Subuh hari, setelah memastikan semua kebutuhan sekolah ketiga anakku lengkap, aku segera berpamitan pada Adnan dan Malik. Mereka baru saja pulang dari mushola setelah menunaikan sholat subuh berjamaah. Wajah mereka masih terlihat segar, meski udara pagi sangat dingin menusuk.
“Mau ke mana sepagi ini, Bu?” tanya Adnan, menatapku yang tengah bersiap dengan raut wajah penasaran. “Ibu ada kerjaan, Nan. Mau bantu Bu Santi di ladang. Katanya mau panen jagung. Jadi Ibu harus bantu nyiapin perlengkapannya dulu di rumah,” sahutku sambil melilitkan selendang ke bahu untuk menghalau dingin. “Oh, ke kebun jagung Bu Santi? Ibu lama di sana?” Malik ikut bertanya. “Belum tahu, Mal. Tapi, kalau kalian sudah pulang sekolah, dan Ibu masih belum pulang, susul saja ke kebun jagung!” Pesanku sambil mengusap kepala mereka. Keduanya mengangguk patuh. Aku tahu mereka anak-anak yang baik dan pengertian. “Nan, tolong bantu Ami bersiap ke sekolah nanti, ya! Ibu minta tolong. Oh iya, tadi Ibu sudah bikin sarapan untuk kalian. Jangan lupa dimakan! Maaf, Ibu cuma bisa masak nasi goreng, sisa nasi tadi malam. Enggak apa-apa, kan?” “Enggak apa-apa, Bu. Adnan suka nasi goreng buatan Ibu. Hati-hati di jalan, Bu!” ujar Adnan dengan senyum kecil, sebelum menyalimiku. Malik pun ikut-ikutan menyalimiku dengan hangat. Sebelum benar-benar melangkah pergi, aku kembali mengingatkan mereka agar tidak bermain api saat aku tidak di rumah, juga untuk mengunci pintu dan tidak membukanya untuk orang asing. Setelah dirasa aman, aku meninggalkan rumah, saat mendengar suara pintu ditutup dan dikunci dari dalam oleh Adnan. Hari masih gelap, dan hawa dingin terasa menusuk tulang saat aku berjalan cepat menuju rumah Bu Santi. Jalan setapak yang kulewati dipenuhi embun, membuat kakiku sedikit menggigil. Tapi, aku menahannya, menguatkan diri demi pekerjaan yang sudah menunggu di depan mata. Setibanya di rumah Bu Santi, aku mendapati wanita yang usianya sebaya dengan ibuku itu sedang sibuk di belakang rumah. Dia tampak mempersiapkan sesuatu, aku langsung menghampirinya. “Sitah? Pagi sekali datangnya. Ini masih subuh, loh,” ucap Bu Santi, sambil menoleh ke arahku. “Hehehe… Iya, Bu. Tadi selesai sholat subuh, saya langsung ke sini,” jawabku sambil tersenyum malu. “Hem, ya sudah. Bantu saya siapin alat-alatnya, ya! Hari ini kerja kita lumayan lama. Saya juga mau masak buat kita makan nanti di kebun,” ujarnya ramah. Aku mengangguk, lalu bergegas membantu menyiapkan peralatan. Ada beberapa karung besar yang digunakan untuk menampung hasil panen, parang kecil untuk memotong batang jagung, juga wadah plastik besar untuk membawa makanan dan minuman. Aku membersihkan dan memastikan semuanya dalam kondisi siap pakai. Setelah alat-alat selesai disiapkan, aku menyusul Bu Santi ke dapur. Wanita itu sedang sibuk memasak untuk bekal kami nanti di ladang. Aku membantu apa yang bisa kubantu, termasuk menyiapkan wadah dan melipat daun pisang sebagai pembungkus makanan. “Tah, letakkan wadahnya di sini!” pinta Bu Santi, menunjuk meja di sudut dapur. Aku segera melakukannya, sementara Bu Santi terus mengaduk masakannya yang mengeluarkan aroma menggoda. “Oh iya, Tah. Tempo hari, kamu pergi ke rumah ibu kamu, enggak?” tanya Bu Santi tiba-tiba, disela kesibukannya. Pertanyaan itu membuatku terdiam sejenak. