Aisyah duduk di depan meja rias, wajahnya dingin seperti porselen. Beberapa MUA sibuk merapikan riasannya, namun suasana di ruangan itu terasa berat, penuh ketegangan yang tak terlihat. Hanya suara lembut kuas bedak yang berbisik di udara, menemani keheningan yang menggantung.
"Wah, calon istri wakil presiden kita memang luar biasa cantik! Tidak heran kalau calon wakil presiden yang katanya dingin itu bisa jatuh hati. Rupanya pengibar bendera tidak hanya ahli mengibarkan bendera, tapi juga perasaan pria seperti seorang calon wakil presiden!" ujar salah satu MUA yang tampaknya berusaha mencairkan suasana. Aisyah meliriknya sekilas dari balik cermin, senyum tipis terukir di bibirnya. Namun, itu bukan senyum ramah, melainkan senyuman yang dingin dan penuh ketidaksenangan. Ekspresinya cukup untuk membuat orang di sekitarnya merasa kecil. "Fokus saja merias," tegur seorang MUA lain, menyenggol rekannya pelan. MUA yang cerewet itu mendengus kecil, tetapi segera menunduk, kembali bekerja. Keheningan kembali menguasai ruangan. Para MUA menahan napas, takut membuat kesalahan yang bisa memicu kemarahan Aisyah. Suasana dingin terasa semakin mencekam, seperti badai yang menunggu waktu untuk meledak. Di balik pantulan cermin, mata Aisyah menatap kosong, menyimpan sesuatu yang sulit diartikan. Apakah itu kemarahan? Kesedihan? Atau kebencian yang terpendam? Namun, tidak satu pun dari mereka berani bertanya. Aisyah melangkah keluar dari ruang rias, diapit oleh beberapa bridesmaid yang membawanya menuju gedung megah tempat prosesi berlangsung. Derap langkahnya terasa berat, seolah-olah setiap langkah membawanya lebih jauh dari kebebasan. Saat memasuki pelaminan, suara tepuk tangan bergemuruh, memenuhi ruangan yang dihiasi dengan ornamen khas Javanagara. Para tamu memandangnya dengan kekaguman, memuji kecantikan yang dipoles dengan riasan tebal dan busana tradisional megah. Namun, di dalam hati, Aisyah justru merutuk. "Cantik, katamu? Daripada merasa seperti model, ini lebih seperti ondel-ondel yang dipajang untuk pesta jalanan. Apa mereka tidak punya selera?" pikirnya dengan getir. Langkahnya terhenti di depan pelaminan, di mana Sulistyo telah menunggunya. Tatapan pria itu dingin, penuh perhitungan, membuat Aisyah merasa semakin terjebak. Ia duduk di sampingnya dengan ragu, matanya memandang lurus ke depan, berusaha mengabaikan sorotan ribuan mata yang memperhatikannya. Sulistyo, yang melihat wajah cemberut Aisyah, mendekatkan diri dan berbisik tajam. "Tersenyum. Jika sampai mereka tahu kau terpaksa, aku tidak akan ragu menghabisi keluargamu." Aisyah menoleh perlahan, matanya bertemu dengan tatapan tajam Sulistyo. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya memaksakan senyum. Namun, senyuman itu lebih mirip garis kaku yang menyakitkan untuk dilihat. "Lebih natural!" bisik Sulistyo sekali lagi, suaranya rendah tapi mengancam. "Seperti saat kau membawa bendera di upacara. Senyum itu, Aisyah." Aisyah menahan gejolak emosi yang hampir meledak, mengingat ancaman Sulistyo dengan jelas. Dengan susah payah, ia melengkungkan bibir, menampilkan senyuman yang tampak sempurna bagi siapa pun yang melihatnya. Tapi hanya Aisyah yang tahu, di balik senyuman itu, ada kebencian yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Aisyah duduk kaku di samping Sulistyo, matanya kosong, mendengarkan suara penghulu