Share

Bab 7

Penulis: Lia Scorpio
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-18 09:11:09

 Pagi itu, mentari belum sepenuhnya meninggi, namun langkahku sudah mantap menyusuri jalan raya yang menghubungkan rumahku dengan kampung sebelah. Anak-anakku telah berangkat sekolah, meninggalkan rumah dengan semangat. Setelah memastikan mereka pergi, kini giliran aku yang harus menghadapi hari.

Langkah ini terasa berat, bukan karena jarak yang harus kutempuh, tetapi karena bayangan apa yang menantiku di sana. Entah, pekerjaan apa yang dimaksud Ibu kemarin, aku hanya berharap kali ini tidak ada hinaan atau kata-kata tajam yang menyayat hati. Namun, jauh di dalam hati, aku tahu harapan itu terlalu tinggi untuk dipanjatkan.

Jalanan pagi itu mulai ramai oleh anak-anak yang berjalan menuju sekolah dan ibu-ibu yang berjalan menuju pasar. Mereka membawa kantong belanja dengan mengobrol ringan, yang sesekali diwarnai tawa.

 Aku berjalan di antara mereka, tetapi kehadiranku seolah hanya bayangan. Tidak ada sapaan, tidak ada senyuman. Justru yang kuterima adalah tatapan sinis, seakan keberadaanku membawa noda yang tak diinginkan.

Tapi, aku terus melangkah. Satu kilometer, dua kilometer, hingga akhirnya rumah masa kecilku terlihat di ujung jalan.

“Assalamualaikum, Bu!” Aku mengetuk pintu dengan perlahan, suaraku melantun penuh harap.

Namun, tidak ada jawaban. Tidak ada langkah kaki yang mendekat. Aku menunggu beberapa saat, mengetuk lagi dengan sedikit lebih keras, tetapi tetap saja sepi.

Hingga tiba-tiba suara seseorang terdengar dari arah belakang. “Tah, sedang apa di situ?”

Aku berbalik, melihat Ibu berjalan mendekat dengan satu kantong besar nasi bungkus di tangannya. Pandangannya tidak berubah, masih sama seperti biasanya, dingin dan penuh ketidakpedulian.

Aku membuka mulut ingin menjawab, tapi Ibu melewatiku begitu saja. Ibu berjalan cepat menuju pintu rumah, membuka kuncinya, dan masuk tanpa sepatah kata.

 Aku mengikuti, tapi ketika kakiku hampir melewati ambang pintu, Ibu berbalik, menghadang langkahku dengan tatapan yang menusuk.

“Eh, mau ngapain?” tanya Ibu tajam, alisnya terangkat tinggi.

“Masuk, Bu. Kan Ibu yang manggil aku ke sini?” sahutku, bingung dengan sikapnya yang selalu seperti ini.

“Lewat samping sana! Kayak tamu penting aja, lewat depan segala. Sana, sana!” Ibu mengibas-ngibaskan tangannya, seolah aku adalah lalat yang mengganggu.

Aku terdiam, tak ingin memperpanjang masalah. Tanpa berkata apa-apa, aku menahan napas dan berbalik, berjalan menuju pintu samping yang lebih kecil dan sempit. Pintu itu jarang digunakan, bahkan ketika aku masih kecil. Masuk melalui sana selalu terasa seperti pengingat bahwa aku bukan bagian yang penting.

Pintu itu sudah terbuka,  aku melangkah masuk ke dapur yang masih sama seperti dulu, dingin, dan penuh kenangan pahit. Ingin rasanya aku berbalik, meninggalkan semua ini, kembali ke rumahku yang meski sederhana tetapi penuh kasih sayang dari anak-anakku. Namun, aku tidak bisa. Aku tahu, jika aku melakukannya, kemarahan Ibu akan lebih besar lagi nanti.

“Ibu mau aku bantu apa?” tanyaku pelan, berdiri di ambang dapur, mencoba mencari keberadaan Ibu yang kini entah ada di mana.

Suara langkah Ibu terdengar dari arah ruang depan,  kemudian Ibu muncul dengan tatapan yang penuh penilaian.

“Cuci itu semua, Tah!” titah Ibu, menunjuk tumpukan piring kotor yang hampir memenuhi bak cuci.

