Tiga hari kemudian, Aisyah duduk di depan meja rias, wajahnya dingin seperti porselen. Beberapa MUA sibuk merapikan riasannya, namun suasana di ruangan itu terasa berat, penuh ketegangan yang tak terlihat. Hanya suara lembut kuas bedak yang berbisik di udara, menemani keheningan yang menggantung.
"Wah, calon istri wakil presiden kita memang luar biasa cantik! Tidak heran kalau calon wakil presiden yang katanya dingin itu bisa jatuh hati. Rupanya pengibar bendera tidak hanya ahli mengibarkan bendera, tapi juga perasaan pria seperti seorang calon wakil presiden!" ujar salah satu MUA yang tampaknya berusaha mencairkan suasana. Aisyah meliriknya sekilas dari balik cermin, senyum tipis terukir di bibirnya. Namun, itu bukan senyum ramah, melainkan senyuman yang dingin dan penuh ketidaksenangan. Ekspresinya cukup untuk membuat orang di sekitarnya merasa kecil. "Fokus saja merias," tegur seorang MUA lain, menyenggol rekannya pelan. MUA yang cerewet itu mendengus kecil, tetapi segera menunduk, kembali bekerja. Keheningan kembali menguasai ruangan. Para MUA menahan napas, takut membuat kesalahan yang bisa memicu kemarahan Aisyah. Suasana dingin terasa semakin mencekam, seperti badai yang menunggu waktu untuk meledak. Di balik pantulan cermin, mata Aisyah menatap kosong, menyimpan sesuatu yang sulit diartikan. Apakah itu kemarahan? Kesedihan? Atau kebencian yang terpendam? Namun, tidak satu pun dari mereka berani bertanya. Aisyah melangkah keluar dari ruang rias, diapit oleh beberapa bridesmaid yang membawanya menuju gedung megah tempat prosesi berlangsung. Derap langkahnya terasa berat, seolah-olah setiap langkah membawanya lebih jauh dari kebebasan. Saat memasuki pelaminan, suara tepuk tangan bergemuruh, memenuhi ruangan yang dihiasi dengan ornamen khas Javanagara. Para tamu memandangnya dengan kekaguman, memuji kecantikan yang dipoles dengan riasan tebal dan busana tradisional megah. Namun, di dalam hati, Aisyah justru merutuk. "Cantik, katamu? Daripada merasa seperti model, ini lebih seperti ondel-ondel yang dipajang untuk pesta jalanan. Apa mereka tidak punya selera?" pikirnya dengan getir. Langkahnya terhenti di depan pelaminan, di mana Sulistyo telah menunggunya. Tatapan pria itu dingin, penuh perhitungan, membuat Aisyah merasa semakin terjebak. Ia duduk di sampingnya dengan ragu, matanya memandang lurus ke depan, berusaha mengabaikan sorotan ribuan mata yang memperhatikannya. Sulistyo, yang melihat wajah cemberut Aisyah, mendekatkan diri dan berbisik tajam. "Tersenyum. Jika sampai mereka tahu kau terpaksa, aku tidak akan ragu menghabisi keluargamu." Aisyah menoleh perlahan, matanya bertemu dengan tatapan tajam Sulistyo. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya memaksakan senyum. Namun, senyuman itu lebih mirip garis kaku yang menyakitkan untuk dilihat. "Lebih natural!" bisik Sulistyo sekali lagi, suaranya rendah tapi mengancam. "Seperti saat kau membawa bendera di upacara. Senyum itu, Aisyah." Aisyah menahan gejolak emosi yang hampir meledak, mengingat ancaman Sulistyo dengan jelas. Dengan susah payah, ia melengkungkan bibir, menampilkan senyuman yang tampak sempurna bagi siapa pun yang melihatnya. Tapi hanya Aisyah yang tahu, di balik senyuman itu, ada