Tiga hari kemudian, Aisyah duduk di depan meja rias, wajahnya dingin seperti porselen. Beberapa MUA sibuk merapikan riasannya, namun suasana di ruangan itu terasa berat, penuh ketegangan yang tak terlihat. Hanya suara lembut kuas bedak yang berbisik di udara, menemani keheningan yang menggantung.
"Wah, calon istri wakil presiden kita memang luar biasa cantik! Tidak heran kalau calon wakil presiden yang katanya dingin itu bisa jatuh hati. Rupanya pengibar bendera tidak hanya ahli mengibarkan bendera, tapi juga perasaan pria seperti seorang calon wakil presiden!" ujar salah satu MUA yang tampaknya berusaha mencairkan suasana. Aisyah meliriknya sekilas dari balik cermin, senyum tipis terukir di bibirnya. Namun, itu bukan senyum ramah, melainkan senyuman yang dingin dan penuh ketidaksenangan. Ekspresinya cukup untuk membuat orang di sekitarnya merasa kecil. "Fokus saja merias," tegur seorang MUA lain, menyenggol rekannya pelan. MUA yang cerewet itu mendengus kecil, tetapi segera menunduk, kembali bekerja. Keheningan kembali menguasai ruangan. Para MUA menahan napas, takut membuat kesalahan yang bisa memicu kemarahan Aisyah. Suasana dingin terasa semakin mencekam, seperti badai yang menunggu waktu untuk meledak. Di balik pantulan cermin, mata Aisyah menatap kosong, menyimpan sesuatu yang sulit diartikan. Apakah itu kemarahan? Kesedihan? Atau kebencian yang terpendam? Namun, tidak satu pun dari mereka berani bertanya. Aisyah melangkah keluar dari ruang rias, diapit oleh beberapa bridesmaid yang membawanya menuju gedung megah tempat prosesi berlangsung. Derap langkahnya terasa berat, seolah-olah setiap langkah membawanya lebih jauh dari kebebasan. Saat memasuki pelaminan, suara tepuk tangan bergemuruh, memenuhi ruangan yang dihiasi dengan ornamen khas Javanagara. Para tamu memandangnya dengan kekaguman, memuji kecantikan yang dipoles dengan riasan tebal dan busana tradisional megah. Namun, di dalam hati, Aisyah justru merutuk. "Cantik, katamu? Daripada merasa seperti model, ini lebih seperti ondel-ondel yang dipajang untuk pesta jalanan. Apa mereka tidak punya selera?" pikirnya dengan getir. Langkahnya terhenti di depan pelaminan, di mana Sulistyo telah menunggunya. Tatapan pria itu dingin, penuh perhitungan, membuat Aisyah merasa semakin terjebak. Ia duduk di sampingnya dengan ragu, matanya memandang lurus ke depan, berusaha mengabaikan sorotan ribuan mata yang memperhatikannya. Sulistyo, yang melihat wajah cemberut Aisyah, mendekatkan diri dan berbisik tajam. "Tersenyum. Jika sampai mereka tahu kau terpaksa, aku tidak akan ragu menghabisi keluargamu." Aisyah menoleh perlahan, matanya bertemu dengan tatapan tajam Sulistyo. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya memaksakan senyum. Namun, senyuman itu lebih mirip garis kaku yang menyakitkan untuk dilihat. "Lebih natural!" bisik Sulistyo sekali lagi, suaranya rendah tapi mengancam. "Seperti saat kau membawa bendera di upacara. Senyum itu, Aisyah." Aisyah menahan gejolak emosi yang hampir meledak, mengingat ancaman Sulistyo dengan jelas. Dengan susah payah, ia melengkungkan bibir, menampilkan senyuman yang tampak sempurna bagi siapa pun yang melihatnya. Tapi hanya Aisyah yang tahu, di balik senyuman itu, ada kebencian yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Aisyah duduk kaku di samping Sulistyo, matanya kosong, mendengarkan suara penghulu yang mulai memimpin akad nikah. Sulistyo menjabat tangan penghulu dengan mantap, wajahnya tenang, penuh kepura-puraan, seolah momen ini adalah yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Kamera-kamera televisi menangkap setiap gerakan mereka, menyiarkan prosesi ini ke jutaan pasang mata di layar kaca dan gawai. "Saya terima nikah dan jodohnya, Aisyah