"Tolong! Siapa pun! Tolong aku!”
Teriakan memilukan menggema di sebuah aula besar yang gelap dan sepi dalam istana negara. Suara tangisan seorang gadis muda berusia 19 tahun merobek keheningan malam, memohon belas kasihan yang tak kunjung datang. Tubuhnya tergeletak tak berdaya, mencoba melawan kekuatan seorang pria yang memaksanya. Di atasnya, wajah dingin Sulistyo Nugroho—calon wakil presiden yang segera dilantik—tak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Dia tersenyum sinis di tengah jeritan itu, seolah menikmati kekuasaannya yang tak tergoyahkan. Di sisi lain, gadis itu menggigil, air matanya bercampur rasa sakit dan kehinaan yang tak dapat ia ungkapkan. Tidak ada saksi, hanya dinding-dinding dingin yang membisu di aula megah itu. --- Sejak dua minggu setelah kejadian itu, Aisyah terbaring diam di kamar kecilnya. Tubuhnya terasa remuk, bukan hanya karena luka fisik, tetapi juga rasa jijik dan hina yang menusuk batinnya. Ia menatap langit-langit kamar dengan mata sembab, air matanya terus mengalir meski ia mencoba menahannya. Ingatannya berputar kembali ke malam itu, di aula megah yang kini terasa seperti neraka. “Mengapa aku?” pikir Aisyah sambil memeluk tubuhnya sendiri. Ia telah menjadi pasukan pembawa bendera, berdiri dengan bangga mewakili pemuda bangsa. Tapi hadiah yang diterimanya adalah penghinaan paling kejam dari seseorang yang seharusnya menjadi pemimpin bangsa. Di atas meja kecil di sudut kamar, sebuah testpack tergeletak. Aisyah belum berani menyentuhnya lagi. Tangannya gemetar hanya dengan membayangkan kemungkinan buruk yang akan ia hadapi. --- Di sisi lain, di sebuah ruangan rahasia istana, Sulistyo Nugroho berdiri tegap dengan wajah dingin. Di hadapannya, seorang operator CCTV terlihat pucat, jelas ketakutan menghadapi ancaman pria itu. “Hapus semua rekaman CCTV di aula malam itu,” perintah Sulistyo, suaranya tajam seperti pisau. Ia berjalan mendekati operator, tatapannya menekan, penuh ancaman. “Jika sampai ada yang membocorkan rekaman itu, karier kalian habis! Dan bukan hanya karier, nyawa kalian juga dipertaruhkan.” Operator itu mengangguk gugup, segera mengetikkan perintah di komputernya. Dalam hitungan detik, semua jejak rekaman malam itu hilang, lenyap tanpa sisa. Namun, Sulistyo belum selesai. Ia memutar badannya, berbicara kepada ajudan yang berdiri di sudut ruangan. “Temukan gadis itu. Cari tahu di mana rumahnya. Aku akan menemuinya besok.” “Apakah ada instruksi lain, Tuan?” tanya ajudan dengan hati-hati. Sulistyo menatap tajam, seolah mempertimbangkan sesuatu. Lalu ia berkata dengan nada rendah, penuh perhitungan, “Dia harus tahu bahwa yang terbaik baginya adalah diam. Aku akan memastikan itu.” --- Kembali ke kamar Aisyah, ia menggigit bibirnya, mencoba menahan isak yang kian pecah. Tangannya meraih testpack di meja dengan ragu. “Tidak... Tidak mungkin,” bisiknya. Namun, dua garis merah yang jelas terlihat menghapus semua harapannya. Pintu kamarnya tiba-tiba diketuk pelan. “Aisyah, sayang, ada apa?” Suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu. Aisyah tergugu, tidak sanggup menjawab. Ia merasa semua ini terlalu berat. “Apa yang harus aku lakukan?” pikirnya. Ia tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. “Nak… keluar dari kamar! Kamu belum keluar dari kamar sejak pulang dari istana dua minggu lalu. Ibu bahkan tidak melihatmu keluar kamar untuk makan,” suara Nurhayati Rahmah, ibu Aisyah, terdengar cemas di balik pintu. Ia mengetuk perlahan, berusaha membujuk putrinya. Namun tidak ada jawaban, hanya keheningan yang menyakitkan. Langkah kaki Nurhayati terdengar menjauh, meninggalkan pintu kamar. Tapi beberapa saat kemudian, ia