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Namun, akhirnya aku mengangguk pelan. “Ramai sekali, kan, di sana? Memangnya itu aqiqah untuk siapa, Tah?” tanya Bu Marni lagi, kali ini dengan nada penasaran. Aku kembali terdiam. Apa yang harus kujelaskan? Aku bahkan tidak tahu acara itu untuk siapa. “Saya tidak tahu, Bu,” Bu Santi menoleh, tampak terkejut. “Tidak tahu? Bukannya kamu ada di sana juga?” “Saya cuma sampai depan rumah saja, Bu. Tidak sampai masuk ke dalam,” jawabku jujur, meski hatiku terasa berat mengakui hal itu. Bu Santi menghela napas panjang, lalu menatapku dengan pandangan penuh empati. “Kamu tidak diundang Bu Fatma, ya?” tanyanya hati-hati. Aku mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan rasa yang kembali terasa menyakitkan. “Yang sabar, Tah! Ibu kira kamu menikmati jamuan di sana. Ibu juga tidak sempat datang. Tiga hari sebelum acara, Ibu sempat ketemu ibumu di pasar. Saat itu Ibu sedang membawa hasil kebun untuk dijual, dan kebetulan ibumu sedang membeli bahan-bahan. Di situ, ibumu mengundang Ibu. Ibu kira kamu juga diundang,” Cerita Bu Santi. Aku memaksakan senyum kecil. “Enggak apa-apa, Bu. Mungkin Ibu lupa mengundang saya,” sahutku lirih. Bu Santi menepuk pundakku pelan. “Yang sabar, ya, Tah! Suatu saat nanti, orang tua kamu pasti membutuhkanmu. Jangan berhenti berdoa untuk mereka. Allah itu Maha Mendengar doa hamba-Nya. Mungkin sekarang mereka lupa dengan kamu, tapi siapa yang tahu, suatu saat mereka memerlukanmu?” ucap Bu Santi, menasihatiku dengan lembut. Hampir saja air mataku jatuh mendengar kata-kata itu. Beliau tahu betul bagaimana aku diperlakukan selama ini. “Terkadang, anak yang dianggap tidak berguna dan diasingkan, doanya lebih sering dilangitkan daripada anak yang selalu dibanggakan. Ibu sudah menikah hampir tiga puluh dua tahun. Ibu juga punya tiga anak. Masing-masing anak punya takdirnya sendiri-sendiri, punya karakternya sendiri. Belum tentu anak yang dibanggakan itu bisa merawat saat tua nanti. Bisa jadi, anak yang diasingkanlah yang akan merawatnya nanti,” Aku menatap Bu Santi dengan dada yang semakin sesak. Kata-katanya seperti menancap tepat di dadaku. Aku tahu apa yang dikatakannya benar, tapi rasa sakit itu tetap ada. Aku hanya bisa mengangguk kecil, berusaha menerima nasihatnya dengan lapang dada. Langit yang gelap perlahan berubah terang ketika mentari mulai menyembul dari ufuk timur, menghangatkan pagi yang dingin. “Tah, tolong bawakan karung-karung ini!” seru Bu Santi sambil menunjuk tumpukan karung di dekat pintu. Aku segera meraih karung-karung itu, mengangkatnya dengan hati-hati agar tidak terlepas, lalu mengikuti langkah cepat Bu Santi menuju kebun jagung di belakang rumahnya. Begitu tiba, beberapa pekerja lain sudah berkumpul dan mulai sibuk dengan tugas masing-masing. Tanpa membuang waktu, aku langsung bekerja. Tanganku cekatan memilih dan memilah jagung-jagung yang sudah matang. Kesempatan seperti ini adalah anugerah bagiku. Pundi-pundi rupiah yang nanti kudapatkan bisa kugunakan untuk membeli kebutuhan pokok