berusaha melepas konde yang terasa seperti belenggu di kepalanya. Gerakannya lambat, hampir tanpa tenaga. Wajahnya memucat, menahan rasa lelah dan kehinaan yang menghimpit.Sulistyo berdiri di sudut ruangan, tangan terlipat di dada, matanya mengawasi Aisyah seperti seekor elang. Tatapannya tajam, dipenuhi kebencian yang tak berusaha ia sembunyikan.Aisyah tahu, pria itu tidak berniat menyembunyikan rasa muaknya terhadap dirinya. Namun, ia hanya bisa diam, tangannya gemetar saat mencoba membuka sanggul yang sudah membuat kepalanya nyeri. "Apalagi yang dia mau dariku?" batinnya, tapi ia tak punya keberanian untuk berkata sepatah kata pun.Sulistyo akhirnya angkat bicara, suaranya tajam menusuk. "Ini semua salahmu. Jangan bertingkah seperti korban."Aisyah terhenti sejenak, tapi tak berani berbalik. Ia hanya memejamkan matanya rapat-rapat. "Korban? Aku memang korban... Semua oran
Pagi itu, langkah berat terdengar mendekati kamar Aisyah. Pintu terbuka dengan kasar, dan Ratri, ibu Sulistyo, masuk dengan tatapan tajam. Tanpa mengatakan apapun, ia menarik selimut yang menutupi tubuh Aisyah dengan gerakan penuh emosi.“Jam segini masih tidur? Bangun!” bentaknya, suaranya menggema di ruangan sempit itu.Aisyah membuka mata perlahan, tubuhnya terasa remuk. Wajahnya yang memar tampak lesu, dan nafasnya masih tersengal akibat malam yang panjang. “Aku sudah bangun sejak jam tiga tadi,” gumamnya lirih.“Lalu kenapa kembali tidur? Cepat bangun! Kau pikir hidupmu di sini untuk bermalas-malasan?” Ratri menarik tangan Aisyah dengan kasar, membuat tubuhnya limbung.Aisyah berusaha duduk, menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan dingin yang ia berikan. “Apa lagi?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.“Kau itu sudah jadi istri! Cepat ke dapur dan siapkan sarapan untuk suamimu!” perintah Ratri, nadanya penuh otoritas.Aisyah m
Aisyah duduk di atas ranjang rumah sakit, mengenakan pakaian pasien yang longgar. Wajahnya datar, matanya malas menatap orang-orang di sekelilingnya. Ratri berdiri di depan dokter, raut wajahnya tampak khawatir—atau lebih tepatnya, pura-pura khawatir.“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Ratri dengan nada yang dibuat cemas.Dokter wanita itu tersenyum tipis, mencoba menciptakan suasana tenang. “Ananda Aisyah tidak mengalami keguguran,” jawabnya tenang.Aisyah mendesah pelan, pandangannya beralih pada dokter. “Kalau begitu, kenapa bagian bawah tubuh saya mengeluarkan begitu banyak darah?” tanyanya, nadanya terdengar santai, seolah rasa sakit yang dirasakannya tak berarti apa-apa.Dokter memperhatikan Aisyah sejenak sebelum menjawab dengan profesional, “Pendarahan itu bukan karena keguguran. Melainkan karena luka robek di dinding vagina akibat hubungan seksual yang terlalu kasar.”Ruangan itu langsung hening. Semua mata kini beralih pada Sulistyo, yang berdiri di pojok ruangan. Wajahnya t