Ramadhani binti Mustofa Arifin, untuk saya, dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat, dibayar tunai," ucap Sulistyo tegas, suaranya menggema di ruangan besar yang penuh tamu undangan. Tepuk tangan riuh memenuhi ruangan. Beberapa tamu tersenyum lebar, terpesona oleh apa yang mereka anggap sebagai pernikahan sempurna. Tapi Aisyah? Ia hanya tersenyum tipis—bukan senyuman bahagia, melainkan senyuman yang lebih mirip cemoohan. Kepalanya sedikit menunduk, matanya menyala dengan sindiran tajam yang tak seorang pun menyadari. "Seperangkat alat sholat?" batinnya sinis. "Ironi macam apa ini? Keluarga mereka melarang hijab saat upacara, bahkan pakaian adat di sini lebih mirip kostum pentas. Apa mereka tahu cara memakai alat sholat? Atau itu hanya properti untuk mempertahankan citra suci di depan kamera? Sungguh menggelikan." Senyum Aisyah semakin melebar, tapi matanya tetap dingin. Ia melirik Sulistyo, yang kini sibuk menerima ucapan selamat dari para tamu. Sosok pria itu tampak sempurna di depan mereka, penuh kharisma dan wibawa. Tapi bagi Aisyah, semua ini hanyalah panggung sandiwara besar. "Ini bukan awal kebahagiaan," pikirnya pahit. "Ini hanya babak baru dari kepalsuan yang harus kutanggung." Aisyah menarik napas panjang, mencoba mengendalikan gejolak dalam dirinya. Ia tahu, mulai saat ini, senyumannya akan menjadi topeng yang harus ia kenakan, bukan untuk kebahagiaan, tetapi untuk bertahan. Acara pernikahan berjalan mulus di mata para tamu, penuh senyuman dan tepuk tangan yang seolah-olah merayakan kebahagiaan sejati. Namun di dalam dirinya, Aisyah terus memaki setiap detik yang ia lalui. Hingga akhirnya, tibalah momen yang paling ia benci—ritual adat injak telur. Sulistyo berdiri dengan sikap angkuh, lalu tanpa ragu menginjak telur yang telah disiapkan. Cangkangnya hancur, isinya tumpah ke lantai, menjadi simbol kesetiaan istri pada suaminya. Di mata para tamu, itu terlihat sakral. Tapi bagi Aisyah, itu tak lebih dari penghinaan. Saat gilirannya tiba, Aisyah terpaksa berjongkok di depan kaki Sulistyo. Tangannya gemetar saat meraih ember kecil berisi air, yang harus ia gunakan untuk mencuci kaki pria yang telah menghancurkan hidupnya. Setiap gerakan terasa seperti belati yang mengiris harga dirinya. "Suku Javanagara... kalian adalah biang kehancuran martabat perempuan!" pekiknya dalam hati, penuh amarah yang mendidih. "Siapa pun yang menciptakan ritual ini, aku doakan kalian terkutuk abadi di neraka. Tradisi macam apa ini? Menghina perempuan atas nama adat? Apa tujuan mencuci kaki seperti ini? Pria menginjak telur seolah tak bersalah, dan wanita harus membersihkan kakinya?" Matanya menatap tajam kaki Sulistyo, seolah ingin membakarnya dengan pandangan. "Jadi memang seperti ini, ya? Pria yang membuat kesalahan, tapi wanita yang harus mengorbankan martabat mereka untuk membersihkannya. Menghapus dosa yang bahkan bukan milik mereka. Sungguh keadilan macam apa ini?" Pikirannya terus bergolak, setiap detik ritual ini terasa seperti belenggu yang menekan harga dirinya semakin dalam. "Injak saja sekalian kepala kami! Bukankah itu yang kalian inginkan? Membuat wanita tunduk dan menyerah, sementara kalian terus merasa superior." Ia menggertakkan gigi, menahan luapan emosinya agar tak pecah di depan para tamu dan kamera yang terus merekam. Namun, di dalam dirinya, badai kebencian terus mengamuk tanpa henti. Lampu-lampu kamera berkedip, mengabadikan setiap sudut momen itu. Sorotan cahaya seolah mempermalukan Aisyah lebih dalam. Ia menunduk, menatap kaki Sulistyo dengan pandangan tajam yang penuh kebencian. "Menyebalkan," pikirnya, menggertakkan gigi. "Harga diriku diinjak-injak, lalu ditertawakan di depan semua orang." Namun tiba-tiba, pikirannya melompat