di rumah, terutama beras yang sudah habis. Panas terik semakin menyengat seiring berjalannya waktu, tapi aku tak peduli. Keringat mengucur deras di pelipisku, membasahi leher dan punggungku. Hampir setengah hari aku bekerja, mengisi karung-karung dengan jagung. Aku hanya ingin segera menyelesaikan tugas ini agar bisa cepat pulang ke rumah dan memastikan anak-anakku baik-baik saja. “Tah, makan dulu!” Panggil Bu Santi, melambaikan tangan dari bawah pohon rindang di sudut ladang. “Sebentar lagi, Bu!” sahutku, tangan ini masih sibuk menyelesaikan karung terakhir. Lima belas menit berlalu, dan akhirnya pekerjaan itu selesai. Dengan langkah tertatih, aku mengangkat karung besar berisi jagung, membawanya ke tempat di mana Bu Santi duduk menyiapkan makan siang. “Istirahat dulu, Tah! Jangan terlalu berlebihan,” Tegur Bu Santi sambil menyodorkan sepiring nasi hangat yang lengkap dengan sayur dan lauk sederhana. Aroma masakan itu menggugah selera, membuat perutku berbunyi. Namun, bayangan wajah ketiga putraku tiba-tiba melintas di pikiranku. Mereka pasti menunggu di rumah, dan aku tahu mereka tidak punya apapun untuk dimakan. Bagaimana bisa aku makan dengan tenang di sini? “Bu, saya minta dibungkus saja. Nanti makannya di rumah,” ucapku, menahan rasa lapar yang menghimpit. Bu Santi menatapku dengan dahi berkerut, seolah mengerti, ke mana arah yang aku maksud. “Kenapa dibawa pulang? Makan di sini saja, Tah! Soal anak-anakmu, jangan dipikirkan. Mereka sudah makan kok, tuh di sana sama Bapak!” ujar Bu Santi, sambil menunjuk ke arah pondok kecil tempat suaminya duduk bersama ketiga putraku dan beberapa pekerja lainnya.“Bu Kasmi, beli berasnya lima kilo, ya,” ucapku saat mampir ke warung sembako sepulang dari rumah Bu Santi.Ketiga anakku berdiri tidak jauh dariku. Mereka mengobrol pelan, mungkin membicarakan hal-hal kecil yang mereka temui di jalan tadi.“Tumben beli lima kilo, Tah? Habis dapat rezeki nomplok dari ibumu tempo lalu, ya?” tanya Bu Kasmi sambil sibuk menimbang beras.Keningku berkerut mendengar pertanyaan itu. Rezeki nomplok dari mana? Aku tak tahu apa yang Bu Kasmi maksud. Memangnya ibu ada bagi-bagi uang?“Saya baru pulang dari rumah Bu Santi, Bu Kasmi. Habis bantu panen jagung,” jawabku mencoba menjelaskan.“Oalah… bantu panen jagung Bu Santi? Saya kira dapat dari Ibu Fatma. Soalnya pas acara hajatan aqiqah kemarin, sebelum acaranya dimulai, ibu kamu itu manggil anak-anak yatim. Terus dikasih amplop. Anaknya Bu Sairi saja dapat seratus ribu, katanya,” ujar Bu Kasmi santai sambil merapikan beras ke dalam bungkusan.Aku terdiam. Ibu membagi-bagikan uang kepada anak-anak yatim? Tapi,
"Tah, kok masih dekil aja?" Suara Bu Marni memecah keheningan pagi ini, menyelinap masuk ke telingaku tanpa permisi. Aku baru saja selesai menyapu halaman depan rumah, berniat merapikan tempat yang akan kujadikan kedai kecil. Tapi, seperti biasa, kata-kata pedas Bu Marni lebih cepat datang daripada niat baik orang lain. Aku hanya bisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan hati. "Masih pagi, Bu," jawabku singkat, tanpa menatapnya. Seakan tidak peduli dengan reaksi dinginku, Bu Marni justru mendekat. Tangannya terangkat, menunjukkan kantong plastik bening berisi gulai kambing yang masih panas.. “Nih, lihat! Saya bawa gulai kambing,” Mataku beralih pada plastik itu. Isinya memang gulai kambing, lengkap dengan minyak yang tampak mengkilap di permukaan kuahnya. Aromanya mulai tercium samar. Namun, aku tidak bertanya, tidak juga berkomentar. “Kamu nggak ke rumah Ibumu?” Bu Marni bertanya, nadanya seperti menyindir. “Saya baru pulang dari sana, nih. Dikasih ini. Di sana lagi ada
