Share

Hajatan di Rumah Ibu
Hajatan di Rumah Ibu
Author: Lia Scorpio

Bab 1

Author: Lia Scorpio
last update Last Updated: 2025-03-04 10:52:48

"Tah, kok masih dekil aja?" Suara Bu Marni memecah keheningan pagi ini, menyelinap masuk ke telingaku tanpa permisi. Aku baru saja selesai menyapu halaman depan rumah, berniat merapikan tempat yang akan kujadikan kedai kecil. Tapi, seperti biasa, kata-kata pedas Bu Marni lebih cepat datang daripada niat baik orang lain.

Aku hanya bisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan hati. "Masih pagi, Bu," jawabku singkat, tanpa menatapnya.

Seakan tidak peduli dengan reaksi dinginku, Bu Marni justru mendekat. Tangannya terangkat, menunjukkan kantong plastik bening berisi gulai kambing yang masih panas..

“Nih, lihat! Saya bawa gulai kambing,”

Mataku beralih pada plastik itu. Isinya memang gulai kambing, lengkap dengan minyak yang tampak mengkilap di permukaan kuahnya. Aromanya mulai tercium samar. Namun, aku tidak bertanya, tidak juga berkomentar.

“Kamu nggak ke rumah Ibumu?” Bu Marni bertanya, nadanya seperti menyindir. “Saya baru pulang dari sana, nih. Dikasih ini. Di sana lagi ada hajatan besar. Ibumu sampai motong kambing beberapa ekor,”

Aku mendadak terdiam. Hajatan? Apa maksudnya? Aku belum mendengar kabar apapun. Padahal, Ibu hanya tinggal di kampung sebelah, tak terlalu jauh dari sini.

"Memangnya ada acara apa, Bu?" tanyaku akhirnya, berusaha terdengar santai meski hati mulai terusik.

"Seriusan kamu nggak tahu?" Bu Marni membelalak, matanya seolah ingin memastikan bahwa aku tidak sedang bercanda. Aku hanya mengangguk pelan, tak ada niat menjelaskan lebih jauh.

“Ya ampun, Sitah! Kamu ini anak Bu Fatma atau bukan, sih? Kok, acara sebesar itu nggak tahu! Semua saudaramu ada di sana. Kamu malah nggak tahu apa-apa,” Bibir Bu Marni meliuk-liuk, saat menceritakan itu. “Ibumu itu hajatan aqiqah, potong kambing beberapa ekor. Besar sekali acaranya,”

Aqiqah? Ibu? Aku berusaha mencerna kata-katanya, tapi rasanya seperti ada sesuatu yang menusuk dadaku. Kalau benar ada hajatan sebesar itu, kenapa aku tidak diberi tahu?

“Lho, Sitah. Kamu kenapa diem aja? Kok nggak ke sana? Apa jangan-jangan…” Bu Marni menurunkan suaranya, setengah berbisik. “Ibumu lupa ngundang kamu?”

Aku tersenyum masam, meski terasa getir di hati. "Mungkin saja, Bu," jawabku seadanya, tidak berniat memberi ruang lebih untuk pembicaraan ini.

Bu Marni masih melanjutkan ceritanya, tapi aku sudah tidak mendengarkan. Pikiranku berkelana ke arah rumah Ibu, membayangkan suasana hajatan yang ramai. Semua saudaraku berkumpul di sana, menikmati gulai kambing dan tawa bersama. Aku? Bahkan aku tahu acara ini dari tetangga, bukan dari keluargaku sendiri.

Aku menghela napas, kali ini lebih panjang. Tanganku menggenggam erat sapu yang tadi kugunakan, mencoba mengusir rasa sesak yang tiba-tiba muncul.

