ROSA menguap pelan saat guru mata pelajaran kimia baru saja keluar dari kelasnya. Tangannya merenggang kecil untuk melemaskan otot-otot tangannya. Rosa melirik Jessica yang tertidur di mejanya dengan Alvin yang menonton sembari tersenyum-senyum sinting. Iya, mereka berbeda kelas dan cowok itu nekat menyusup di kelasnya di menit-menit terakhir. Katanya tak sengaja melihat Jessica tertidur dari balik jendela. Ia menghela napas, makin kelihatan saja Alvin ini bucin terhadap Jessica. Biasanya juga mengganggu Jessica setiap detik dan setiap saat, tetapi kali ini kalem sekali. Si gadis berjengit kecil kala pundaknya ditepuk dua kali, ia mendongak cepat dan menemukan Arzan berdiri di sisi mejanya. Ia menerbitkan senyumannya. “Kenapa?”“Daripada nontinin orang yang lagi uwu, mending kita pergi ke kantin. Lo laper nggak?”Gadis chipmunk tersebut mengangguk semangat dan berdiri. Rosa sempat melirik ke arah Alvin. “Heh! Jagain sahabat gue, ya. Awas lo apa-apain.”Alvin mengangguk dan tanpa me
DI balik gedung tingkat tiga atau yang lebih sering di sebut belakang sekolah. Lion membawa sang kakak menuju ke sana agar bisa berbicara dengan kondusifㅡtentunya, tidak di depan orang-orang yang sibuk memasang mata serta telinga mereka. Di belakang sekolah bagian barat terdapat pohon besar tinggi serta meja dan sofa ( markas Alvin dan kawan-kawannya yang untungnya sedang tak berada di tempat). Hembusan angin di sini kencang sekali, matahari pun tak sepenuhnya menyinari tempat ini. Rosa sudah menduga bahwa Lion akan datang mencarinya, entah saat mereka berdua atau seperti tadi, di depan banyak orang. Rosa ingin menolak tetapi menatap pancaran mata sang adik, ia tak tega langsung pergi begitu saja. Lion tentu akan membahas mengenai kepindahan sementara Rosa ke apartment Jessica, sebab ia belum membicarakan hal tersebut bersama Lion. Ia paham kalau Lion marah padanya, ditambah Rosa mengabaikan semua pesan dan telepon sang adik karena ingin berpikir jernih terlebih dahulu. Merasa kond
“LO nggak baik-baik aja, Sa,” tembak Arzan setelah duduk di samping si gadis seusai membeli dua botol minuman kemasan. Rosa terkekeh mendengarnya dan mengangguk seraya menerima botol berisi kopi susu. “Well, emang. Gue lagi banyak pikiran,” balasnya. Setelah perbincangan singkat yang terasa lama bersama Jessica. Benang kusut di kepala Rosa makin menjadi-jadi kusut dan berkelit panjang. Pelipisnya berdenyut sebab terlalu stres, saraf-saraf kepalanya mengakui itu rupanya. Rosa menghela napas berat, si gadis kembali terhenyak, menyelami kubangan kenangan dan pikirannya sendiri. Otak dan batinnya tengah berperang hebat di dalam sana. Rosa tak akan menyangka bahwa hidupnya akan serumit ini. Benar-benar rumit sehingga ia kepayahan mencari jalan keluar, untuk dirinya sendiri. Si gadis tak akan menyangka bahwa Jessica akan menawarkan nama belakang 'Atriyadinata' padanya. Pertanyaanya, apakah ia sanggup dan mampu untuk itu? Melepas nama belakang 'Evendi'ㅡyang selama ini tak pernah Rosa tu
TANGANNYA terulur menarik kasar sejumput rambut perempuan di depan mata hingga wajahnya mendongak ke arahnya. Jessica menyeringai ke arah Wira, gadis itu banjir air mata, tubuh bergetar serta wajah penuh luka sedangkan temannya yang satu lagi, Rara sudah pingsan. Entah karena syok atau memang daya tubuhnya yang lemah. Jessica tidak peduli. Wira menatap Jessica takut, tubuhnya tremor parah serta iris yang bergetar bersitatap dengan perempuan sinting di depan mata. Jessica menarik lebih kuat rambut milik Wira hingga si empunya mengaduh. “Gimana? Menyenangkan, 'kan?”“Am-ampun, Jes,” lirih Wira, ia mengatupkan tangan dan menggosok-gosok kedua telapak tangannya memohon. Jessica menekuk wajahnya sok sedih. “Hei! Masa gitu, sih, gue belum puas main, lho, Wira,” ujarnya, ia melirik Rara yang terkapar di atas lantai penuh debu, penampilannya sama acak-acakan dengan Wira. “Temen lo udah bobo duluan, jadi nggak seru. Ayo main lagi!”Wira menggeleng heboh, matanya membulat sempurna, takut. Ia
