MERANGKAK perlahan-lahan, sinar terang mulai membelai separuh dari isi bumi. Matahari memang belum sepenuhnya tegak di atas langit namun cahaya mampu membuat Rosa memicingkan mata. Gadis chipmunk tersebut menoleh ke arah jam dinding, pukul 06:45. Rosa mendesah pelan, rekor sekali ia bangun pukul segini. Mungkin karena semalaman ia menangis tanpa suara di balik selimut lalu terjatuh begitu saja ke dalam dunia mimpi, meski Lion sudah mengetuk pintu kamar beberapa kali untuk makan, Rosa masih betah untuk bungkam. Marie juga ikut membujuknya agar mau keluar atau setidaknya membuka pintu agar ia bisa makan. Tetapi tidak. Rosa enggan membuka pintu. Enggan menatap wajah Marie, enggan dengan semua eksistensi di rumah ini. Juga, ia tak berharap bahwa Julian akan mengetuk pintu kamarnya dan melakukan hal serupa. Mustahil sekali. Mungkin sang kepala keluarga malah menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Rosa pun turun dari tempat tidur dan menyibak tirai jendela dalam sekali hentak. Kemudian tan
“ROSA masuk sekolah, Zan.”Begitu Dhani mengutarakan kalimat pendek berisi empat kata tersebut. Arzan langsung melempar pensil ke meja dan berlari keluar dari ruang OSIS. Si pemuda berlesung pipit tersebut tidak tahu-menahu tentang Rosa yang datang sekolah hari ini. Bahkan Joan bilang bahwa Rosa menjadi perbincangan hangat di sekolah mereka. Apalagi kalau bukan mengenai foto yang tersebar luar seminggu lewat. Agaknya si pemeran utama baru menampakkan batang hidung mana mungkin tidak jadi buah bibir masyarakat Bina Bangsa. Arzan tidak mempermasalahkan hal tersebut. Kurang lebih tidak peduli dengan tanggapan orang lain, toh, tidak penting juga untuk didengarkan. Yang menjadi pokok permasalahannya, kenapa ia tahu si gadis chipmunk tersebut masuk sekolah dari orang lain? Kenapa tidak dari si empunya saja? Ah! Arzan memperlambat langkahnya dengan tangan yang merogoh saku celana untuk mengeluarkan ponsel. Terkadang ditampar kenyataan lebih menyakitkan daripada ditampar oleh makhluk nyata.
“ROSALINE! MAKAN LO DIKIT AMAT, SIH, ANJIR! KESURUPAN LO?!” Terkadang terlintas di benak Rosa kalau ia ingin sekali menukar-tambah Jessica dengan makanan. Mungkin lebih bermanfaat baginya. Mulutnya itu, lho, ya ampun, semua toa dan speaker di sekolah ini bisa kalah saing. Memang, sih, tidak akan ada yang protes. Mana berani. Lebih baik tuli daripada dihajar sampai cacat oleh Jessica. Jiwa sosialisasi sahabatnya itu kadang memang nol besar. Rosa menatap jengah ke arah Jessica yang sudah macam orang kesetanan memenuhi isi piringnya dengan berbagai macam makanan. Bahkan memasukan empat dada ayam besar ke dalan piringnya. Memang sinting gadis berponi itu, tidak ada tandingannya lagi. “AYO MAKAㅡ”Rosa menjejal mulut Jessica dengan dada ayam goreng tersebut barulah si gadis diam dan mengerjap bingung ke arahnya. “Sekali lagi lo teriak. Sumpah, Jes. Gue bakar motor lo sekarang juga, eh, atau lo hari ini bawa mobil?” tutur Rosa sembari menukik tajam bibirnya ke atas. Jessica membuang aya
ARZAN tahu bahwa ada yang tidak beres pada Rosa sesaat setelah gadis itu pergi begitu saja ketika mereka berjumpa di lorong pagi tadi, dan ia tidak tahu apa. Arzan hanya merasa ada yang salah dan ia juga merasa bersalah akan suatu hal yang Arzan juga tidak tahu apa. Bahkan ia tidak bisa menyapa gadis itu saat mereka berpapasan, seakan takut mengganggu waktu Rosa. Padahal sebelum-sebelumnya biasa saja, ia pasti akan menganggu Rosa. Tetapi kali ini beda. Maka dari itu ia berinisiatif untuk tetap tinggal di kelas dan menunggu Rosa selesai piket. Sebenarnya ia cukup terkejut Rosa mau ikut piket kelas, biasanya langsung kabur begitu saja, sama halnya dengan Jessica. Tetapi kali ini Jessica yang sudah kabur dan hanya menyisakan Rosa dengan dua orang teman sekelas mereka. Setengah jam kemudian saat Arzan masih bersandar pada tembok dan sesekali melirik arlojinya. Barulah ia menemukan Sissy serta Missyㅡkakak beradik kembar, keluar dari kelas seraya tersenyum menyapa. “Nunggu siapa, Zan?” t