kembali dengan nada berbeda—lebih riang, hampir melupakan kekhawatirannya tadi. “Nak! Keluarlah! Lihat siapa yang datang ke rumah kita!” serunya dengan semangat. Aisyah duduk diam di tepi tempat tidur, tubuhnya lemah, matanya sembab. Dengan enggan, ia menghapus air matanya yang belum sempat kering. Setiap langkah menuju pintu terasa berat, seolah menggiringnya ke dalam mimpi buruk yang tak kunjung usai. Saat Aisyah membuka pintu, matanya langsung menangkap sosok pria yang berdiri di ruang tamu. Sulistyo Nugroho. Tubuhnya membeku. Perasaan jijik, marah, dan takut menyeruak tanpa kendali. “Nak, lihat! Ini Pak Sulistyo, calon wakil presiden kita,” ujar Nurhayati penuh antusias. Senyumnya lebar, seperti menyambut seorang tamu kehormatan. Ia tak tahu pria itu adalah pelaku yang telah menghancurkan hidup putrinya. Sulistyo berdiri dengan tenang, mengenakan jas formal yang rapi. Matanya tajam, penuh keyakinan. Tapi bagi Aisyah, tatapan itu adalah simbol dari rasa sakit dan trauma yang tak tertahankan. Dengan suara gemetar, Aisyah akhirnya berkata. “Pria ini...” Ia terdiam sejenak, mengumpulkan keberanian. “…adalah orang yang sudah memperkosaku, Bu.” Seakan dunia berhenti, Nurhayati membelalak. Senyum di wajahnya memudar, berganti keterkejutan yang membekukan. “Apa?!” teriaknya, nyaris kehilangan napas. Sulistyo tetap berdiri tegap, tak ada tanda-tanda panik di wajahnya. Sebaliknya, ia menatap Aisyah dengan dingin, penuh perhitungan, seolah sedang memikirkan langkah berikutnya untuk mengendalikan situasi. “Bu…” suara Aisyah pecah, matanya kembali dipenuhi air mata. “Dia yang menghancurkan aku… Dia yang mengambil segalanya dariku!” Nurhayati tersentak, mundur selangkah, menatap pria yang tadi ia sambut dengan hormat. Air matanya mulai jatuh, tapi lidahnya kelu, tak mampu berkata apa-apa. Sulistyo mendekat dengan langkah mantap. “Saya di sini untuk bertanggung jawab,” katanya tanpa ekspresi. Suaranya rendah, tapi jelas menekan. “Tanggung jawab?” Nurhayati akhirnya bersuara, suaranya terdengar tajam di antara tangisannya. “Apa maksud Anda dengan ‘tanggung jawab’?!” Ajudan Sulistyo membuka sebuah koper besar, memperlihatkan tumpukan uang merah yang memenuhi isinya. "Ini kompensasi dari Bapak Sulistyo. Lupakan semua kejadian yang tidak mengenakkan di istana, dan masalah selesai," ujarnya dengan dingin. Mata Mustofa Arifin, ayah tiri Aisyah, berbinar penuh nafsu. "Wah! Uangnya banyak sekali! Ini bisa dipakai untuk judi online, melunasi hutang, membeli rokok, dan—" "Ayah!" teriak Nurhayati, istrinya, dengan suara bergetar. "Putrimu baru saja diperkosa! Dan Ayah malah memikirkan uang?! Apa kau sudah kehilangan akal?!" Mustofa mendengus, wajahnya berubah dingin. "Sudahlah! Perempuan memang seperti itu, kan? Sama saja seperti barang. Bisa dipakai, bisa dirusak, asal ada uang untuk membayarnya." Aisyah mengepalkan tangan erat, gemetar menahan amarah. Ia sudah terbiasa dengan perlakuan tidak adil dari ayah tirinya, tapi kali ini hatinya benar-benar hancur. Matanya yang penuh amarah beralih menjadi senyum masam, meski air mata mengalir di pipinya. "Biasa... ayah tiri." Sulistyo yang sejak tadi diam memperhatikan, akhirnya membuka suara. "Jadi bagaimana, Saudari Aisyah? Apakah Anda bersedia menerima kompensasi ini dan melupakan semuanya?" tanyanya dengan nada datar sambil menaikkan alisnya. Aisyah menatap Sulistyo dengan pandangan penuh kebencian. Senyum sinis terukir di wajahnya. "Jadi, maksud Anda, bayi di dalam kandungan saya juga harus digugurkan agar kasus ini benar-benar tertutup, ya?" Sulistyo menatapnya tajam, dahi berkerut. "Bayi di dalam kandungan?" tanyanya, mencoba memastikan apa yang