yang mulai memimpin akad nikah. Sulistyo menjabat tangan penghulu dengan mantap, wajahnya tenang, penuh kepura-puraan, seolah momen ini adalah yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Kamera-kamera televisi menangkap setiap gerakan mereka, menyiarkan prosesi ini ke jutaan pasang mata di layar kaca dan gawai. "Saya terima nikah dan jodohnya, Aisyah Ramadhani binti Mustofa Arifin, untuk saya, dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat, dibayar tunai," ucap Sulistyo tegas, suaranya menggema di ruangan besar yang penuh tamu undangan. Tepuk tangan riuh memenuhi ruangan. Beberapa tamu tersenyum lebar, terpesona oleh apa yang mereka anggap sebagai pernikahan sempurna. Tapi Aisyah? Ia hanya tersenyum tipis—bukan senyuman bahagia, melainkan senyuman yang lebih mirip cemoohan. Kepalanya sedikit menunduk, matanya menyala dengan sindiran tajam yang tak seorang pun menyadari. "Seperangkat alat sholat?" batinnya sinis. "Ironi macam apa ini? Keluarga mereka melarang hijab saat upacara, bahkan pakaian adat di sini lebih mirip kostum pentas. Apa mereka tahu cara memakai alat sholat? Atau itu hanya properti untuk mempertahankan citra suci di depan kamera? Sungguh menggelikan." Senyum Aisyah semakin melebar, tapi matanya tetap dingin. Ia melirik Sulistyo, yang kini sibuk menerima ucapan selamat dari para tamu. Sosok pria itu tampak sempurna di depan mereka, penuh kharisma dan wibawa. Tapi bagi Aisyah, semua ini hanyalah panggung sandiwara besar. "Ini bukan awal kebahagiaan," pikirnya pahit. "Ini hanya babak baru dari kepalsuan yang harus kutanggung." Aisyah menarik napas panjang, mencoba mengendalikan gejolak dalam dirinya. Ia tahu, mulai saat ini, senyumannya akan menjadi topeng yang harus ia kenakan, bukan untuk kebahagiaan, tetapi untuk bertahan. Acara pernikahan berjalan mulus di mata para tamu, penuh senyuman dan tepuk tangan yang seolah-olah merayakan kebahagiaan sejati. Namun di dalam dirinya, Aisyah terus memaki setiap detik yang ia lalui. Hingga akhirnya, tibalah momen yang paling ia benci—ritual adat injak telur. Sulistyo berdiri dengan sikap angkuh, lalu tanpa ragu menginjak telur yang telah disiapkan. Cangkangnya hancur, isinya tumpah ke lantai, menjadi simbol kesetiaan istri pada suaminya. Di mata para tamu, itu terlihat sakral. Tapi bagi Aisyah, itu tak lebih dari penghinaan. Saat gilirannya tiba, Aisyah terpaksa berjongkok di depan kaki Sulistyo. Tangannya gemetar saat meraih ember kecil berisi air, yang harus ia gunakan untuk mencuci kaki pria yang telah menghancurkan hidupnya. Setiap gerakan terasa seperti belati yang mengiris harga dirinya. "Suku Javanagara... kalian adalah biang kehancuran martabat perempuan!" pekiknya dalam hati, penuh amarah yang mendidih. "Siapa pun yang menciptakan ritual ini, aku doakan kalian terkutuk abadi di neraka. Tradisi macam apa ini? Menghina perempuan atas nama adat? Apa tujuan mencuci kaki seperti ini? Pria menginjak telur seolah tak bersalah, dan wanita harus membersihkan kakinya?" Matanya menatap tajam kaki Sulistyo, seolah ingin membakarnya dengan pandangan. "Jadi memang seperti ini, ya? Pria yang membuat kesalahan, tapi wanita yang harus mengorbankan martabat mereka untuk membersihkannya. Menghapus dosa yang bahkan bukan milik mereka. Sungguh keadilan macam apa ini?" Pikirannya terus bergolak, setiap detik ritual ini terasa