Aku mengangguk, berjalan mendekat tanpa berkata apa-apa lagi. Tanganku segera bekerja, membasuh piring satu per satu. Air dingin menyentuh kulitku, tapi aku tidak memperdulikannya. Pikiranku melayang ke tempat lain, ke rumah kecilku, ke anak-anak yang sedang belajar di sekolah, dan ke tawa mereka yang selalu berhasil menghapus semua rasa lelah.

Tiba-tiba suara Ibu memecah lamunanku. “Cepat sedikit! Kalau lambat, kapan mau selesai?”

Aku hanya mengangguk lagi, mempercepat gerakan tanganku. Tidak ada gunanya menjawab. Semua yang kukatakan hanya akan dianggap salah, dan aku tidak ingin mendengar lebih banyak lagi.

Setelah selesai mencuci, Ibu memintaku untuk menyapu halaman belakang yang penuh dengan dedaunan kering. Tidak ada ucapan terima kasih, tidak ada penghargaan. Hanya perintah demi perintah yang keluar dari mulutnya.

Sementara aku menyapu, Ibu duduk di teras, makan dari salah satu nasi bungkus yang dibawanya tadi. Sesekali dia melirik ke arahku, tetapi tidak ada percakapan.

Ketika pekerjaan selesai, aku berdiri di depan Ibu, menunggu instruksi selanjutnya. Ibu hanya mengangkat tangan, seolah menyuruhku pergi.

 

 "Cuci sekalian pakaian kotor, Tah. Sudah tiga hari itu numpuk,"

 Aku kembali berjalan menuju mesin cuci. Baru saja ingin memasukan air ke dalamnya. Ibu sudah menahanku.

  "Mesin cucinya rusak. Cuci pakai tangan saja!" ujar Ibu.

 Rusak? Apa Ibu serius memintaku mencuci sebanyak ini menggunakan tangan?

 "Udah, buruan!" Sambung Ibu, dengan terpaksa aku kerjakan semuanya.

 Hampir dua jam lebih, akhirnya aku selesai juga. Tangan rasanya sakit, mengucek dan menyikay satu gunung pakaian kotor itu.

 "Bu, sudah selesai semuanya," ucapku, mendekat.

 “Sudah selesai? Nih, ambil! Pulang sana! Anak-anakmu pasti sudah lapar, kan?” ucap Ibu, tanpa sedikit pun menatapku, menyerahkan selembar uang.

Aku mengangguk pelan, tangan ini gemetar menerima uang pemberian Ibu. 

 "Ambil, Tah! Hidup miskin dan serba kekurangan aja masih mikir-mikir dikasih uang," ujar Ibu.

 Setelah menerima uang itu. Aku berpamitan dan pergi meninggalkan rumah Ibu. Rasanya berat meninggalkan tempat ini, bukan karena keterikatan, tetapi karena luka yang selalu kubawa pulang setelahnya.

Aku melangkah pulang, mencoba menghapus rasa sakit itu dengan mengingat wajah ceria anak-anakku yang pasti akan menyambutku nanti. Hanya mereka yang membuat semua ini terasa layak untuk dijalani.

 Sepanjang perjalanan pulang, aku menatap lekat-lekat selembar uang berwarna biru di tanganku. Lima puluh ribu. Angka yang tak seberapa, namun cukup untuk membeli kebutuhan dapur hari ini. Tapi, entah kenapa, perasaan ini bercampur aduk. Ada rasa syukur, ada pula rasa perih yang sulit kujelaskan.

 Perutku terasa keroncongan sejak tadi. Saat aku menyapu halaman rumah Ibu tadi, aroma nasi bungkus itu menusuk penciumanku, membuat rasa lapar semakin nyata. Aku bisa mendengar suara-suara tawa kecil dari dalam rumah, suara adik-adikku, ipar-iparku, juga anak-anak mereka, yang menginap semalam. Mereka pasti sedang makan dengan lahap. Aku tahu, sebab Ibu membawa banyak sekali nasi bungkus tadi.

Namun, tidak ada sebungkus pun yang ditawarkan untukku. Tidak sepatah kata pun yang menyuruhku duduk dan bergabung.