Setelah tiga bulan berlalu, sikap keluarga Sulistyo mulai berubah. Perut Aisyah yang semakin membesar menjadi perhatian utama, terutama bagi Ratri. Kehamilan itu kini menjadi alasan mereka menunjukkan perhatian yang terasa ganjil—lebih seperti kewajiban daripada kasih sayang tulus."Nak, kemarilah. Waktunya makan," panggil Ratri dengan nada lembut sambil menyiapkan makanan di atas meja makan.Aisyah melangkah perlahan menuju dapur. Perutnya terasa semakin berat, tubuhnya sedikit condong ke depan karena bayi di dalam kandungannya yang mulai membesar."Wah, cucu nenek sudah besar saja," ujar Ratri sambil tersenyum, tangannya mengusap perut Aisyah dengan lembut. "Baru tiga bulan, tapi perkembangannya luar biasa."Ratri menatap menantunya dengan pandangan yang sulit diterka. "Kau juga terlihat lebih cantik sekarang, setelah Sulistyo... yah, berhenti memperlakukanmu dengan buruk." Tangannya berpindah mengusap pipi Aisyah yang kini terlihat lebih segar. "Kulitmu halus sekali, membuat ibu ja
Setelah tiga bulan berlalu, sikap keluarga Sulistyo mulai berubah. Perut Aisyah yang semakin membesar menjadi perhatian utama, terutama bagi Ratri. Kehamilan itu kini menjadi alasan mereka menunjukkan perhatian yang terasa ganjil—lebih seperti kewajiban daripada kasih sayang tulus."Nak, kemarilah. Waktunya makan," panggil Ratri dengan nada lembut sambil menyiapkan makanan di atas meja makan.Aisyah melangkah perlahan menuju dapur. Perutnya terasa semakin berat, tubuhnya sedikit condong ke depan karena bayi di dalam kandungannya yang mulai membesar."Wah, cucu nenek sudah besar saja," ujar Ratri sambil tersenyum, tangannya mengusap perut Aisyah dengan lembut. "Baru tiga bulan, tapi perkembangannya luar biasa."Ratri menatap menantunya dengan pandangan yang sulit diterka. "Kau juga terlihat lebih cantik sekarang, setelah Sulistyo... yah, berhenti memperlakukanmu dengan buruk." Tangannya berpindah mengusap pipi Aisyah yang kini terlihat lebih segar. "Kulitmu halus sekali, membuat ibu ja
Aisyah duduk di atas ranjang rumah sakit, mengenakan pakaian pasien yang longgar. Wajahnya datar, matanya malas menatap orang-orang di sekelilingnya. Ratri berdiri di depan dokter, raut wajahnya tampak khawatir—atau lebih tepatnya, pura-pura khawatir.“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Ratri dengan nada yang dibuat cemas.Dokter wanita itu tersenyum tipis, mencoba menciptakan suasana tenang. “Ananda Aisyah tidak mengalami keguguran,” jawabnya tenang.Aisyah mendesah pelan, pandangannya beralih pada dokter. “Kalau begitu, kenapa bagian bawah tubuh saya mengeluarkan begitu banyak darah?” tanyanya, nadanya terdengar santai, seolah rasa sakit yang dirasakannya tak berarti apa-apa.Dokter memperhatikan Aisyah sejenak sebelum menjawab dengan profesional, “Pendarahan itu bukan karena keguguran. Melainkan karena luka robek di dinding vagina akibat hubungan seksual yang terlalu kasar.”Ruangan itu langsung hening. Semua mata kini beralih pada Sulistyo, yang berdiri di pojok ruangan. Wajahnya t
Pagi itu, langkah berat terdengar mendekati kamar Aisyah. Pintu terbuka dengan kasar, dan Ratri, ibu Sulistyo, masuk dengan tatapan tajam. Tanpa mengatakan apapun, ia menarik selimut yang menutupi tubuh Aisyah dengan gerakan penuh emosi.“Jam segini masih tidur? Bangun!” bentaknya, suaranya menggema di ruangan sempit itu.Aisyah membuka mata perlahan, tubuhnya terasa remuk. Wajahnya yang memar tampak lesu, dan nafasnya masih tersengal akibat malam yang panjang. “Aku sudah bangun sejak jam tiga tadi,” gumamnya lirih.“Lalu kenapa kembali tidur? Cepat bangun! Kau pikir hidupmu di sini untuk bermalas-malasan?” Ratri menarik tangan Aisyah dengan kasar, membuat tubuhnya limbung.Aisyah berusaha duduk, menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan dingin yang ia berikan. “Apa lagi?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.“Kau itu sudah jadi istri! Cepat ke dapur dan siapkan sarapan untuk suamimu!” perintah Ratri, nadanya penuh otoritas.Aisyah m