liar. Sebuah ide melintas, memaksanya berhenti sejenak. Matanya melirik kaki Sulistyo. "Bagaimana kalau aku buat skandal di sini? Patahkan kakinya di depan semua orang? Atau pura-pura jatuh, biar semua yang menonton mengira dia menendangku. Mereka harus tahu sisi aslinya." Dengan gerakan pelan, ia mulai membasuh kaki Sulistyo. Tangannya bergerak lembut, tapi pikirannya terus merancang langkah berikutnya. Senyum tipis terlukis di bibirnya—senyum yang penuh ancaman. "Tenang saja, Sulistyo," batinnya. "Kau akan menerima balasanmu. Entah hari ini, entah besok. Tapi aku bersumpah, kau akan membayar semuanya." Namun di tengah amarah dan kehinaan itu, ada sedikit rasa syukur yang muncul—meski terasa menyakitkan. "Tapi kalau bukan karena ini... mungkin keluargaku sudah habis. Sulistyo bisa saja menghancurkan kami, atau lebih buruk, membiarkan aku hidup dengan rasa malu seumur hidup. Setidaknya, dengan menikahinya, aku punya alasan untuk melindungi mereka. Dan... anak ini. Anak yang dia tinggalkan di tubuhku. Kalau aku menolak, apa yang akan terjadi pada bayi ini? Apa aku bisa menanggung hujatan tetangga?" Pikirannya terus bergolak, antara benci dan penerimaan yang terpaksa. "Aku tidak akan memaafkan dia, apalagi keluarganya. Tapi jika ini satu-satunya cara agar keluargaku selamat, agar anak ini tidak dilahirkan sebagai aib... maka biarlah aku menjadi korban. Aku tidak punya pilihan lain." Air matanya hampir jatuh, tapi ia buru-buru menahannya. Kamera-kamera terus merekam setiap gerakan kecilnya. Ia tahu, bahkan menangis pun akan dianggap lemah. Jadi, ia memilih untuk menyimpan semuanya dalam hati—rasa sakit, kebencian, dan rasa syukur yang bercampur menjadi satu.Malam pertama setelah pesta pernikahan itu terasa seperti neraka bagi Aisyah. Ia duduk di depan cermin besar, berusaha melepas konde yang terasa seperti belenggu di kepalanya. Gerakannya lambat, hampir tanpa tenaga. Wajahnya memucat, menahan rasa lelah dan kehinaan yang menghimpit.Sulistyo berdiri di sudut ruangan, tangan terlipat di dada, matanya mengawasi Aisyah seperti seekor elang. Tatapannya tajam, dipenuhi kebencian yang tak berusaha ia sembunyikan.Aisyah tahu, pria itu tidak berniat menyembunyikan rasa muaknya terhadap dirinya. Namun, ia hanya bisa diam, tangannya gemetar saat mencoba membuka sanggul yang sudah membuat kepalanya nyeri. "Apalagi yang dia mau dariku?" batinnya, tapi ia tak punya keberanian untuk berkata sepatah kata pun.Sulistyo akhirnya angkat bicara, suaranya tajam menusuk. "Ini semua salahmu. Jangan bertingkah seperti korban."Aisyah terhenti sejenak, tapi tak berani berbalik. Ia hanya memejamkan matanya rapat-rapat. "Korban? Aku memang korban... Semua oran
Pagi itu, langkah berat terdengar mendekati kamar Aisyah. Pintu terbuka dengan kasar, dan Ratri, ibu Sulistyo, masuk dengan tatapan tajam. Tanpa mengatakan apapun, ia menarik selimut yang menutupi tubuh Aisyah dengan gerakan penuh emosi.“Jam segini masih tidur? Bangun!” bentaknya, suaranya menggema di ruangan sempit itu.Aisyah membuka mata perlahan, tubuhnya terasa remuk. Wajahnya yang memar tampak lesu, dan nafasnya masih tersengal akibat malam yang panjang. “Aku sudah bangun sejak jam tiga tadi,” gumamnya lirih.“Lalu kenapa kembali tidur? Cepat bangun! Kau pikir hidupmu di sini untuk bermalas-malasan?” Ratri menarik tangan Aisyah dengan kasar, membuat tubuhnya limbung.Aisyah berusaha duduk, menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan dingin yang ia berikan. “Apa lagi?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.“Kau itu sudah jadi istri! Cepat ke dapur dan siapkan sarapan untuk suamimu!” perintah Ratri, nadanya penuh otoritas.Aisyah m