“Nasi ini hanya cukup untuk mereka,” ucap Ibu dengan tegas, saat aku melirik ke arah kantong besar di tangannya. Kata-kata itu masih terngiang-ngiang di telingaku, menggema di hati yang sudah penuh dengan luka.

Aku melangkah pelan di jalanan berdebu, membiarkan kaki ini membawa tubuh yang lelah menuju rumah kecilku. Di sepanjang perjalanan, bayangan cerita Bu Kasmi kembali menyeruak di benakku, mencabik-cabik perasaan yang sudah terkikis. Ibu, yang kemarin begitu royal membagi uang seratus ribu kepada orang lain, kini hanya memberiku lima puluh ribu setelah memintaku bekerja  setengah hari lebih di rumahnya.

Apakah aku salah jika merasa kecewa? Bukankah aku juga anaknya? Bukankah ketiga anakku juga cucunya? Namun, perhatian itu seolah tidak pernah ada untuk kami. Seperti kami hanyalah bayangan tak kasat mata di mata Ibu, tak layak mendapat tempat di hatinya.

Aku menggenggam erat uang itu, seakan berusaha meredam perasaan yang semakin tak terkendali. Ada dorongan untuk membuang uang ini, membiarkannya lenyap di antara debu jalanan. Tapi, aku tidak bisa. Uang ini sangat berarti untuk hidup kami yang sulit ini.

Langkahku terasa semakin berat, bukan karena lelah, tetapi karena kenyataan yang menghimpit hati. Aku menengadah ke langit yang mulai mendung, mencoba menenangkan diri. Mungkin ini hanya ujian, aku meyakinkan diriku sendiri. Tapi, mengapa rasanya begitu sulit? 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 8

    Hari yang mungkin ditunggu-tunggu oleh adikku akhirnya tiba. Hari ini adalah hari resepsi pernikahannya, di rumah Ibu. Sebuah pesta besar yang sejak jauh-jauh hari sudah dipersiapkan dengan penuh kesibukan, melibatkan banyak orang, dan tentunya menghabiskan banyak uang. Namun, tidak ada sedikitpun keterlibatanku dalam acara itu selain membersihkan rumah Ibu beberapa waktu lalu.Aku duduk di ruang tengah, memandang ke luar jendela. Matahari bersinar terik, membuat suasana semakin bising oleh hiruk pikuk orang-orang yang melintas. Para tetangga sedang bersiap pergi ke rumah Ibu, membawa hadiah dan senyuman. Namun, aku memilih untuk tetap berada di dalam rumah bersama ketiga anakku. Rasanya lebih baik begini, menjauhkan diri dari pertanyaan-pertanyaan yang menyakitkan."Bu, hari ini nggak buka kedai?" tanya Malik, yang duduk tak jauh dariku.Aku menoleh, berusaha tersenyum kecil. “Nggak, Nak. Kebetulan Ibu belum belanja bahan jualan. Kita ngumpul di rumah aja. Jarang-jarangkan kita ng

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-19
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 1

    "Tah, kok masih dekil aja?" Suara Bu Marni memecah keheningan pagi ini, menyelinap masuk ke telingaku tanpa permisi. Aku baru saja selesai menyapu halaman depan rumah, berniat merapikan tempat yang akan kujadikan kedai kecil. Tapi, seperti biasa, kata-kata pedas Bu Marni lebih cepat datang daripada niat baik orang lain. Aku hanya bisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan hati. "Masih pagi, Bu," jawabku singkat, tanpa menatapnya. Seakan tidak peduli dengan reaksi dinginku, Bu Marni justru mendekat. Tangannya terangkat, menunjukkan kantong plastik bening berisi gulai kambing yang masih panas.. “Nih, lihat! Saya bawa gulai kambing,” Mataku beralih pada plastik itu. Isinya memang gulai kambing, lengkap dengan minyak yang tampak mengkilap di permukaan kuahnya. Aromanya mulai tercium samar. Namun, aku tidak bertanya, tidak juga berkomentar. “Kamu nggak ke rumah Ibumu?” Bu Marni bertanya, nadanya seperti menyindir. “Saya baru pulang dari sana, nih. Dikasih ini. Di sana lagi ada

