Share

Bab 2

Author: Lia Scorpio
last update Last Updated: 2025-03-04 10:52:53

Baru saja aku melangkah masuk ke dalam rumah, pandanganku langsung tertuju pada ketiga anakku yang sudah berpakaian rapi. Mereka tampak bersiap dengan penuh semangat.

Meski pakaian mereka jauh dari kata mahal atau bagus, setidaknya masih layak untuk dipakai. Namun, di mataku, mereka selalu tampak istimewa, apa pun yang mereka kenakan.

"Mau ke mana?" tanyaku, menghampiri mereka.

"Ibu lupa? Kita kan mau ke rumah Nenek? Ayo, Bu!" sahut Ami, si bungsu, sambil menarik tanganku, begitu antusias.

Aku terdiam sesaat. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku menjelaskan pada mereka bahwa kami tidak diundang? Tapi, bagaimana nanti perasaan mereka jika tahu kebenarannya?

"Bu, ayo!" seru Malik, membuyarkan lamunanku.

Aku menatap ketiganya. Wajah penuh harap itu membuatku tidak tega mengecewakan mereka. Akhirnya, dengan berat hati, aku mengangguk pelan.

"Ibu ganti pakaian dulu."

Langkahku terasa berat saat berjalan menuju kamar kecil yang tidak berpintu, hanya ditutupi tirai lusuh yang sudah bertahun-tahun menemani. Aku berdiri di depan lemari kayu tua, memandangi pakaian-pakaian yang nyaris semuanya usang.

Setelah lima menit bersiap, aku keluar dengan pakaian terbaik yang kupunya. Meskipun "terbaik" di mataku tetap sama saja dengan apa yang anak-anak pakai, pakaian sederhana dan jauh dari kata istimewa.

"Sudah siap, Bu? Ayo!" seru Ami dengan antusias.

Putra bungsuku ini yang paling bersemangat di antara kedua kakaknya. Melihat semangat itu, aku berusaha memaksakan senyum, walau hati masih terasa ragu.

Dalam hati aku berdoa, semoga saja saat sampai di rumah Ibu, keluargaku mau menyambut kami dengan hangat.

Kami mulai berjalan menuju rumah Ibu. Sepanjang perjalanan, jalanan tanah berdebu menjadi saksi langkah kaki kecil anak-anakku. Beberapa kali kami berpapasan dengan para tetangga yang masing-masing membawa satu kantong plastik, yang sama persis seperti milik Bu Murni tadi.

"Eh, Sitah... Mau ke mana? Tumben rapi," tanya Jumi, salah seorang tetanggaku.

Aku berhenti sejenak, memaksakan senyum meski hati tidak terlalu ingin berbicara. "Mau ke rumah Ibu, Jum," jawabku singkat.

"Oh, mau ke hajatan ibu kamu? Yaudah, ke sana aja, Sit. Banyak banget tamunya, makanan juga banyak. Lumayan itu, buat ganjel perut anakmu yang sering kelaparan,"

Kalimat Jumi terasa seperti tamparan keras. Hatiku seperti disentil, perihnya tak terlukiskan. Tega sekali dia mengatakan itu. Anak-anakku disebut kelaparan? Seakan-akan keadaan sulit kami adalah bahan lelucon.

Aku hanya bisa diam, menahan air mata yang mulai menggenang. Aku tidak ingin anak-anakku melihatku terpuruk. Dengan tenang, aku menggenggam tangan mereka, melanjutkan perjalanan tanpa berkata apa pun lagi.

Tidak ada rasa empati sama sekali. Baik dari orang tua, saudara, maupun orang lain. Seolah-olah, aku dan anak-anakku tidak layak mendapatkan kasih sayang atau perhatian. Padahal, mereka tahu betul bahwa anak-anakku adalah anak yatim. Bukankah seharusnya mereka dikasihi, bukan dihina?

