Share

Hamil Anak Calon Wakil Presiden
Hamil Anak Calon Wakil Presiden
Penulis: Sylus wife

Bab 1

Penulis: Sylus wife
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-16 19:54:01

"Tolong! Siapa pun! Tolong aku!”

Teriakan memilukan menggema di sebuah aula besar yang gelap dan sepi dalam istana negara. Suara tangisan seorang gadis muda berusia 19 tahun merobek keheningan malam, memohon belas kasihan yang tak kunjung datang. Tubuhnya tergeletak tak berdaya, mencoba melawan kekuatan seorang pria yang memaksanya. Di atasnya, wajah dingin Sulistyo Nugroho—calon wakil presiden yang segera dilantik—tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.

Dia tersenyum sinis di tengah jeritan itu, seolah menikmati kekuasaannya yang tak tergoyahkan. Di sisi lain, gadis itu menggigil, air matanya bercampur rasa sakit dan kehinaan yang tak dapat ia ungkapkan. Tidak ada saksi, hanya dinding-dinding dingin yang membisu di aula megah itu.

---

Sejak dua minggu setelah kejadian itu, Aisyah terbaring diam di kamar kecilnya. Tubuhnya terasa remuk, bukan hanya karena luka fisik, tetapi juga rasa jijik dan hina yang menusuk batinnya. Ia menatap langit-langit kamar dengan mata sembab, air matanya terus mengalir meski ia mencoba menahannya. Ingatannya berputar kembali ke malam itu, di aula megah yang kini terasa seperti neraka.

“Mengapa aku?” pikir Aisyah sambil memeluk tubuhnya sendiri. Ia telah menjadi pasukan pembawa bendera, berdiri dengan bangga mewakili pemuda bangsa. Tapi hadiah yang diterimanya adalah penghinaan paling kejam dari seseorang yang seharusnya menjadi pemimpin bangsa.

Di atas meja kecil di sudut kamar, sebuah testpack tergeletak. Aisyah belum berani menyentuhnya lagi. Tangannya gemetar hanya dengan membayangkan kemungkinan buruk yang akan ia hadapi.

---

Di sisi lain, di sebuah ruangan rahasia istana, Sulistyo Nugroho berdiri tegap dengan wajah dingin. Di hadapannya, seorang operator CCTV terlihat pucat, jelas ketakutan menghadapi ancaman pria itu.

“Hapus semua rekaman CCTV di aula malam itu,” perintah Sulistyo, suaranya tajam seperti pisau. Ia berjalan mendekati operator, tatapannya menekan, penuh ancaman. “Jika sampai ada yang membocorkan rekaman itu, karier kalian habis! Dan bukan hanya karier, nyawa kalian juga dipertaruhkan.”

Operator itu mengangguk gugup, segera mengetikkan perintah di komputernya. Dalam hitungan detik, semua jejak rekaman malam itu hilang, lenyap tanpa sisa.

Namun, Sulistyo belum selesai. Ia memutar badannya, berbicara kepada ajudan yang berdiri di sudut ruangan. “Temukan gadis itu. Cari tahu di mana rumahnya. Aku akan menemuinya besok.”

“Apakah ada instruksi lain, Tuan?” tanya ajudan dengan hati-hati.

Sulistyo menatap tajam, seolah mempertimbangkan sesuatu. Lalu ia berkata dengan nada rendah, penuh perhitungan, “Dia harus tahu bahwa yang terbaik baginya adalah diam. Aku akan memastikan itu.”

---

Kembali ke kamar Aisyah, ia menggigit bibirnya, mencoba menahan isak yang kian pecah. Tangannya meraih testpack di meja dengan ragu. “Tidak... Tidak mungkin,” bisiknya. Namun, dua garis merah yang jelas terlihat menghapus semua harapannya.

Pintu kamarnya tiba-tiba diketuk pelan. “Aisyah, sayang, ada apa?” Suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu.