seperti belenggu yang menekan harga dirinya semakin dalam. "Injak saja sekalian kepala kami! Bukankah itu yang kalian inginkan? Membuat wanita tunduk dan menyerah, sementara kalian terus merasa superior." Ia menggertakkan gigi, menahan luapan emosinya agar tak pecah di depan para tamu dan kamera yang terus merekam. Namun, di dalam dirinya, badai kebencian terus mengamuk tanpa henti. Lampu-lampu kamera berkedip, mengabadikan setiap sudut momen itu. Sorotan cahaya seolah mempermalukan Aisyah lebih dalam. Ia menunduk, menatap kaki Sulistyo dengan pandangan tajam yang penuh kebencian. "Menyebalkan," pikirnya, menggertakkan gigi. "Harga diriku diinjak-injak, lalu ditertawakan di depan semua orang." Namun tiba-tiba, pikirannya melompat liar. Sebuah ide melintas, memaksanya berhenti sejenak. Matanya melirik kaki Sulistyo. "Bagaimana kalau aku buat skandal di sini? Patahkan kakinya di depan semua orang? Atau pura-pura jatuh, biar semua yang menonton mengira dia menendangku. Mereka harus tahu sisi aslinya." Dengan gerakan pelan, ia mulai membasuh kaki Sulistyo. Tangannya bergerak lembut, tapi pikirannya terus merancang langkah berikutnya. Senyum tipis terlukis di bibirnya—senyum yang penuh ancaman. "Tenang saja, Sulistyo," batinnya. "Kau akan menerima balasanmu. Entah hari ini, entah besok. Tapi aku bersumpah, kau akan membayar semuanya." Namun di tengah amarah dan kehinaan itu, ada sedikit rasa syukur yang muncul—meski terasa menyakitkan. "Tapi kalau bukan karena ini... mungkin keluargaku sudah habis. Sulistyo bisa saja menghancurkan kami, atau lebih buruk, membiarkan aku hidup dengan rasa malu seumur hidup. Setidaknya, dengan menikahinya, aku punya alasan untuk melindungi mereka. Dan... anak ini. Anak yang dia tinggalkan di tubuhku. Kalau aku menolak, apa yang akan terjadi pada bayi ini? Apa aku bisa menanggung hujatan tetangga?" Pikirannya terus bergolak, antara benci dan penerimaan yang terpaksa. "Aku tidak akan memaafkan dia, apalagi keluarganya. Tapi jika ini satu-satunya cara agar keluargaku selamat, agar anak ini tidak dilahirkan sebagai aib... maka biarlah aku menjadi korban. Aku tidak punya pilihan lain." Air matanya hampir jatuh, tapi ia buru-buru menahannya. Kamera-kamera terus merekam setiap gerakan kecilnya. Ia tahu, bahkan menangis pun akan dianggap lemah. Jadi, ia memilih untuk menyimpan semuanya dalam hati—rasa sakit, kebencian, dan rasa syukur yang bercampur menjadi satu.Malam pertama setelah pesta pernikahan itu terasa seperti neraka bagi Aisyah. Ia duduk di depan cermin besar, berusaha melepas konde yang terasa seperti belenggu di kepalanya. Gerakannya lambat, hampir tanpa tenaga. Wajahnya memucat, menahan rasa lelah dan kehinaan yang menghimpit.Sulistyo berdiri di sudut ruangan, tangan terlipat di dada, matanya mengawasi Aisyah seperti seekor elang. Tatapannya tajam, dipenuhi kebencian yang tak berusaha ia sembunyikan.Aisyah tahu, pria itu tidak berniat menyembunyikan rasa muaknya terhadap dirinya. Namun, ia hanya bisa diam, tangannya gemetar saat mencoba membuka sanggul yang sudah membuat kepalanya nyeri. "Apalagi yang dia mau dariku?" batinnya, tapi ia tak punya keberanian untuk berkata sepatah kata pun.Sulistyo akhirnya angkat bicara, suaranya tajam menusuk. "Ini semua salahmu. Jangan bertingkah seperti korban."Aisyah terhenti sejenak, tapi tak berani berbalik. Ia hanya memejamkan matanya rapat-rapat. "Korban? Aku memang korban... Semua oran