Aku terus melangkah, mendengar tawa dan celoteh kecil anak-anakku di sepanjang perjalanan. Mencoba menguatkan diri, berharap bahwa perjalanan ini tidak akan berakhir dengan rasa sakit yang lebih besar. Tapi di dalam hati, ketakutan itu tetap ada.

Setibanya di depan rumah orang tuaku, langkahku seolah tertahan. Rumah itu terlihat penuh sesak dengan tamu yang hilir mudik. Suasana begitu hidup, dipenuhi dengan tawa dan percakapan yang terdengar riuh. Senyum-senyum bahagia menghiasi wajah para tamu yang saling bercanda dan menikmati hidangan yang disediakan.

Dari tempatku berdiri, aroma gulai kambing tercium samar. Itu adalah aroma yang seharusnya membawa kenangan indah, tetapi kali ini terasa seperti ejekan. Karena aku hanya bisa mencium aromanya dari kejauhan.

Aku melirik ke arah anak-anakku. Ketiganya berdiri di sampingku, mata mereka penuh rasa ingin tahu. Ami menggenggam tanganku erat, seolah memastikan aku tetap bersamanya. Tapi, meskipun anak-anakku terlihat antusias, langkahku terasa begitu berat untuk mendekat ke arah pintu.

Kakiku gemetar, tidak hanya karena lelah berjalan, tapi juga karena rasa takut yang terus menghantui. Bagaimana jika kedatangan kami justru tidak diterima? Bagaimana jika mereka memandang kami sebagai beban? Aku mencoba menguatkan hati, tetapi pikiran-pikiran itu terus menghantam, membuatku semakin ragu.

Di saat aku hampir memberanikan diri melangkah masuk, seseorang lewat di depan rumah. Aku mengenalinya. Itu Ramli, adik laki-lakiku. Dia mengenakan pakaian yang rapi, terlihat segar, seperti seseorang yang sedang menikmati kemeriahan pesta.

Namun, bukannya menyapaku, dia malah berhenti di depan kami, berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang. Wajahnya memancarkan ekspresi yang sulit kujelaskan, begitu sinis, mencemooh, dan penuh penghinaan. Pandangannya menusuk, seolah kami adalah gangguan yang tidak diinginkan.

"Buat apa ke sini, Kak? Di sini yang datang tamu penting semua," ucap Ramli dengan nada yang dingin dan penuh sindiran. "Teman-teman Ayah dan Ibu, teman-teman kantor kami. Lebih baik Kakak pulang saja!"

Aku terdiam. Kata-kata Ramli menusuk hatiku seperti belati tajam. Aku bahkan belum sempat mengatakan apa-apa. Mulutku terbuka, tapi tidak ada suara yang keluar.

Aku ingin menjelaskan, bahwa aku datang hanya ingin anak-anakku melihat acara nenek dan kakek mereka. Tapi, bagaimana aku bisa bicara, jika setiap kata yang keluar akan dibalas dengan hinaan.

Tiba-tiba, Ramli melangkah maju. Tangannya menyentuh pundak Adnan, lalu dengan kasar mendorongnya ke samping.

"Sana, sana! Bikin rusak pemandangan aja!" katanya dengan nada mengejek.

Adnan tersentak mundur, hampir terjatuh. Matanya membulat, terkejut dengan perlakuan pamannya. Dia hanya anak kecil, tapi Ramli seakan tidak peduli.

Hatiku serasa hancur melihat itu. Aku ingin berteriak, ingin marah, tetapi suaraku tercekat. Aku menatap Ramli, berharap dia sadar bahwa yang dia dorong tadi adalah keponakannya sendiri. Tapi, Ramli bahkan tidak memandangku. Dia hanya berdiri di sana, menatap kami seperti kami adalah kotoran yang mencemari rumah itu.

Ami memeluk pinggangku, tubuhnya yang kecil terasa gemetar. "Bu, kenapa Om Ramli marah?" bisiknya pelan.