Aisyah duduk di atas ranjang rumah sakit, mengenakan pakaian pasien yang longgar. Wajahnya datar, matanya malas menatap orang-orang di sekelilingnya. Ratri berdiri di depan dokter, raut wajahnya tampak khawatir—atau lebih tepatnya, pura-pura khawatir.“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Ratri dengan nada yang dibuat cemas.Dokter wanita itu tersenyum tipis, mencoba menciptakan suasana tenang. “Ananda Aisyah tidak mengalami keguguran,” jawabnya tenang.Aisyah mendesah pelan, pandangannya beralih pada dokter. “Kalau begitu, kenapa bagian bawah tubuh saya mengeluarkan begitu banyak darah?” tanyanya, nadanya terdengar santai, seolah rasa sakit yang dirasakannya tak berarti apa-apa.Dokter memperhatikan Aisyah sejenak sebelum menjawab dengan profesional, “Pendarahan itu bukan karena keguguran. Melainkan karena luka robek di dinding vagina akibat hubungan seksual yang terlalu kasar.”Ruangan itu langsung hening. Semua mata kini beralih pada Sulistyo, yang berdiri di pojok ruangan. Wajahnya t
Setelah tiga bulan berlalu, sikap keluarga Sulistyo mulai berubah. Perut Aisyah yang semakin membesar menjadi perhatian utama, terutama bagi Ratri. Kehamilan itu kini menjadi alasan mereka menunjukkan perhatian yang terasa ganjil—lebih seperti kewajiban daripada kasih sayang tulus."Nak, kemarilah. Waktunya makan," panggil Ratri dengan nada lembut sambil menyiapkan makanan di atas meja makan.Aisyah melangkah perlahan menuju dapur. Perutnya terasa semakin berat, tubuhnya sedikit condong ke depan karena bayi di dalam kandungannya yang mulai membesar."Wah, cucu nenek sudah besar saja," ujar Ratri sambil tersenyum, tangannya mengusap perut Aisyah dengan lembut. "Baru tiga bulan, tapi perkembangannya luar biasa."Ratri menatap menantunya dengan pandangan yang sulit diterka. "Kau juga terlihat lebih cantik sekarang, setelah Sulistyo... yah, berhenti memperlakukanmu dengan buruk." Tangannya berpindah mengusap pipi Aisyah yang kini terlihat lebih segar. "Kulitmu halus sekali, membuat ibu ja
Keesokan harinya, istana negara dipadati para menteri, petinggi negara, dan tamu undangan penting. Hari itu adalah momen bersejarah: pelantikan presiden dan calon wakil presiden untuk periode terbaru. Di salah satu kamar megah istana, Aisyah berdiri di depan cermin besar, menatap bayangannya dengan ekspresi muram. Tubuhnya yang ramping dibalut kebaya ketat berwarna emas, dipadukan dengan kain canting bermotif khas adat Javanagara. Rambutnya yang biasa dibiarkan terurai kini ditata rapi menjadi konde, dihias ornamen kecil yang memantulkan kilauan cahaya. Ia menghela napas panjang, kedua tangannya meraba lembut perutnya yang sedikit membuncit. Rasa tidak nyaman semakin menguat. "Kenapa harus begini?" gumamnya pelan, hampir berbisik. "Aku bahkan tidak bisa bernapas lega. Rasanya sesak sekali... Bagaimana kalau ini membahayakan bayiku?" Aisyah memutar bola matanya, lalu menunduk, melihat kain yang membungkus tubuhnya terlalu erat. "Tidak bisakah aku mengenakan sesuatu yang lebih longga
Ruangan itu terasa dingin dan sunyi, hanya terdengar suara alat medis yang terus berbunyi monoton. Aisyah perlahan membuka matanya, cahaya putih menyilaukan dari lampu di langit-langit menyambut pandangannya. Ia menyadari dirinya terbaring di ranjang rumah sakit. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya begitu lemah. Namun, suara-suara tajam mulai menusuk telinganya, menghancurkan keheningan. "Dia sudah keguguran," suara dingin itu mengoyak kesadarannya. "Dia sudah tidak berguna lagi!" sambung yang lain, penuh kebencian. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Aisyah mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasa sakit di seluruh tubuhnya membuatnya hanya bisa terbaring. Ia memandang sekeliling dengan lemah, menemukan orang-orang yang seharusnya menjadi keluarganya menatapnya dengan penuh penghinaan. "Lihatlah dia! Sia-sia saja kita bersikap baik padanya, namun dia malah keguguran!" Ratri, ibu Sulistyo, berkata dengan nada sinis, kini tanpa basa-basi menyembunyikan kebenciannya. "