Malam pertama setelah pesta pernikahan itu terasa seperti neraka bagi Aisyah. Ia duduk di depan cermin besar, berusaha melepas konde yang terasa seperti belenggu di kepalanya. Gerakannya lambat, hampir tanpa tenaga. Wajahnya memucat, menahan rasa lelah dan kehinaan yang menghimpit.Sulistyo berdiri di sudut ruangan, tangan terlipat di dada, matanya mengawasi Aisyah seperti seekor elang. Tatapannya tajam, dipenuhi kebencian yang tak berusaha ia sembunyikan.Aisyah tahu, pria itu tidak berniat menyembunyikan rasa muaknya terhadap dirinya. Namun, ia hanya bisa diam, tangannya gemetar saat mencoba membuka sanggul yang sudah membuat kepalanya nyeri. "Apalagi yang dia mau dariku?" batinnya, tapi ia tak punya keberanian untuk berkata sepatah kata pun.Sulistyo akhirnya angkat bicara, suaranya tajam menusuk. "Ini semua salahmu. Jangan bertingkah seperti korban."Aisyah terhenti sejenak, tapi tak berani berbalik. Ia hanya memejamkan matanya rapat-rapat. "Korban? Aku memang korban... Semua oran
Aisyah duduk di depan meja rias, wajahnya dingin seperti porselen. Beberapa MUA sibuk merapikan riasannya, namun suasana di ruangan itu terasa berat, penuh ketegangan yang tak terlihat. Hanya suara lembut kuas bedak yang berbisik di udara, menemani keheningan yang menggantung."Wah, calon istri wakil presiden kita memang luar biasa cantik! Tidak heran kalau calon wakil presiden yang katanya dingin itu bisa jatuh hati. Rupanya pengibar bendera tidak hanya ahli mengibarkan bendera, tapi juga perasaan pria seperti seorang calon wakil presiden!" ujar salah satu MUA yang tampaknya berusaha mencairkan suasana.Aisyah meliriknya sekilas dari balik cermin, senyum tipis terukir di bibirnya. Namun, itu bukan senyum ramah, melainkan senyuman yang dingin dan penuh ketidaksenangan. Ekspresinya cukup untuk membuat orang di sekitarnya merasa kecil."Fokus saja merias," tegur seorang MUA lain, menyenggol rekannya pelan.MUA yang cerewet itu mendengus kecil, tetapi segera menunduk, kembali bekerja.Ke
"Tolong! Siapa pun! Tolong aku!”Teriakan memilukan menggema di sebuah aula besar yang gelap dan sepi dalam istana negara. Suara tangisan seorang gadis muda berusia 19 tahun merobek keheningan malam, memohon belas kasihan yang tak kunjung datang. Tubuhnya tergeletak tak berdaya, mencoba melawan kekuatan seorang pria yang memaksanya. Di atasnya, wajah dingin Sulistyo Nugroho—calon wakil presiden yang segera dilantik—tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.Dia tersenyum sinis di tengah jeritan itu, seolah menikmati kekuasaannya yang tak tergoyahkan. Di sisi lain, gadis itu menggigil, air matanya bercampur rasa sakit dan kehinaan yang tak dapat ia ungkapkan. Tidak ada saksi, hanya dinding-dinding dingin yang membisu di aula megah itu.---Sejak dua minggu setelah kejadian itu, Aisyah terbaring diam di kamar kecilnya. Tubuhnya terasa remuk, bukan hanya karena luka fisik, tetapi juga rasa jijik dan hina yang menusuk batinnya. Ia menatap langit-langit kamar dengan mata sembab, air matanya t