Pagi itu, langkah berat terdengar mendekati kamar Aisyah. Pintu terbuka dengan kasar, dan Ratri, ibu Sulistyo, masuk dengan tatapan tajam. Tanpa mengatakan apapun, ia menarik selimut yang menutupi tubuh Aisyah dengan gerakan penuh emosi.“Jam segini masih tidur? Bangun!” bentaknya, suaranya menggema di ruangan sempit itu.Aisyah membuka mata perlahan, tubuhnya terasa remuk. Wajahnya yang memar tampak lesu, dan nafasnya masih tersengal akibat malam yang panjang. “Aku sudah bangun sejak jam tiga tadi,” gumamnya lirih.“Lalu kenapa kembali tidur? Cepat bangun! Kau pikir hidupmu di sini untuk bermalas-malasan?” Ratri menarik tangan Aisyah dengan kasar, membuat tubuhnya limbung.Aisyah berusaha duduk, menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan dingin yang ia berikan. “Apa lagi?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.“Kau itu sudah jadi istri! Cepat ke dapur dan siapkan sarapan untuk suamimu!” perintah Ratri, nadanya penuh otoritas.Aisyah m
Aisyah duduk di atas ranjang rumah sakit, mengenakan pakaian pasien yang longgar. Wajahnya datar, matanya malas menatap orang-orang di sekelilingnya. Ratri berdiri di depan dokter, raut wajahnya tampak khawatir—atau lebih tepatnya, pura-pura khawatir.“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Ratri dengan nada yang dibuat cemas.Dokter wanita itu tersenyum tipis, mencoba menciptakan suasana tenang. “Ananda Aisyah tidak mengalami keguguran,” jawabnya tenang.Aisyah mendesah pelan, pandangannya beralih pada dokter. “Kalau begitu, kenapa bagian bawah tubuh saya mengeluarkan begitu banyak darah?” tanyanya, nadanya terdengar santai, seolah rasa sakit yang dirasakannya tak berarti apa-apa.Dokter memperhatikan Aisyah sejenak sebelum menjawab dengan profesional, “Pendarahan itu bukan karena keguguran. Melainkan karena luka robek di dinding vagina akibat hubungan seksual yang terlalu kasar.”Ruangan itu langsung hening. Semua mata kini beralih pada Sulistyo, yang berdiri di pojok ruangan. Wajahnya t
Setelah tiga bulan berlalu, sikap keluarga Sulistyo mulai berubah. Perut Aisyah yang semakin membesar menjadi perhatian utama, terutama bagi Ratri. Kehamilan itu kini menjadi alasan mereka menunjukkan perhatian yang terasa ganjil—lebih seperti kewajiban daripada kasih sayang tulus."Nak, kemarilah. Waktunya makan," panggil Ratri dengan nada lembut sambil menyiapkan makanan di atas meja makan.Aisyah melangkah perlahan menuju dapur. Perutnya terasa semakin berat, tubuhnya sedikit condong ke depan karena bayi di dalam kandungannya yang mulai membesar."Wah, cucu nenek sudah besar saja," ujar Ratri sambil tersenyum, tangannya mengusap perut Aisyah dengan lembut. "Baru tiga bulan, tapi perkembangannya luar biasa."Ratri menatap menantunya dengan pandangan yang sulit diterka. "Kau juga terlihat lebih cantik sekarang, setelah Sulistyo... yah, berhenti memperlakukanmu dengan buruk." Tangannya berpindah mengusap pipi Aisyah yang kini terlihat lebih segar. "Kulitmu halus sekali, membuat ibu ja