baru saja ia dengar. Aisyah menghela napas berat, mengambil sebuah testpack dari sakunya, lalu melemparkannya ke lantai di depan Sulistyo. "Aku hamil. Puas?" suaranya gemetar, tapi penuh dengan kemarahan yang tertahan. Ruangan menjadi hening. Napas Nurhayati tersengal, sementara Mustofa melotot tak percaya. Seketika, wajah Mustofa berubah merah. "Aisyah! Kau tidak boleh bersikap tidak sopan di depan calon wakil presiden!" katanya dengan nada penuh kemarahan, sebelum tangannya terangkat tinggi dan mendarat keras di pipi kiri putrinya. "Pak, hentikan!" Sulistyo maju dengan langkah cepat, menangkap tangan Mustofa yang hendak mengayun lagi. Dengan gerakan tegas, ia berdiri di depan Aisyah, melindunginya di balik tubuhnya. Sulistyo menghela napas panjang, menenangkan diri. "Jika begini keadaannya, saya tidak punya pilihan lain," ujarnya dengan nada tenang, tapi tegas. "Saya harus menikahi Aisyah. Bayi di dalam kandungannya adalah darah daging saya, penerus keluarga saya di masa depan. Saya akan bertanggung jawab." Aisyah menatap Sulistyo dengan mata penuh kebencian, tapi bibirnya terkunci. Di satu sisi, ia tidak percaya dengan drama kepura-puraan yang sedang dimainkan Sulistyo. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa dirinya tidak punya kekuatan untuk menolak.Tiga hari kemudian, Aisyah duduk di depan meja rias, wajahnya dingin seperti porselen. Beberapa MUA sibuk merapikan riasannya, namun suasana di ruangan itu terasa berat, penuh ketegangan yang tak terlihat. Hanya suara lembut kuas bedak yang berbisik di udara, menemani keheningan yang menggantung. "Wah, calon istri wakil presiden kita memang luar biasa cantik! Tidak heran kalau calon wakil presiden yang katanya dingin itu bisa jatuh hati. Rupanya pengibar bendera tidak hanya ahli mengibarkan bendera, tapi juga perasaan pria seperti seorang calon wakil presiden!" ujar salah satu MUA yang tampaknya berusaha mencairkan suasana. Aisyah meliriknya sekilas dari balik cermin, senyum tipis terukir di bibirnya. Namun, itu bukan senyum ramah, melainkan senyuman yang dingin dan penuh ketidaksenangan. Ekspresinya cukup untuk membuat orang di sekitarnya merasa kecil. "Fokus saja merias," tegur seorang MUA lain, menyenggol rekannya pelan. MUA yang cerewet itu mendengus kecil, tetapi segera me
Malam pertama setelah pesta pernikahan itu terasa seperti neraka bagi Aisyah. Ia duduk di depan cermin besar, berusaha melepas konde yang terasa seperti belenggu di kepalanya. Gerakannya lambat, hampir tanpa tenaga. Wajahnya memucat, menahan rasa lelah dan kehinaan yang menghimpit.Sulistyo berdiri di sudut ruangan, tangan terlipat di dada, matanya mengawasi Aisyah seperti seekor elang. Tatapannya tajam, dipenuhi kebencian yang tak berusaha ia sembunyikan.Aisyah tahu, pria itu tidak berniat menyembunyikan rasa muaknya terhadap dirinya. Namun, ia hanya bisa diam, tangannya gemetar saat mencoba membuka sanggul yang sudah membuat kepalanya nyeri. "Apalagi yang dia mau dariku?" batinnya, tapi ia tak punya keberanian untuk berkata sepatah kata pun.Sulistyo akhirnya angkat bicara, suaranya tajam menusuk. "Ini semua salahmu. Jangan bertingkah seperti korban."Aisyah terhenti sejenak, tapi tak berani berbalik. Ia hanya memejamkan matanya rapat-rapat. "Korban? Aku memang korban... Semua oran