kebencian yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Aisyah duduk kaku di samping Sulistyo, matanya kosong, mendengarkan suara penghulu yang mulai memimpin akad nikah. Sulistyo menjabat tangan penghulu dengan mantap, wajahnya tenang, penuh kepura-puraan, seolah momen ini adalah yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Kamera-kamera televisi menangkap setiap gerakan mereka, menyiarkan prosesi ini ke jutaan pasang mata di layar kaca dan gawai. "Saya terima nikah dan jodohnya, Aisyah Ramadhani binti Mustofa Arifin, untuk saya, dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat, dibayar tunai," ucap Sulistyo tegas, suaranya menggema di ruangan besar yang penuh tamu undangan. Tepuk tangan riuh memenuhi ruangan. Beberapa tamu tersenyum lebar, terpesona oleh apa yang mereka anggap sebagai pernikahan sempurna. Tapi Aisyah? Ia hanya tersenyum tipis—bukan senyuman bahagia, melainkan senyuman yang lebih mirip cemoohan. Kepalanya sedikit menunduk, matanya menyala dengan sindiran tajam yang tak seorang pun menyadari. "Seperangkat alat sholat?" batinnya sinis. "Ironi macam apa ini? Keluarga mereka melarang hijab saat upacara, bahkan pakaian adat di sini lebih mirip kostum pentas. Apa mereka tahu cara memakai alat sholat? Atau itu hanya properti untuk mempertahankan citra suci di depan kamera? Sungguh menggelikan." Senyum Aisyah semakin melebar, tapi matanya tetap dingin. Ia melirik Sulistyo, yang kini sibuk menerima ucapan selamat dari para tamu. Sosok pria itu tampak sempurna di depan mereka, penuh kharisma dan wibawa. Tapi bagi Aisyah, semua ini hanyalah panggung sandiwara besar. "Ini bukan awal kebahagiaan," pikirnya pahit. "Ini hanya babak baru dari kepalsuan yang harus kutanggung." Aisyah menarik napas panjang, mencoba mengendalikan gejolak dalam dirinya. Ia tahu, mulai saat ini, senyumannya akan menjadi topeng yang harus ia kenakan, bukan untuk kebahagiaan, tetapi untuk bertahan. Acara pernikahan berjalan mulus di mata para tamu, penuh senyuman dan tepuk tangan yang seolah-olah merayakan kebahagiaan sejati. Namun di dalam dirinya, Aisyah terus memaki setiap detik yang ia lalui. Hingga akhirnya, tibalah momen yang paling ia benci—ritual adat injak telur. Sulistyo berdiri dengan sikap angkuh, lalu tanpa ragu menginjak telur yang telah disiapkan. Cangkangnya hancur, isinya tumpah ke lantai, menjadi simbol kesetiaan istri pada suaminya. Di mata para tamu, itu terlihat sakral. Tapi bagi Aisyah, itu tak lebih dari penghinaan. Saat gilirannya tiba, Aisyah terpaksa berjongkok di depan kaki Sulistyo. Tangannya gemetar saat meraih ember kecil berisi air, yang harus ia gunakan untuk mencuci kaki pria yang telah menghancurkan hidupnya. Setiap gerakan terasa seperti belati yang mengiris harga dirinya. "Suku Javanagara... kalian adalah biang kehancuran martabat perempuan!" pekiknya dalam hati, penuh amarah yang mendidih. "Siapa pun yang menciptakan ritual ini, aku doakan kalian terkutuk abadi di neraka. Tradisi macam apa ini? Menghina perempuan atas nama adat? Apa tujuan mencuci kaki seperti ini? Pria menginjak telur seolah tak bersalah, dan wanita harus membersihkan kakinya?" Matanya menatap tajam kaki Sulistyo, seolah ingin membakarnya dengan pandangan. "Jadi