Setelah Jatmiko dan Ratri kembali ke Suryaloka, situasi di istana negara berubah semakin memanas. Berita tentang Aisyah yang dibawa ke rumah sakit menggunakan jet pribadi menyebar cepat di media sosial, memicu hujatan dari berbagai pihak. “Wakil presiden baru, tapi skandal sudah langsung datang! Memalukan!” tulis salah satu netizen dengan nada marah. “Jet pribadi buat ke rumah sakit? Sementara di pedalaman orang sakit susah dapat ambulans! Gila ini!” komentar lain yang mendapatkan ribuan tanda suka. “Ini pasti pakai uang rakyat! Korupsi berkedok kemewahan! Hancur sudah moral pemimpin kita!” tambah akun lain, memperkeruh suasana. Sulistyo duduk di ruang kerjanya, wajahnya tegang menatap layar ponsel yang terus menampilkan komentar-komentar penuh cemoohan. Jari-jarinya gemetar, dan tanpa sadar ia memukul meja, membuat suara keras menggema di ruangan. “Ini... Ini semua gara-gara dia!” geramnya, giginya gemeretak menahan amarah. “Gadis miskin rendahan itu! Hidupku jadi kacau karena d
Keesokannya, Nursyid mengunggah di akun media sosial pribadinya, dengan caption: "Suatu kehormatan bisa membuat wakil presiden dan keluarganya menumpang dengan nyaman di jet pribadi milik saya." Unggahan itu langsung menuai beragam komentar netizen. Beberapa membela Sulistyo, beberapa membela Nursyid, dan banyak yang menghujat keduanya. "Lihat? Keluarga wakil presiden kita tidak mungkin menggunakan uang rakyat untuk jet pribadi! Itu pasti milik salah satu pengusaha yang meminjamkan pesawatnya!" komentar akun penjilat keluarga Nugroho, menanggapi unggahan Nursyid yang menyebut pesawat itu miliknya. "Nursyid sayang... Berapa banyak uang yang kau terima untuk menipu kami semua? Kami, penggemar setia LightGlow Cosmetics, merasa dikhianati!" tulis netizen lainnya dengan nada kecewa. "Pangeran tampan... Kenapa kau tega menipu kami demi uang haram? Kembalilah ke jalan yang benar!" tambah komentar berikutnya, penuh rasa marah dan kecewa. "Tidak pemimpin negara, tidak pemimpin perusahaan,
Sulistyo melangkah masuk ke kamar dengan wajah penuh percaya diri. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Aisyah duduk meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya tersembunyi di balik bantal yang ia tekan erat-erat ke kepalanya, seolah mencoba memblokir sesuatu yang tak terlihat. Sesekali, isakan kecil terdengar dari balik bantal itu.Matanya menyipit, bingung dan sedikit terganggu. Dalam hitungan detik, dia berlari menghampiri Aisyah, lututnya berlutut di samping ranjang. Dengan lembut, tangannya menarik bantal dari wajah istrinya. "Ada apa, sayang? Kenapa menangis?"Wajah Aisyah basah oleh air mata, matanya sembab dan penuh ketakutan. Suaranya bergetar saat ia berbicara. "Dari tadi… Aku terus mendengar suara tembakan dan teriakan orang-orang." Ia menggigit bibir bawahnya, suaranya semakin lirih. "Aku tidak berani melihat ke jendela. Apa yang terjadi di luar sana?"Sulistyo terdiam sejenak, menyusun kata-kata dalam pikirannya. Kemudian
Sulistyo berdiri angkuh di atas balkon istana negara, tubuhnya dibalut setelan formal yang memancarkan kekuasaan. Matanya menatap ke bawah dengan pandangan tajam penuh kepuasan, seolah dunia ini adalah panggung kecil yang ia kendalikan sepenuhnya. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu mengusir kehangatan memabukkan dari rasa kemenangan yang memenuhi dirinya."Damai sekali…" gumamnya pelan, tapi penuh arogansi. Sebuah senyum licik mengembang di wajahnya. "Memang tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan uang."Ia berbalik, langkahnya perlahan namun penuh wibawa. Namun, saat punggungnya baru saja meninggalkan pandangan dari balkon, suara kerumunan mulai terdengar dari kejauhan. Raungan protes yang membakar udara malam bergema seperti guntur. Sulistyo berhenti di tengah langkah, mendengarkan dengan tenang, lalu kembali ke tepi balkon, kali ini dengan alis sedikit mengernyit.Di bawah sana, gelombang manusia mulai berkumpul di gerbang i
