Share

Bab 4

Penulis: Lia Scorpio
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-04 10:53:02

Aku bangkit dan melangkah menuju pintu, membuka dengan perlahan. Di depan sana, berdiri seorang perempuan yang begitu kukenal. Sari, istri adik kandungku, Ramli.

"Sari? Ada apa?" tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku tetap biasa saja.

Dia tersenyum tipis, tapi ada ekspresi sinis yang jelas terlihat di wajahnya. "Eh, Kak Sitah. Ini, Kak. Aku bawain sesuatu. Mas Ramli bilang Kakak tadi sempat datang ke rumah Ibu. Pasti mau cari makan gratis, ya?" katanya tanpa basa-basi.

Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Tapi, dia terus melanjutkan, seolah tak peduli dengan reaksiku.

"Karena itu Mas Ramli minta aku bawain ini. Bukan gulai kambing, sih, seperti yang Kakak bayangkan. Cuma nasi putih yang lebihan. Soalnya gulai kambingnya sudah habis Ibu bagi-bagi ke tamu dan tetangga,"

Dengan cepat dia menyodorkan kantong plastik kecil itu ke tanganku. Aku ingin menolak, tapi dia memaksa, menyelipkan bungkusan itu ke tanganku dengan tergesa.

"Terima aja, Kak! Lumayan buat ganjel perut anak-anak Kakak. Yasudah, aku pulang dulu," katanya, lalu melenggang pergi begitu saja tanpa menunggu respon dariku.

Aku hanya bisa memandangi punggungnya yang semakin menjauh. Mobilnya terparkir tak jauh dari rumah, mengingatkan aku betapa berbedanya hidup kami. Aku tetap berdiri di ambang pintu, menatap langkahnya yang ringan, sementara dadaku terasa begitu berat.

Setelah dia pergi, aku membuka bungkusan itu dengan tangan gemetar. Begitu isinya terlihat, air mataku langsung jatuh. Dada ini semakin terasa sesak. Di dalam plastik kecil itu hanya ada nasi putih, tanpa lauk apa pun.

Bukannya aku tidak bersyukur, tapi bagaimana mungkin mereka bisa setega ini? Aku anak kandung mereka, dan ketiga putraku adalah cucu, sekaligus darah daging mereka. Tapi, kami dilupakan begitu saja, seperti tidak pernah menjadi bagian dari keluarga itu.

Sementara itu, para tetangga yang bahkan tidak ada hubungan darah, dijamu dengan makanan berlimpah sampai-sampai kambing yang dipotong habis tak bersisa. Bagaimana mungkin mereka tega melakukan ini?

Aku kembali masuk, dan duduk di samping Malik, yang menatapku penuh harap.

“Bu, Malik masih lapar. Nasinya masih ada, Bu?” tanyanya pelan, sambil melirik bungkusan kecil yang masih ada di tanganku.

Seketika aku menelan ludah, menahan rasa perih yang kembali menyeruak di dada. Aku tersenyum kecil, mencoba menutupi guncangan hati ini.

“Eh, iya, ada. Ini makan lagi!” sahutku sambil memindahkan nasi yang diberikan Sari ke dalam wadah.

Namun, nasi itu hanya sedikit, tak lebih dari tiga centong nasi. Melihat jumlahnya, aku tahu itu tak akan cukup untuk menenangkan perut ketiga putraku. Tapi, sebelum aku bisa berkata apa-apa, Malik tersenyum kecil.

“Malik cuma minta sedikit, Bu,” ucapnya, mengambil hanya setengah sendok nasi dengan sangat hati-hati, seperti takut menghabiskan semuanya.

Mataku tertumbuk pada piring mereka, dan aku menyadari sesuatu. “Loh, kok telurnya masih ada sisa? Ami juga mau tambah? Adnan?” tanyaku, mencoba memahami mengapa makanan itu tak habis padahal aku tahu mereka belum kenyang.

Ami menggeleng pelan, wajah kecilnya tersenyum tulus. “Ami sudah kenyang, Bu,” jawabnya singkat.

“Adnan juga,” sahut putraku yang sulung sambil berdiri untuk membereskan piring bekas makan mereka.

Aku tertegun. Mereka berusaha keras agar aku tak khawatir, bahkan mungkin sengaja menyisakan makanan untukku.

“Ibu makan saja! Ayo, bareng Malik!” Ajak Malik, menarik tanganku agar duduk lebih dekat dengannya.

Adnan tak berkata apa-apa, hanya melangkah ke dapur dan kembali membawa piring bersih untukku.

“Makan dulu, Bu!” katanya, menyodorkan piring itu dengan perhatian yang membuat mataku langsung berkaca-kaca.

