Share

Bab 6

Author: Lia Scorpio
last update Last Updated: 2025-03-17 14:02:49

 “Bu Kasmi, beli berasnya lima kilo, ya,” ucapku saat mampir ke warung sembako sepulang dari rumah Bu Santi.

Ketiga anakku berdiri tidak jauh dariku. Mereka mengobrol pelan, mungkin membicarakan hal-hal kecil yang mereka temui di jalan tadi.

“Tumben beli lima kilo, Tah? Habis dapat rezeki nomplok dari ibumu tempo lalu, ya?” tanya Bu Kasmi sambil sibuk menimbang beras.

Keningku berkerut mendengar pertanyaan itu. Rezeki nomplok dari mana? Aku tak tahu apa yang Bu Kasmi maksud. Memangnya ibu ada bagi-bagi uang?

“Saya baru pulang dari rumah Bu Santi, Bu Kasmi. Habis bantu panen jagung,” jawabku mencoba menjelaskan.

“Oalah… bantu panen jagung Bu Santi? Saya kira dapat dari Ibu Fatma. Soalnya pas acara hajatan aqiqah kemarin, sebelum acaranya dimulai, ibu kamu itu manggil anak-anak yatim. Terus dikasih amplop. Anaknya Bu Sairi saja dapat seratus ribu, katanya,” ujar Bu Kasmi santai sambil merapikan beras ke dalam bungkusan.

Aku terdiam. Ibu membagi-bagikan uang kepada anak-anak yatim? Tapi, kenapa anak-anakku tidak ikut? Kalaupun kami sudah tak dianggap keluarga. Tapi, bukankah anak-anakku ini juga anak yatim? Hati kecilku bergemuruh, tapi aku memilih untuk tidak menanggapi.

“Berapa semuanya, Bu?” tanyaku, berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

“Lima puluh enam ribu, Tah. Ini berasnya,” jawab Bu Kasmi sambil menyerahkan bungkusan.

Aku segera membayarnya, lalu menggandeng anak-anakku untuk kembali pulang.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, pikiranku yang tadinya sudah kukunci rapat untuk tidak memikirkan tentang ibu, kini kembali berkecamuk. Hatiku sulit menerima kenyataan bahwa anak-anakku, cucunya sendiri, dilewatkan dari perhatian yang diberikan kepada anak-anak lain.

“Bu, siapa yang bagi-bagi amplop?” Suara kecil Ami tiba-tiba memecah lamunanku. Rupanya ia mendengar percakapanku dengan Bu Kasmi tadi.

“Eh, Ibu juga nggak tahu, Mi. Jangan dipikirkan!” sahutku, mencoba menyembunyikan kenyataan.

Adnan, yang berjalan di sisiku, menoleh sekilas. Tatapan matanya sulit kuartikan, seolah ia tahu aku tidak berkata jujur. Tapi dia memilih diam, hanya tersenyum masam sebelum melanjutkan langkahnya.

Setibanya di rumah, aku segera membawa bungkusan beras dan lauk pemberian Bu Santi ke dapur. Syukurlah, Bu Santi membekali kami lauk cukup untuk makan malam.

“Bu, Bu Santi itu baik sekali ya sama kita?” tanya Malik tiba-tiba. Ia mendekat sambil menatapku yang tengah sibuk menanak nasi.

Aku menoleh, tersenyum kecil menatap ke arahnya. “Iya, Bu Santi sangat baik. Kalau orang berbuat baik pada kita, jangan pernah lupakan budi mereka. Mengerti, kan, apa yang Ibu katakan?”

Malik mengangguk cepat, seolah memahami apa yang kumaksud. “Malik mengerti, Bu.”

“Oh iya, Bu. Ini uang yang dikasih Pak Jamal!” ujar Malik sambil menyerahkan selembar uang berwarna hijau ke tanganku.

Keningku berkerut. “Uang? Uang apa, Nak?” tanyaku bingung.