memang seperti ini, ya? Pria yang membuat kesalahan, tapi wanita yang harus mengorbankan martabat mereka untuk membersihkannya. Menghapus dosa yang bahkan bukan milik mereka. Sungguh keadilan macam apa ini?" Pikirannya terus bergolak, setiap detik ritual ini terasa seperti belenggu yang menekan harga dirinya semakin dalam. "Injak saja sekalian kepala kami! Bukankah itu yang kalian inginkan? Membuat wanita tunduk dan menyerah, sementara kalian terus merasa superior." Ia menggertakkan gigi, menahan luapan emosinya agar tak pecah di depan para tamu dan kamera yang terus merekam. Namun, di dalam dirinya, badai kebencian terus mengamuk tanpa henti. Lampu-lampu kamera berkedip, mengabadikan setiap sudut momen itu. Sorotan cahaya seolah mempermalukan Aisyah lebih dalam. Ia menunduk, menatap kaki Sulistyo dengan pandangan tajam yang penuh kebencian. "Menyebalkan," pikirnya, menggertakkan gigi. "Harga diriku diinjak-injak, lalu ditertawakan di depan semua orang." Namun tiba-tiba, pikirannya melompat liar. Sebuah ide melintas, memaksanya berhenti sejenak. Matanya melirik kaki Sulistyo. "Bagaimana kalau aku buat skandal di sini? Patahkan kakinya di depan semua orang? Atau pura-pura jatuh, biar semua yang menonton mengira dia menendangku. Mereka harus tahu sisi aslinya." Dengan gerakan pelan, ia mulai membasuh kaki Sulistyo. Tangannya bergerak lembut, tapi pikirannya terus merancang langkah berikutnya. Senyum tipis terlukis di bibirnya—senyum yang penuh ancaman. "Tenang saja, Sulistyo," batinnya. "Kau akan menerima balasanmu. Entah hari ini, entah besok. Tapi aku bersumpah, kau akan membayar semuanya." Namun di tengah amarah dan kehinaan itu, ada sedikit rasa syukur yang muncul—meski terasa menyakitkan. "Tapi kalau bukan karena ini... mungkin keluargaku sudah habis. Sulistyo bisa saja menghancurkan kami, atau lebih buruk, membiarkan aku hidup dengan rasa malu seumur hidup. Setidaknya, dengan menikahinya, aku punya alasan untuk melindungi mereka. Dan... anak ini. Anak yang dia tinggalkan di tubuhku. Kalau aku menolak, apa yang akan terjadi pada bayi ini? Apa aku bisa menanggung hujatan tetangga?" Pikirannya terus bergolak, antara benci dan penerimaan yang terpaksa. "Aku tidak akan memaafkan dia, apalagi keluarganya. Tapi jika ini satu-satunya cara agar keluargaku selamat, agar anak ini tidak dilahirkan sebagai aib... maka biarlah aku menjadi korban. Aku tidak punya pilihan lain." Air matanya hampir jatuh, tapi ia buru-buru menahannya. Kamera-kamera terus merekam setiap gerakan kecilnya. Ia tahu, bahkan menangis pun akan dianggap lemah. Jadi, ia memilih untuk menyimpan semuanya dalam hati—rasa sakit, kebencian, dan rasa syukur yang bercampur menjadi satu.Malam pertama setelah pesta pernikahan itu terasa seperti neraka bagi Aisyah. Ia duduk di depan cermin besar, berusaha melepas konde yang terasa seperti belenggu di kepalanya. Gerakannya lambat, hampir tanpa tenaga. Wajahnya memucat, menahan rasa lelah dan kehinaan yang menghimpit.Sulistyo berdiri di sudut ruangan, tangan terlipat di dada, matanya mengawasi Aisyah seperti seekor elang. Tatapannya tajam, dipenuhi kebencian yang tak berusaha ia sembunyikan.Aisyah tahu, pria itu tidak berniat menyembunyikan rasa muaknya terhadap dirinya. Namun, ia hanya bisa diam, tangannya gemetar saat mencoba membuka sanggul yang sudah membuat kepalanya nyeri. "Apalagi yang dia mau dariku?" batinnya, tapi ia tak punya keberanian untuk berkata sepatah kata pun.Sulistyo akhirnya angkat bicara, suaranya tajam menusuk. "Ini semua salahmu. Jangan bertingkah seperti korban."Aisyah terhenti sejenak, tapi tak berani berbalik. Ia hanya memejamkan matanya rapat-rapat. "Korban? Aku memang korban... Semua oran
