“LO nggak baik-baik aja, Sa,” tembak Arzan begitu ia duduk dan mengambil tempat tepat di samping si gadis mawar seusai membeli dua botol minuman kemasan dingin dari vending machine. Rosa mau tidak mau terkekeh mendengar penuturan lawan bicaranya ini dan hanya mengirin satu anggukan lemah seraya menerima botol berisi kopi susu. “Well, emang. Gue lagi banyak pikiran,” balasnya. "Karena itu mungkin langsung ke tulis di muka gue kalau gue emang lagi nggak baik-baik aja. Kalau lagi capek-capeknya jadi susah buat nyembunyiin perasaan diri sendiri. Jadi, yaah, gitu deh." Rosa menyambung sekenanya, terkesan terdengar bertele-tele. Setelah melakukan perbincangan singkat nan mana terasa begitu lama bersama Jessica. Rasa-rasanya benang kusut di kepala Rosa makin menjadi-jadi kusutnya. Makin berkelit panjang. Makin berantakan. Makin rumit untuk di uraikan. Pelipis puan tupai tersebut kini berdenyut-denyut sebab terlalu stres hingga saraf-saraf kepalanya mengajukan demo besar-besar. Yah, sikap l
SINAR mentari terik masuk melewati celah demi celan nan tersedia. Hangatnya di ruangan gelap itu semakin terlihat sesak dengan luas ruangan yang tidak seberapa. Ingar bingar di luaran sana menjadi latar suara samar-samar bagi mereka yang tengah sibuk menenangkan diri sebaik mungkin di bawah besarnya tekanan emosional nan jiwa dapatkan. Seringai menyeramkan tercetak jelas pada bingkai wajah cantik bak boneka tersebut, duduk di atas sofa butut yang bagaikan singgasana ketika tangan rampingnya terjulur guna merambat perlahan di atas kepala manusia di bawah sana, iris bulat itu memandang begitu rendah sebelum menarik kasar sejumput rambut perempuan di hadapan yang di buat paksa mendongak. Menatap ke arahnya dengan muka babak belur dan banjir air mata. Tubuh kurus itu bergetar hebat. Teror menelannya bulat-bulat tanpa mampu melawan. Sementara temannya telah tumbang. Pingsan tatkala satu tendangan keras mengenai rahangnya. Wira berharap dia akan segera pingsan saja agar berhenti mendapat s
JUJUR saja belakangan ini hari-harinya terasa berat, berisik dan ada saja suatu hal yang menjadi buah pikiran Rosa. Oleh karena itu dia tidak memiliki energi lebih untuk menyambut hal baru mengejutkan di hidupnya. Namun takdir berkata lain, sekarang Rosa harus terima mau tidak mau kalau dia akan menghadapi rumor tidak jelas atau kebisingan memuakkan telinga untuk beberapa hari ke depan. Ia menaikkan sebelah alis, menatap bingung sekaligus penasaran akan eksistensi Mika yang tahu-tahu di depan kelasnya. Tampaknya tidak hanya gadis tupai tersebut nan penasaran maksud dan tujuan Mika atas kedatangannya secara tiba-tiba ke kelasnya saat tengah jam kosong. Orang-orang tidak punya kegiatan khusus hingga mereka sontak saja menjadi pusat perhatian. Seluruh penghuni kelas 11 IPA 3 juga sedang bertanya-tanya, siapa gerangan pemuda tampan dan tinggi itu berwajah asing itu? Seminggu lalu membuat heboh bersama Arzan. Kemudian tanpa di duga-duga, lagi, di tambah Lion yang merupakan salah satu siswa
