Share

Bab 3

Author: Lia Scorpio
last update Last Updated: 2025-03-04 10:52:57

Kami pulang dengan langkah berat, membawa rasa sesak di dada yang tak terlukiskan. Terik matahari yang membakar kulit seperti tak ada artinya dibandingkan panas amarah dan kecewa yang mendidih di dalam hati.

Bukannya sambutan hangat yang aku dapatkan, justru hinaan yang aku terima. Hinaan dari adik kandungku sendiri, yang seharusnya memahami seperti apa perjuanganku selama ini.

Setibanya di rumah, aku segera mengajak anak-anakku duduk di lantai yang beralaskan tikar anyaman. Kaki-kaki kecil mereka terlihat lelah, tapi wajah mereka tetap berusaha menunjukkan senyum.

"Bu, kok Paman Ramli mendorong Kak Adnan?" tanya Ami, dengan polosny. Matanya menatapku, lalu beralih ke Adnan yang duduk di sampingnya.

Aku menoleh ke arah Adnan. Putra sulungku yang baru berusia sebelas tahun itu hanya bisa tersenyum kecil, memaksakan ekspresi yang terlihat kuat di depan adik-adiknya.

"Jangan dipikirkan, Mi!" ujarnya pelan, sambil mengusap kepala Ami dengan lembut. Nada suaranya terdengar tenang, tapi aku tahu betul apa yang sebenarnya dia rasakan.

Hatiku terasa hancur melihat ketegaran putraku. Anak sekecil itu harus memikul luka yang tidak seharusnya dia rasakan. Dia berpura-pura kuat, hanya agar adiknya tidak ikut merasakan kesedihan yang sama.

Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tenggorokanku tercekat. Rasa bersalah menghantam seperti gelombang besar. Seharusnya aku bisa melindungi mereka dari hinaan seperti tadi, tapi aku malah diam, tak berdaya.

Tanpa berkata apa-apa, aku menarik ketiga anakku ke dalam pelukanku. Mereka adalah alasanku bertahan. Aku hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, mereka tidak akan lagi merasakan sakit yang sama seperti hari ini.

"Kenapa kita tidak jadi masuk ke rumah Nenek tadi, Bu?" Suara kecil Ami terdengar begitu polos namun menohok. "Padahal Ami lapar, Bu. Kata Diah, gulai kambing buatan Nenek enak sekali. Ami pengen banget makan itu, Bu,"

Aku hanya mampu tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kepedihan yang terasa menyesakkan. Lagi-lagi, apa dayaku? Jangankan mencicipi dagingnya, kuah gulai kambing saja tak pernah sampai ke rumah kami.

"Nanti kita bikin gulai kambing juga, ya! Sekarang kita makan apa yang ada dulu," ucapku sambil membujuk Ami, berusaha mengalihkan perhatian bocah tujuh tahunku dari rasa lapar yang mungkin sudah tak lagi bisa dia tahan.

Tanpa sepatah kata pun, Adnan dan Malik, bangkit dari duduknya. Keduanya melangkah menuju dapur, meninggalkan aku yang masih berusaha menjaga ketenangan di depan Ami.

Tak lama kemudian, mereka kembali. Adnan membawa empat piring, sementara Malik memegang tempat nasi yang hanya terisi sedikit di dasarnya. Mereka tidak berkata apa-apa, hanya menatapku seolah meminta kepastian.

"Kalian tunggu di sini dulu. Ibu mau masak telur dadar," kataku cepat, mengabaikan kegelisahan yang mulai menjalar.

Aku bergegas berdiri, melangkah menuju dapur yang kecil dan gelap, tempat biasa aku mencoba menyulap bahan seadanya menjadi sesuatu yang layak disebut makanan.

Sesampainya di dapur, pandanganku langsung tertuju pada wadah tempat aku menyimpan telur. Tangan ini gemetar saat membuka tutupnya. Hanya ada satu butir telur yang tersisa. Hanya satu.