Sementara itu, Bu Marni sudah melangkah pergi, membawa kantong plastik di tangannya. "Saya pamit dulu, Tah. Gulainya enak, lho. Sayang kalau kamu nggak sempat mencicipi,"

Aku tidak menjawab. Mataku hanya memandang plastik itu. Bukannya menimbulkan rasa lapar,itu malah menambah beban di dada. Rasanya, aku ingin sekali bertanya langsung pada Ibu. Kenapa? Apa salahku? Apa aku bukan lagi bagian dari keluarganya?

Namun, untuk saat ini, aku hanya bisa berdiri diam di depan rumah, membiarkan pagi yang tenang berubah menjadi hari yang penuh tanya.

Setelah Bu Marni pulang, niatku untuk membuka kedai kecil di depan rumah mendadak lenyap. Bayangan tentang hajatan di rumah Ibu terus mengganggu pikiranku. Rasanya seperti ada sesuatu yang menghimpit dada, membuatku tidak mampu melakukan apa pun.

Aku duduk termenung di kursi panjang depan rumah, memandangi tanah kering yang penuh debu. Pikiranku melayang-layang, mencoba memahami kenapa semua ini harus terjadi.

Dari kejauhan, aku melihat ketiga putraku berlari ke arahku. Napas mereka tampak tersengal-sengal saat semakin dekat. Wajah mereka yang polos, dengan keringat bercucuran, membuat hatiku terasa sesak.

"Bu, kok Ibu masih di sini?" tanya Adnan, putra sulungku yang baru berusia sebelas tahun.

Aku memandangi mereka satu per satu. Tubuh kecil mereka tampak letih, seragam sekolah yang lusuh penuh debu. Bagaimana tidak, jarak sekolah mereka dari rumah cukup jauh, dua kilometer lebih. Setiap hari mereka harus berjalan kaki pulang pergi.

Bukan aku tidak peduli. Bukan aku tidak kasihan. Ingin sekali rasanya mengantar mereka, membiarkan kaki kecil itu beristirahat dari perjalanan panjang yang melelahkan. Tapi, apa daya? Kehidupan kami terlalu sulit. Sejak kematian suamiku tiga tahun lalu, aku kehilangan pijakan. Dunia terasa runtuh, dan aku harus berjuang sendirian.

Bisa makan sehari sekali saja sudah seperti keajaiban. Kadang, aku harus mengganjal perut dengan air supaya anak-anakku tidak tahu bahwa aku menahan lapar demi mereka.

Padahal aku berasal dari keluarga berada. Kedua orang tuaku adalah pensiunan pegawai negeri yang dihormati. Tapi, itu semua tidak pernah mengubah apa pun dalam hidup kami. Mereka tidak peduli. Mereka tidak pernah menanyakan bagaimana aku dan anak-anakku bertahan di sini.

"Siap-siap ke mana, Nan? Memangnya ada apa?" tanyaku, berusaha mengalihkan perasaan yang mulai menguasai hati.

"Bu, tadi waktu kami pulang sekolah, kami lewat depan rumah Nenek. Di sana ramai sekali, Bu," kata Adnan penuh semangat.

"Benar, Bu," sahut Malik, putra keduaku yang berusia sembilan tahun. "Kayaknya Nenek lagi ngadain hajatan. Banyak makanan di sana."

"Bu, Ami lapar," celoteh Ami, putra bungsuku yang baru berusia tujuh tahun. "Kita ke rumah Nenek, yuk! Kata Ibunya Diah, Nenek motong banyak kambing,"

Aku terdiam. Dadaku semakin terasa sesak. Awalnya aku mengira Bu Marni hanya membual. Tapi, setelah mendengar cerita anak-anakku, kenyataan itu menjadi terlalu pahit untuk diabaikan.

Tanpa sadar, air mata mulai menetes di pipiku. Satu per satu, hingga akhirnya mengalir deras.

"Bu, kenapa menangis?" tanya Adnan lembut. Tangannya yang kecil mengusap pipiku, mencoba menghapus air mata yang tak kunjung berhenti.