Pagi itu, langkah berat terdengar mendekati kamar Aisyah. Pintu terbuka dengan kasar, dan Ratri, ibu Sulistyo, masuk dengan tatapan tajam. Tanpa mengatakan apapun, ia menarik selimut yang menutupi tubuh Aisyah dengan gerakan penuh emosi.“Jam segini masih tidur? Bangun!” bentaknya, suaranya menggema di ruangan sempit itu.Aisyah membuka mata perlahan, tubuhnya terasa remuk. Wajahnya yang memar tampak lesu, dan nafasnya masih tersengal akibat malam yang panjang. “Aku sudah bangun sejak jam tiga tadi,” gumamnya lirih.“Lalu kenapa kembali tidur? Cepat bangun! Kau pikir hidupmu di sini untuk bermalas-malasan?” Ratri menarik tangan Aisyah dengan kasar, membuat tubuhnya limbung.Aisyah berusaha duduk, menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan dingin yang ia berikan. “Apa lagi?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.“Kau itu sudah jadi istri! Cepat ke dapur dan siapkan sarapan untuk suamimu!” perintah Ratri, nadanya penuh otoritas.Aisyah m
Aisyah duduk di atas ranjang rumah sakit, mengenakan pakaian pasien yang longgar. Wajahnya datar, matanya malas menatap orang-orang di sekelilingnya. Ratri berdiri di depan dokter, raut wajahnya tampak khawatir—atau lebih tepatnya, pura-pura khawatir.“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Ratri dengan nada yang dibuat cemas.Dokter wanita itu tersenyum tipis, mencoba menciptakan suasana tenang. “Ananda Aisyah tidak mengalami keguguran,” jawabnya tenang.Aisyah mendesah pelan, pandangannya beralih pada dokter. “Kalau begitu, kenapa bagian bawah tubuh saya mengeluarkan begitu banyak darah?” tanyanya, nadanya terdengar santai, seolah rasa sakit yang dirasakannya tak berarti apa-apa.Dokter memperhatikan Aisyah sejenak sebelum menjawab dengan profesional, “Pendarahan itu bukan karena keguguran. Melainkan karena luka robek di dinding vagina akibat hubungan seksual yang terlalu kasar.”Ruangan itu langsung hening. Semua mata kini beralih pada Sulistyo, yang berdiri di pojok ruangan. Wajahnya t
Setelah tiga bulan berlalu, sikap keluarga Sulistyo mulai berubah. Perut Aisyah yang semakin membesar menjadi perhatian utama, terutama bagi Ratri. Kehamilan itu kini menjadi alasan mereka menunjukkan perhatian yang terasa ganjil—lebih seperti kewajiban daripada kasih sayang tulus."Nak, kemarilah. Waktunya makan," panggil Ratri dengan nada lembut sambil menyiapkan makanan di atas meja makan.Aisyah melangkah perlahan menuju dapur. Perutnya terasa semakin berat, tubuhnya sedikit condong ke depan karena bayi di dalam kandungannya yang mulai membesar."Wah, cucu nenek sudah besar saja," ujar Ratri sambil tersenyum, tangannya mengusap perut Aisyah dengan lembut. "Baru tiga bulan, tapi perkembangannya luar biasa."Ratri menatap menantunya dengan pandangan yang sulit diterka. "Kau juga terlihat lebih cantik sekarang, setelah Sulistyo... yah, berhenti memperlakukanmu dengan buruk." Tangannya berpindah mengusap pipi Aisyah yang kini terlihat lebih segar. "Kulitmu halus sekali, membuat ibu ja