Aku tertegun, menatap telur itu cukup lama. Apa ini cukup untuk ketiga anakku? Aku tahu jawabannya, tapi aku tak punya pilihan. Rasa perih di dada semakin menjadi.

Mataku beralih ke sebuah nampan kecil di atas meja. Ada satu potong jagung yang tersisa, pemberian Bu Santi beberapa hari lalu. Setidaknya, ini bisa membantu menambah jumlah makanan yang akan aku sajikan untuk mereka.

Aku menghela napas panjang, lalu mulai bekerja. Telur itu kupecahkan, dicampur dengan irisan kecil jagung, kemudian kucoba goreng dengan sedikit minyak yang nyaris habis. Bau harum mulai tercium, tapi aku tidak merasa puas. Tidak ada yang istimewa di sini, hanya telur dadar dengan irisan jagung.

Saat memindahkan telur itu ke piring, tanpa sadar air mataku menetes. Rasanya begitu menyakitkan, menyadari bahwa aku tidak bisa memberikan sesuatu yang lebih baik untuk anak-anakku. Hidup kami benar-benar sulit.

Sekilas bayangan suamiku muncul di benak. Andaikan dia masih ada, mungkin aku tidak perlu menanggung semua beban ini sendiri. Mungkin, ketiga anakku tidak akan kelaparan seperti sekarang.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum kembali ke ruang depan. Tapi pikiran ini terus berputar, menggali kenangan yang menambah perih di hati.

Di antara empat bersaudara, aku yang hidupnya paling sulit. Ketiga adik laki-lakiku hidup dengan nyaman. Mereka lulusan sarjana, memiliki pekerjaan di kantor pemerintahan, dan menerima gaji yang cukup setiap bulannya.

Sementara aku? Aku hanya lulusan SMA. Dulu, aku punya mimpi besar untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah, seperti mereka. Tapi, mimpi itu pupus karena orang tuaku melarang. Mereka selalu berkata, "Perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Ujung-ujungnya juga hanya di dapur."

Aku tidak pernah mengerti alasan di balik ucapan itu. Ibuku juga seorang perempuan, tapi dia bisa kuliah, bisa bekerja, bahkan menjadi panutan di lingkungannya. Lantas, kenapa aku diperlakukan berbeda? Kenapa aku seolah direndahkan hanya karena aku perempuan?

Aku menggigit bibir, menahan emosi yang ingin meledak. Tidak ada gunanya menyalahkan masa lalu. Yang penting sekarang adalah memastikan anak-anakku makan, meski hanya dengan lauk seadanya.

Kembali ke ruang depan, aku meletakkan piring berisi telur dadar jagung di hadapan ketiga anakku.

"Ayo, makan dulu!" seruku, mencoba tersenyum.

Adnan mengambil piringnya lebih dulu, diikuti Malik dan Ami. Melihat mereka makan dengan lahap, meski dengan makanan sederhana seperti itu, membuat hati ini terasa sedikit lega.

Bukan aku terlalu berharap pada apa yang orang lain miliki, terutama orang tuaku. Aku tahu mereka tidak berkewajiban memenuhi kebutuhan kami, tapi tidak masuk akal rasanya. Aku, anak kandung mereka, bersama cucu-cucunya, dibiarkan makan seadanya. Sementara di rumah besar itu, para tetangga yang bahkan tidak ada hubungan darah denganku, pergi beramai-ramai dan pulang dengan bungkusan penuh makanan.

Lebih menyakitkan lagi, aku melihat semua itu dengan mata kepala sendiri. Mereka tersenyum bahagia, membawa pulang gulai kambing yang aromanya masih tercium di jalan. Sedangkan kami? Tak sepiring pun diberikan. Jika saja aku tidak tahu, mungkin aku tidak akan merasa sesakit ini. Tapi, kenyataan yang kulihat ini seperti mengiris hatiku dalam-dalam.