Pagi itu, langkah berat terdengar mendekati kamar Aisyah. Pintu terbuka dengan kasar, dan Ratri, ibu Sulistyo, masuk dengan tatapan tajam. Tanpa mengatakan apapun, ia menarik selimut yang menutupi tubuh Aisyah dengan gerakan penuh emosi.“Jam segini masih tidur? Bangun!” bentaknya, suaranya menggema di ruangan sempit itu.Aisyah membuka mata perlahan, tubuhnya terasa remuk. Wajahnya yang memar tampak lesu, dan nafasnya masih tersengal akibat malam yang panjang. “Aku sudah bangun sejak jam tiga tadi,” gumamnya lirih.“Lalu kenapa kembali tidur? Cepat bangun! Kau pikir hidupmu di sini untuk bermalas-malasan?” Ratri menarik tangan Aisyah dengan kasar, membuat tubuhnya limbung.Aisyah berusaha duduk, menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan dingin yang ia berikan. “Apa lagi?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.“Kau itu sudah jadi istri! Cepat ke dapur dan siapkan sarapan untuk suamimu!” perintah Ratri, nadanya penuh otoritas.Aisyah m
Aisyah duduk di atas ranjang rumah sakit, mengenakan pakaian pasien yang longgar. Wajahnya datar, matanya malas menatap orang-orang di sekelilingnya. Ratri berdiri di depan dokter, raut wajahnya tampak khawatir—atau lebih tepatnya, pura-pura khawatir.“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Ratri dengan nada yang dibuat cemas.Dokter wanita itu tersenyum tipis, mencoba menciptakan suasana tenang. “Ananda Aisyah tidak mengalami keguguran,” jawabnya tenang.Aisyah mendesah pelan, pandangannya beralih pada dokter. “Kalau begitu, kenapa bagian bawah tubuh saya mengeluarkan begitu banyak darah?” tanyanya, nadanya terdengar santai, seolah rasa sakit yang dirasakannya tak berarti apa-apa.Dokter memperhatikan Aisyah sejenak sebelum menjawab dengan profesional, “Pendarahan itu bukan karena keguguran. Melainkan karena luka robek di dinding vagina akibat hubungan seksual yang terlalu kasar.”Ruangan itu langsung hening. Semua mata kini beralih pada Sulistyo, yang berdiri di pojok ruangan. Wajahnya t
Setelah tiga bulan berlalu, sikap keluarga Sulistyo mulai berubah. Perut Aisyah yang semakin membesar menjadi perhatian utama, terutama bagi Ratri. Kehamilan itu kini menjadi alasan mereka menunjukkan perhatian yang terasa ganjil—lebih seperti kewajiban daripada kasih sayang tulus."Nak, kemarilah. Waktunya makan," panggil Ratri dengan nada lembut sambil menyiapkan makanan di atas meja makan.Aisyah melangkah perlahan menuju dapur. Perutnya terasa semakin berat, tubuhnya sedikit condong ke depan karena bayi di dalam kandungannya yang mulai membesar."Wah, cucu nenek sudah besar saja," ujar Ratri sambil tersenyum, tangannya mengusap perut Aisyah dengan lembut. "Baru tiga bulan, tapi perkembangannya luar biasa."Ratri menatap menantunya dengan pandangan yang sulit diterka. "Kau juga terlihat lebih cantik sekarang, setelah Sulistyo... yah, berhenti memperlakukanmu dengan buruk." Tangannya berpindah mengusap pipi Aisyah yang kini terlihat lebih segar. "Kulitmu halus sekali, membuat ibu ja
Keesokan harinya, istana negara dipadati para menteri, petinggi negara, dan tamu undangan penting. Hari itu adalah momen bersejarah: pelantikan presiden dan calon wakil presiden untuk periode terbaru. Di salah satu kamar megah istana, Aisyah berdiri di depan cermin besar, menatap bayangannya dengan ekspresi muram. Tubuhnya yang ramping dibalut kebaya ketat berwarna emas, dipadukan dengan kain canting bermotif khas adat Javanagara. Rambutnya yang biasa dibiarkan terurai kini ditata rapi menjadi konde, dihias ornamen kecil yang memantulkan kilauan cahaya. Ia menghela napas panjang, kedua tangannya meraba lembut perutnya yang sedikit membuncit. Rasa tidak nyaman semakin menguat. "Kenapa harus begini?" gumamnya pelan, hampir berbisik. "Aku bahkan tidak bisa bernapas lega. Rasanya sesak sekali... Bagaimana kalau ini membahayakan bayiku?" Aisyah memutar bola matanya, lalu menunduk, melihat kain yang membungkus tubuhnya terlalu erat. "Tidak bisakah aku mengenakan sesuatu yang lebih longga