MENAIKKAN satu alis, agaknya Rosa dibuat bingung dengan eksistensi Mika di depan kelasnya. Tampaknya tak hanya Rosa yang penasaran maksud dan tujuan Mika mendatangi kelasnya yang tengah jam kosong. Seluruh penghuni 11 IPA 3 juga bertanya-tanya, siapa gerangan pemuda tampan itu?. Seminggu lalu heboh bersama Arzan. Ditambah Lion yang notebenenya cowok populer, makin memanas. Kemudian Mika yang dengan wajah asing nan rupawan serta memiliki senyum memikat mendatangi Rosa. Mereka agaknya langsung berpikir. Hidup Rosa dikelilingi para pria tampan nan rupawan, baik hati serta mudah tersenyum. Berbeda dengan si gadis yang cenderung jutek dan mengintimidasi. Yeah, mereka hanya tidak tahu saja kehidupan Rosa selama 17 tahun menapaki bumi. Sudah seperti neraka versi dunia. Mika nyengir. Rosa memasang wajah senggol bacok. Apa-apaan laki-laki itu? Datang hanya untuk nyengir saja padanya?. “Jadi?” Rosa membuka suara, bersedekap tangan dengan sorot mata menuntut. Mika melirik pada banyaknya pres
ARZAN pundung. Rosa yakin, seratus pangkat seratus persen. Buktinya? Lihat saja wajah pemuda berlesung pipi tersebut. Ditekuk, masam, mengerut, terus-menerus mendengus. Setiap Rosa melangkah mengikuti arah manik mata Arzan memandang, pemuda tinggi terus-terusan menghindar; membuang muka. Penyebabnya jelas karena Mika. Saat Rosa dan Mika ingin bertukar nomor ponsel laki-laki tersebut tiba-tiba datang, entah datang darimana. Bagai jelangkung saja. Bahkan Arzan juga menatap Mika dengan tatapan menusuk sampai anak itu cepat-cepat pamit undur diri. Rosa yakin Mika berpikir yang tidak-tidak menjurus aneh, seperti :“Apa muka gue terlalu ganteng jadi dia merasa tersaingi?”Rosa menghela napas, setengah geli setengah kesal dengan sikap Arzan sekarang. Semenjak peninggalan Mika yang kabur menuju ke kelasnyaㅡmungkin, Arzan mogok bicara padanya. Tidak sepenuhnya, sih, hanya saja Arzan tidak mengacuhkannya. Sementara Rosa yakin bahwa mulutnya sudah penuh busa karena bergerak sejak tadi. Mungkin
BARANGKALI kondisi bumi memang tak sesehat zaman dahulu kala, yang semuanya serba manual namun menyehatkan raga serta batinㅡmungkin, sejauh yang Krystal tahu begitu. Cuaca akhir-akhir ini cepat sekali berubah, kadang panas lalu lima menit kemudian sudah mendung kemudian hujan lebat. Persis sama seperti suasana hati adiknya akhir-akhir ini, Arzan. Terkadang pulang dengan wajah ceria sampai lesung pipi di wajah timbul, terkadang dengan wajah kusut. Krystal menimbang-nimbang, sebenarnya apa agaknya penyebab dari perubahan mood Arzan?. Ia benar-benar penasaran setengah mati tapi sang kakak ragu-ragu untuk bertanya. Hari inipun terjadi lagi. Tahu-tahu Arzan pulang sekolah dengan raut wajah ditekuk, masam, bahkan membanting sepatunya ke rak sepatu. Krystal sampai terkaget-kaget di depan laptopnya dengan mata membulat. Gadis tersebut terus-menerus menatap Arzan yang berjalan menuju dapur, lalu minum macam orang dehidrasi setahun. Gelasnya pun ikut menjadi sasaran kekesalannya, dibanting k
APARTEMENT sang sahabat sepi, hanya saja ada penghuninya. Rosa duduk di sofa dengan tatapan kosong, lurus ke layar TV yang menyala namun sukses diabaikan si empu. Barangkali isi otaknya sudah penuh, padat dan nyaris meledak jika terus bergolak panas di atas sana. Si gadis menghela napas berat, di pangkuannya ada semangkuk kecil choco crunch sebagai cemilan untuk menonton film. Yang terjadi malah Rosa yang tak fokus menonton dan sibuk berpikir. Rosa sudah tahu dan sadar bahwa persoalan hidup memanglah tak mudah. Sampai sekarang pun rasanya sulit dipercaya bahwa Rosa dikucilkan oleh keluarganya hanya karena ia anak perempuan. Entah di mana yang salah atau … mulai darimananya yang salah. Kendati sudah lelah memikirkan bagaimana caranya mengakhiri semua masalah hidup dengan cepatㅡtentunya selain mencari cara untuk membunuh diri sendiri, Rosa susah bosan. Si gadis memilih untuk menjalaninya, bagaikan air mengalir. Hidup, ya, hidup. Mati, ya, mati. Tinggal menunggu waktu kapan semua akan