Aisyah tergugu, tidak sanggup menjawab. Ia merasa semua ini terlalu berat. “Apa yang harus aku lakukan?” pikirnya. Ia tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

“Nak… keluar dari kamar! Kamu belum keluar dari kamar sejak pulang dari istana dua minggu lalu. Ibu bahkan tidak melihatmu keluar kamar untuk makan,” suara Nurhayati Rahmah, ibu Aisyah, terdengar cemas di balik pintu. Ia mengetuk perlahan, berusaha membujuk putrinya. Namun tidak ada jawaban, hanya keheningan yang menyakitkan.

Langkah kaki Nurhayati terdengar menjauh, meninggalkan pintu kamar. Tapi beberapa saat kemudian, ia kembali dengan nada berbeda—lebih riang, hampir melupakan kekhawatirannya tadi. “Nak! Keluarlah! Lihat siapa yang datang ke rumah kita!” serunya dengan semangat.

Aisyah duduk diam di tepi tempat tidur, tubuhnya lemah, matanya sembab. Dengan enggan, ia menghapus air matanya yang belum sempat kering. Setiap langkah menuju pintu terasa berat, seolah menggiringnya ke dalam mimpi buruk yang tak kunjung usai.

Saat Aisyah membuka pintu, matanya langsung menangkap sosok pria yang berdiri di ruang tamu. Sulistyo Nugroho. Tubuhnya membeku. Perasaan jijik, marah, dan takut menyeruak tanpa kendali.

“Nak, lihat! Ini Pak Sulistyo, calon wakil presiden kita,” ujar Nurhayati penuh antusias. Senyumnya lebar, seperti menyambut seorang tamu kehormatan. Ia tak tahu pria itu adalah pelaku yang telah menghancurkan hidup putrinya.

Sulistyo berdiri dengan tenang, mengenakan jas formal yang rapi. Matanya tajam, penuh keyakinan. Tapi bagi Aisyah, tatapan itu adalah simbol dari rasa sakit dan trauma yang tak tertahankan.

Dengan suara gemetar, Aisyah akhirnya berkata. “Pria ini...” Ia terdiam sejenak, mengumpulkan keberanian. “…adalah orang yang sudah memperkosaku, Bu.”

Seakan dunia berhenti, Nurhayati membelalak. Senyum di wajahnya memudar, berganti keterkejutan yang membekukan. “Apa?!” teriaknya, nyaris kehilangan napas.

Sulistyo tetap berdiri tegap, tak ada tanda-tanda panik di wajahnya. Sebaliknya, ia menatap Aisyah dengan dingin, penuh perhitungan, seolah sedang memikirkan langkah berikutnya untuk mengendalikan situasi.

“Bu…” suara Aisyah pecah, matanya kembali dipenuhi air mata. “Dia yang menghancurkan aku… Dia yang mengambil segalanya dariku!”

Nurhayati tersentak, mundur selangkah, menatap pria yang tadi ia sambut dengan hormat. Air matanya mulai jatuh, tapi lidahnya kelu, tak mampu berkata apa-apa.

Sulistyo mendekat dengan langkah mantap. “Saya di sini untuk bertanggung jawab,” katanya tanpa ekspresi. Suaranya rendah, tapi jelas menekan.

“Tanggung jawab?” Nurhayati akhirnya bersuara, suaranya terdengar tajam di antara tangisannya. “Apa maksud Anda dengan ‘tanggung jawab’?!”

Ajudan Sulistyo membuka sebuah koper besar, memperlihatkan tumpukan uang merah yang memenuhi isinya. "Ini kompensasi dari Bapak Sulistyo. Lupakan semua kejadian yang tidak mengenakkan di istana, dan masalah selesai," ujarnya dengan dingin.