Aku mengusap kepalanya lembut, mencoba menenangkan. Tapi, bagaimana aku bisa menjelaskan pada anak-anakku bahwa dunia tidak selalu adil? Bahwa terkadang, orang yang seharusnya mencintai kita malah menjadi yang paling menyakiti?

"Maafkan Om Ramli, Nak," jawabku dengan suara gemetar, lebih kepada diriku sendiri daripada kepada anakku.

Aku menoleh ke Malik dan Adnan, mencoba menemukan ketegaran di wajah mereka. Tapi aku tahu, mereka juga terluka. Tidak ada anak yang pantas diperlakukan seperti ini, apalagi oleh keluarga mereka sendiri.

Kakiku terasa membeku. Aku tidak tahu harus melangkah maju atau berbalik pulang. Tapi satu hal yang pasti, rasa sakit ini terlalu besar untuk aku bawa sendirian. Aku menunduk, menarik napas panjang, lalu menggenggam tangan anak-anakku dengan erat.

Mungkin memang benar, kami tidak diinginkan di sini. Tapi bagaimana aku menjelaskan itu pada mereka? Bagaimana aku mengatakan pada anak-anakku bahwa rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung justru menolak kehadiran mereka?

Dengan hati yang semakin berat, aku memutuskan untuk berbalik pulang. Aku tidak mengatakan apa pun pada Ramli. Bahkan jika aku mencoba, dia tidak akan mau mendengarkan.

Langkah kakiku semakin menjauh dari rumah ibu, air mata menetes tanpa bisa kuhentikan. Aku tahu, luka ini tidak akan mudah sembuh. Tapi demi anak-anakku, aku harus tetap berjalan. Meninggalkan rumah itu dengan hati yang remuk.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 3

    Kami pulang dengan langkah berat, membawa rasa sesak di dada yang tak terlukiskan. Terik matahari yang membakar kulit seperti tak ada artinya dibandingkan panas amarah dan kecewa yang mendidih di dalam hati. Bukannya sambutan hangat yang aku dapatkan, justru hinaan yang aku terima. Hinaan dari adik kandungku sendiri, yang seharusnya memahami seperti apa perjuanganku selama ini. Setibanya di rumah, aku segera mengajak anak-anakku duduk di lantai yang beralaskan tikar anyaman. Kaki-kaki kecil mereka terlihat lelah, tapi wajah mereka tetap berusaha menunjukkan senyum. "Bu, kok Paman Ramli mendorong Kak Adnan?" tanya Ami, dengan polosny. Matanya menatapku, lalu beralih ke Adnan yang duduk di sampingnya. Aku menoleh ke arah Adnan. Putra sulungku yang baru berusia sebelas tahun itu hanya bisa tersenyum kecil, memaksakan ekspresi yang terlihat kuat di depan adik-adiknya. "Jangan dipikirkan, Mi!" ujarnya pelan, sambil mengusap kepala Ami dengan lembut. Nada suaranya terdengar tenang, ta

    Last Updated : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 4

    Aku bangkit dan melangkah menuju pintu, membuka dengan perlahan. Di depan sana, berdiri seorang perempuan yang begitu kukenal. Sari, istri adik kandungku, Ramli. "Sari? Ada apa?" tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku tetap biasa saja. Dia tersenyum tipis, tapi ada ekspresi sinis yang jelas terlihat di wajahnya. "Eh, Kak Sitah. Ini, Kak. Aku bawain sesuatu. Mas Ramli bilang Kakak tadi sempat datang ke rumah Ibu. Pasti mau cari makan gratis, ya?" katanya tanpa basa-basi. Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Tapi, dia terus melanjutkan, seolah tak peduli dengan reaksiku. "Karena itu Mas Ramli minta aku bawain ini. Bukan gulai kambing, sih, seperti yang Kakak bayangkan. Cuma nasi putih yang lebihan. Soalnya gulai kambingnya sudah habis Ibu bagi-bagi ke tamu dan tetangga," Dengan cepat dia menyodorkan kantong plastik kecil itu ke tanganku. Aku ingin menolak, tapi dia memaksa, menyelipkan bungkusan itu ke tanganku dengan tergesa. "Terima aja, Kak! Lumayan buat ganjel perut ana