"Ibu tidak makan?" tanya Malik tiba-tiba, membuyarkan lamunanku.

Aku menoleh, menatap putraku yang masih menggenggam sendok. Dia menatapku dengan polos, wajahnya seperti menyiratkan kekhawatiran.

"Eh, Ibu tadi sudah makan, pas kalian di sekolah," jawabku cepat, berbohong tanpa berpikir panjang.

Aku tahu mereka mungkin tidak percaya, tapi aku harus berkata demikian. Melihat ketiga putraku makan, cacing di perutku ikut berontak. Tapi, bagaimana bisa aku mengambil porsi mereka? Makanan ini saja masih kurang untuk mereka bertiga. Untuk apa aku menambah beban mereka dengan ikut makan?

Aku hanya duduk diam, memandang mereka yang makan dengan lahap meski hanya dengan nasi dan telur dadar campur jagung. Pandangan itu menyesakkan dada, tapi sekaligus memberikan sedikit kebahagiaan, melihat mereka masih bisa makan hari ini.

Saat aku sedang terlarut dalam pikiran sendiri, tiba-tiba pintu rumah diketuk.

"Siapa yang datang, Bu?" tanya Ami, suaranya terdengar bingung.

Aku menggeleng pelan, mencoba menenangkan mereka. "Kalian makan dulu, ya. Ibu lihat siapa yang datang."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 4

    Aku bangkit dan melangkah menuju pintu, membuka dengan perlahan. Di depan sana, berdiri seorang perempuan yang begitu kukenal. Sari, istri adik kandungku, Ramli. "Sari? Ada apa?" tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku tetap biasa saja. Dia tersenyum tipis, tapi ada ekspresi sinis yang jelas terlihat di wajahnya. "Eh, Kak Sitah. Ini, Kak. Aku bawain sesuatu. Mas Ramli bilang Kakak tadi sempat datang ke rumah Ibu. Pasti mau cari makan gratis, ya?" katanya tanpa basa-basi. Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Tapi, dia terus melanjutkan, seolah tak peduli dengan reaksiku. "Karena itu Mas Ramli minta aku bawain ini. Bukan gulai kambing, sih, seperti yang Kakak bayangkan. Cuma nasi putih yang lebihan. Soalnya gulai kambingnya sudah habis Ibu bagi-bagi ke tamu dan tetangga," Dengan cepat dia menyodorkan kantong plastik kecil itu ke tanganku. Aku ingin menolak, tapi dia memaksa, menyelipkan bungkusan itu ke tanganku dengan tergesa. "Terima aja, Kak! Lumayan buat ganjel perut ana

    Last Updated : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 5

    Subuh hari, setelah memastikan semua kebutuhan sekolah ketiga anakku lengkap, aku segera berpamitan pada Adnan dan Malik. Mereka baru saja pulang dari mushola setelah menunaikan sholat subuh berjamaah. Wajah mereka masih terlihat segar, meski udara pagi sangat dingin menusuk. “Mau ke mana sepagi ini, Bu?” tanya Adnan, menatapku yang tengah bersiap dengan raut wajah penasaran. “Ibu ada kerjaan, Nan. Mau bantu Bu Santi di ladang. Katanya mau panen jagung. Jadi Ibu harus bantu nyiapin perlengkapannya dulu di rumah,” sahutku sambil melilitkan selendang ke bahu untuk menghalau dingin. “Oh, ke kebun jagung Bu Santi? Ibu lama di sana?” Malik ikut bertanya. “Belum tahu, Mal. Tapi, kalau kalian sudah pulang sekolah, dan Ibu masih belum pulang, susul saja ke kebun jagung!” Pesanku sambil mengusap kepala mereka. Keduanya mengangguk patuh. Aku tahu mereka anak-anak yang baik dan pengertian. “Nan, tolong bantu Ami bersiap ke sekolah nanti, ya! Ibu minta tolong. Oh iya, tadi Ibu sudah bikin