Aku mengangguk kecil, memaksakan senyum di depan mereka, meskipun hati ini terasa seperti dihimpit batu besar. Dengan tangan gemetar, aku mengisi piringku dengan sedikit nasi, hanya cukup untuk mengganjal perut yang sejak tadi melilit.

“Kok sedikit, Bu? Makan lagi, Bu!” seru Ami dengan suara polosnya, membuat hatiku semakin bergetar.

“Ibu sudah kenyang, Sayang,” jawabku pelan, lagi-lagi terpaksa berbohong demi menenangkan hati mereka.

---

Sore itu, aku mencoba mengalihkan pikiranku. Aku membuka kedai kecil di depan rumah, berharap bisa menjual sesuatu untuk mendapatkan sedikit uang tambahan. Kebetulan anak-anak di kampung sedang ramai bermain di sekitar rumah, sebuah kesempatan yang tak boleh kusia-siakan.

“Nak, tolong belikan es batu di rumah Wak Salim!” pintaku pada Adnan yang segera berlari kecil menuju rumah tetangga kami.

Di kedai kecil ini, aku hanya bisa menjual es minuman sachet dan beberapa camilan sederhana yang kubeli di warung depan. Meski sedikit, aku berharap ini cukup untuk mengisi kebutuhan kami sehari-hari.

Tak lama, Adnan kembali membawa dua biji es batu di tangannya. “Bu, kata Wak Salim, minggu depan ada acara lagi di rumah Nenek,” ujarnya, sambil menyerahkan es batu padaku.

Aku menoleh padanya dengan alis terangkat. “Acara lagi? Acara apa? Kok bisa banyak acara?” tanyaku, mencoba menutupi keterkejutan.

Adnan mengangguk kecil. “Kata Wak Salim, Paman Bayu mau nikahan. Minggu lalu sudah di rumah perempuannya, minggu depan di rumah Nenek,”

Perkataan Adnan seperti petir yang menyambar telingaku. Aku terdiam, tubuhku mendadak terasa lemas. Bayu, adik bungsuku, sudah menikah minggu lalu? Aku bahkan tak tahu apa-apa tentang pernikahan itu.

Lagi-lagi, aku mengetahui kabar besar ini dari orang lain, bukan dari keluarga kandungku sendiri. Acara pernikahan sebesar itu, kedua orang tuaku, dan saudara-saudaraku, tak seorang pun yang mengabari. Tak ada kabar, tak ada pesan, tak ada pemberitahuan apa pun.

Kepalaku mulai dipenuhi pertanyaan yang menyesakkan. Apakah mereka sengaja menyembunyikan kabar ini dariku? Apa mereka malu jika aku datang? Apa mereka menganggap aku dan anak-anakku hanya akan mencoreng nama baik keluarga?

Aku mencoba mengatur napas, tetapi pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantam pikiranku tanpa henti. Sungguh, aku tak mengerti. Apa salahku? Apa salah anak-anakku? Mengapa kami selalu diperlakukan seperti ini?

Bayangan wajah kedua orang tuaku muncul dalam benakku. Mereka yang seharusnya menjadi tempatku berlindung, setelah kematian suamiku, tempat aku bersandar saat beban hidup ini terasa berat. Tapi nyatanya, mereka malah menjadi sumber luka terbesar dalam hidupku.

Dan kini, aku kembali dihadapkan pada kenyataan pahit. Kehadiran kami seolah menjadi aib bagi mereka. Aku mencoba menahan air mata yang hampir jatuh, berusaha terlihat tegar di depan anak-anakku.

"Ibu kenapa?" tanya Adnan, menatap wajahku lekat.

Aku menggeleng pelan. "Ibu nggak papa. Kamu bantu temani Ami dulu ya, Nak! Ibu mau jualan dulu,"

Adnan mengangguk patuh. "Kenapa tidak pernah diundang di acara Kakek dan Nenek, Bu?"

Pertanyaan yang Adnan lontarkan sebelum dia beranjak, membuatku terdiam. Bingung harus menjawab apa.

"Bu?"

"Ada apa, Nak? Jangan berpikir yang tidak-tidak! Nenek dan Kakek sudah mengundang Ibu, kok. Ibu tadi lupa, makanya Ibu terkejut," sahutku terpaksa berbohong.