ARZAN merajuk. Rosa yakin, seratus pangkat seratus persen. Buktinya sekarang terpampang jelas di depan mata. Lihatlah, Kawan. Bagaimana wajah pemuda berlesung pipi tersebut di tekuk, ada gurat masam, merengut terus-menerus, mendengus dan berdecak toada hentingnya. Setiap kali Rosa berusaha melangkah mengikuti ke mana arah manik mata Arzan memandang, laki-laki bertubuh jauh lebih jangkung di bandingkan dirinya itu dengan sigap menghindar; terus-menerus membuang muka. Kalau saja gadis tupai itu tidak memiliki tingkat kepekaan yang mumpuni, mungkin-mungkin saja dia takkan mengetahui bahwasanya penyebab Arzan mendadak merajuk begini adalah Mika. Ketika sang gadis tupai hendak bertukar nomor ponsel dengan anggota baru paduan suara itu, entah bagaimana dan kapan, bagaikan jelangkung Arzan datang entah darimana. Terlebih-lebih lagi sorot mata Arzan nen menusuk sampai Mika cepat-cepat bergegas undur diri. Rosa yakin Mika berpikir yang tidak-tidak menjurus aneh, seperti—“Apa muka gue terla
BARANGKALI memang benar akan apa yang di katakan para ahli geografis, bahwasanya sekarang kondisi bumi tidak lagi sesehat zaman dahulu kala yang mana semuanya berjalan serba manual namun tentu menyehatkan raga serta batin dengan alam asri serta udara yang bersih. Yah, itu mungkin, setidaknya sejauh yang Krystal ketahui begitu. Cuaca akhir-akhir ini cepat sekali berubah, kadang pana kemudian tahu-tahu lima menit setelahnya mendadak mendung lalu hujan lebat mengguyur hebat. Persis seperti suasana hati adik laki-lakinya akhir-akhir ini. Arzan. Seolah hati sang adik sedang mengalami musim pancaroba ekstrim. Terkadang pulang dengan wajah ceria minta ampun sampai-sampai lesung pipinya timbul, terkadang juga tampak kusut dan berlipat-lipat bagaikan pakaian yang belum pernah di setrika. Perempuan beriris tajam tersebut lantas saja di buat menimbang-nimbang atas perangai adiknya. Ia bertanya-tanya, sebenarnya apa agaknya penyebab dari perubahan suasana hati Arzan secara ekstrim demikian? Apak
APARTEMENT sang sahabat sepi, hanya saja masih ada penghuninya. Rosa duduk di sofa dengan tatapan kosong, lurus ke layar TV yang menyala namun sukses di abaikan si empu. Barangkali isi otaknya sudah penuh, padat dan nyaris meledak jika terus bergolak panas di atas sana. Sang gadis menghela napas berat, di pangkuannya ada semangkuk kecil choco crunch sebagai cemilan untuk menonton film. Yang terjadi malah Rosa yang tak fokus menonton dan sibuk berpikir. Rosa sudah tahu dan sadar bahwa persoalan hidup memanglah tak mudah. Sampai sekarang pun rasanya sulit dipercaya bahwa Rosa dikucilkan oleh keluarganya hanya karena ia anak perempuan. Entah di mana yang salah atau mulai darimananya yang salah. Kendati sudah lelah memikirkan bagaimana caranya mengakhiri semua masalah hidup dengan cepatㅡtentunya selain mencari cara untuk membunuh diri sendiri, Rosa susah bosan. Gadis serupa tupai itu memilih untuk hanya menjalaninya, bagaikan air mengalir. Hidup, ya, hidup. Mati, ya, mati. Tinggal menun
"ARE YOU STILL MAD WITH ME?" Pertanyaan tersebut Arzan lontarkan begitu Rosa ke luar dari toilet. Si gadis agaknya terkejut sehingga melebarkan matanya, namun ekspresi wajah Rosa cepat berubah. Rosa menggeleng dengan seulas senyum. "No! I'm not." Arzan menghela napas berat, si pemuda menggigit bibir bagian dalamnya singkat. "Gue minta maaf, Sa." "For what?" "Ngebentak lo kemarin dan secara nggak langsung nyudutin lo juga," papar Arzan, ia menghembuskan napas berat. "Gue nggak maksud gitu." Alih-alih memberikan jawaban yang akan membuat Arzan setidaknya lega atau tahu perasaan si gadis. Rosa malah melemparkan seulas senyumㅡmanis sekali omong-omong, dan menggeret Arzan menjauhi toilet perempuan. Karena tidak enak juga dengan pengguna lainnya, tidak etis juga berbicara di depan toilet. Arzan tak protes dan manut saja ditarik Rosa menujuㅡentah ke mana. Pemuda berlesung pipi tersebut fokus melihat punggung sempit Rosa, kemudian figur wajahnya dari samping dan meneliti bentuk wajah Ro