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 2

    Baru saja aku melangkah masuk ke dalam rumah, pandanganku langsung tertuju pada ketiga anakku yang sudah berpakaian rapi. Mereka tampak bersiap dengan penuh semangat. Meski pakaian mereka jauh dari kata mahal atau bagus, setidaknya masih layak untuk dipakai. Namun, di mataku, mereka selalu tampak istimewa, apa pun yang mereka kenakan. "Mau ke mana?" tanyaku, menghampiri mereka. "Ibu lupa? Kita kan mau ke rumah Nenek? Ayo, Bu!" sahut Ami, si bungsu, sambil menarik tanganku, begitu antusias. Aku terdiam sesaat. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku menjelaskan pada mereka bahwa kami tidak diundang? Tapi, bagaimana nanti perasaan mereka jika tahu kebenarannya? "Bu, ayo!" seru Malik, membuyarkan lamunanku. Aku menatap ketiganya. Wajah penuh harap itu membuatku tidak tega mengecewakan mereka. Akhirnya, dengan berat hati, aku mengangguk pelan. "Ibu ganti pakaian dulu." Langkahku terasa berat saat berjalan menuju kamar kecil yang tidak berpintu, hanya ditutupi tirai lusuh yang s

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 3

    Kami pulang dengan langkah berat, membawa rasa sesak di dada yang tak terlukiskan. Terik matahari yang membakar kulit seperti tak ada artinya dibandingkan panas amarah dan kecewa yang mendidih di dalam hati. Bukannya sambutan hangat yang aku dapatkan, justru hinaan yang aku terima. Hinaan dari adik kandungku sendiri, yang seharusnya memahami seperti apa perjuanganku selama ini. Setibanya di rumah, aku segera mengajak anak-anakku duduk di lantai yang beralaskan tikar anyaman. Kaki-kaki kecil mereka terlihat lelah, tapi wajah mereka tetap berusaha menunjukkan senyum. "Bu, kok Paman Ramli mendorong Kak Adnan?" tanya Ami, dengan polosny. Matanya menatapku, lalu beralih ke Adnan yang duduk di sampingnya. Aku menoleh ke arah Adnan. Putra sulungku yang baru berusia sebelas tahun itu hanya bisa tersenyum kecil, memaksakan ekspresi yang terlihat kuat di depan adik-adiknya. "Jangan dipikirkan, Mi!" ujarnya pelan, sambil mengusap kepala Ami dengan lembut. Nada suaranya terdengar tenang, ta

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 4

    Aku bangkit dan melangkah menuju pintu, membuka dengan perlahan. Di depan sana, berdiri seorang perempuan yang begitu kukenal. Sari, istri adik kandungku, Ramli. "Sari? Ada apa?" tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku tetap biasa saja. Dia tersenyum tipis, tapi ada ekspresi sinis yang jelas terlihat di wajahnya. "Eh, Kak Sitah. Ini, Kak. Aku bawain sesuatu. Mas Ramli bilang Kakak tadi sempat datang ke rumah Ibu. Pasti mau cari makan gratis, ya?" katanya tanpa basa-basi. Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Tapi, dia terus melanjutkan, seolah tak peduli dengan reaksiku. "Karena itu Mas Ramli minta aku bawain ini. Bukan gulai kambing, sih, seperti yang Kakak bayangkan. Cuma nasi putih yang lebihan. Soalnya gulai kambingnya sudah habis Ibu bagi-bagi ke tamu dan tetangga," Dengan cepat dia menyodorkan kantong plastik kecil itu ke tanganku. Aku ingin menolak, tapi dia memaksa, menyelipkan bungkusan itu ke tanganku dengan tergesa. "Terima aja, Kak! Lumayan buat ganjel perut ana