Mata Mustofa Arifin, ayah tiri Aisyah, berbinar penuh nafsu. "Wah! Uangnya banyak sekali! Ini bisa dipakai untuk judi online, melunasi hutang, membeli rokok, dan—"

"Ayah!" teriak Nurhayati, istrinya, dengan suara bergetar. "Putrimu baru saja diperkosa! Dan Ayah malah memikirkan uang?! Apa kau sudah kehilangan akal?!"

Mustofa mendengus, wajahnya berubah dingin. "Sudahlah! Perempuan memang seperti itu, kan? Sama saja seperti barang. Bisa dipakai, bisa dirusak, asal ada uang untuk membayarnya."

Aisyah mengepalkan tangan erat, gemetar menahan amarah. Ia sudah terbiasa dengan perlakuan tidak adil dari ayah tirinya, tapi kali ini hatinya benar-benar hancur. Matanya yang penuh amarah beralih menjadi senyum masam, meski air mata mengalir di pipinya. "Biasa... ayah tiri."

Sulistyo yang sejak tadi diam memperhatikan, akhirnya membuka suara. "Jadi bagaimana, Saudari Aisyah? Apakah Anda bersedia menerima kompensasi ini dan melupakan semuanya?" tanyanya dengan nada datar sambil menaikkan alisnya.

Aisyah menatap Sulistyo dengan pandangan penuh kebencian. Senyum sinis terukir di wajahnya. "Jadi, maksud Anda, bayi di dalam kandungan saya juga harus digugurkan agar kasus ini benar-benar tertutup, ya?"

Sulistyo menatapnya tajam, dahi berkerut. "Bayi di dalam kandungan?" tanyanya, mencoba memastikan apa yang baru saja ia dengar.

Aisyah menghela napas berat, mengambil sebuah testpack dari sakunya, lalu melemparkannya ke lantai di depan Sulistyo. "Aku hamil. Puas?" suaranya gemetar, tapi penuh dengan kemarahan yang tertahan.

Ruangan menjadi hening. Napas Nurhayati tersengal, sementara Mustofa melotot tak percaya. Seketika, wajah Mustofa berubah merah. "Aisyah! Kau tidak boleh bersikap tidak sopan di depan calon wakil presiden!" katanya dengan nada penuh kemarahan, sebelum tangannya terangkat tinggi dan mendarat keras di pipi kiri putrinya.

"Pak, hentikan!" Sulistyo maju dengan langkah cepat, menangkap tangan Mustofa yang hendak mengayun lagi. Dengan gerakan tegas, ia berdiri di depan Aisyah, melindunginya di balik tubuhnya.

Sulistyo menghela napas panjang, menenangkan diri. "Jika begini keadaannya, saya tidak punya pilihan lain," ujarnya dengan nada tenang, tapi tegas. "Saya harus menikahi Aisyah. Bayi di dalam kandungannya adalah darah daging saya, penerus keluarga saya di masa depan. Saya akan bertanggung jawab."

Aisyah menatap Sulistyo dengan mata penuh kebencian, tapi bibirnya terkunci. Di satu sisi, ia tidak percaya dengan drama kepura-puraan yang sedang dimainkan Sulistyo. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa dirinya tidak punya kekuatan untuk menolak.

Bab terkait

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 2

    Tiga hari kemudian, Aisyah duduk di depan meja rias, wajahnya dingin seperti porselen. Beberapa MUA sibuk merapikan riasannya, namun suasana di ruangan itu terasa berat, penuh ketegangan yang tak terlihat. Hanya suara lembut kuas bedak yang berbisik di udara, menemani keheningan yang menggantung. "Wah, calon istri wakil presiden kita memang luar biasa cantik! Tidak heran kalau calon wakil presiden yang katanya dingin itu bisa jatuh hati. Rupanya pengibar bendera tidak hanya ahli mengibarkan bendera, tapi juga perasaan pria seperti seorang calon wakil presiden!" ujar salah satu MUA yang tampaknya berusaha mencairkan suasana. Aisyah meliriknya sekilas dari balik cermin, senyum tipis terukir di bibirnya. Namun, itu bukan senyum ramah, melainkan senyuman yang dingin dan penuh ketidaksenangan. Ekspresinya cukup untuk membuat orang di sekitarnya merasa kecil. "Fokus saja merias," tegur seorang MUA lain, menyenggol rekannya pelan. MUA yang cerewet itu mendengus kecil, tetapi segera me