“Malik juga nggak tahu, Bu. Tadi dikasih sama Pak Jamal. Kata Bu Santi, terima saja. Katanya ini upah bantu-bantu,” jawab Malik polos.

Hatiku terenyuh. Aku menatap uang itu sejenak, kemudian menggeleng pelan. “Kamu simpan saja, Nak. Siapa tahu nanti kamu mau jajan atau beli sesuatu,” ucapku, menahan keharuan. Mana tega aku mengambil uang yang mereka dapatkan sendiri dari hasil kerja kerasnya?

Pak Jamal dan Bu Santi memang suami istri yang luar biasa baik. Di saat yang lain memilih menjauh, merendahkan kami, mereka justru mengulurkan tangan dengan tulus. Meski hanya tetangga, kebaikan mereka jauh lebih besar daripada keluarga yang seharusnya melindungiku.

 Tak berselang lama, Adnan dan Ami yang baru saja selesai mandi menghampiriku sambil membawa selembar uang di tangan mereka. Malik yang tadi lebih dulu memberikannya kini juga kembali menyerahkan uangnya, padahal aku sudah memintanya menyimpan.

“Bu, ini uang yang tadi dikasih Pak Jamal,” ucap Ami polos, menyerahkan uangnya. Adnan pun melakukan hal yang sama tanpa sepatah kata.

Aku mengerutkan kening, menatap uang di tangan mereka. Hati ini rasanya berat menerima.

“Eh, simpan saja uang kalian! Ini kan hasil kerja kalian. Jangan kasih ke Ibu!” Aku mencoba menolak, tapi Adnan, dengan nada lembut menjawab.

 

“Ibu saja yang simpan. Siapa tahu nanti bisa bantu Ibu beli lauk untuk makan,”

Kalimat itu seketika mengguncang hatiku. Getarannya begitu nyata, menembus hingga ke relung hati terdalam. Bagaimana mungkin anak-anak sekecil mereka bisa berpikir sejauh ini? Mereka tahu kesulitan yang kami hadapi, tapi tak pernah sekalipun mereka mengeluh. Sebaliknya, mereka justru terus memberi, meski mereka tak punya apa-apa.

Aku memandang wajah-wajah polos mereka, yang penuh keikhlasan. Dengan sangat terpaksa, aku menerima uang itu. Rasanya ingin menangis, tapi aku tahan. Aku tidak ingin mereka melihat kelemahanku.

“Bu, kami mau siap-siap ke mushola dulu. Ibu nggak apa-apa kan tinggal di rumah sendiri?” tanya Adnan.

“Nggak papa, Nan. Sana, siap-siap! Ingat, sholat yang benar. Jangan lupa kirim doa untuk ayah kalian!” sahutku, mencoba tersenyum.

Mereka bertiga segera beranjak pergi. Aku duduk sendiri di ruang tengah, menyiapkan makanan untuk mereka saat pulang nanti. Malam ini terasa begitu hening. Hanya suara jangkrik di luar rumah yang menemani.

Hampir beberapa jam berlalu, tapi rasanya seperti menunggu sepanjang malam. Aku mulai melamun, mengingat masa-masa ketika suamiku masih ada. Betapa dulu kami tak pernah seperti, walau hidup sederhana. Tapi kini, semuanya berubah.

Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar dari arah depan. Suaranya cukup nyaring, membuyarkan lamunanku.

“Tunggu sebentar!” seruku, segera berjalan menuju pintu.

Ketika pintu terbuka, aku terkejut melihat siapa yang berdiri di sana. Ibu. Orang yang hampir seminggu ini terus mengganggu pikiranku, kini datang tanpa kabar.

Aku terdiam cukup lama, memandangi sosok yang seharusnya menjadi tempatku bersandar. Tapi kenyataannya, ia sering menjadi sumber luka.

“Tah, kok bengong? Orang tua datang bukannya disambut, malah bengong di depan pintu. Kenapa? Pusing mikirin hidup miskin?” cibir Ibu dengan nada tajam.