ALIH-ALIH berpikir kalau Arzan akan membawa Rosa ke sebuah tempat penuh makanan bernama restoran atau kafe, seperti seminggu lalu. Minimal ke tempat romantis macam tingkah Arzan selama ini kepadanya. Ataupun ke tempat-tempat di mana bermulanya kisah cinta macam novel picisan yang banyak dibaca khalayak ramai sekarang ini. Dipenuhi lampu kerlap-kerlip yang indah, berpendar hangat serta nyaman dilihat, beraroma mawar yang menenangkan indera penciuman. Sebuket bunga dan lainnya. Nyatanya Arzan memilih tempat ramai yang sesak bernama festival kota. Lokasinya cukup jauh sebab mereka menempuh waktu hampir setengah jam. Well, setidaknya Rosa dapat menemukan dengan kedua mata bahwa banyak stan makanan yang berjejer rapi di setiap sisi. Tidak sepenuhnya mengecewakan, jujur saja, tidak mengecewakan tetapi hanya tak terduga saja. Rosa tidak keberatan ia akan dibawa kemana oleh Arzan asalkan bukan tempat-tempat yang penuh buku. Fakta bahwa Arzan anak pintar di sekolah mereka jelas nyaris membu
SEHARUSNYA dibandingkan membalaskan kekesalannyaㅡtidak sepenuhnya kesal juga, sih, sebab Rosa lebih banyak tertawa, si gadis harus mengingat kondisi kakinya yang belum sembuh total. Sehingga berujung seluruh lukanya berdenyut-denyut ngilu dan Rosa menahan tangis agar tidak pecah di tengah-tengah keramaian begini. Ia duduk di kursi panjang, sedikit membungkuk untuk mengelus-elus pelan kakinya, berharap rasa sakitnya berkurang tetapi tak kunjung ada perubahan berarti. Denyutannya masih terasa, Rosa mendesah pelan. Sakit banget, ya Allah. Rosa benar-benar ingin menangis sekarang sementara Arzan entah hilang kemana setelah mendudukkan Rosa di kursi. Ramainya festival tidak berkurang sedikitpun meski sore hampir dimakan senja yang sudah terhiasi lembayung jingga. Malah semakin padat setiap detiknya, banyak yang berlalu masuk daripada keluar. Si gadis mendesis kala betis kanannya berdenyut kuat-kuat seolah tengah menjerit kesakitan. Rosa juga tahu, ia menyesal telah berlari. Sepersekian d
“GESER dikit lagi. Nah. Bagus!”Alvin berdecak sebal setengah dendam kesumat. Pemuda kelinci itu mengira saat Jessica mengirimkan sebuah alamat, akan tercipta suatu momentum romantis antara mereka. Jangankan manis-manis madu, malah ia yang berkeringat dengan senja sewarna madu di luar sana. Kalau ngotot ingin pulang karena telah ditipu secara tidak langsung pasti Jessica mengomel tidak jelas padanya. Sementara Jessica puas bukan main telah memperbabu Alvin sore ini. Sebenarnya Jessica tidak begitu banyak berharap Alvin akan membantu tetapi malah pemuda itu sendiri yang membabat habis pekerjaan rumah. Apartemennya ini sudah lama tidak ditinggali jadi banyak sekali debu, lalu Jessica hanya kebagian menyedot debu-debu di lantai dan mengganti sprei. Selebihnyaㅡwow! Alvin sendiri yang lakukan. Mulai dari mengganti tirai, menata sofa yang sudah tak keruan bentuknya dan sebagainya. Alvin seniat itu ternyata. Jessica kagum. Jessica menghampiri Alvin yang sudah duduk lemas bersimbah keringa
ROSA menguap pelan saat guru mata pelajaran kimia baru saja keluar dari kelasnya. Tangannya merenggang kecil untuk melemaskan otot-otot tangannya. Rosa melirik Jessica yang tertidur di mejanya dengan Alvin yang menonton sembari tersenyum-senyum sinting. Iya, mereka berbeda kelas dan cowok itu nekat menyusup di kelasnya di menit-menit terakhir. Katanya tak sengaja melihat Jessica tertidur dari balik jendela. Ia menghela napas, makin kelihatan saja Alvin ini bucin terhadap Jessica. Biasanya juga mengganggu Jessica setiap detik dan setiap saat, tetapi kali ini kalem sekali. Si gadis berjengit kecil kala pundaknya ditepuk dua kali, ia mendongak cepat dan menemukan Arzan berdiri di sisi mejanya. Ia menerbitkan senyumannya. “Kenapa?”“Daripada nontinin orang yang lagi uwu, mending kita pergi ke kantin. Lo laper nggak?”Gadis chipmunk tersebut mengangguk semangat dan berdiri. Rosa sempat melirik ke arah Alvin. “Heh! Jagain sahabat gue, ya. Awas lo apa-apain.”Alvin mengangguk dan tanpa me