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 3

    Malam pertama setelah pesta pernikahan itu terasa seperti neraka bagi Aisyah. Ia duduk di depan cermin besar, berusaha melepas konde yang terasa seperti belenggu di kepalanya. Gerakannya lambat, hampir tanpa tenaga. Wajahnya memucat, menahan rasa lelah dan kehinaan yang menghimpit.Sulistyo berdiri di sudut ruangan, tangan terlipat di dada, matanya mengawasi Aisyah seperti seekor elang. Tatapannya tajam, dipenuhi kebencian yang tak berusaha ia sembunyikan.Aisyah tahu, pria itu tidak berniat menyembunyikan rasa muaknya terhadap dirinya. Namun, ia hanya bisa diam, tangannya gemetar saat mencoba membuka sanggul yang sudah membuat kepalanya nyeri. "Apalagi yang dia mau dariku?" batinnya, tapi ia tak punya keberanian untuk berkata sepatah kata pun.Sulistyo akhirnya angkat bicara, suaranya tajam menusuk. "Ini semua salahmu. Jangan bertingkah seperti korban."Aisyah terhenti sejenak, tapi tak berani berbalik. Ia hanya memejamkan matanya rapat-rapat. "Korban? Aku memang korban... Semua oran

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 4

    Pagi itu, langkah berat terdengar mendekati kamar Aisyah. Pintu terbuka dengan kasar, dan Ratri, ibu Sulistyo, masuk dengan tatapan tajam. Tanpa mengatakan apapun, ia menarik selimut yang menutupi tubuh Aisyah dengan gerakan penuh emosi.“Jam segini masih tidur? Bangun!” bentaknya, suaranya menggema di ruangan sempit itu.Aisyah membuka mata perlahan, tubuhnya terasa remuk. Wajahnya yang memar tampak lesu, dan nafasnya masih tersengal akibat malam yang panjang. “Aku sudah bangun sejak jam tiga tadi,” gumamnya lirih.“Lalu kenapa kembali tidur? Cepat bangun! Kau pikir hidupmu di sini untuk bermalas-malasan?” Ratri menarik tangan Aisyah dengan kasar, membuat tubuhnya limbung.Aisyah berusaha duduk, menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan dingin yang ia berikan. “Apa lagi?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.“Kau itu sudah jadi istri! Cepat ke dapur dan siapkan sarapan untuk suamimu!” perintah Ratri, nadanya penuh otoritas.Aisyah m

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-18
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 5

    Aisyah duduk di atas ranjang rumah sakit, mengenakan pakaian pasien yang longgar. Wajahnya datar, matanya malas menatap orang-orang di sekelilingnya. Ratri berdiri di depan dokter, raut wajahnya tampak khawatir—atau lebih tepatnya, pura-pura khawatir.“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Ratri dengan nada yang dibuat cemas.Dokter wanita itu tersenyum tipis, mencoba menciptakan suasana tenang. “Ananda Aisyah tidak mengalami keguguran,” jawabnya tenang.Aisyah mendesah pelan, pandangannya beralih pada dokter. “Kalau begitu, kenapa bagian bawah tubuh saya mengeluarkan begitu banyak darah?” tanyanya, nadanya terdengar santai, seolah rasa sakit yang dirasakannya tak berarti apa-apa.Dokter memperhatikan Aisyah sejenak sebelum menjawab dengan profesional, “Pendarahan itu bukan karena keguguran. Melainkan karena luka robek di dinding vagina akibat hubungan seksual yang terlalu kasar.”Ruangan itu langsung hening. Semua mata kini beralih pada Sulistyo, yang berdiri di pojok ruangan. Wajahnya t