Keesokan harinya, istana negara dipadati para menteri, petinggi negara, dan tamu undangan penting. Hari itu adalah momen bersejarah: pelantikan presiden dan calon wakil presiden untuk periode terbaru. Di salah satu kamar megah istana, Aisyah berdiri di depan cermin besar, menatap bayangannya dengan ekspresi muram. Tubuhnya yang ramping dibalut kebaya ketat berwarna emas, dipadukan dengan kain canting bermotif khas adat Javanagara. Rambutnya yang biasa dibiarkan terurai kini ditata rapi menjadi konde, dihias ornamen kecil yang memantulkan kilauan cahaya. Ia menghela napas panjang, kedua tangannya meraba lembut perutnya yang sedikit membuncit. Rasa tidak nyaman semakin menguat. "Kenapa harus begini?" gumamnya pelan, hampir berbisik. "Aku bahkan tidak bisa bernapas lega. Rasanya sesak sekali... Bagaimana kalau ini membahayakan bayiku?" Aisyah memutar bola matanya, lalu menunduk, melihat kain yang membungkus tubuhnya terlalu erat. "Tidak bisakah aku mengenakan sesuatu yang lebih longga
Ruangan itu terasa dingin dan sunyi, hanya terdengar suara alat medis yang terus berbunyi monoton. Aisyah perlahan membuka matanya, cahaya putih menyilaukan dari lampu di langit-langit menyambut pandangannya. Ia menyadari dirinya terbaring di ranjang rumah sakit. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya begitu lemah. Namun, suara-suara tajam mulai menusuk telinganya, menghancurkan keheningan. "Dia sudah keguguran," suara dingin itu mengoyak kesadarannya. "Dia sudah tidak berguna lagi!" sambung yang lain, penuh kebencian. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Aisyah mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasa sakit di seluruh tubuhnya membuatnya hanya bisa terbaring. Ia memandang sekeliling dengan lemah, menemukan orang-orang yang seharusnya menjadi keluarganya menatapnya dengan penuh penghinaan. "Lihatlah dia! Sia-sia saja kita bersikap baik padanya, namun dia malah keguguran!" Ratri, ibu Sulistyo, berkata dengan nada sinis, kini tanpa basa-basi menyembunyikan kebenciannya. "
Setelah Jatmiko dan Ratri kembali ke Suryaloka, situasi di istana negara berubah semakin memanas. Berita tentang Aisyah yang dibawa ke rumah sakit menggunakan jet pribadi menyebar cepat di media sosial, memicu hujatan dari berbagai pihak. “Wakil presiden baru, tapi skandal sudah langsung datang! Memalukan!” tulis salah satu netizen dengan nada marah. “Jet pribadi buat ke rumah sakit? Sementara di pedalaman orang sakit susah dapat ambulans! Gila ini!” komentar lain yang mendapatkan ribuan tanda suka. “Ini pasti pakai uang rakyat! Korupsi berkedok kemewahan! Hancur sudah moral pemimpin kita!” tambah akun lain, memperkeruh suasana. Sulistyo duduk di ruang kerjanya, wajahnya tegang menatap layar ponsel yang terus menampilkan komentar-komentar penuh cemoohan. Jari-jarinya gemetar, dan tanpa sadar ia memukul meja, membuat suara keras menggema di ruangan. “Ini... Ini semua gara-gara dia!” geramnya, giginya gemeretak menahan amarah. “Gadis miskin rendahan itu! Hidupku jadi kacau karena d