Ruangan itu terasa dingin dan sunyi, hanya terdengar suara alat medis yang terus berbunyi monoton. Aisyah perlahan membuka matanya, cahaya putih menyilaukan dari lampu di langit-langit menyambut pandangannya. Ia menyadari dirinya terbaring di ranjang rumah sakit. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya begitu lemah. Namun, suara-suara tajam mulai menusuk telinganya, menghancurkan keheningan. "Dia sudah keguguran," suara dingin itu mengoyak kesadarannya. "Dia sudah tidak berguna lagi!" sambung yang lain, penuh kebencian. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Aisyah mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasa sakit di seluruh tubuhnya membuatnya hanya bisa terbaring. Ia memandang sekeliling dengan lemah, menemukan orang-orang yang seharusnya menjadi keluarganya menatapnya dengan penuh penghinaan. "Lihatlah dia! Sia-sia saja kita bersikap baik padanya, namun dia malah keguguran!" Ratri, ibu Sulistyo, berkata dengan nada sinis, kini tanpa basa-basi menyembunyikan kebenciannya. "
Setelah Jatmiko dan Ratri kembali ke Suryaloka, situasi di istana negara berubah semakin memanas. Berita tentang Aisyah yang dibawa ke rumah sakit menggunakan jet pribadi menyebar cepat di media sosial, memicu hujatan dari berbagai pihak. “Wakil presiden baru, tapi skandal sudah langsung datang! Memalukan!” tulis salah satu netizen dengan nada marah. “Jet pribadi buat ke rumah sakit? Sementara di pedalaman orang sakit susah dapat ambulans! Gila ini!” komentar lain yang mendapatkan ribuan tanda suka. “Ini pasti pakai uang rakyat! Korupsi berkedok kemewahan! Hancur sudah moral pemimpin kita!” tambah akun lain, memperkeruh suasana. Sulistyo duduk di ruang kerjanya, wajahnya tegang menatap layar ponsel yang terus menampilkan komentar-komentar penuh cemoohan. Jari-jarinya gemetar, dan tanpa sadar ia memukul meja, membuat suara keras menggema di ruangan. “Ini... Ini semua gara-gara dia!” geramnya, giginya gemeretak menahan amarah. “Gadis miskin rendahan itu! Hidupku jadi kacau karena d
Sulistyo melangkah masuk ke kamar dengan wajah penuh percaya diri. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Aisyah duduk meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya tersembunyi di balik bantal yang ia tekan erat-erat ke kepalanya, seolah mencoba memblokir sesuatu yang tak terlihat. Sesekali, isakan kecil terdengar dari balik bantal itu.Matanya menyipit, bingung dan sedikit terganggu. Dalam hitungan detik, dia berlari menghampiri Aisyah, lututnya berlutut di samping ranjang. Dengan lembut, tangannya menarik bantal dari wajah istrinya. "Ada apa, sayang? Kenapa menangis?"Wajah Aisyah basah oleh air mata, matanya sembab dan penuh ketakutan. Suaranya bergetar saat ia berbicara. "Dari tadi… Aku terus mendengar suara tembakan dan teriakan orang-orang." Ia menggigit bibir bawahnya, suaranya semakin lirih. "Aku tidak berani melihat ke jendela. Apa yang terjadi di luar sana?"Sulistyo terdiam sejenak, menyusun kata-kata dalam pikirannya. Kemudian
Sulistyo berdiri angkuh di atas balkon istana negara, tubuhnya dibalut setelan formal yang memancarkan kekuasaan. Matanya menatap ke bawah dengan pandangan tajam penuh kepuasan, seolah dunia ini adalah panggung kecil yang ia kendalikan sepenuhnya. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu mengusir kehangatan memabukkan dari rasa kemenangan yang memenuhi dirinya."Damai sekali…" gumamnya pelan, tapi penuh arogansi. Sebuah senyum licik mengembang di wajahnya. "Memang tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan uang."Ia berbalik, langkahnya perlahan namun penuh wibawa. Namun, saat punggungnya baru saja meninggalkan pandangan dari balkon, suara kerumunan mulai terdengar dari kejauhan. Raungan protes yang membakar udara malam bergema seperti guntur. Sulistyo berhenti di tengah langkah, mendengarkan dengan tenang, lalu kembali ke tepi balkon, kali ini dengan alis sedikit mengernyit.Di bawah sana, gelombang manusia mulai berkumpul di gerbang i