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-18
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 6

    Setelah tiga bulan berlalu, sikap keluarga Sulistyo mulai berubah. Perut Aisyah yang semakin membesar menjadi perhatian utama, terutama bagi Ratri. Kehamilan itu kini menjadi alasan mereka menunjukkan perhatian yang terasa ganjil—lebih seperti kewajiban daripada kasih sayang tulus."Nak, kemarilah. Waktunya makan," panggil Ratri dengan nada lembut sambil menyiapkan makanan di atas meja makan.Aisyah melangkah perlahan menuju dapur. Perutnya terasa semakin berat, tubuhnya sedikit condong ke depan karena bayi di dalam kandungannya yang mulai membesar."Wah, cucu nenek sudah besar saja," ujar Ratri sambil tersenyum, tangannya mengusap perut Aisyah dengan lembut. "Baru tiga bulan, tapi perkembangannya luar biasa."Ratri menatap menantunya dengan pandangan yang sulit diterka. "Kau juga terlihat lebih cantik sekarang, setelah Sulistyo... yah, berhenti memperlakukanmu dengan buruk." Tangannya berpindah mengusap pipi Aisyah yang kini terlihat lebih segar. "Kulitmu halus sekali, membuat ibu ja

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 7

    Keesokan harinya, istana negara dipadati para menteri, petinggi negara, dan tamu undangan penting. Hari itu adalah momen bersejarah: pelantikan presiden dan calon wakil presiden untuk periode terbaru. Di salah satu kamar megah istana, Aisyah berdiri di depan cermin besar, menatap bayangannya dengan ekspresi muram. Tubuhnya yang ramping dibalut kebaya ketat berwarna emas, dipadukan dengan kain canting bermotif khas adat Javanagara. Rambutnya yang biasa dibiarkan terurai kini ditata rapi menjadi konde, dihias ornamen kecil yang memantulkan kilauan cahaya. Ia menghela napas panjang, kedua tangannya meraba lembut perutnya yang sedikit membuncit. Rasa tidak nyaman semakin menguat. "Kenapa harus begini?" gumamnya pelan, hampir berbisik. "Aku bahkan tidak bisa bernapas lega. Rasanya sesak sekali... Bagaimana kalau ini membahayakan bayiku?" Aisyah memutar bola matanya, lalu menunduk, melihat kain yang membungkus tubuhnya terlalu erat. "Tidak bisakah aku mengenakan sesuatu yang lebih longga

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 8

    Ruangan itu terasa dingin dan sunyi, hanya terdengar suara alat medis yang terus berbunyi monoton. Aisyah perlahan membuka matanya, cahaya putih menyilaukan dari lampu di langit-langit menyambut pandangannya. Ia menyadari dirinya terbaring di ranjang rumah sakit. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya begitu lemah. Namun, suara-suara tajam mulai menusuk telinganya, menghancurkan keheningan. "Dia sudah keguguran," suara dingin itu mengoyak kesadarannya. "Dia sudah tidak berguna lagi!" sambung yang lain, penuh kebencian. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Aisyah mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasa sakit di seluruh tubuhnya membuatnya hanya bisa terbaring. Ia memandang sekeliling dengan lemah, menemukan orang-orang yang seharusnya menjadi keluarganya menatapnya dengan penuh penghinaan. "Lihatlah dia! Sia-sia saja kita bersikap baik padanya, namun dia malah keguguran!" Ratri, ibu Sulistyo, berkata dengan nada sinis, kini tanpa basa-basi menyembunyikan kebenciannya. "