Aku menggeleng pelan, mencoba tersenyum meski rasanya terlalu sulit. "Tidak ada apa-apa, Nan. Ajak adik-adikmu masuk! Jangan lupa ganti baju, ya," ujarku.

Adnan memandangku sejenak, seolah ingin bertanya lebih jauh. Tapi, dia tidak melakukannya. Dengan patuh, dia menggandeng tangan kedua adiknya dan membawa mereka masuk ke dalam rumah yang lebih mirip gubuk reyot.

Aku tetap di tempatku, menatap punggung kecil mereka hingga menghilang di balik pintu.

Hati ini semakin terasa hancur. Anak-anakku begitu bersemangat ingin pergi ke rumah Nenek mereka, tapi Neneknya sendiri tidak pernah mengingat mereka. Bagaimana bisa? Mereka darah dagingnya sendiri, cucu-cucu yang seharusnya menjadi kebanggaannya, dilupakan begitu saja.

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin sekali membawa mereka ke sana, membiarkan mereka merasakan kebahagiaan bersama keluarga besar. Tapi, bagaimana caranya? Kami tidak diundang. Bahkan, aku tidak dianggap ada.

Di tempatku duduk, aku menangis dalam diam. Tangis yang tidak pernah terdengar suaranya, tapi setiap tetesnya terasa seperti luka yang semakin dalam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 2

    Baru saja aku melangkah masuk ke dalam rumah, pandanganku langsung tertuju pada ketiga anakku yang sudah berpakaian rapi. Mereka tampak bersiap dengan penuh semangat. Meski pakaian mereka jauh dari kata mahal atau bagus, setidaknya masih layak untuk dipakai. Namun, di mataku, mereka selalu tampak istimewa, apa pun yang mereka kenakan. "Mau ke mana?" tanyaku, menghampiri mereka. "Ibu lupa? Kita kan mau ke rumah Nenek? Ayo, Bu!" sahut Ami, si bungsu, sambil menarik tanganku, begitu antusias. Aku terdiam sesaat. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku menjelaskan pada mereka bahwa kami tidak diundang? Tapi, bagaimana nanti perasaan mereka jika tahu kebenarannya? "Bu, ayo!" seru Malik, membuyarkan lamunanku. Aku menatap ketiganya. Wajah penuh harap itu membuatku tidak tega mengecewakan mereka. Akhirnya, dengan berat hati, aku mengangguk pelan. "Ibu ganti pakaian dulu." Langkahku terasa berat saat berjalan menuju kamar kecil yang tidak berpintu, hanya ditutupi tirai lusuh yang s

    Last Updated : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 3

    Kami pulang dengan langkah berat, membawa rasa sesak di dada yang tak terlukiskan. Terik matahari yang membakar kulit seperti tak ada artinya dibandingkan panas amarah dan kecewa yang mendidih di dalam hati. Bukannya sambutan hangat yang aku dapatkan, justru hinaan yang aku terima. Hinaan dari adik kandungku sendiri, yang seharusnya memahami seperti apa perjuanganku selama ini. Setibanya di rumah, aku segera mengajak anak-anakku duduk di lantai yang beralaskan tikar anyaman. Kaki-kaki kecil mereka terlihat lelah, tapi wajah mereka tetap berusaha menunjukkan senyum. "Bu, kok Paman Ramli mendorong Kak Adnan?" tanya Ami, dengan polosny. Matanya menatapku, lalu beralih ke Adnan yang duduk di sampingnya. Aku menoleh ke arah Adnan. Putra sulungku yang baru berusia sebelas tahun itu hanya bisa tersenyum kecil, memaksakan ekspresi yang terlihat kuat di depan adik-adiknya. "Jangan dipikirkan, Mi!" ujarnya pelan, sambil mengusap kepala Ami dengan lembut. Nada suaranya terdengar tenang, ta