    Last Updated : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 5

    Subuh hari, setelah memastikan semua kebutuhan sekolah ketiga anakku lengkap, aku segera berpamitan pada Adnan dan Malik. Mereka baru saja pulang dari mushola setelah menunaikan sholat subuh berjamaah. Wajah mereka masih terlihat segar, meski udara pagi sangat dingin menusuk. “Mau ke mana sepagi ini, Bu?” tanya Adnan, menatapku yang tengah bersiap dengan raut wajah penasaran. “Ibu ada kerjaan, Nan. Mau bantu Bu Santi di ladang. Katanya mau panen jagung. Jadi Ibu harus bantu nyiapin perlengkapannya dulu di rumah,” sahutku sambil melilitkan selendang ke bahu untuk menghalau dingin. “Oh, ke kebun jagung Bu Santi? Ibu lama di sana?” Malik ikut bertanya. “Belum tahu, Mal. Tapi, kalau kalian sudah pulang sekolah, dan Ibu masih belum pulang, susul saja ke kebun jagung!” Pesanku sambil mengusap kepala mereka. Keduanya mengangguk patuh. Aku tahu mereka anak-anak yang baik dan pengertian. “Nan, tolong bantu Ami bersiap ke sekolah nanti, ya! Ibu minta tolong. Oh iya, tadi Ibu sudah bikin

    Last Updated : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 6

    “Bu Kasmi, beli berasnya lima kilo, ya,” ucapku saat mampir ke warung sembako sepulang dari rumah Bu Santi.Ketiga anakku berdiri tidak jauh dariku. Mereka mengobrol pelan, mungkin membicarakan hal-hal kecil yang mereka temui di jalan tadi.“Tumben beli lima kilo, Tah? Habis dapat rezeki nomplok dari ibumu tempo lalu, ya?” tanya Bu Kasmi sambil sibuk menimbang beras.Keningku berkerut mendengar pertanyaan itu. Rezeki nomplok dari mana? Aku tak tahu apa yang Bu Kasmi maksud. Memangnya ibu ada bagi-bagi uang?“Saya baru pulang dari rumah Bu Santi, Bu Kasmi. Habis bantu panen jagung,” jawabku mencoba menjelaskan.“Oalah… bantu panen jagung Bu Santi? Saya kira dapat dari Ibu Fatma. Soalnya pas acara hajatan aqiqah kemarin, sebelum acaranya dimulai, ibu kamu itu manggil anak-anak yatim. Terus dikasih amplop. Anaknya Bu Sairi saja dapat seratus ribu, katanya,” ujar Bu Kasmi santai sambil merapikan beras ke dalam bungkusan.Aku terdiam. Ibu membagi-bagikan uang kepada anak-anak yatim? Tapi,

    Last Updated : 2025-03-17
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 1

    "Tah, kok masih dekil aja?" Suara Bu Marni memecah keheningan pagi ini, menyelinap masuk ke telingaku tanpa permisi. Aku baru saja selesai menyapu halaman depan rumah, berniat merapikan tempat yang akan kujadikan kedai kecil. Tapi, seperti biasa, kata-kata pedas Bu Marni lebih cepat datang daripada niat baik orang lain. Aku hanya bisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan hati. "Masih pagi, Bu," jawabku singkat, tanpa menatapnya. Seakan tidak peduli dengan reaksi dinginku, Bu Marni justru mendekat. Tangannya terangkat, menunjukkan kantong plastik bening berisi gulai kambing yang masih panas.. “Nih, lihat! Saya bawa gulai kambing,” Mataku beralih pada plastik itu. Isinya memang gulai kambing, lengkap dengan minyak yang tampak mengkilap di permukaan kuahnya. Aromanya mulai tercium samar. Namun, aku tidak bertanya, tidak juga berkomentar. “Kamu nggak ke rumah Ibumu?” Bu Marni bertanya, nadanya seperti menyindir. “Saya baru pulang dari sana, nih. Dikasih ini. Di sana lagi ada