    Last Updated : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 6

    “Bu Kasmi, beli berasnya lima kilo, ya,” ucapku saat mampir ke warung sembako sepulang dari rumah Bu Santi.Ketiga anakku berdiri tidak jauh dariku. Mereka mengobrol pelan, mungkin membicarakan hal-hal kecil yang mereka temui di jalan tadi.“Tumben beli lima kilo, Tah? Habis dapat rezeki nomplok dari ibumu tempo lalu, ya?” tanya Bu Kasmi sambil sibuk menimbang beras.Keningku berkerut mendengar pertanyaan itu. Rezeki nomplok dari mana? Aku tak tahu apa yang Bu Kasmi maksud. Memangnya ibu ada bagi-bagi uang?“Saya baru pulang dari rumah Bu Santi, Bu Kasmi. Habis bantu panen jagung,” jawabku mencoba menjelaskan.“Oalah… bantu panen jagung Bu Santi? Saya kira dapat dari Ibu Fatma. Soalnya pas acara hajatan aqiqah kemarin, sebelum acaranya dimulai, ibu kamu itu manggil anak-anak yatim. Terus dikasih amplop. Anaknya Bu Sairi saja dapat seratus ribu, katanya,” ujar Bu Kasmi santai sambil merapikan beras ke dalam bungkusan.Aku terdiam. Ibu membagi-bagikan uang kepada anak-anak yatim? Tapi,

    Last Updated : 2025-03-17
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 1

    "Tah, kok masih dekil aja?" Suara Bu Marni memecah keheningan pagi ini, menyelinap masuk ke telingaku tanpa permisi. Aku baru saja selesai menyapu halaman depan rumah, berniat merapikan tempat yang akan kujadikan kedai kecil. Tapi, seperti biasa, kata-kata pedas Bu Marni lebih cepat datang daripada niat baik orang lain. Aku hanya bisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan hati. "Masih pagi, Bu," jawabku singkat, tanpa menatapnya. Seakan tidak peduli dengan reaksi dinginku, Bu Marni justru mendekat. Tangannya terangkat, menunjukkan kantong plastik bening berisi gulai kambing yang masih panas.. “Nih, lihat! Saya bawa gulai kambing,” Mataku beralih pada plastik itu. Isinya memang gulai kambing, lengkap dengan minyak yang tampak mengkilap di permukaan kuahnya. Aromanya mulai tercium samar. Namun, aku tidak bertanya, tidak juga berkomentar. “Kamu nggak ke rumah Ibumu?” Bu Marni bertanya, nadanya seperti menyindir. “Saya baru pulang dari sana, nih. Dikasih ini. Di sana lagi ada

    Last Updated : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 2

    Baru saja aku melangkah masuk ke dalam rumah, pandanganku langsung tertuju pada ketiga anakku yang sudah berpakaian rapi. Mereka tampak bersiap dengan penuh semangat. Meski pakaian mereka jauh dari kata mahal atau bagus, setidaknya masih layak untuk dipakai. Namun, di mataku, mereka selalu tampak istimewa, apa pun yang mereka kenakan. "Mau ke mana?" tanyaku, menghampiri mereka. "Ibu lupa? Kita kan mau ke rumah Nenek? Ayo, Bu!" sahut Ami, si bungsu, sambil menarik tanganku, begitu antusias. Aku terdiam sesaat. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku menjelaskan pada mereka bahwa kami tidak diundang? Tapi, bagaimana nanti perasaan mereka jika tahu kebenarannya? "Bu, ayo!" seru Malik, membuyarkan lamunanku. Aku menatap ketiganya. Wajah penuh harap itu membuatku tidak tega mengecewakan mereka. Akhirnya, dengan berat hati, aku mengangguk pelan. "Ibu ganti pakaian dulu." Langkahku terasa berat saat berjalan menuju kamar kecil yang tidak berpintu, hanya ditutupi tirai lusuh yang s