Ucapan itu seperti pedang yang menusuk hati. Aku tersentak, tapi berusaha menahan diri.

“Masuk, Bu!” ucapku pelan, mencoba mempersilakannya.

“Nggak usah! Ibu cuma mau bilang, jangan lupa besok ke rumah Ibu,” jawabnya cepat, tanpa sedikit pun memperlihatkan kelembutan.

“Ke rumah? Ngapain, Bu?” tanyaku, sedikit terkejut. Tumben Ibu memintaku datang.

“Datang aja! Ibu ada kerjaan untuk kamu. Masalah upah, nanti Ibu kasih. Jangan lupa besok pagi, Tah! Ibu pulang dulu,” ucap Ibu, lalu melenggang pergi tanpa memberiku waktu untuk bertanya atau bicara lebih.

Aku berdiri di depan pintu, memandangi punggung Ibu yang semakin menjauh. Hati ini rasanya sakit sekali mendengar kalimat itu. Upah? Seolah-olah aku adalah orang asing yang bekerja untuknya, bukan anak yang pernah ia peluk dengan kasih sayang.

Aku menutup pintu perlahan, berjalan kembali ke ruang tengah dengan pikiran berkecamuk. Aku tahu, hubunganku dengan Ibu sudah tak sehangat dulu. Tapi, aku tak pernah menyangka, jarak di antara kami kini terasa sejauh ini.

Malam itu, aku duduk termenung di ruang tengah. Anak-anak belum pulang, dan aku masih memikirkan ucapan Ibu. Aku mencoba meyakinkan diri, mungkin Ibu tidak benar-benar bermaksud menyakitiku. Mungkin caranya saja yang salah. Tapi semakin aku mencoba memahami, semakin sakit hati ini rasanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 1

    "Tah, kok masih dekil aja?" Suara Bu Marni memecah keheningan pagi ini, menyelinap masuk ke telingaku tanpa permisi. Aku baru saja selesai menyapu halaman depan rumah, berniat merapikan tempat yang akan kujadikan kedai kecil. Tapi, seperti biasa, kata-kata pedas Bu Marni lebih cepat datang daripada niat baik orang lain. Aku hanya bisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan hati. "Masih pagi, Bu," jawabku singkat, tanpa menatapnya. Seakan tidak peduli dengan reaksi dinginku, Bu Marni justru mendekat. Tangannya terangkat, menunjukkan kantong plastik bening berisi gulai kambing yang masih panas.. “Nih, lihat! Saya bawa gulai kambing,” Mataku beralih pada plastik itu. Isinya memang gulai kambing, lengkap dengan minyak yang tampak mengkilap di permukaan kuahnya. Aromanya mulai tercium samar. Namun, aku tidak bertanya, tidak juga berkomentar. “Kamu nggak ke rumah Ibumu?” Bu Marni bertanya, nadanya seperti menyindir. “Saya baru pulang dari sana, nih. Dikasih ini. Di sana lagi ada

    Last Updated : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 2

    Baru saja aku melangkah masuk ke dalam rumah, pandanganku langsung tertuju pada ketiga anakku yang sudah berpakaian rapi. Mereka tampak bersiap dengan penuh semangat. Meski pakaian mereka jauh dari kata mahal atau bagus, setidaknya masih layak untuk dipakai. Namun, di mataku, mereka selalu tampak istimewa, apa pun yang mereka kenakan. "Mau ke mana?" tanyaku, menghampiri mereka. "Ibu lupa? Kita kan mau ke rumah Nenek? Ayo, Bu!" sahut Ami, si bungsu, sambil menarik tanganku, begitu antusias. Aku terdiam sesaat. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku menjelaskan pada mereka bahwa kami tidak diundang? Tapi, bagaimana nanti perasaan mereka jika tahu kebenarannya? "Bu, ayo!" seru Malik, membuyarkan lamunanku. Aku menatap ketiganya. Wajah penuh harap itu membuatku tidak tega mengecewakan mereka. Akhirnya, dengan berat hati, aku mengangguk pelan. "Ibu ganti pakaian dulu." Langkahku terasa berat saat berjalan menuju kamar kecil yang tidak berpintu, hanya ditutupi tirai lusuh yang s