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 9

    Setelah Jatmiko dan Ratri kembali ke Suryaloka, situasi di istana negara berubah semakin memanas. Berita tentang Aisyah yang dibawa ke rumah sakit menggunakan jet pribadi menyebar cepat di media sosial, memicu hujatan dari berbagai pihak. “Wakil presiden baru, tapi skandal sudah langsung datang! Memalukan!” tulis salah satu netizen dengan nada marah. “Jet pribadi buat ke rumah sakit? Sementara di pedalaman orang sakit susah dapat ambulans! Gila ini!” komentar lain yang mendapatkan ribuan tanda suka. “Ini pasti pakai uang rakyat! Korupsi berkedok kemewahan! Hancur sudah moral pemimpin kita!” tambah akun lain, memperkeruh suasana. Sulistyo duduk di ruang kerjanya, wajahnya tegang menatap layar ponsel yang terus menampilkan komentar-komentar penuh cemoohan. Jari-jarinya gemetar, dan tanpa sadar ia memukul meja, membuat suara keras menggema di ruangan. “Ini... Ini semua gara-gara dia!” geramnya, giginya gemeretak menahan amarah. “Gadis miskin rendahan itu! Hidupku jadi kacau karena d

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01

Bab terbaru

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 90

    Aisyah membulatkan matanya, merasa ngeri, syok, dan tak mampu percaya pada kata-kata yang meluncur dari bibir Sulistyo. Otaknya bekerja keras, berputar dengan kecepatan penuh, berusaha mencerna setiap kalimat yang terdengar seperti dongeng gelap dari novel fantasi.Namun, sekeras apa pun dirinya mencoba menerima logika di balik cerita itu, kenyataan yang Sulistyo paparkan tetap terasa terlalu asing dan mustahil."Ini tidak mungkin..,." pikirnya, napasnya memburu, matanya yang besar penuh ketakutan memantulkan bayangan pria di hadapannya.Sulistyo menatap Aisyah dengan seringai lebar. Kekehannya yang pelan terdengar seperti suara setan yang menikmati penderitaan korbannya. "Ekspresimu...," bisiknya dengan nada manis yang beracun. "Sungguh menggemaskan."Dengan gerakan yang membuat darah Aisyah berdesir penuh jijik, Sulistyo mendekatkan wajahnya dan mengisap pipinya perlahan. Mata hitamnya menatap langsung ke dalam matanya, memancarkan kesan dominas

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 89

    Sulistyo mengusap wajah Aisyah dengan lembut, jemarinya menyentuh setiap luka yang menghiasi pipi perempuan itu seolah menorehkan kasih sayang yang palsu, namun begitu meyakinkan. Dia mengoleskan obat dengan gerakan perlahan, seperti seorang pria yang benar-benar peduli pada wanita di hadapannya. Senyum tipisnya merekah, penuh pesona beracun. Aisyah hanya diam, menerima sentuhan-sentuhan itu dengan enggan, tetapi tidak melawan. Tubuhnya kaku, matanya kosong, terperangkap dalam kebisuan yang menyesakkan.“Kamu pasti penasaran,” suara Sulistyo memecah kesunyian yang melingkupi mereka. Suaranya rendah, seolah rahasia besar sedang menanti untuk diungkapkan.Aisyah mendongak perlahan. Sorot matanya yang penuh kebencian masih membara, tetapi ada sedikit kilatan rasa ingin tahu yang tak bisa ia sembunyikan.“Soal kenapa aku bisa mendapatkan kekuatan ini,” Sulistyo berbisik, memiringkan kepalanya, senyumannya semakin dalam, seakan menikmati setiap detik

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 88

    Sulistyo terus mengusap wajah Aisyah yang terluka dengan lembut, tangannya yang dingin terasa kontras dengan panasnya rasa sakit di kulit Aisyah. Matanya menatap langsung ke dalam mata Aisyah, sorotnya tampak penuh kelembutan yang bertolak belakang dengan semua yang baru saja terjadi. "Aku minta maaf...." katanya pelan, suaranya nyaris berbisik.Aisyah membeku. Kepalanya sedikit miring, matanya menatap Sulistyo dengan penuh ketidakpercayaan. Kata-kata itu, dari mulut seorang seperti Sulistyo, terdengar mustahil, hampir seperti ilusi. Dia ingin menjawab, tetapi tenggorokannya seperti tersumbat, seolah kata-kata yang ingin dia ucapkan tertelan bersama kejutannya."Kenapa diam, sayang?" Sulistyo melanjutkan, tangannya sekarang bergerak mengusap lembut kepala Aisyah, seperti seorang kekasih yang menenangkan pasangannya. Perlahan, jemarinya menyentuh hijab merah muda yang menutupi kepala Aisyah, lalu menariknya dengan gerakan pelan tetapi tegas. Hijab itu meluncur ke la