    Last Updated : 2025-03-04

Latest chapter

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 6

    “Bu Kasmi, beli berasnya lima kilo, ya,” ucapku saat mampir ke warung sembako sepulang dari rumah Bu Santi.Ketiga anakku berdiri tidak jauh dariku. Mereka mengobrol pelan, mungkin membicarakan hal-hal kecil yang mereka temui di jalan tadi.“Tumben beli lima kilo, Tah? Habis dapat rezeki nomplok dari ibumu tempo lalu, ya?” tanya Bu Kasmi sambil sibuk menimbang beras.Keningku berkerut mendengar pertanyaan itu. Rezeki nomplok dari mana? Aku tak tahu apa yang Bu Kasmi maksud. Memangnya ibu ada bagi-bagi uang?“Saya baru pulang dari rumah Bu Santi, Bu Kasmi. Habis bantu panen jagung,” jawabku mencoba menjelaskan.“Oalah… bantu panen jagung Bu Santi? Saya kira dapat dari Ibu Fatma. Soalnya pas acara hajatan aqiqah kemarin, sebelum acaranya dimulai, ibu kamu itu manggil anak-anak yatim. Terus dikasih amplop. Anaknya Bu Sairi saja dapat seratus ribu, katanya,” ujar Bu Kasmi santai sambil merapikan beras ke dalam bungkusan.Aku terdiam. Ibu membagi-bagikan uang kepada anak-anak yatim? Tapi,

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 5

    Subuh hari, setelah memastikan semua kebutuhan sekolah ketiga anakku lengkap, aku segera berpamitan pada Adnan dan Malik. Mereka baru saja pulang dari mushola setelah menunaikan sholat subuh berjamaah. Wajah mereka masih terlihat segar, meski udara pagi sangat dingin menusuk. “Mau ke mana sepagi ini, Bu?” tanya Adnan, menatapku yang tengah bersiap dengan raut wajah penasaran. “Ibu ada kerjaan, Nan. Mau bantu Bu Santi di ladang. Katanya mau panen jagung. Jadi Ibu harus bantu nyiapin perlengkapannya dulu di rumah,” sahutku sambil melilitkan selendang ke bahu untuk menghalau dingin. “Oh, ke kebun jagung Bu Santi? Ibu lama di sana?” Malik ikut bertanya. “Belum tahu, Mal. Tapi, kalau kalian sudah pulang sekolah, dan Ibu masih belum pulang, susul saja ke kebun jagung!” Pesanku sambil mengusap kepala mereka. Keduanya mengangguk patuh. Aku tahu mereka anak-anak yang baik dan pengertian. “Nan, tolong bantu Ami bersiap ke sekolah nanti, ya! Ibu minta tolong. Oh iya, tadi Ibu sudah bikin

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 4

    Aku bangkit dan melangkah menuju pintu, membuka dengan perlahan. Di depan sana, berdiri seorang perempuan yang begitu kukenal. Sari, istri adik kandungku, Ramli. "Sari? Ada apa?" tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku tetap biasa saja. Dia tersenyum tipis, tapi ada ekspresi sinis yang jelas terlihat di wajahnya. "Eh, Kak Sitah. Ini, Kak. Aku bawain sesuatu. Mas Ramli bilang Kakak tadi sempat datang ke rumah Ibu. Pasti mau cari makan gratis, ya?" katanya tanpa basa-basi. Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Tapi, dia terus melanjutkan, seolah tak peduli dengan reaksiku. "Karena itu Mas Ramli minta aku bawain ini. Bukan gulai kambing, sih, seperti yang Kakak bayangkan. Cuma nasi putih yang lebihan. Soalnya gulai kambingnya sudah habis Ibu bagi-bagi ke tamu dan tetangga," Dengan cepat dia menyodorkan kantong plastik kecil itu ke tanganku. Aku ingin menolak, tapi dia memaksa, menyelipkan bungkusan itu ke tanganku dengan tergesa. "Terima aja, Kak! Lumayan buat ganjel perut ana