"Tolong! Siapa pun! Tolong aku!”Teriakan memilukan menggema di sebuah aula besar yang gelap dan sepi dalam istana negara. Suara tangisan seorang gadis muda berusia 19 tahun merobek keheningan malam, memohon belas kasihan yang tak kunjung datang. Tubuhnya tergeletak tak berdaya, mencoba melawan kekuatan seorang pria yang memaksanya. Di atasnya, wajah dingin Sulistyo Nugroho—calon wakil presiden yang segera dilantik—tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.Dia tersenyum sinis di tengah jeritan itu, seolah menikmati kekuasaannya yang tak tergoyahkan. Di sisi lain, gadis itu menggigil, air matanya bercampur rasa sakit dan kehinaan yang tak dapat ia ungkapkan. Tidak ada saksi, hanya dinding-dinding dingin yang membisu di aula megah itu.---Sejak dua minggu setelah kejadian itu, Aisyah terbaring diam di kamar kecilnya. Tubuhnya terasa remuk, bukan hanya karena luka fisik, tetapi juga rasa jijik dan hina yang menusuk batinnya. Ia menatap langit-langit kamar dengan mata sembab, air matanya t
Setelah tiga bulan berlalu, sikap keluarga Sulistyo mulai berubah. Perut Aisyah yang semakin membesar menjadi perhatian utama, terutama bagi Ratri. Kehamilan itu kini menjadi alasan mereka menunjukkan perhatian yang terasa ganjil—lebih seperti kewajiban daripada kasih sayang tulus."Nak, kemarilah. Waktunya makan," panggil Ratri dengan nada lembut sambil menyiapkan makanan di atas meja makan.Aisyah melangkah perlahan menuju dapur. Perutnya terasa semakin berat, tubuhnya sedikit condong ke depan karena bayi di dalam kandungannya yang mulai membesar."Wah, cucu nenek sudah besar saja," ujar Ratri sambil tersenyum, tangannya mengusap perut Aisyah dengan lembut. "Baru tiga bulan, tapi perkembangannya luar biasa."Ratri menatap menantunya dengan pandangan yang sulit diterka. "Kau juga terlihat lebih cantik sekarang, setelah Sulistyo... yah, berhenti memperlakukanmu dengan buruk." Tangannya berpindah mengusap pipi Aisyah yang kini terlihat lebih segar. "Kulitmu halus sekali, membuat ibu ja
Aisyah duduk di atas ranjang rumah sakit, mengenakan pakaian pasien yang longgar. Wajahnya datar, matanya malas menatap orang-orang di sekelilingnya. Ratri berdiri di depan dokter, raut wajahnya tampak khawatir—atau lebih tepatnya, pura-pura khawatir.“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Ratri dengan nada yang dibuat cemas.Dokter wanita itu tersenyum tipis, mencoba menciptakan suasana tenang. “Ananda Aisyah tidak mengalami keguguran,” jawabnya tenang.Aisyah mendesah pelan, pandangannya beralih pada dokter. “Kalau begitu, kenapa bagian bawah tubuh saya mengeluarkan begitu banyak darah?” tanyanya, nadanya terdengar santai, seolah rasa sakit yang dirasakannya tak berarti apa-apa.Dokter memperhatikan Aisyah sejenak sebelum menjawab dengan profesional, “Pendarahan itu bukan karena keguguran. Melainkan karena luka robek di dinding vagina akibat hubungan seksual yang terlalu kasar.”Ruangan itu langsung hening. Semua mata kini beralih pada Sulistyo, yang berdiri di pojok ruangan. Wajahnya t
Pagi itu, langkah berat terdengar mendekati kamar Aisyah. Pintu terbuka dengan kasar, dan Ratri, ibu Sulistyo, masuk dengan tatapan tajam. Tanpa mengatakan apapun, ia menarik selimut yang menutupi tubuh Aisyah dengan gerakan penuh emosi.“Jam segini masih tidur? Bangun!” bentaknya, suaranya menggema di ruangan sempit itu.Aisyah membuka mata perlahan, tubuhnya terasa remuk. Wajahnya yang memar tampak lesu, dan nafasnya masih tersengal akibat malam yang panjang. “Aku sudah bangun sejak jam tiga tadi,” gumamnya lirih.“Lalu kenapa kembali tidur? Cepat bangun! Kau pikir hidupmu di sini untuk bermalas-malasan?” Ratri menarik tangan Aisyah dengan kasar, membuat tubuhnya limbung.Aisyah berusaha duduk, menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan dingin yang ia berikan. “Apa lagi?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.“Kau itu sudah jadi istri! Cepat ke dapur dan siapkan sarapan untuk suamimu!” perintah Ratri, nadanya penuh otoritas.Aisyah m