Tidak mungkin juga aku mengakuinya. Bisa-bisa Adnan berpikiran buruk terhadap kedua orang tuaku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 5

    Subuh hari, setelah memastikan semua kebutuhan sekolah ketiga anakku lengkap, aku segera berpamitan pada Adnan dan Malik. Mereka baru saja pulang dari mushola setelah menunaikan sholat subuh berjamaah. Wajah mereka masih terlihat segar, meski udara pagi sangat dingin menusuk. “Mau ke mana sepagi ini, Bu?” tanya Adnan, menatapku yang tengah bersiap dengan raut wajah penasaran. “Ibu ada kerjaan, Nan. Mau bantu Bu Santi di ladang. Katanya mau panen jagung. Jadi Ibu harus bantu nyiapin perlengkapannya dulu di rumah,” sahutku sambil melilitkan selendang ke bahu untuk menghalau dingin. “Oh, ke kebun jagung Bu Santi? Ibu lama di sana?” Malik ikut bertanya. “Belum tahu, Mal. Tapi, kalau kalian sudah pulang sekolah, dan Ibu masih belum pulang, susul saja ke kebun jagung!” Pesanku sambil mengusap kepala mereka. Keduanya mengangguk patuh. Aku tahu mereka anak-anak yang baik dan pengertian. “Nan, tolong bantu Ami bersiap ke sekolah nanti, ya! Ibu minta tolong. Oh iya, tadi Ibu sudah bikin

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 6

    “Bu Kasmi, beli berasnya lima kilo, ya,” ucapku saat mampir ke warung sembako sepulang dari rumah Bu Santi.Ketiga anakku berdiri tidak jauh dariku. Mereka mengobrol pelan, mungkin membicarakan hal-hal kecil yang mereka temui di jalan tadi.“Tumben beli lima kilo, Tah? Habis dapat rezeki nomplok dari ibumu tempo lalu, ya?” tanya Bu Kasmi sambil sibuk menimbang beras.Keningku berkerut mendengar pertanyaan itu. Rezeki nomplok dari mana? Aku tak tahu apa yang Bu Kasmi maksud. Memangnya ibu ada bagi-bagi uang?“Saya baru pulang dari rumah Bu Santi, Bu Kasmi. Habis bantu panen jagung,” jawabku mencoba menjelaskan.“Oalah… bantu panen jagung Bu Santi? Saya kira dapat dari Ibu Fatma. Soalnya pas acara hajatan aqiqah kemarin, sebelum acaranya dimulai, ibu kamu itu manggil anak-anak yatim. Terus dikasih amplop. Anaknya Bu Sairi saja dapat seratus ribu, katanya,” ujar Bu Kasmi santai sambil merapikan beras ke dalam bungkusan.Aku terdiam. Ibu membagi-bagikan uang kepada anak-anak yatim? Tapi,

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-17
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 1

    "Tah, kok masih dekil aja?" Suara Bu Marni memecah keheningan pagi ini, menyelinap masuk ke telingaku tanpa permisi. Aku baru saja selesai menyapu halaman depan rumah, berniat merapikan tempat yang akan kujadikan kedai kecil. Tapi, seperti biasa, kata-kata pedas Bu Marni lebih cepat datang daripada niat baik orang lain. Aku hanya bisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan hati. "Masih pagi, Bu," jawabku singkat, tanpa menatapnya. Seakan tidak peduli dengan reaksi dinginku, Bu Marni justru mendekat. Tangannya terangkat, menunjukkan kantong plastik bening berisi gulai kambing yang masih panas.. “Nih, lihat! Saya bawa gulai kambing,” Mataku beralih pada plastik itu. Isinya memang gulai kambing, lengkap dengan minyak yang tampak mengkilap di permukaan kuahnya. Aromanya mulai tercium samar. Namun, aku tidak bertanya, tidak juga berkomentar. “Kamu nggak ke rumah Ibumu?” Bu Marni bertanya, nadanya seperti menyindir. “Saya baru pulang dari sana, nih. Dikasih ini. Di sana lagi ada

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 2

    Baru saja aku melangkah masuk ke dalam rumah, pandanganku langsung tertuju pada ketiga anakku yang sudah berpakaian rapi. Mereka tampak bersiap dengan penuh semangat. Meski pakaian mereka jauh dari kata mahal atau bagus, setidaknya masih layak untuk dipakai. Namun, di mataku, mereka selalu tampak istimewa, apa pun yang mereka kenakan. "Mau ke mana?" tanyaku, menghampiri mereka. "Ibu lupa? Kita kan mau ke rumah Nenek? Ayo, Bu!" sahut Ami, si bungsu, sambil menarik tanganku, begitu antusias. Aku terdiam sesaat. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku menjelaskan pada mereka bahwa kami tidak diundang? Tapi, bagaimana nanti perasaan mereka jika tahu kebenarannya? "Bu, ayo!" seru Malik, membuyarkan lamunanku. Aku menatap ketiganya. Wajah penuh harap itu membuatku tidak tega mengecewakan mereka. Akhirnya, dengan berat hati, aku mengangguk pelan. "Ibu ganti pakaian dulu." Langkahku terasa berat saat berjalan menuju kamar kecil yang tidak berpintu, hanya ditutupi tirai lusuh yang s