Malam itu, suasana di rumah Anisa sangat sunyi. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan tirai jendela di ruang tamu tempat ia duduk sendiri, hanya ditemani oleh cahaya televisi yang menampilkan berita nasional. Adik-adiknya sudah terlelap di ranjang, tubuh kecil mereka bersandar dengan damai, tidak menyadari betapa resah hati kakak mereka.Anisa memeluk lututnya, matanya menatap layar televisi dengan raut penuh kebencian yang ia coba tahan agar tidak meledak. Lagi-lagi, layar kaca itu dipenuhi dengan berita selebriti yang sama sekali tidak penting. Perdebatan soal drama percintaan artis yang dipoles sedemikian rupa memenuhi setiap segmen, menggantikan pemberitaan luar negeri yang sebelumnya sempat membahas kebobrokan sistem pemerintahan di Dwipantara.Pemberitaan itu hanya bertahan sejenak, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat menyentuh tanah. Anisa tahu alasannya. "Tch! Pasti televisi sudah disogok pemerintah lagi!" gumamnya dengan suara pelan, meluapk
Keesokan harinya, layar-layar televisi di seluruh penjuru negeri dipenuhi berita yang sama: "GDP Dwipantara Mengalami Penurunan Tajam, Negara Terancam Krisis Ekonomi." Gambar-gambar grafik ekonomi yang menukik tajam ke bawah terpampang jelas, diselingi laporan dari para analis ekonomi lokal dan internasional."Rendahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan pajak yang melambung tinggi telah melumpuhkan perekonomian nasional," ucap salah satu pembawa berita dengan nada serius. "UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kini bertumbangan satu per satu, tak mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi."Rekaman jalanan yang sepi dari aktivitas jual beli ditampilkan, diikuti visual mall-mall besar yang kosong melompong, dengan hanya segelintir orang yang terlihat berjalan cepat, sekadar untuk membeli kebutuhan pokok."Masyarakat Dwipantara kini bekerja tanpa henti, bagaikan kuda, hanya untuk mengisi perut mereka sendiri," lanjut pembawa berita, suaranya pen
Aisyah berbaring di ranjang dengan tubuh yang terasa seolah terkunci. Di sebelahnya, Sulistyo bersandar santai, dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Cahaya dari televisi menerangi kamar yang megah namun terasa sesak bagi Aisyah. Film romantis yang sedang diputar menambah ironi dalam hatinya, karena adegan-adegan penuh cinta itu jauh dari apa yang ia rasakan sekarang."Aku kurang suka film romantis," ucap Aisyah akhirnya, mencoba terdengar selembut mungkin agar tidak memicu amarah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya di lengan Sulistyo, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Boleh ganti dengan film action atau thriller?" nada manjanya terasa aneh di telinganya sendiri, tetapi ia harus terus memainkan peran ini.Sulistyo menoleh ke arahnya, matanya yang tajam memerhatikan Aisyah seolah sedang membaca pikirannya. Ia terdiam beberapa detik, membuat suasana di antara mereka menjadi tegang. "Tapi, film seperti itu temanya berat," katanya akhirnya, suaranya rendah namun