Malam pertama setelah pesta pernikahan itu terasa seperti neraka bagi Aisyah. Ia duduk di depan cermin besar, berusaha melepas konde yang terasa seperti belenggu di kepalanya. Gerakannya lambat, hampir tanpa tenaga. Wajahnya memucat, menahan rasa lelah dan kehinaan yang menghimpit.Sulistyo berdiri di sudut ruangan, tangan terlipat di dada, matanya mengawasi Aisyah seperti seekor elang. Tatapannya tajam, dipenuhi kebencian yang tak berusaha ia sembunyikan.Aisyah tahu, pria itu tidak berniat menyembunyikan rasa muaknya terhadap dirinya. Namun, ia hanya bisa diam, tangannya gemetar saat mencoba membuka sanggul yang sudah membuat kepalanya nyeri. "Apalagi yang dia mau dariku?" batinnya, tapi ia tak punya keberanian untuk berkata sepatah kata pun.Sulistyo akhirnya angkat bicara, suaranya tajam menusuk. "Ini semua salahmu. Jangan bertingkah seperti korban."Aisyah terhenti sejenak, tapi tak berani berbalik. Ia hanya memejamkan matanya rapat-rapat. "Korban? Aku memang korban... Semua oran
Aisyah duduk di depan meja rias, wajahnya dingin seperti porselen. Beberapa MUA sibuk merapikan riasannya, namun suasana di ruangan itu terasa berat, penuh ketegangan yang tak terlihat. Hanya suara lembut kuas bedak yang berbisik di udara, menemani keheningan yang menggantung."Wah, calon istri wakil presiden kita memang luar biasa cantik! Tidak heran kalau calon wakil presiden yang katanya dingin itu bisa jatuh hati. Rupanya pengibar bendera tidak hanya ahli mengibarkan bendera, tapi juga perasaan pria seperti seorang calon wakil presiden!" ujar salah satu MUA yang tampaknya berusaha mencairkan suasana.Aisyah meliriknya sekilas dari balik cermin, senyum tipis terukir di bibirnya. Namun, itu bukan senyum ramah, melainkan senyuman yang dingin dan penuh ketidaksenangan. Ekspresinya cukup untuk membuat orang di sekitarnya merasa kecil."Fokus saja merias," tegur seorang MUA lain, menyenggol rekannya pelan.MUA yang cerewet itu mendengus kecil, tetapi segera menunduk, kembali bekerja.Ke
"Tolong! Siapa pun! Tolong aku!”Teriakan memilukan menggema di sebuah aula besar yang gelap dan sepi dalam istana negara. Suara tangisan seorang gadis muda berusia 19 tahun merobek keheningan malam, memohon belas kasihan yang tak kunjung datang. Tubuhnya tergeletak tak berdaya, mencoba melawan kekuatan seorang pria yang memaksanya. Di atasnya, wajah dingin Sulistyo Nugroho—calon wakil presiden yang segera dilantik—tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.Dia tersenyum sinis di tengah jeritan itu, seolah menikmati kekuasaannya yang tak tergoyahkan. Di sisi lain, gadis itu menggigil, air matanya bercampur rasa sakit dan kehinaan yang tak dapat ia ungkapkan. Tidak ada saksi, hanya dinding-dinding dingin yang membisu di aula megah itu.---Sejak dua minggu setelah kejadian itu, Aisyah terbaring diam di kamar kecilnya. Tubuhnya terasa remuk, bukan hanya karena luka fisik, tetapi juga rasa jijik dan hina yang menusuk batinnya. Ia menatap langit-langit kamar dengan mata sembab, air matanya t