    Last Updated : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 3

    Kami pulang dengan langkah berat, membawa rasa sesak di dada yang tak terlukiskan. Terik matahari yang membakar kulit seperti tak ada artinya dibandingkan panas amarah dan kecewa yang mendidih di dalam hati. Bukannya sambutan hangat yang aku dapatkan, justru hinaan yang aku terima. Hinaan dari adik kandungku sendiri, yang seharusnya memahami seperti apa perjuanganku selama ini. Setibanya di rumah, aku segera mengajak anak-anakku duduk di lantai yang beralaskan tikar anyaman. Kaki-kaki kecil mereka terlihat lelah, tapi wajah mereka tetap berusaha menunjukkan senyum. "Bu, kok Paman Ramli mendorong Kak Adnan?" tanya Ami, dengan polosny. Matanya menatapku, lalu beralih ke Adnan yang duduk di sampingnya. Aku menoleh ke arah Adnan. Putra sulungku yang baru berusia sebelas tahun itu hanya bisa tersenyum kecil, memaksakan ekspresi yang terlihat kuat di depan adik-adiknya. "Jangan dipikirkan, Mi!" ujarnya pelan, sambil mengusap kepala Ami dengan lembut. Nada suaranya terdengar tenang, ta

    Last Updated : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 4

    Aku bangkit dan melangkah menuju pintu, membuka dengan perlahan. Di depan sana, berdiri seorang perempuan yang begitu kukenal. Sari, istri adik kandungku, Ramli. "Sari? Ada apa?" tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku tetap biasa saja. Dia tersenyum tipis, tapi ada ekspresi sinis yang jelas terlihat di wajahnya. "Eh, Kak Sitah. Ini, Kak. Aku bawain sesuatu. Mas Ramli bilang Kakak tadi sempat datang ke rumah Ibu. Pasti mau cari makan gratis, ya?" katanya tanpa basa-basi. Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Tapi, dia terus melanjutkan, seolah tak peduli dengan reaksiku. "Karena itu Mas Ramli minta aku bawain ini. Bukan gulai kambing, sih, seperti yang Kakak bayangkan. Cuma nasi putih yang lebihan. Soalnya gulai kambingnya sudah habis Ibu bagi-bagi ke tamu dan tetangga," Dengan cepat dia menyodorkan kantong plastik kecil itu ke tanganku. Aku ingin menolak, tapi dia memaksa, menyelipkan bungkusan itu ke tanganku dengan tergesa. "Terima aja, Kak! Lumayan buat ganjel perut ana

    Last Updated : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 5

    Subuh hari, setelah memastikan semua kebutuhan sekolah ketiga anakku lengkap, aku segera berpamitan pada Adnan dan Malik. Mereka baru saja pulang dari mushola setelah menunaikan sholat subuh berjamaah. Wajah mereka masih terlihat segar, meski udara pagi sangat dingin menusuk. “Mau ke mana sepagi ini, Bu?” tanya Adnan, menatapku yang tengah bersiap dengan raut wajah penasaran. “Ibu ada kerjaan, Nan. Mau bantu Bu Santi di ladang. Katanya mau panen jagung. Jadi Ibu harus bantu nyiapin perlengkapannya dulu di rumah,” sahutku sambil melilitkan selendang ke bahu untuk menghalau dingin. “Oh, ke kebun jagung Bu Santi? Ibu lama di sana?” Malik ikut bertanya. “Belum tahu, Mal. Tapi, kalau kalian sudah pulang sekolah, dan Ibu masih belum pulang, susul saja ke kebun jagung!” Pesanku sambil mengusap kepala mereka. Keduanya mengangguk patuh. Aku tahu mereka anak-anak yang baik dan pengertian. “Nan, tolong bantu Ami bersiap ke sekolah nanti, ya! Ibu minta tolong. Oh iya, tadi Ibu sudah bikin