Malam itu, suasana di rumah Anisa sangat sunyi. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan tirai jendela di ruang tamu tempat ia duduk sendiri, hanya ditemani oleh cahaya televisi yang menampilkan berita nasional. Adik-adiknya sudah terlelap di ranjang, tubuh kecil mereka bersandar dengan damai, tidak menyadari betapa resah hati kakak mereka.Anisa memeluk lututnya, matanya menatap layar televisi dengan raut penuh kebencian yang ia coba tahan agar tidak meledak. Lagi-lagi, layar kaca itu dipenuhi dengan berita selebriti yang sama sekali tidak penting. Perdebatan soal drama percintaan artis yang dipoles sedemikian rupa memenuhi setiap segmen, menggantikan pemberitaan luar negeri yang sebelumnya sempat membahas kebobrokan sistem pemerintahan di Dwipantara.Pemberitaan itu hanya bertahan sejenak, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat menyentuh tanah. Anisa tahu alasannya. "Tch! Pasti televisi sudah disogok pemerintah lagi!" gumamnya dengan suara pelan, meluapk
Keesokan harinya, layar-layar televisi di seluruh penjuru negeri dipenuhi berita yang sama: "GDP Dwipantara Mengalami Penurunan Tajam, Negara Terancam Krisis Ekonomi." Gambar-gambar grafik ekonomi yang menukik tajam ke bawah terpampang jelas, diselingi laporan dari para analis ekonomi lokal dan internasional."Rendahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan pajak yang melambung tinggi telah melumpuhkan perekonomian nasional," ucap salah satu pembawa berita dengan nada serius. "UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kini bertumbangan satu per satu, tak mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi."Rekaman jalanan yang sepi dari aktivitas jual beli ditampilkan, diikuti visual mall-mall besar yang kosong melompong, dengan hanya segelintir orang yang terlihat berjalan cepat, sekadar untuk membeli kebutuhan pokok."Masyarakat Dwipantara kini bekerja tanpa henti, bagaikan kuda, hanya untuk mengisi perut mereka sendiri," lanjut pembawa berita, suaranya pen
Aisyah berbaring di ranjang dengan tubuh yang terasa seolah terkunci. Di sebelahnya, Sulistyo bersandar santai, dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Cahaya dari televisi menerangi kamar yang megah namun terasa sesak bagi Aisyah. Film romantis yang sedang diputar menambah ironi dalam hatinya, karena adegan-adegan penuh cinta itu jauh dari apa yang ia rasakan sekarang."Aku kurang suka film romantis," ucap Aisyah akhirnya, mencoba terdengar selembut mungkin agar tidak memicu amarah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya di lengan Sulistyo, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Boleh ganti dengan film action atau thriller?" nada manjanya terasa aneh di telinganya sendiri, tetapi ia harus terus memainkan peran ini.Sulistyo menoleh ke arahnya, matanya yang tajam memerhatikan Aisyah seolah sedang membaca pikirannya. Ia terdiam beberapa detik, membuat suasana di antara mereka menjadi tegang. "Tapi, film seperti itu temanya berat," katanya akhirnya, suaranya rendah namun