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 5

    Subuh hari, setelah memastikan semua kebutuhan sekolah ketiga anakku lengkap, aku segera berpamitan pada Adnan dan Malik. Mereka baru saja pulang dari mushola setelah menunaikan sholat subuh berjamaah. Wajah mereka masih terlihat segar, meski udara pagi sangat dingin menusuk. “Mau ke mana sepagi ini, Bu?” tanya Adnan, menatapku yang tengah bersiap dengan raut wajah penasaran. “Ibu ada kerjaan, Nan. Mau bantu Bu Santi di ladang. Katanya mau panen jagung. Jadi Ibu harus bantu nyiapin perlengkapannya dulu di rumah,” sahutku sambil melilitkan selendang ke bahu untuk menghalau dingin. “Oh, ke kebun jagung Bu Santi? Ibu lama di sana?” Malik ikut bertanya. “Belum tahu, Mal. Tapi, kalau kalian sudah pulang sekolah, dan Ibu masih belum pulang, susul saja ke kebun jagung!” Pesanku sambil mengusap kepala mereka. Keduanya mengangguk patuh. Aku tahu mereka anak-anak yang baik dan pengertian. “Nan, tolong bantu Ami bersiap ke sekolah nanti, ya! Ibu minta tolong. Oh iya, tadi Ibu sudah bikin

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 6

    “Bu Kasmi, beli berasnya lima kilo, ya,” ucapku saat mampir ke warung sembako sepulang dari rumah Bu Santi.Ketiga anakku berdiri tidak jauh dariku. Mereka mengobrol pelan, mungkin membicarakan hal-hal kecil yang mereka temui di jalan tadi.“Tumben beli lima kilo, Tah? Habis dapat rezeki nomplok dari ibumu tempo lalu, ya?” tanya Bu Kasmi sambil sibuk menimbang beras.Keningku berkerut mendengar pertanyaan itu. Rezeki nomplok dari mana? Aku tak tahu apa yang Bu Kasmi maksud. Memangnya ibu ada bagi-bagi uang?“Saya baru pulang dari rumah Bu Santi, Bu Kasmi. Habis bantu panen jagung,” jawabku mencoba menjelaskan.“Oalah… bantu panen jagung Bu Santi? Saya kira dapat dari Ibu Fatma. Soalnya pas acara hajatan aqiqah kemarin, sebelum acaranya dimulai, ibu kamu itu manggil anak-anak yatim. Terus dikasih amplop. Anaknya Bu Sairi saja dapat seratus ribu, katanya,” ujar Bu Kasmi santai sambil merapikan beras ke dalam bungkusan.Aku terdiam. Ibu membagi-bagikan uang kepada anak-anak yatim? Tapi,

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-17

Bab terbaru

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 8

    Hari yang mungkin ditunggu-tunggu oleh adikku akhirnya tiba. Hari ini adalah hari resepsi pernikahannya, di rumah Ibu. Sebuah pesta besar yang sejak jauh-jauh hari sudah dipersiapkan dengan penuh kesibukan, melibatkan banyak orang, dan tentunya menghabiskan banyak uang. Namun, tidak ada sedikitpun keterlibatanku dalam acara itu selain membersihkan rumah Ibu beberapa waktu lalu.Aku duduk di ruang tengah, memandang ke luar jendela. Matahari bersinar terik, membuat suasana semakin bising oleh hiruk pikuk orang-orang yang melintas. Para tetangga sedang bersiap pergi ke rumah Ibu, membawa hadiah dan senyuman. Namun, aku memilih untuk tetap berada di dalam rumah bersama ketiga anakku. Rasanya lebih baik begini, menjauhkan diri dari pertanyaan-pertanyaan yang menyakitkan."Bu, hari ini nggak buka kedai?" tanya Malik, yang duduk tak jauh dariku.Aku menoleh, berusaha tersenyum kecil. “Nggak, Nak. Kebetulan Ibu belum belanja bahan jualan. Kita ngumpul di rumah aja. Jarang-jarangkan kita ng