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 3

    Kami pulang dengan langkah berat, membawa rasa sesak di dada yang tak terlukiskan. Terik matahari yang membakar kulit seperti tak ada artinya dibandingkan panas amarah dan kecewa yang mendidih di dalam hati. Bukannya sambutan hangat yang aku dapatkan, justru hinaan yang aku terima. Hinaan dari adik kandungku sendiri, yang seharusnya memahami seperti apa perjuanganku selama ini. Setibanya di rumah, aku segera mengajak anak-anakku duduk di lantai yang beralaskan tikar anyaman. Kaki-kaki kecil mereka terlihat lelah, tapi wajah mereka tetap berusaha menunjukkan senyum. "Bu, kok Paman Ramli mendorong Kak Adnan?" tanya Ami, dengan polosny. Matanya menatapku, lalu beralih ke Adnan yang duduk di sampingnya. Aku menoleh ke arah Adnan. Putra sulungku yang baru berusia sebelas tahun itu hanya bisa tersenyum kecil, memaksakan ekspresi yang terlihat kuat di depan adik-adiknya. "Jangan dipikirkan, Mi!" ujarnya pelan, sambil mengusap kepala Ami dengan lembut. Nada suaranya terdengar tenang, ta

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-04

Bab terbaru

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 6

    “Bu Kasmi, beli berasnya lima kilo, ya,” ucapku saat mampir ke warung sembako sepulang dari rumah Bu Santi.Ketiga anakku berdiri tidak jauh dariku. Mereka mengobrol pelan, mungkin membicarakan hal-hal kecil yang mereka temui di jalan tadi.“Tumben beli lima kilo, Tah? Habis dapat rezeki nomplok dari ibumu tempo lalu, ya?” tanya Bu Kasmi sambil sibuk menimbang beras.Keningku berkerut mendengar pertanyaan itu. Rezeki nomplok dari mana? Aku tak tahu apa yang Bu Kasmi maksud. Memangnya ibu ada bagi-bagi uang?“Saya baru pulang dari rumah Bu Santi, Bu Kasmi. Habis bantu panen jagung,” jawabku mencoba menjelaskan.“Oalah… bantu panen jagung Bu Santi? Saya kira dapat dari Ibu Fatma. Soalnya pas acara hajatan aqiqah kemarin, sebelum acaranya dimulai, ibu kamu itu manggil anak-anak yatim. Terus dikasih amplop. Anaknya Bu Sairi saja dapat seratus ribu, katanya,” ujar Bu Kasmi santai sambil merapikan beras ke dalam bungkusan.Aku terdiam. Ibu membagi-bagikan uang kepada anak-anak yatim? Tapi,

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 5

    Subuh hari, setelah memastikan semua kebutuhan sekolah ketiga anakku lengkap, aku segera berpamitan pada Adnan dan Malik. Mereka baru saja pulang dari mushola setelah menunaikan sholat subuh berjamaah. Wajah mereka masih terlihat segar, meski udara pagi sangat dingin menusuk. “Mau ke mana sepagi ini, Bu?” tanya Adnan, menatapku yang tengah bersiap dengan raut wajah penasaran. “Ibu ada kerjaan, Nan. Mau bantu Bu Santi di ladang. Katanya mau panen jagung. Jadi Ibu harus bantu nyiapin perlengkapannya dulu di rumah,” sahutku sambil melilitkan selendang ke bahu untuk menghalau dingin. “Oh, ke kebun jagung Bu Santi? Ibu lama di sana?” Malik ikut bertanya. “Belum tahu, Mal. Tapi, kalau kalian sudah pulang sekolah, dan Ibu masih belum pulang, susul saja ke kebun jagung!” Pesanku sambil mengusap kepala mereka. Keduanya mengangguk patuh. Aku tahu mereka anak-anak yang baik dan pengertian. “Nan, tolong bantu Ami bersiap ke sekolah nanti, ya! Ibu minta tolong. Oh iya, tadi Ibu sudah bikin