    Last Updated : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 4

    Aku bangkit dan melangkah menuju pintu, membuka dengan perlahan. Di depan sana, berdiri seorang perempuan yang begitu kukenal. Sari, istri adik kandungku, Ramli. "Sari? Ada apa?" tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku tetap biasa saja. Dia tersenyum tipis, tapi ada ekspresi sinis yang jelas terlihat di wajahnya. "Eh, Kak Sitah. Ini, Kak. Aku bawain sesuatu. Mas Ramli bilang Kakak tadi sempat datang ke rumah Ibu. Pasti mau cari makan gratis, ya?" katanya tanpa basa-basi. Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Tapi, dia terus melanjutkan, seolah tak peduli dengan reaksiku. "Karena itu Mas Ramli minta aku bawain ini. Bukan gulai kambing, sih, seperti yang Kakak bayangkan. Cuma nasi putih yang lebihan. Soalnya gulai kambingnya sudah habis Ibu bagi-bagi ke tamu dan tetangga," Dengan cepat dia menyodorkan kantong plastik kecil itu ke tanganku. Aku ingin menolak, tapi dia memaksa, menyelipkan bungkusan itu ke tanganku dengan tergesa. "Terima aja, Kak! Lumayan buat ganjel perut ana

    Last Updated : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 5

    Subuh hari, setelah memastikan semua kebutuhan sekolah ketiga anakku lengkap, aku segera berpamitan pada Adnan dan Malik. Mereka baru saja pulang dari mushola setelah menunaikan sholat subuh berjamaah. Wajah mereka masih terlihat segar, meski udara pagi sangat dingin menusuk. “Mau ke mana sepagi ini, Bu?” tanya Adnan, menatapku yang tengah bersiap dengan raut wajah penasaran. “Ibu ada kerjaan, Nan. Mau bantu Bu Santi di ladang. Katanya mau panen jagung. Jadi Ibu harus bantu nyiapin perlengkapannya dulu di rumah,” sahutku sambil melilitkan selendang ke bahu untuk menghalau dingin. “Oh, ke kebun jagung Bu Santi? Ibu lama di sana?” Malik ikut bertanya. “Belum tahu, Mal. Tapi, kalau kalian sudah pulang sekolah, dan Ibu masih belum pulang, susul saja ke kebun jagung!” Pesanku sambil mengusap kepala mereka. Keduanya mengangguk patuh. Aku tahu mereka anak-anak yang baik dan pengertian. “Nan, tolong bantu Ami bersiap ke sekolah nanti, ya! Ibu minta tolong. Oh iya, tadi Ibu sudah bikin

    Last Updated : 2025-03-04
  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 6

    “Bu Kasmi, beli berasnya lima kilo, ya,” ucapku saat mampir ke warung sembako sepulang dari rumah Bu Santi.Ketiga anakku berdiri tidak jauh dariku. Mereka mengobrol pelan, mungkin membicarakan hal-hal kecil yang mereka temui di jalan tadi.“Tumben beli lima kilo, Tah? Habis dapat rezeki nomplok dari ibumu tempo lalu, ya?” tanya Bu Kasmi sambil sibuk menimbang beras.Keningku berkerut mendengar pertanyaan itu. Rezeki nomplok dari mana? Aku tak tahu apa yang Bu Kasmi maksud. Memangnya ibu ada bagi-bagi uang?“Saya baru pulang dari rumah Bu Santi, Bu Kasmi. Habis bantu panen jagung,” jawabku mencoba menjelaskan.“Oalah… bantu panen jagung Bu Santi? Saya kira dapat dari Ibu Fatma. Soalnya pas acara hajatan aqiqah kemarin, sebelum acaranya dimulai, ibu kamu itu manggil anak-anak yatim. Terus dikasih amplop. Anaknya Bu Sairi saja dapat seratus ribu, katanya,” ujar Bu Kasmi santai sambil merapikan beras ke dalam bungkusan.Aku terdiam. Ibu membagi-bagikan uang kepada anak-anak yatim? Tapi,