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 7

    Pagi itu, mentari belum sepenuhnya meninggi, namun langkahku sudah mantap menyusuri jalan raya yang menghubungkan rumahku dengan kampung sebelah. Anak-anakku telah berangkat sekolah, meninggalkan rumah dengan semangat. Setelah memastikan mereka pergi, kini giliran aku yang harus menghadapi hari.Langkah ini terasa berat, bukan karena jarak yang harus kutempuh, tetapi karena bayangan apa yang menantiku di sana. Entah, pekerjaan apa yang dimaksud Ibu kemarin, aku hanya berharap kali ini tidak ada hinaan atau kata-kata tajam yang menyayat hati. Namun, jauh di dalam hati, aku tahu harapan itu terlalu tinggi untuk dipanjatkan.Jalanan pagi itu mulai ramai oleh anak-anak yang berjalan menuju sekolah dan ibu-ibu yang berjalan menuju pasar. Mereka membawa kantong belanja dengan mengobrol ringan, yang sesekali diwarnai tawa. Aku berjalan di antara mereka, tetapi kehadiranku seolah hanya bayangan. Tidak ada sapaan, tidak ada senyuman. Justru yang kuterima adalah tatapan sinis, seakan keberada

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 6

    “Bu Kasmi, beli berasnya lima kilo, ya,” ucapku saat mampir ke warung sembako sepulang dari rumah Bu Santi.Ketiga anakku berdiri tidak jauh dariku. Mereka mengobrol pelan, mungkin membicarakan hal-hal kecil yang mereka temui di jalan tadi.“Tumben beli lima kilo, Tah? Habis dapat rezeki nomplok dari ibumu tempo lalu, ya?” tanya Bu Kasmi sambil sibuk menimbang beras.Keningku berkerut mendengar pertanyaan itu. Rezeki nomplok dari mana? Aku tak tahu apa yang Bu Kasmi maksud. Memangnya ibu ada bagi-bagi uang?“Saya baru pulang dari rumah Bu Santi, Bu Kasmi. Habis bantu panen jagung,” jawabku mencoba menjelaskan.“Oalah… bantu panen jagung Bu Santi? Saya kira dapat dari Ibu Fatma. Soalnya pas acara hajatan aqiqah kemarin, sebelum acaranya dimulai, ibu kamu itu manggil anak-anak yatim. Terus dikasih amplop. Anaknya Bu Sairi saja dapat seratus ribu, katanya,” ujar Bu Kasmi santai sambil merapikan beras ke dalam bungkusan.Aku terdiam. Ibu membagi-bagikan uang kepada anak-anak yatim? Tapi,

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 5

    Subuh hari, setelah memastikan semua kebutuhan sekolah ketiga anakku lengkap, aku segera berpamitan pada Adnan dan Malik. Mereka baru saja pulang dari mushola setelah menunaikan sholat subuh berjamaah. Wajah mereka masih terlihat segar, meski udara pagi sangat dingin menusuk. “Mau ke mana sepagi ini, Bu?” tanya Adnan, menatapku yang tengah bersiap dengan raut wajah penasaran. “Ibu ada kerjaan, Nan. Mau bantu Bu Santi di ladang. Katanya mau panen jagung. Jadi Ibu harus bantu nyiapin perlengkapannya dulu di rumah,” sahutku sambil melilitkan selendang ke bahu untuk menghalau dingin. “Oh, ke kebun jagung Bu Santi? Ibu lama di sana?” Malik ikut bertanya. “Belum tahu, Mal. Tapi, kalau kalian sudah pulang sekolah, dan Ibu masih belum pulang, susul saja ke kebun jagung!” Pesanku sambil mengusap kepala mereka. Keduanya mengangguk patuh. Aku tahu mereka anak-anak yang baik dan pengertian. “Nan, tolong bantu Ami bersiap ke sekolah nanti, ya! Ibu minta tolong. Oh iya, tadi Ibu sudah bikin

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 4

    Aku bangkit dan melangkah menuju pintu, membuka dengan perlahan. Di depan sana, berdiri seorang perempuan yang begitu kukenal. Sari, istri adik kandungku, Ramli. "Sari? Ada apa?" tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku tetap biasa saja. Dia tersenyum tipis, tapi ada ekspresi sinis yang jelas terlihat di wajahnya. "Eh, Kak Sitah. Ini, Kak. Aku bawain sesuatu. Mas Ramli bilang Kakak tadi sempat datang ke rumah Ibu. Pasti mau cari makan gratis, ya?" katanya tanpa basa-basi. Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Tapi, dia terus melanjutkan, seolah tak peduli dengan reaksiku. "Karena itu Mas Ramli minta aku bawain ini. Bukan gulai kambing, sih, seperti yang Kakak bayangkan. Cuma nasi putih yang lebihan. Soalnya gulai kambingnya sudah habis Ibu bagi-bagi ke tamu dan tetangga," Dengan cepat dia menyodorkan kantong plastik kecil itu ke tanganku. Aku ingin menolak, tapi dia memaksa, menyelipkan bungkusan itu ke tanganku dengan tergesa. "Terima aja, Kak! Lumayan buat ganjel perut ana