Baru saja aku melangkah masuk ke dalam rumah, pandanganku langsung tertuju pada ketiga anakku yang sudah berpakaian rapi. Mereka tampak bersiap dengan penuh semangat. Meski pakaian mereka jauh dari kata mahal atau bagus, setidaknya masih layak untuk dipakai. Namun, di mataku, mereka selalu tampak istimewa, apa pun yang mereka kenakan. "Mau ke mana?" tanyaku, menghampiri mereka. "Ibu lupa? Kita kan mau ke rumah Nenek? Ayo, Bu!" sahut Ami, si bungsu, sambil menarik tanganku, begitu antusias. Aku terdiam sesaat. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku menjelaskan pada mereka bahwa kami tidak diundang? Tapi, bagaimana nanti perasaan mereka jika tahu kebenarannya? "Bu, ayo!" seru Malik, membuyarkan lamunanku. Aku menatap ketiganya. Wajah penuh harap itu membuatku tidak tega mengecewakan mereka. Akhirnya, dengan berat hati, aku mengangguk pelan. "Ibu ganti pakaian dulu." Langkahku terasa berat saat berjalan menuju kamar kecil yang tidak berpintu, hanya ditutupi tirai lusuh yang s
Kami pulang dengan langkah berat, membawa rasa sesak di dada yang tak terlukiskan. Terik matahari yang membakar kulit seperti tak ada artinya dibandingkan panas amarah dan kecewa yang mendidih di dalam hati. Bukannya sambutan hangat yang aku dapatkan, justru hinaan yang aku terima. Hinaan dari adik kandungku sendiri, yang seharusnya memahami seperti apa perjuanganku selama ini. Setibanya di rumah, aku segera mengajak anak-anakku duduk di lantai yang beralaskan tikar anyaman. Kaki-kaki kecil mereka terlihat lelah, tapi wajah mereka tetap berusaha menunjukkan senyum. "Bu, kok Paman Ramli mendorong Kak Adnan?" tanya Ami, dengan polosny. Matanya menatapku, lalu beralih ke Adnan yang duduk di sampingnya. Aku menoleh ke arah Adnan. Putra sulungku yang baru berusia sebelas tahun itu hanya bisa tersenyum kecil, memaksakan ekspresi yang terlihat kuat di depan adik-adiknya. "Jangan dipikirkan, Mi!" ujarnya pelan, sambil mengusap kepala Ami dengan lembut. Nada suaranya terdengar tenang, ta
Aku bangkit dan melangkah menuju pintu, membuka dengan perlahan. Di depan sana, berdiri seorang perempuan yang begitu kukenal. Sari, istri adik kandungku, Ramli. "Sari? Ada apa?" tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku tetap biasa saja. Dia tersenyum tipis, tapi ada ekspresi sinis yang jelas terlihat di wajahnya. "Eh, Kak Sitah. Ini, Kak. Aku bawain sesuatu. Mas Ramli bilang Kakak tadi sempat datang ke rumah Ibu. Pasti mau cari makan gratis, ya?" katanya tanpa basa-basi. Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Tapi, dia terus melanjutkan, seolah tak peduli dengan reaksiku. "Karena itu Mas Ramli minta aku bawain ini. Bukan gulai kambing, sih, seperti yang Kakak bayangkan. Cuma nasi putih yang lebihan. Soalnya gulai kambingnya sudah habis Ibu bagi-bagi ke tamu dan tetangga," Dengan cepat dia menyodorkan kantong plastik kecil itu ke tanganku. Aku ingin menolak, tapi dia memaksa, menyelipkan bungkusan itu ke tanganku dengan tergesa. "Terima aja, Kak! Lumayan buat ganjel perut ana