    Last Updated : 2025-03-04

Latest chapter

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 6

    “Bu Kasmi, beli berasnya lima kilo, ya,” ucapku saat mampir ke warung sembako sepulang dari rumah Bu Santi.Ketiga anakku berdiri tidak jauh dariku. Mereka mengobrol pelan, mungkin membicarakan hal-hal kecil yang mereka temui di jalan tadi.“Tumben beli lima kilo, Tah? Habis dapat rezeki nomplok dari ibumu tempo lalu, ya?” tanya Bu Kasmi sambil sibuk menimbang beras.Keningku berkerut mendengar pertanyaan itu. Rezeki nomplok dari mana? Aku tak tahu apa yang Bu Kasmi maksud. Memangnya ibu ada bagi-bagi uang?“Saya baru pulang dari rumah Bu Santi, Bu Kasmi. Habis bantu panen jagung,” jawabku mencoba menjelaskan.“Oalah… bantu panen jagung Bu Santi? Saya kira dapat dari Ibu Fatma. Soalnya pas acara hajatan aqiqah kemarin, sebelum acaranya dimulai, ibu kamu itu manggil anak-anak yatim. Terus dikasih amplop. Anaknya Bu Sairi saja dapat seratus ribu, katanya,” ujar Bu Kasmi santai sambil merapikan beras ke dalam bungkusan.Aku terdiam. Ibu membagi-bagikan uang kepada anak-anak yatim? Tapi,

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 5

    Subuh hari, setelah memastikan semua kebutuhan sekolah ketiga anakku lengkap, aku segera berpamitan pada Adnan dan Malik. Mereka baru saja pulang dari mushola setelah menunaikan sholat subuh berjamaah. Wajah mereka masih terlihat segar, meski udara pagi sangat dingin menusuk. “Mau ke mana sepagi ini, Bu?” tanya Adnan, menatapku yang tengah bersiap dengan raut wajah penasaran. “Ibu ada kerjaan, Nan. Mau bantu Bu Santi di ladang. Katanya mau panen jagung. Jadi Ibu harus bantu nyiapin perlengkapannya dulu di rumah,” sahutku sambil melilitkan selendang ke bahu untuk menghalau dingin. “Oh, ke kebun jagung Bu Santi? Ibu lama di sana?” Malik ikut bertanya. “Belum tahu, Mal. Tapi, kalau kalian sudah pulang sekolah, dan Ibu masih belum pulang, susul saja ke kebun jagung!” Pesanku sambil mengusap kepala mereka. Keduanya mengangguk patuh. Aku tahu mereka anak-anak yang baik dan pengertian. “Nan, tolong bantu Ami bersiap ke sekolah nanti, ya! Ibu minta tolong. Oh iya, tadi Ibu sudah bikin

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 4

    Aku bangkit dan melangkah menuju pintu, membuka dengan perlahan. Di depan sana, berdiri seorang perempuan yang begitu kukenal. Sari, istri adik kandungku, Ramli. "Sari? Ada apa?" tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku tetap biasa saja. Dia tersenyum tipis, tapi ada ekspresi sinis yang jelas terlihat di wajahnya. "Eh, Kak Sitah. Ini, Kak. Aku bawain sesuatu. Mas Ramli bilang Kakak tadi sempat datang ke rumah Ibu. Pasti mau cari makan gratis, ya?" katanya tanpa basa-basi. Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Tapi, dia terus melanjutkan, seolah tak peduli dengan reaksiku. "Karena itu Mas Ramli minta aku bawain ini. Bukan gulai kambing, sih, seperti yang Kakak bayangkan. Cuma nasi putih yang lebihan. Soalnya gulai kambingnya sudah habis Ibu bagi-bagi ke tamu dan tetangga," Dengan cepat dia menyodorkan kantong plastik kecil itu ke tanganku. Aku ingin menolak, tapi dia memaksa, menyelipkan bungkusan itu ke tanganku dengan tergesa. "Terima aja, Kak! Lumayan buat ganjel perut ana