    Last Updated : 2025-03-04

Latest chapter

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 6

    “Bu Kasmi, beli berasnya lima kilo, ya,” ucapku saat mampir ke warung sembako sepulang dari rumah Bu Santi.Ketiga anakku berdiri tidak jauh dariku. Mereka mengobrol pelan, mungkin membicarakan hal-hal kecil yang mereka temui di jalan tadi.“Tumben beli lima kilo, Tah? Habis dapat rezeki nomplok dari ibumu tempo lalu, ya?” tanya Bu Kasmi sambil sibuk menimbang beras.Keningku berkerut mendengar pertanyaan itu. Rezeki nomplok dari mana? Aku tak tahu apa yang Bu Kasmi maksud. Memangnya ibu ada bagi-bagi uang?“Saya baru pulang dari rumah Bu Santi, Bu Kasmi. Habis bantu panen jagung,” jawabku mencoba menjelaskan.“Oalah… bantu panen jagung Bu Santi? Saya kira dapat dari Ibu Fatma. Soalnya pas acara hajatan aqiqah kemarin, sebelum acaranya dimulai, ibu kamu itu manggil anak-anak yatim. Terus dikasih amplop. Anaknya Bu Sairi saja dapat seratus ribu, katanya,” ujar Bu Kasmi santai sambil merapikan beras ke dalam bungkusan.Aku terdiam. Ibu membagi-bagikan uang kepada anak-anak yatim? Tapi,

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 5

    Subuh hari, setelah memastikan semua kebutuhan sekolah ketiga anakku lengkap, aku segera berpamitan pada Adnan dan Malik. Mereka baru saja pulang dari mushola setelah menunaikan sholat subuh berjamaah. Wajah mereka masih terlihat segar, meski udara pagi sangat dingin menusuk. “Mau ke mana sepagi ini, Bu?” tanya Adnan, menatapku yang tengah bersiap dengan raut wajah penasaran. “Ibu ada kerjaan, Nan. Mau bantu Bu Santi di ladang. Katanya mau panen jagung. Jadi Ibu harus bantu nyiapin perlengkapannya dulu di rumah,” sahutku sambil melilitkan selendang ke bahu untuk menghalau dingin. “Oh, ke kebun jagung Bu Santi? Ibu lama di sana?” Malik ikut bertanya. “Belum tahu, Mal. Tapi, kalau kalian sudah pulang sekolah, dan Ibu masih belum pulang, susul saja ke kebun jagung!” Pesanku sambil mengusap kepala mereka. Keduanya mengangguk patuh. Aku tahu mereka anak-anak yang baik dan pengertian. “Nan, tolong bantu Ami bersiap ke sekolah nanti, ya! Ibu minta tolong. Oh iya, tadi Ibu sudah bikin

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 4

    Aku bangkit dan melangkah menuju pintu, membuka dengan perlahan. Di depan sana, berdiri seorang perempuan yang begitu kukenal. Sari, istri adik kandungku, Ramli. "Sari? Ada apa?" tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku tetap biasa saja. Dia tersenyum tipis, tapi ada ekspresi sinis yang jelas terlihat di wajahnya. "Eh, Kak Sitah. Ini, Kak. Aku bawain sesuatu. Mas Ramli bilang Kakak tadi sempat datang ke rumah Ibu. Pasti mau cari makan gratis, ya?" katanya tanpa basa-basi. Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Tapi, dia terus melanjutkan, seolah tak peduli dengan reaksiku. "Karena itu Mas Ramli minta aku bawain ini. Bukan gulai kambing, sih, seperti yang Kakak bayangkan. Cuma nasi putih yang lebihan. Soalnya gulai kambingnya sudah habis Ibu bagi-bagi ke tamu dan tetangga," Dengan cepat dia menyodorkan kantong plastik kecil itu ke tanganku. Aku ingin menolak, tapi dia memaksa, menyelipkan bungkusan itu ke tanganku dengan tergesa. "Terima aja, Kak! Lumayan buat ganjel perut ana