“Bu Kasmi, beli berasnya lima kilo, ya,” ucapku saat mampir ke warung sembako sepulang dari rumah Bu Santi.Ketiga anakku berdiri tidak jauh dariku. Mereka mengobrol pelan, mungkin membicarakan hal-hal kecil yang mereka temui di jalan tadi.“Tumben beli lima kilo, Tah? Habis dapat rezeki nomplok dari ibumu tempo lalu, ya?” tanya Bu Kasmi sambil sibuk menimbang beras.Keningku berkerut mendengar pertanyaan itu. Rezeki nomplok dari mana? Aku tak tahu apa yang Bu Kasmi maksud. Memangnya ibu ada bagi-bagi uang?“Saya baru pulang dari rumah Bu Santi, Bu Kasmi. Habis bantu panen jagung,” jawabku mencoba menjelaskan.“Oalah… bantu panen jagung Bu Santi? Saya kira dapat dari Ibu Fatma. Soalnya pas acara hajatan aqiqah kemarin, sebelum acaranya dimulai, ibu kamu itu manggil anak-anak yatim. Terus dikasih amplop. Anaknya Bu Sairi saja dapat seratus ribu, katanya,” ujar Bu Kasmi santai sambil merapikan beras ke dalam bungkusan.Aku terdiam. Ibu membagi-bagikan uang kepada anak-anak yatim? Tapi,
Subuh hari, setelah memastikan semua kebutuhan sekolah ketiga anakku lengkap, aku segera berpamitan pada Adnan dan Malik. Mereka baru saja pulang dari mushola setelah menunaikan sholat subuh berjamaah. Wajah mereka masih terlihat segar, meski udara pagi sangat dingin menusuk. “Mau ke mana sepagi ini, Bu?” tanya Adnan, menatapku yang tengah bersiap dengan raut wajah penasaran. “Ibu ada kerjaan, Nan. Mau bantu Bu Santi di ladang. Katanya mau panen jagung. Jadi Ibu harus bantu nyiapin perlengkapannya dulu di rumah,” sahutku sambil melilitkan selendang ke bahu untuk menghalau dingin. “Oh, ke kebun jagung Bu Santi? Ibu lama di sana?” Malik ikut bertanya. “Belum tahu, Mal. Tapi, kalau kalian sudah pulang sekolah, dan Ibu masih belum pulang, susul saja ke kebun jagung!” Pesanku sambil mengusap kepala mereka. Keduanya mengangguk patuh. Aku tahu mereka anak-anak yang baik dan pengertian. “Nan, tolong bantu Ami bersiap ke sekolah nanti, ya! Ibu minta tolong. Oh iya, tadi Ibu sudah bikin
Aku bangkit dan melangkah menuju pintu, membuka dengan perlahan. Di depan sana, berdiri seorang perempuan yang begitu kukenal. Sari, istri adik kandungku, Ramli. "Sari? Ada apa?" tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku tetap biasa saja. Dia tersenyum tipis, tapi ada ekspresi sinis yang jelas terlihat di wajahnya. "Eh, Kak Sitah. Ini, Kak. Aku bawain sesuatu. Mas Ramli bilang Kakak tadi sempat datang ke rumah Ibu. Pasti mau cari makan gratis, ya?" katanya tanpa basa-basi. Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Tapi, dia terus melanjutkan, seolah tak peduli dengan reaksiku. "Karena itu Mas Ramli minta aku bawain ini. Bukan gulai kambing, sih, seperti yang Kakak bayangkan. Cuma nasi putih yang lebihan. Soalnya gulai kambingnya sudah habis Ibu bagi-bagi ke tamu dan tetangga," Dengan cepat dia menyodorkan kantong plastik kecil itu ke tanganku. Aku ingin menolak, tapi dia memaksa, menyelipkan bungkusan itu ke tanganku dengan tergesa. "Terima aja, Kak! Lumayan buat ganjel perut ana