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 87

    Sulistyo menggendong Aisyah dengan erat, tubuhnya melangkah tanpa keraguan menuju gerbang istana negara yang menjulang megah. Beberapa penjaga yang berjaga dengan waspada langsung menghalangi jalannya, senjata di tangan mereka siap jika keadaan memaksa. Salah satu dari mereka melangkah maju, menatap tajam Sulistyo. "Berhenti di sana! Siapa pun yang tidak memiliki kepentingan dilarang masuk!" Suaranya lantang, penuh kewaspadaan.Sulistyo menghentikan langkahnya sejenak. Senyumnya yang dingin terukir di wajahnya, menyiratkan ancaman yang tak terucapkan. "Tidak punya kepentingan?" gumamnya rendah, hampir seperti bisikan. Tubuhnya mulai memancarkan asap hitam pekat yang menggeliat seperti makhluk hidup, menjalar liar di udara. "Apa maksud kalian dengan aku tidak memiliki kepentingan? Aku adalah presiden sekarang! Presiden yang menggantikan pemimpin kalian yang ... telah mati."Dengan gerakan singkat, asap hitam itu melesat cepat, mencengkeram leher para penjaga, mengan

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 86

    Asap hitam tebal membungkus tubuh Sulistyo dan Aisyah, mengangkat mereka perlahan dari tanah. Dalam gendongannya, Aisyah terus meronta, meski tubuhnya terasa lemah setelah tamparan dan perlakuan kasar Sulistyo."Apa lagi yang kau inginkan?!" seru Aisyah dengan suara parau, menatap pria itu dengan mata yang berkaca-kaca. "Kau ingin membawaku ke mana lagi?! Lepaskan aku!"Sulistyo hanya menyeringai, tatapan dinginnya tak beranjak dari wajah Aisyah. "Diam saja, Aisyah! Kita akan pulang ... ke rumah kita. Ke istana negara." Suaranya rendah, namun mengandung nada ancaman yang tak bisa disangkal.Tubuh Sulistyo mulai memudar, berubah menjadi gumpalan asap hitam pekat yang membungkus dirinya dan Aisyah. Aisyah berusaha menendang dan memukul dengan sisa tenaganya, namun seolah tak ada gunanya. Usahanya tenggelam dalam gelapnya asap yang kini semakin rapat."Istana negara?!" Aisyah berseru, meski suaranya terdengar lebih seperti bisikan. "Itu bukan rumahmu

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 85

    Langit senja yang cerah di atas taman kota menjadi saksi momen yang penuh harapan. Mahendra, dengan senyum hangat di wajahnya, perlahan memegang tangan Aisyah. Sentuhan itu lembut namun penuh makna, seolah ingin mengatakan bahwa mulai detik ini, Aisyah adalah miliknya. Dengan hati-hati, ia menyematkan cincin ke jari manis Aisyah, sebuah simbol pengikat antara mereka berdua.Namun, kebahagiaan itu seketika berubah menjadi horor yang tak terbayangkan. Sebuah pisau kecil melesat dari arah tak terduga, menusuk punggung Mahendra dengan keras. Darah segar memancar keluar, membasahi pakaian biru mudanya. Ia tersentak, tubuhnya limbung dan hampir jatuh ke tanah."Kak Mahendra!" Aisyah berteriak, kedua tangannya terulur untuk menangkap tubuh Mahendra yang terhuyung-huyung. Namun, belum sempat ia menyentuhnya, sebuah pisau lain terbang cepat ke arah tangannya. Pisau itu melukai kulitnya, meninggalkan garis luka yang dalam. Darah mulai mengalir dari tangannya, membuat gaun me