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 3

    Kami pulang dengan langkah berat, membawa rasa sesak di dada yang tak terlukiskan. Terik matahari yang membakar kulit seperti tak ada artinya dibandingkan panas amarah dan kecewa yang mendidih di dalam hati. Bukannya sambutan hangat yang aku dapatkan, justru hinaan yang aku terima. Hinaan dari adik kandungku sendiri, yang seharusnya memahami seperti apa perjuanganku selama ini. Setibanya di rumah, aku segera mengajak anak-anakku duduk di lantai yang beralaskan tikar anyaman. Kaki-kaki kecil mereka terlihat lelah, tapi wajah mereka tetap berusaha menunjukkan senyum. "Bu, kok Paman Ramli mendorong Kak Adnan?" tanya Ami, dengan polosny. Matanya menatapku, lalu beralih ke Adnan yang duduk di sampingnya. Aku menoleh ke arah Adnan. Putra sulungku yang baru berusia sebelas tahun itu hanya bisa tersenyum kecil, memaksakan ekspresi yang terlihat kuat di depan adik-adiknya. "Jangan dipikirkan, Mi!" ujarnya pelan, sambil mengusap kepala Ami dengan lembut. Nada suaranya terdengar tenang, ta

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 2

    Baru saja aku melangkah masuk ke dalam rumah, pandanganku langsung tertuju pada ketiga anakku yang sudah berpakaian rapi. Mereka tampak bersiap dengan penuh semangat. Meski pakaian mereka jauh dari kata mahal atau bagus, setidaknya masih layak untuk dipakai. Namun, di mataku, mereka selalu tampak istimewa, apa pun yang mereka kenakan. "Mau ke mana?" tanyaku, menghampiri mereka. "Ibu lupa? Kita kan mau ke rumah Nenek? Ayo, Bu!" sahut Ami, si bungsu, sambil menarik tanganku, begitu antusias. Aku terdiam sesaat. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku menjelaskan pada mereka bahwa kami tidak diundang? Tapi, bagaimana nanti perasaan mereka jika tahu kebenarannya? "Bu, ayo!" seru Malik, membuyarkan lamunanku. Aku menatap ketiganya. Wajah penuh harap itu membuatku tidak tega mengecewakan mereka. Akhirnya, dengan berat hati, aku mengangguk pelan. "Ibu ganti pakaian dulu." Langkahku terasa berat saat berjalan menuju kamar kecil yang tidak berpintu, hanya ditutupi tirai lusuh yang s

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 1

    "Tah, kok masih dekil aja?" Suara Bu Marni memecah keheningan pagi ini, menyelinap masuk ke telingaku tanpa permisi. Aku baru saja selesai menyapu halaman depan rumah, berniat merapikan tempat yang akan kujadikan kedai kecil. Tapi, seperti biasa, kata-kata pedas Bu Marni lebih cepat datang daripada niat baik orang lain. Aku hanya bisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan hati. "Masih pagi, Bu," jawabku singkat, tanpa menatapnya. Seakan tidak peduli dengan reaksi dinginku, Bu Marni justru mendekat. Tangannya terangkat, menunjukkan kantong plastik bening berisi gulai kambing yang masih panas.. “Nih, lihat! Saya bawa gulai kambing,” Mataku beralih pada plastik itu. Isinya memang gulai kambing, lengkap dengan minyak yang tampak mengkilap di permukaan kuahnya. Aromanya mulai tercium samar. Namun, aku tidak bertanya, tidak juga berkomentar. “Kamu nggak ke rumah Ibumu?” Bu Marni bertanya, nadanya seperti menyindir. “Saya baru pulang dari sana, nih. Dikasih ini. Di sana lagi ada

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status