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 4

    Aku bangkit dan melangkah menuju pintu, membuka dengan perlahan. Di depan sana, berdiri seorang perempuan yang begitu kukenal. Sari, istri adik kandungku, Ramli. "Sari? Ada apa?" tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku tetap biasa saja. Dia tersenyum tipis, tapi ada ekspresi sinis yang jelas terlihat di wajahnya. "Eh, Kak Sitah. Ini, Kak. Aku bawain sesuatu. Mas Ramli bilang Kakak tadi sempat datang ke rumah Ibu. Pasti mau cari makan gratis, ya?" katanya tanpa basa-basi. Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Tapi, dia terus melanjutkan, seolah tak peduli dengan reaksiku. "Karena itu Mas Ramli minta aku bawain ini. Bukan gulai kambing, sih, seperti yang Kakak bayangkan. Cuma nasi putih yang lebihan. Soalnya gulai kambingnya sudah habis Ibu bagi-bagi ke tamu dan tetangga," Dengan cepat dia menyodorkan kantong plastik kecil itu ke tanganku. Aku ingin menolak, tapi dia memaksa, menyelipkan bungkusan itu ke tanganku dengan tergesa. "Terima aja, Kak! Lumayan buat ganjel perut ana

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 3

    Kami pulang dengan langkah berat, membawa rasa sesak di dada yang tak terlukiskan. Terik matahari yang membakar kulit seperti tak ada artinya dibandingkan panas amarah dan kecewa yang mendidih di dalam hati. Bukannya sambutan hangat yang aku dapatkan, justru hinaan yang aku terima. Hinaan dari adik kandungku sendiri, yang seharusnya memahami seperti apa perjuanganku selama ini. Setibanya di rumah, aku segera mengajak anak-anakku duduk di lantai yang beralaskan tikar anyaman. Kaki-kaki kecil mereka terlihat lelah, tapi wajah mereka tetap berusaha menunjukkan senyum. "Bu, kok Paman Ramli mendorong Kak Adnan?" tanya Ami, dengan polosny. Matanya menatapku, lalu beralih ke Adnan yang duduk di sampingnya. Aku menoleh ke arah Adnan. Putra sulungku yang baru berusia sebelas tahun itu hanya bisa tersenyum kecil, memaksakan ekspresi yang terlihat kuat di depan adik-adiknya. "Jangan dipikirkan, Mi!" ujarnya pelan, sambil mengusap kepala Ami dengan lembut. Nada suaranya terdengar tenang, ta

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 2

    Baru saja aku melangkah masuk ke dalam rumah, pandanganku langsung tertuju pada ketiga anakku yang sudah berpakaian rapi. Mereka tampak bersiap dengan penuh semangat. Meski pakaian mereka jauh dari kata mahal atau bagus, setidaknya masih layak untuk dipakai. Namun, di mataku, mereka selalu tampak istimewa, apa pun yang mereka kenakan. "Mau ke mana?" tanyaku, menghampiri mereka. "Ibu lupa? Kita kan mau ke rumah Nenek? Ayo, Bu!" sahut Ami, si bungsu, sambil menarik tanganku, begitu antusias. Aku terdiam sesaat. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku menjelaskan pada mereka bahwa kami tidak diundang? Tapi, bagaimana nanti perasaan mereka jika tahu kebenarannya? "Bu, ayo!" seru Malik, membuyarkan lamunanku. Aku menatap ketiganya. Wajah penuh harap itu membuatku tidak tega mengecewakan mereka. Akhirnya, dengan berat hati, aku mengangguk pelan. "Ibu ganti pakaian dulu." Langkahku terasa berat saat berjalan menuju kamar kecil yang tidak berpintu, hanya ditutupi tirai lusuh yang s

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 1

    "Tah, kok masih dekil aja?" Suara Bu Marni memecah keheningan pagi ini, menyelinap masuk ke telingaku tanpa permisi. Aku baru saja selesai menyapu halaman depan rumah, berniat merapikan tempat yang akan kujadikan kedai kecil. Tapi, seperti biasa, kata-kata pedas Bu Marni lebih cepat datang daripada niat baik orang lain. Aku hanya bisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan hati. "Masih pagi, Bu," jawabku singkat, tanpa menatapnya. Seakan tidak peduli dengan reaksi dinginku, Bu Marni justru mendekat. Tangannya terangkat, menunjukkan kantong plastik bening berisi gulai kambing yang masih panas.. “Nih, lihat! Saya bawa gulai kambing,” Mataku beralih pada plastik itu. Isinya memang gulai kambing, lengkap dengan minyak yang tampak mengkilap di permukaan kuahnya. Aromanya mulai tercium samar. Namun, aku tidak bertanya, tidak juga berkomentar. “Kamu nggak ke rumah Ibumu?” Bu Marni bertanya, nadanya seperti menyindir. “Saya baru pulang dari sana, nih. Dikasih ini. Di sana lagi ada

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status