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 84

    Hari yang dinanti tiba. Sebuah taman kota yang luas dan rindang menjadi saksi pertunangan Mahendra dan Aisyah. Acara itu dirancang sederhana namun penuh makna, dihiasi bunga-bunga mawar merah muda yang menyatu dengan keanggunan senja.Meski terlihat sederhana, tamu-tamu yang hadir merupakan tokoh-tokoh penting—anggota legislatif, pengurus bank sentral, hingga beberapa tokoh bisnis yang menyempatkan diri untuk datang, membawa suasana eksklusif di balik kesederhanaan.Mahendra berdiri di sisi panggung, menatap layar ponselnya. Sebuah pesan baru masuk dari ayahnya, yang langsung menarik perhatiannya. "Nak, maafkan Ayah karena tidak bisa datang. Ayah masih sibuk mengurus kekacauan yang dibuat keluarga itu. Tapi Ayah janji, Ayah akan menghadiri pernikahanmu dengan Aisyah nanti."Senyum tipis terlukis di wajah Mahendra. Meski sedikit kecewa, ia mengerti beban yang ditanggung ayahnya. Dengan cepat, ia mengetik balasan. "Terima kasih, Ayah. Jangan khawatir, semuan

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 83

    Mahendra mendekati dua saudari kembar itu dengan langkah tenang. Di tangannya, ada dua es krim yang ia sodorkan kepada mereka. Kehadirannya membuat suasana di antara mereka berubah—ringan, tapi penuh dengan getaran yang sulit dijelaskan."Ka-kak Mahendra!" suara Aisyah terdengar bergetar. Wajahnya seketika memerah saat melihat Mahendra berdiri di depannya dengan senyum lembut yang begitu khas.Anisa, sebaliknya, menyambut Mahendra dengan santai. Ia meraih salah satu es krim dari tangan pria itu tanpa ragu, kemudian menjilatnya sambil menyeringai. "Pangeran sudah datang untuk menjemput tuan putri!" ejeknya, membuat suasana semakin canggung bagi Aisyah."Kakak ini bicara apa sih?" Aisyah menyenggol lengan Anisa, berusaha menyembunyikan rasa malunya.Mahendra tertawa kecil, lalu duduk di tanah, tepat di depan mereka. Pandangannya bergantian menatap kedua saudari itu. "Ternyata benar, kalian memang sangat mirip."Anisa mengangkat bahu dengan

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 82

    Di sebuah taman kecil di sudut kampus Universitas Dwipantara, Aisyah duduk di bangku panjang sambil mengunyah camilan ringan. Wajahnya yang tenang menampakkan kelegaan setelah menyelesaikan ujian masuk universitas yang menegangkan. Namun, pikirannya masih dipenuhi harapan dan kekhawatiran tentang masa depannya.Tiba-tiba, suara lembut namun penuh semangat memecah lamunannya. "Halo, adikku!"Aisyah mendongak dengan cepat. Di depannya, seorang wanita berhijab yang sangat mirip dengannya melambaikan tangan, senyuman hangat menghiasi wajahnya. Wanita itu adalah Anisa, saudari kembarnya."Kakak?" Aisyah langsung bangkit berdiri, senyumnya merekah. "Selamat siang, kak!""Selamat siang juga," jawab Anisa sambil menghampiri Aisyah. Tanpa ragu, ia duduk di sebelah adiknya, memandangnya dengan penuh perhatian.Aisyah memiringkan kepalanya, menatap kakaknya dengan tatapan ingin tahu. "Aku dengar kakak kuliah jurusan bisnis? Aku tidak menyangka terny

DMCA.com Protection Status