Aisyah duduk di atas ranjangnya yang dingin, memegangi kepala dengan kedua tangannya. Napasnya berat, penuh rasa frustrasi yang sulit ia tahan. Matanya berkaca-kaca saat kata-kata itu akhirnya keluar dari bibirnya dalam bisikan getir. "Bagaimana ini? Aku sudah hamil… Aku benar-benar mengandung anak dari tirani itu."Dengan gemetar, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang, kedua tangannya perlahan bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Sentuhan itu terasa asing, seperti menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang sekaligus membangkitkan cinta sekaligus kebencian. "Aku harus melahirkannya," gumamnya pelan. "Harus tetap melahirkannya, meskipun kemungkinan besar dia akan mewarisi tahta ayahnya sebagai presiden KKN."Aisyah mendongak, menatap kosong ke langit-langit kamar. "Tapi aku berjanji… sebagai ibunya, aku akan mendidiknya dengan benar. Kalau bisa… aku akan membuatnya menjadi senjata untuk melawan ayahnya sendiri." Matanya menyipit, penuh tekad. Ia menga
Sulistyo duduk di tepi ranjang, menatap perut Aisyah yang mulai membesar. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap perut itu seolah mencari kehangatan dari kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Jika sudah lahir, ingin diberi nama apa bayi kita?" tanyanya dengan suara yang terdengar tenang, namun mata tajamnya tetap memancarkan dominasi.Aisyah menoleh pelan, menatapnya dengan mata yang lelah. Air mukanya penuh kebingungan dan ketidakpastian. "Entahlah…" jawabnya, suaranya hampir seperti bisikan.Sulistyo tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur di balik sikap Aisyah yang bingung. "Bagaimana dengan nama seperti Kusumo?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kebanggaan.Namun, Aisyah hanya menggeleng pelan. "Kita belum tahu yang lahir adalah anak perempuan atau anak laki-laki."Sejenak, suasana menjadi sunyi. Wajah Sulistyo yang sebelumnya terlihat tenang tiba-tiba menggelap. Matanya menyipit, dan rahangnya mengeras saat dia men
Sulistyo memandang Aisyah dengan cemas saat ia menggenggam tubuh istrinya yang terasa lemah di pelukannya. Dalam diam, ia membawa Aisyah menuju kamar mereka. Langkahnya mantap, namun di balik ekspresi dingin yang biasa terpancar, ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Setelah membuka pintu kamar, Sulistyo membaringkan Aisyah di atas ranjang dengan hati-hati, seperti memegang barang paling rapuh di dunia. Pandangannya tidak lepas dari wajah Aisyah yang terlihat pucat, namun tetap memancarkan kelembutan. "Aisyah, apa kau baik-baik saja? Kau tidak merasa sakit hati dengan ucapan ibu kan?"Aisyah, yang tubuhnya masih terasa lelah, hanya menggeleng pelan. Suaranya terdengar kecil, nyaris berbisik. "Tidak masalah, aku sudah biasa."Namun bagi Sulistyo, jawaban itu justru menambah perih di hatinya. Wajahnya mengeras, tetapi jemarinya tetap lembut saat menggenggam tangan Aisyah. "Jangan terlalu dipikirkan!" katanya dengan nada tegas, nyaris seperti perintah. "Ka
Dua minggu berlalu sejak peristiwa terakhir, dan kini Aisyah duduk diam di atas ranjang, tangannya gemetar memegang test pack kecil di tangannya. Dua garis merah mencolok tertera di sana, menandakan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Kehamilan.Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang, meski ia tak tahu apakah air mata itu lahir dari rasa senang, takut, atau bahkan keputusasaan. Ada kebahagiaan kecil yang menyelinap di sudut hatinya—setidaknya, Sulistyo tidak akan memaksanya lagi untuk segera hamil. Tapi di saat yang sama, ia merasa belenggu di hidupnya kini bertambah erat. Dengan kehamilan ini, kebebasan yang nyaris tak ada sebelumnya kini hilang sepenuhnya.Aisyah cepat-cepat menyembunyikan test pack itu di bawah bantal ketika mendengar langkah kaki mendekat dari luar kamar. Suara langkah itu, meski terdengar tenang, selalu membawa ketegangan di hatinya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sulistyo yang tersenyum lebar sambil me