Keesokannya, Nursyid mengunggah di akun media sosial pribadinya, dengan caption: "Suatu kehormatan bisa membuat wakil presiden dan keluarganya menumpang dengan nyaman di jet pribadi milik saya." Unggahan itu langsung menuai beragam komentar netizen. Beberapa membela Sulistyo, beberapa membela Nursyid, dan banyak yang menghujat keduanya. "Lihat? Keluarga wakil presiden kita tidak mungkin menggunakan uang rakyat untuk jet pribadi! Itu pasti milik salah satu pengusaha yang meminjamkan pesawatnya!" komentar akun penjilat keluarga Nugroho, menanggapi unggahan Nursyid yang menyebut pesawat itu miliknya. "Nursyid sayang... Berapa banyak uang yang kau terima untuk menipu kami semua? Kami, penggemar setia LightGlow Cosmetics, merasa dikhianati!" tulis netizen lainnya dengan nada kecewa. "Pangeran tampan... Kenapa kau tega menipu kami demi uang haram? Kembalilah ke jalan yang benar!" tambah komentar berikutnya, penuh rasa marah dan kecewa. "Tidak pemimpin negara, tidak pemimpin perusahaan,
Aisyah membulatkan matanya, merasa ngeri, syok, dan tak mampu percaya pada kata-kata yang meluncur dari bibir Sulistyo. Otaknya bekerja keras, berputar dengan kecepatan penuh, berusaha mencerna setiap kalimat yang terdengar seperti dongeng gelap dari novel fantasi.Namun, sekeras apa pun dirinya mencoba menerima logika di balik cerita itu, kenyataan yang Sulistyo paparkan tetap terasa terlalu asing dan mustahil."Ini tidak mungkin..,." pikirnya, napasnya memburu, matanya yang besar penuh ketakutan memantulkan bayangan pria di hadapannya.Sulistyo menatap Aisyah dengan seringai lebar. Kekehannya yang pelan terdengar seperti suara setan yang menikmati penderitaan korbannya. "Ekspresimu...," bisiknya dengan nada manis yang beracun. "Sungguh menggemaskan."Dengan gerakan yang membuat darah Aisyah berdesir penuh jijik, Sulistyo mendekatkan wajahnya dan mengisap pipinya perlahan. Mata hitamnya menatap langsung ke dalam matanya, memancarkan kesan dominas
Sulistyo mengusap wajah Aisyah dengan lembut, jemarinya menyentuh setiap luka yang menghiasi pipi perempuan itu seolah menorehkan kasih sayang yang palsu, namun begitu meyakinkan. Dia mengoleskan obat dengan gerakan perlahan, seperti seorang pria yang benar-benar peduli pada wanita di hadapannya. Senyum tipisnya merekah, penuh pesona beracun. Aisyah hanya diam, menerima sentuhan-sentuhan itu dengan enggan, tetapi tidak melawan. Tubuhnya kaku, matanya kosong, terperangkap dalam kebisuan yang menyesakkan.“Kamu pasti penasaran,” suara Sulistyo memecah kesunyian yang melingkupi mereka. Suaranya rendah, seolah rahasia besar sedang menanti untuk diungkapkan.Aisyah mendongak perlahan. Sorot matanya yang penuh kebencian masih membara, tetapi ada sedikit kilatan rasa ingin tahu yang tak bisa ia sembunyikan.“Soal kenapa aku bisa mendapatkan kekuatan ini,” Sulistyo berbisik, memiringkan kepalanya, senyumannya semakin dalam, seakan menikmati setiap detik