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 3

    Kami pulang dengan langkah berat, membawa rasa sesak di dada yang tak terlukiskan. Terik matahari yang membakar kulit seperti tak ada artinya dibandingkan panas amarah dan kecewa yang mendidih di dalam hati. Bukannya sambutan hangat yang aku dapatkan, justru hinaan yang aku terima. Hinaan dari adik kandungku sendiri, yang seharusnya memahami seperti apa perjuanganku selama ini. Setibanya di rumah, aku segera mengajak anak-anakku duduk di lantai yang beralaskan tikar anyaman. Kaki-kaki kecil mereka terlihat lelah, tapi wajah mereka tetap berusaha menunjukkan senyum. "Bu, kok Paman Ramli mendorong Kak Adnan?" tanya Ami, dengan polosny. Matanya menatapku, lalu beralih ke Adnan yang duduk di sampingnya. Aku menoleh ke arah Adnan. Putra sulungku yang baru berusia sebelas tahun itu hanya bisa tersenyum kecil, memaksakan ekspresi yang terlihat kuat di depan adik-adiknya. "Jangan dipikirkan, Mi!" ujarnya pelan, sambil mengusap kepala Ami dengan lembut. Nada suaranya terdengar tenang, ta

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 2

    Baru saja aku melangkah masuk ke dalam rumah, pandanganku langsung tertuju pada ketiga anakku yang sudah berpakaian rapi. Mereka tampak bersiap dengan penuh semangat. Meski pakaian mereka jauh dari kata mahal atau bagus, setidaknya masih layak untuk dipakai. Namun, di mataku, mereka selalu tampak istimewa, apa pun yang mereka kenakan. "Mau ke mana?" tanyaku, menghampiri mereka. "Ibu lupa? Kita kan mau ke rumah Nenek? Ayo, Bu!" sahut Ami, si bungsu, sambil menarik tanganku, begitu antusias. Aku terdiam sesaat. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku menjelaskan pada mereka bahwa kami tidak diundang? Tapi, bagaimana nanti perasaan mereka jika tahu kebenarannya? "Bu, ayo!" seru Malik, membuyarkan lamunanku. Aku menatap ketiganya. Wajah penuh harap itu membuatku tidak tega mengecewakan mereka. Akhirnya, dengan berat hati, aku mengangguk pelan. "Ibu ganti pakaian dulu." Langkahku terasa berat saat berjalan menuju kamar kecil yang tidak berpintu, hanya ditutupi tirai lusuh yang s

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 1

    "Tah, kok masih dekil aja?" Suara Bu Marni memecah keheningan pagi ini, menyelinap masuk ke telingaku tanpa permisi. Aku baru saja selesai menyapu halaman depan rumah, berniat merapikan tempat yang akan kujadikan kedai kecil. Tapi, seperti biasa, kata-kata pedas Bu Marni lebih cepat datang daripada niat baik orang lain. Aku hanya bisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan hati. "Masih pagi, Bu," jawabku singkat, tanpa menatapnya. Seakan tidak peduli dengan reaksi dinginku, Bu Marni justru mendekat. Tangannya terangkat, menunjukkan kantong plastik bening berisi gulai kambing yang masih panas.. “Nih, lihat! Saya bawa gulai kambing,” Mataku beralih pada plastik itu. Isinya memang gulai kambing, lengkap dengan minyak yang tampak mengkilap di permukaan kuahnya. Aromanya mulai tercium samar. Namun, aku tidak bertanya, tidak juga berkomentar. “Kamu nggak ke rumah Ibumu?” Bu Marni bertanya, nadanya seperti menyindir. “Saya baru pulang dari sana, nih. Dikasih ini. Di sana lagi ada

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status