    Last Updated : 2025-03-17

Latest chapter

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 6

    “Bu Kasmi, beli berasnya lima kilo, ya,” ucapku saat mampir ke warung sembako sepulang dari rumah Bu Santi.Ketiga anakku berdiri tidak jauh dariku. Mereka mengobrol pelan, mungkin membicarakan hal-hal kecil yang mereka temui di jalan tadi.“Tumben beli lima kilo, Tah? Habis dapat rezeki nomplok dari ibumu tempo lalu, ya?” tanya Bu Kasmi sambil sibuk menimbang beras.Keningku berkerut mendengar pertanyaan itu. Rezeki nomplok dari mana? Aku tak tahu apa yang Bu Kasmi maksud. Memangnya ibu ada bagi-bagi uang?“Saya baru pulang dari rumah Bu Santi, Bu Kasmi. Habis bantu panen jagung,” jawabku mencoba menjelaskan.“Oalah… bantu panen jagung Bu Santi? Saya kira dapat dari Ibu Fatma. Soalnya pas acara hajatan aqiqah kemarin, sebelum acaranya dimulai, ibu kamu itu manggil anak-anak yatim. Terus dikasih amplop. Anaknya Bu Sairi saja dapat seratus ribu, katanya,” ujar Bu Kasmi santai sambil merapikan beras ke dalam bungkusan.Aku terdiam. Ibu membagi-bagikan uang kepada anak-anak yatim? Tapi,

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 5

    Subuh hari, setelah memastikan semua kebutuhan sekolah ketiga anakku lengkap, aku segera berpamitan pada Adnan dan Malik. Mereka baru saja pulang dari mushola setelah menunaikan sholat subuh berjamaah. Wajah mereka masih terlihat segar, meski udara pagi sangat dingin menusuk. “Mau ke mana sepagi ini, Bu?” tanya Adnan, menatapku yang tengah bersiap dengan raut wajah penasaran. “Ibu ada kerjaan, Nan. Mau bantu Bu Santi di ladang. Katanya mau panen jagung. Jadi Ibu harus bantu nyiapin perlengkapannya dulu di rumah,” sahutku sambil melilitkan selendang ke bahu untuk menghalau dingin. “Oh, ke kebun jagung Bu Santi? Ibu lama di sana?” Malik ikut bertanya. “Belum tahu, Mal. Tapi, kalau kalian sudah pulang sekolah, dan Ibu masih belum pulang, susul saja ke kebun jagung!” Pesanku sambil mengusap kepala mereka. Keduanya mengangguk patuh. Aku tahu mereka anak-anak yang baik dan pengertian. “Nan, tolong bantu Ami bersiap ke sekolah nanti, ya! Ibu minta tolong. Oh iya, tadi Ibu sudah bikin

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 4

    Aku bangkit dan melangkah menuju pintu, membuka dengan perlahan. Di depan sana, berdiri seorang perempuan yang begitu kukenal. Sari, istri adik kandungku, Ramli. "Sari? Ada apa?" tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku tetap biasa saja. Dia tersenyum tipis, tapi ada ekspresi sinis yang jelas terlihat di wajahnya. "Eh, Kak Sitah. Ini, Kak. Aku bawain sesuatu. Mas Ramli bilang Kakak tadi sempat datang ke rumah Ibu. Pasti mau cari makan gratis, ya?" katanya tanpa basa-basi. Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Tapi, dia terus melanjutkan, seolah tak peduli dengan reaksiku. "Karena itu Mas Ramli minta aku bawain ini. Bukan gulai kambing, sih, seperti yang Kakak bayangkan. Cuma nasi putih yang lebihan. Soalnya gulai kambingnya sudah habis Ibu bagi-bagi ke tamu dan tetangga," Dengan cepat dia menyodorkan kantong plastik kecil itu ke tanganku. Aku ingin menolak, tapi dia memaksa, menyelipkan bungkusan itu ke tanganku dengan tergesa. "Terima aja, Kak! Lumayan buat ganjel perut ana