Aisyah duduk di atas ranjangnya yang dingin, memegangi kepala dengan kedua tangannya. Napasnya berat, penuh rasa frustrasi yang sulit ia tahan. Matanya berkaca-kaca saat kata-kata itu akhirnya keluar dari bibirnya dalam bisikan getir. "Bagaimana ini? Aku sudah hamil… Aku benar-benar mengandung anak dari tirani itu."Dengan gemetar, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang, kedua tangannya perlahan bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Sentuhan itu terasa asing, seperti menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang sekaligus membangkitkan cinta sekaligus kebencian. "Aku harus melahirkannya," gumamnya pelan. "Harus tetap melahirkannya, meskipun kemungkinan besar dia akan mewarisi tahta ayahnya sebagai presiden KKN."Aisyah mendongak, menatap kosong ke langit-langit kamar. "Tapi aku berjanji… sebagai ibunya, aku akan mendidiknya dengan benar. Kalau bisa… aku akan membuatnya menjadi senjata untuk melawan ayahnya sendiri." Matanya menyipit, penuh tekad. Ia menga
Sulistyo duduk di tepi ranjang, menatap perut Aisyah yang mulai membesar. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap perut itu seolah mencari kehangatan dari kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Jika sudah lahir, ingin diberi nama apa bayi kita?" tanyanya dengan suara yang terdengar tenang, namun mata tajamnya tetap memancarkan dominasi.Aisyah menoleh pelan, menatapnya dengan mata yang lelah. Air mukanya penuh kebingungan dan ketidakpastian. "Entahlah…" jawabnya, suaranya hampir seperti bisikan.Sulistyo tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur di balik sikap Aisyah yang bingung. "Bagaimana dengan nama seperti Kusumo?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kebanggaan.Namun, Aisyah hanya menggeleng pelan. "Kita belum tahu yang lahir adalah anak perempuan atau anak laki-laki."Sejenak, suasana menjadi sunyi. Wajah Sulistyo yang sebelumnya terlihat tenang tiba-tiba menggelap. Matanya menyipit, dan rahangnya mengeras saat dia men
Sulistyo memandang Aisyah dengan cemas saat ia menggenggam tubuh istrinya yang terasa lemah di pelukannya. Dalam diam, ia membawa Aisyah menuju kamar mereka. Langkahnya mantap, namun di balik ekspresi dingin yang biasa terpancar, ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Setelah membuka pintu kamar, Sulistyo membaringkan Aisyah di atas ranjang dengan hati-hati, seperti memegang barang paling rapuh di dunia. Pandangannya tidak lepas dari wajah Aisyah yang terlihat pucat, namun tetap memancarkan kelembutan. "Aisyah, apa kau baik-baik saja? Kau tidak merasa sakit hati dengan ucapan ibu kan?"Aisyah, yang tubuhnya masih terasa lelah, hanya menggeleng pelan. Suaranya terdengar kecil, nyaris berbisik. "Tidak masalah, aku sudah biasa."Namun bagi Sulistyo, jawaban itu justru menambah perih di hatinya. Wajahnya mengeras, tetapi jemarinya tetap lembut saat menggenggam tangan Aisyah. "Jangan terlalu dipikirkan!" katanya dengan nada tegas, nyaris seperti perintah. "Ka
Dua minggu berlalu sejak peristiwa terakhir, dan kini Aisyah duduk diam di atas ranjang, tangannya gemetar memegang test pack kecil di tangannya. Dua garis merah mencolok tertera di sana, menandakan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Kehamilan.Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang, meski ia tak tahu apakah air mata itu lahir dari rasa senang, takut, atau bahkan keputusasaan. Ada kebahagiaan kecil yang menyelinap di sudut hatinya—setidaknya, Sulistyo tidak akan memaksanya lagi untuk segera hamil. Tapi di saat yang sama, ia merasa belenggu di hidupnya kini bertambah erat. Dengan kehamilan ini, kebebasan yang nyaris tak ada sebelumnya kini hilang sepenuhnya.Aisyah cepat-cepat menyembunyikan test pack itu di bawah bantal ketika mendengar langkah kaki mendekat dari luar kamar. Suara langkah itu, meski terdengar tenang, selalu membawa ketegangan di hatinya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sulistyo yang tersenyum lebar sambil me