Kami pulang dengan langkah berat, membawa rasa sesak di dada yang tak terlukiskan. Terik matahari yang membakar kulit seperti tak ada artinya dibandingkan panas amarah dan kecewa yang mendidih di dalam hati. Bukannya sambutan hangat yang aku dapatkan, justru hinaan yang aku terima. Hinaan dari adik kandungku sendiri, yang seharusnya memahami seperti apa perjuanganku selama ini. Setibanya di rumah, aku segera mengajak anak-anakku duduk di lantai yang beralaskan tikar anyaman. Kaki-kaki kecil mereka terlihat lelah, tapi wajah mereka tetap berusaha menunjukkan senyum. "Bu, kok Paman Ramli mendorong Kak Adnan?" tanya Ami, dengan polosny. Matanya menatapku, lalu beralih ke Adnan yang duduk di sampingnya. Aku menoleh ke arah Adnan. Putra sulungku yang baru berusia sebelas tahun itu hanya bisa tersenyum kecil, memaksakan ekspresi yang terlihat kuat di depan adik-adiknya. "Jangan dipikirkan, Mi!" ujarnya pelan, sambil mengusap kepala Ami dengan lembut. Nada suaranya terdengar tenang, ta
Baru saja aku melangkah masuk ke dalam rumah, pandanganku langsung tertuju pada ketiga anakku yang sudah berpakaian rapi. Mereka tampak bersiap dengan penuh semangat. Meski pakaian mereka jauh dari kata mahal atau bagus, setidaknya masih layak untuk dipakai. Namun, di mataku, mereka selalu tampak istimewa, apa pun yang mereka kenakan. "Mau ke mana?" tanyaku, menghampiri mereka. "Ibu lupa? Kita kan mau ke rumah Nenek? Ayo, Bu!" sahut Ami, si bungsu, sambil menarik tanganku, begitu antusias. Aku terdiam sesaat. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku menjelaskan pada mereka bahwa kami tidak diundang? Tapi, bagaimana nanti perasaan mereka jika tahu kebenarannya? "Bu, ayo!" seru Malik, membuyarkan lamunanku. Aku menatap ketiganya. Wajah penuh harap itu membuatku tidak tega mengecewakan mereka. Akhirnya, dengan berat hati, aku mengangguk pelan. "Ibu ganti pakaian dulu." Langkahku terasa berat saat berjalan menuju kamar kecil yang tidak berpintu, hanya ditutupi tirai lusuh yang s
"Tah, kok masih dekil aja?" Suara Bu Marni memecah keheningan pagi ini, menyelinap masuk ke telingaku tanpa permisi. Aku baru saja selesai menyapu halaman depan rumah, berniat merapikan tempat yang akan kujadikan kedai kecil. Tapi, seperti biasa, kata-kata pedas Bu Marni lebih cepat datang daripada niat baik orang lain. Aku hanya bisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan hati. "Masih pagi, Bu," jawabku singkat, tanpa menatapnya. Seakan tidak peduli dengan reaksi dinginku, Bu Marni justru mendekat. Tangannya terangkat, menunjukkan kantong plastik bening berisi gulai kambing yang masih panas.. “Nih, lihat! Saya bawa gulai kambing,” Mataku beralih pada plastik itu. Isinya memang gulai kambing, lengkap dengan minyak yang tampak mengkilap di permukaan kuahnya. Aromanya mulai tercium samar. Namun, aku tidak bertanya, tidak juga berkomentar. “Kamu nggak ke rumah Ibumu?” Bu Marni bertanya, nadanya seperti menyindir. “Saya baru pulang dari sana, nih. Dikasih ini. Di sana lagi ada