Sulistyo terus mengusap wajah Aisyah yang terluka dengan lembut, tangannya yang dingin terasa kontras dengan panasnya rasa sakit di kulit Aisyah. Matanya menatap langsung ke dalam mata Aisyah, sorotnya tampak penuh kelembutan yang bertolak belakang dengan semua yang baru saja terjadi. "Aku minta maaf...." katanya pelan, suaranya nyaris berbisik.Aisyah membeku. Kepalanya sedikit miring, matanya menatap Sulistyo dengan penuh ketidakpercayaan. Kata-kata itu, dari mulut seorang seperti Sulistyo, terdengar mustahil, hampir seperti ilusi. Dia ingin menjawab, tetapi tenggorokannya seperti tersumbat, seolah kata-kata yang ingin dia ucapkan tertelan bersama kejutannya."Kenapa diam, sayang?" Sulistyo melanjutkan, tangannya sekarang bergerak mengusap lembut kepala Aisyah, seperti seorang kekasih yang menenangkan pasangannya. Perlahan, jemarinya menyentuh hijab merah muda yang menutupi kepala Aisyah, lalu menariknya dengan gerakan pelan tetapi tegas. Hijab itu meluncur ke la
Sulistyo menggendong Aisyah dengan erat, tubuhnya melangkah tanpa keraguan menuju gerbang istana negara yang menjulang megah. Beberapa penjaga yang berjaga dengan waspada langsung menghalangi jalannya, senjata di tangan mereka siap jika keadaan memaksa. Salah satu dari mereka melangkah maju, menatap tajam Sulistyo. "Berhenti di sana! Siapa pun yang tidak memiliki kepentingan dilarang masuk!" Suaranya lantang, penuh kewaspadaan.Sulistyo menghentikan langkahnya sejenak. Senyumnya yang dingin terukir di wajahnya, menyiratkan ancaman yang tak terucapkan. "Tidak punya kepentingan?" gumamnya rendah, hampir seperti bisikan. Tubuhnya mulai memancarkan asap hitam pekat yang menggeliat seperti makhluk hidup, menjalar liar di udara. "Apa maksud kalian dengan aku tidak memiliki kepentingan? Aku adalah presiden sekarang! Presiden yang menggantikan pemimpin kalian yang ... telah mati."Dengan gerakan singkat, asap hitam itu melesat cepat, mencengkeram leher para penjaga, mengan
Asap hitam tebal membungkus tubuh Sulistyo dan Aisyah, mengangkat mereka perlahan dari tanah. Dalam gendongannya, Aisyah terus meronta, meski tubuhnya terasa lemah setelah tamparan dan perlakuan kasar Sulistyo."Apa lagi yang kau inginkan?!" seru Aisyah dengan suara parau, menatap pria itu dengan mata yang berkaca-kaca. "Kau ingin membawaku ke mana lagi?! Lepaskan aku!"Sulistyo hanya menyeringai, tatapan dinginnya tak beranjak dari wajah Aisyah. "Diam saja, Aisyah! Kita akan pulang ... ke rumah kita. Ke istana negara." Suaranya rendah, namun mengandung nada ancaman yang tak bisa disangkal.Tubuh Sulistyo mulai memudar, berubah menjadi gumpalan asap hitam pekat yang membungkus dirinya dan Aisyah. Aisyah berusaha menendang dan memukul dengan sisa tenaganya, namun seolah tak ada gunanya. Usahanya tenggelam dalam gelapnya asap yang kini semakin rapat."Istana negara?!" Aisyah berseru, meski suaranya terdengar lebih seperti bisikan. "Itu bukan rumahmu
Langit senja yang cerah di atas taman kota menjadi saksi momen yang penuh harapan. Mahendra, dengan senyum hangat di wajahnya, perlahan memegang tangan Aisyah. Sentuhan itu lembut namun penuh makna, seolah ingin mengatakan bahwa mulai detik ini, Aisyah adalah miliknya. Dengan hati-hati, ia menyematkan cincin ke jari manis Aisyah, sebuah simbol pengikat antara mereka berdua.Namun, kebahagiaan itu seketika berubah menjadi horor yang tak terbayangkan. Sebuah pisau kecil melesat dari arah tak terduga, menusuk punggung Mahendra dengan keras. Darah segar memancar keluar, membasahi pakaian biru mudanya. Ia tersentak, tubuhnya limbung dan hampir jatuh ke tanah."Kak Mahendra!" Aisyah berteriak, kedua tangannya terulur untuk menangkap tubuh Mahendra yang terhuyung-huyung. Namun, belum sempat ia menyentuhnya, sebuah pisau lain terbang cepat ke arah tangannya. Pisau itu melukai kulitnya, meninggalkan garis luka yang dalam. Darah mulai mengalir dari tangannya, membuat gaun me