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 3

    Kami pulang dengan langkah berat, membawa rasa sesak di dada yang tak terlukiskan. Terik matahari yang membakar kulit seperti tak ada artinya dibandingkan panas amarah dan kecewa yang mendidih di dalam hati. Bukannya sambutan hangat yang aku dapatkan, justru hinaan yang aku terima. Hinaan dari adik kandungku sendiri, yang seharusnya memahami seperti apa perjuanganku selama ini. Setibanya di rumah, aku segera mengajak anak-anakku duduk di lantai yang beralaskan tikar anyaman. Kaki-kaki kecil mereka terlihat lelah, tapi wajah mereka tetap berusaha menunjukkan senyum. "Bu, kok Paman Ramli mendorong Kak Adnan?" tanya Ami, dengan polosny. Matanya menatapku, lalu beralih ke Adnan yang duduk di sampingnya. Aku menoleh ke arah Adnan. Putra sulungku yang baru berusia sebelas tahun itu hanya bisa tersenyum kecil, memaksakan ekspresi yang terlihat kuat di depan adik-adiknya. "Jangan dipikirkan, Mi!" ujarnya pelan, sambil mengusap kepala Ami dengan lembut. Nada suaranya terdengar tenang, ta

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 2

    Baru saja aku melangkah masuk ke dalam rumah, pandanganku langsung tertuju pada ketiga anakku yang sudah berpakaian rapi. Mereka tampak bersiap dengan penuh semangat. Meski pakaian mereka jauh dari kata mahal atau bagus, setidaknya masih layak untuk dipakai. Namun, di mataku, mereka selalu tampak istimewa, apa pun yang mereka kenakan. "Mau ke mana?" tanyaku, menghampiri mereka. "Ibu lupa? Kita kan mau ke rumah Nenek? Ayo, Bu!" sahut Ami, si bungsu, sambil menarik tanganku, begitu antusias. Aku terdiam sesaat. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku menjelaskan pada mereka bahwa kami tidak diundang? Tapi, bagaimana nanti perasaan mereka jika tahu kebenarannya? "Bu, ayo!" seru Malik, membuyarkan lamunanku. Aku menatap ketiganya. Wajah penuh harap itu membuatku tidak tega mengecewakan mereka. Akhirnya, dengan berat hati, aku mengangguk pelan. "Ibu ganti pakaian dulu." Langkahku terasa berat saat berjalan menuju kamar kecil yang tidak berpintu, hanya ditutupi tirai lusuh yang s

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 1

    "Tah, kok masih dekil aja?" Suara Bu Marni memecah keheningan pagi ini, menyelinap masuk ke telingaku tanpa permisi. Aku baru saja selesai menyapu halaman depan rumah, berniat merapikan tempat yang akan kujadikan kedai kecil. Tapi, seperti biasa, kata-kata pedas Bu Marni lebih cepat datang daripada niat baik orang lain. Aku hanya bisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan hati. "Masih pagi, Bu," jawabku singkat, tanpa menatapnya. Seakan tidak peduli dengan reaksi dinginku, Bu Marni justru mendekat. Tangannya terangkat, menunjukkan kantong plastik bening berisi gulai kambing yang masih panas.. “Nih, lihat! Saya bawa gulai kambing,” Mataku beralih pada plastik itu. Isinya memang gulai kambing, lengkap dengan minyak yang tampak mengkilap di permukaan kuahnya. Aromanya mulai tercium samar. Namun, aku tidak bertanya, tidak juga berkomentar. “Kamu nggak ke rumah Ibumu?” Bu Marni bertanya, nadanya seperti menyindir. “Saya baru pulang dari sana, nih. Dikasih ini. Di sana lagi ada

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status