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 3

    Kami pulang dengan langkah berat, membawa rasa sesak di dada yang tak terlukiskan. Terik matahari yang membakar kulit seperti tak ada artinya dibandingkan panas amarah dan kecewa yang mendidih di dalam hati. Bukannya sambutan hangat yang aku dapatkan, justru hinaan yang aku terima. Hinaan dari adik kandungku sendiri, yang seharusnya memahami seperti apa perjuanganku selama ini. Setibanya di rumah, aku segera mengajak anak-anakku duduk di lantai yang beralaskan tikar anyaman. Kaki-kaki kecil mereka terlihat lelah, tapi wajah mereka tetap berusaha menunjukkan senyum. "Bu, kok Paman Ramli mendorong Kak Adnan?" tanya Ami, dengan polosny. Matanya menatapku, lalu beralih ke Adnan yang duduk di sampingnya. Aku menoleh ke arah Adnan. Putra sulungku yang baru berusia sebelas tahun itu hanya bisa tersenyum kecil, memaksakan ekspresi yang terlihat kuat di depan adik-adiknya. "Jangan dipikirkan, Mi!" ujarnya pelan, sambil mengusap kepala Ami dengan lembut. Nada suaranya terdengar tenang, ta

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 2

    Baru saja aku melangkah masuk ke dalam rumah, pandanganku langsung tertuju pada ketiga anakku yang sudah berpakaian rapi. Mereka tampak bersiap dengan penuh semangat. Meski pakaian mereka jauh dari kata mahal atau bagus, setidaknya masih layak untuk dipakai. Namun, di mataku, mereka selalu tampak istimewa, apa pun yang mereka kenakan. "Mau ke mana?" tanyaku, menghampiri mereka. "Ibu lupa? Kita kan mau ke rumah Nenek? Ayo, Bu!" sahut Ami, si bungsu, sambil menarik tanganku, begitu antusias. Aku terdiam sesaat. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku menjelaskan pada mereka bahwa kami tidak diundang? Tapi, bagaimana nanti perasaan mereka jika tahu kebenarannya? "Bu, ayo!" seru Malik, membuyarkan lamunanku. Aku menatap ketiganya. Wajah penuh harap itu membuatku tidak tega mengecewakan mereka. Akhirnya, dengan berat hati, aku mengangguk pelan. "Ibu ganti pakaian dulu." Langkahku terasa berat saat berjalan menuju kamar kecil yang tidak berpintu, hanya ditutupi tirai lusuh yang s

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 1

    "Tah, kok masih dekil aja?" Suara Bu Marni memecah keheningan pagi ini, menyelinap masuk ke telingaku tanpa permisi. Aku baru saja selesai menyapu halaman depan rumah, berniat merapikan tempat yang akan kujadikan kedai kecil. Tapi, seperti biasa, kata-kata pedas Bu Marni lebih cepat datang daripada niat baik orang lain. Aku hanya bisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan hati. "Masih pagi, Bu," jawabku singkat, tanpa menatapnya. Seakan tidak peduli dengan reaksi dinginku, Bu Marni justru mendekat. Tangannya terangkat, menunjukkan kantong plastik bening berisi gulai kambing yang masih panas.. “Nih, lihat! Saya bawa gulai kambing,” Mataku beralih pada plastik itu. Isinya memang gulai kambing, lengkap dengan minyak yang tampak mengkilap di permukaan kuahnya. Aromanya mulai tercium samar. Namun, aku tidak bertanya, tidak juga berkomentar. “Kamu nggak ke rumah Ibumu?” Bu Marni bertanya, nadanya seperti menyindir. “Saya baru pulang dari sana, nih. Dikasih ini. Di sana lagi ada

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status