Hari yang dinanti tiba. Sebuah taman kota yang luas dan rindang menjadi saksi pertunangan Mahendra dan Aisyah. Acara itu dirancang sederhana namun penuh makna, dihiasi bunga-bunga mawar merah muda yang menyatu dengan keanggunan senja.Meski terlihat sederhana, tamu-tamu yang hadir merupakan tokoh-tokoh penting—anggota legislatif, pengurus bank sentral, hingga beberapa tokoh bisnis yang menyempatkan diri untuk datang, membawa suasana eksklusif di balik kesederhanaan.Mahendra berdiri di sisi panggung, menatap layar ponselnya. Sebuah pesan baru masuk dari ayahnya, yang langsung menarik perhatiannya. "Nak, maafkan Ayah karena tidak bisa datang. Ayah masih sibuk mengurus kekacauan yang dibuat keluarga itu. Tapi Ayah janji, Ayah akan menghadiri pernikahanmu dengan Aisyah nanti."Senyum tipis terlukis di wajah Mahendra. Meski sedikit kecewa, ia mengerti beban yang ditanggung ayahnya. Dengan cepat, ia mengetik balasan. "Terima kasih, Ayah. Jangan khawatir, semuan
Mahendra mendekati dua saudari kembar itu dengan langkah tenang. Di tangannya, ada dua es krim yang ia sodorkan kepada mereka. Kehadirannya membuat suasana di antara mereka berubah—ringan, tapi penuh dengan getaran yang sulit dijelaskan."Ka-kak Mahendra!" suara Aisyah terdengar bergetar. Wajahnya seketika memerah saat melihat Mahendra berdiri di depannya dengan senyum lembut yang begitu khas.Anisa, sebaliknya, menyambut Mahendra dengan santai. Ia meraih salah satu es krim dari tangan pria itu tanpa ragu, kemudian menjilatnya sambil menyeringai. "Pangeran sudah datang untuk menjemput tuan putri!" ejeknya, membuat suasana semakin canggung bagi Aisyah."Kakak ini bicara apa sih?" Aisyah menyenggol lengan Anisa, berusaha menyembunyikan rasa malunya.Mahendra tertawa kecil, lalu duduk di tanah, tepat di depan mereka. Pandangannya bergantian menatap kedua saudari itu. "Ternyata benar, kalian memang sangat mirip."Anisa mengangkat bahu dengan
Di sebuah taman kecil di sudut kampus Universitas Dwipantara, Aisyah duduk di bangku panjang sambil mengunyah camilan ringan. Wajahnya yang tenang menampakkan kelegaan setelah menyelesaikan ujian masuk universitas yang menegangkan. Namun, pikirannya masih dipenuhi harapan dan kekhawatiran tentang masa depannya.Tiba-tiba, suara lembut namun penuh semangat memecah lamunannya. "Halo, adikku!"Aisyah mendongak dengan cepat. Di depannya, seorang wanita berhijab yang sangat mirip dengannya melambaikan tangan, senyuman hangat menghiasi wajahnya. Wanita itu adalah Anisa, saudari kembarnya."Kakak?" Aisyah langsung bangkit berdiri, senyumnya merekah. "Selamat siang, kak!""Selamat siang juga," jawab Anisa sambil menghampiri Aisyah. Tanpa ragu, ia duduk di sebelah adiknya, memandangnya dengan penuh perhatian.Aisyah memiringkan kepalanya, menatap kakaknya dengan tatapan ingin tahu. "Aku dengar kakak kuliah jurusan bisnis? Aku tidak menyangka terny