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 3

    Kami pulang dengan langkah berat, membawa rasa sesak di dada yang tak terlukiskan. Terik matahari yang membakar kulit seperti tak ada artinya dibandingkan panas amarah dan kecewa yang mendidih di dalam hati. Bukannya sambutan hangat yang aku dapatkan, justru hinaan yang aku terima. Hinaan dari adik kandungku sendiri, yang seharusnya memahami seperti apa perjuanganku selama ini. Setibanya di rumah, aku segera mengajak anak-anakku duduk di lantai yang beralaskan tikar anyaman. Kaki-kaki kecil mereka terlihat lelah, tapi wajah mereka tetap berusaha menunjukkan senyum. "Bu, kok Paman Ramli mendorong Kak Adnan?" tanya Ami, dengan polosny. Matanya menatapku, lalu beralih ke Adnan yang duduk di sampingnya. Aku menoleh ke arah Adnan. Putra sulungku yang baru berusia sebelas tahun itu hanya bisa tersenyum kecil, memaksakan ekspresi yang terlihat kuat di depan adik-adiknya. "Jangan dipikirkan, Mi!" ujarnya pelan, sambil mengusap kepala Ami dengan lembut. Nada suaranya terdengar tenang, ta

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 2

    Baru saja aku melangkah masuk ke dalam rumah, pandanganku langsung tertuju pada ketiga anakku yang sudah berpakaian rapi. Mereka tampak bersiap dengan penuh semangat. Meski pakaian mereka jauh dari kata mahal atau bagus, setidaknya masih layak untuk dipakai. Namun, di mataku, mereka selalu tampak istimewa, apa pun yang mereka kenakan. "Mau ke mana?" tanyaku, menghampiri mereka. "Ibu lupa? Kita kan mau ke rumah Nenek? Ayo, Bu!" sahut Ami, si bungsu, sambil menarik tanganku, begitu antusias. Aku terdiam sesaat. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku menjelaskan pada mereka bahwa kami tidak diundang? Tapi, bagaimana nanti perasaan mereka jika tahu kebenarannya? "Bu, ayo!" seru Malik, membuyarkan lamunanku. Aku menatap ketiganya. Wajah penuh harap itu membuatku tidak tega mengecewakan mereka. Akhirnya, dengan berat hati, aku mengangguk pelan. "Ibu ganti pakaian dulu." Langkahku terasa berat saat berjalan menuju kamar kecil yang tidak berpintu, hanya ditutupi tirai lusuh yang s

  • Hajatan di Rumah Ibu   Bab 1

    "Tah, kok masih dekil aja?" Suara Bu Marni memecah keheningan pagi ini, menyelinap masuk ke telingaku tanpa permisi. Aku baru saja selesai menyapu halaman depan rumah, berniat merapikan tempat yang akan kujadikan kedai kecil. Tapi, seperti biasa, kata-kata pedas Bu Marni lebih cepat datang daripada niat baik orang lain. Aku hanya bisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan hati. "Masih pagi, Bu," jawabku singkat, tanpa menatapnya. Seakan tidak peduli dengan reaksi dinginku, Bu Marni justru mendekat. Tangannya terangkat, menunjukkan kantong plastik bening berisi gulai kambing yang masih panas.. “Nih, lihat! Saya bawa gulai kambing,” Mataku beralih pada plastik itu. Isinya memang gulai kambing, lengkap dengan minyak yang tampak mengkilap di permukaan kuahnya. Aromanya mulai tercium samar. Namun, aku tidak bertanya, tidak juga berkomentar. “Kamu nggak ke rumah Ibumu?” Bu Marni bertanya, nadanya seperti menyindir. “Saya baru pulang dari sana, nih. Dikasih ini. Di sana lagi ada

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status