PERPADUAN kacamata bulat, ekspresi serius dan cahaya matahari merupakan salah satu momentum di mana Arzan tidak lagi memiliki kuasa atas kendali tubuhnya. Dia mematung, praktis terpaku bagaikan kayu kala terpesona akan seberapa cantik dan menawannya sang Nona Mawar sekarang. Iris indah itu menatap lurus pada layar laptop dengan kepala sedikit tertunduk. Manis sekali, batinnya bermonolog gemas. Rosa benar-benar merealisasikan ucapannya dalam membantu Arzan dengan segudang laporan ini dan itu. Ia jelas tertolong, tentu saja. Rambut panjang gadis tupai itu yang semulas terurai kini beralih terikat asal, namun Arzan berani bertaruh demi apa pun bahwa cepol asal tersebut tidak sedikit pun mengurangi kecantikan seorang Rosa. Justru yang ada semakin bertambah. Pemuda berlesung pipi tersebut tersenyum kecil sebelum kembali fokus dengan laptop dan tugasnya. Sementara sang gadis tupai nan telah menemukan satu kenyamanan dengan tubuh berbalut almamater Arzan, ia lantas menyilangkan kaki di atas
BEBERAPA hal terkadang berlalu begitu cepat tanpa di sangka-sangka. Seperti, misalnya kau tengah menonton sebuah film tetapi ternyata eksekusi adegannya tidak membuatmu tertarik dan lekas mendatangkan bosan, namun karena masih penasaran dengan ujung cerita pada akhirnya kau akan memilih mempercepat laju jalannya film tersebut tanpa pikir panjang. Iya, seperti itu. Inti adegan dan juga sekelumit kisah yang coba sutradara sampaikan dapat sekilas di pahami dan di ingat. Begitu juga akan kehidupan. Memang saat menjalaninya terasa berat, ingin menyerah dan membuatmu terasa ingin meninggalkan dunia dengan sesegera mungkin. Sebab kewarasan tengah berada di ujung tanduk. Akal sehat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi hati juga hancur lebur di obrak-abrik takdir. Pada akhirnya, hanya kata menyerah dan putus asa yang keluar dari belah bibir. Kehidupan dan takdir memang begitu. Benang merahnya sangat rumit untuk di uraikan dengan rangkaian kata belaka. Namun percayalah. Ketika semua
“ROSA! Lo tau nggakㅡ”“ENGGAK! NGGAK TAU! NGGAK TAU! GUE IKAN SOALNYA!”Sementara Arzan mengulum senyum geli, gadis chipmunk tersebut mati-matian menahan gondok. Bukan karena apa, setelah kejadian di mana ia juga mati-matian menggombali Arzan dan ketahuan oleh pemuda itu bahwa Rosa tengah mengerjainya sebagai ajang balas dendam. Arzan marah seharian, mogon bicara dan tahu-tahu besoknya malah menggantikan Rosa dalam hal gombal menggombali.Jantung Rosa tidak kuat. Memang ya, balas dendam itu tidak baik. Rosa malah nyaris spot jantung setiap saat karena Arzan membalasnya dua kali lebih parah daripada apa yang dia lakukan. Bahkan tak ragu-ragu untuk mengejarnya sepanjang sekolah demi berkata :“MAKMUMKU! KAMU MAU KEMANA? KOK CALON IMAMMU INI DITINGGAL?!”Rosa malu. Rosa nyaris sinting. Nyaris mati karena detakan jantungnya tak keruan. Sial. Lihat saja senyum manis Arzan yang masih betah bertengger. Rosa ingin sekali mencakar wajah tampan itu tetapi sayang kalau memiliki goresan. Rosa hany
“ZAN, tau nggakㅡ”“Udah dong, Saaa!”Arzan tidak sanggup. Arzan tidak kuat lagi. Arzan sudah tidak bisa menanggungnya lagi. Arzan bisa-bisa stres plus diabetes jika diberi gula terus-menerus. Bukannya apa-apa, hanya saja memang Arzan menyukai perubahan sifat Rosa. Sangat malahan. Manisnya tak tanggung-tanggung membuat Arzan terkadang malu sendiri. Arzan malah seperti anak gadis sementara Rosa seperti cowok yang hobi menggombalinya seperti sekarang.Tingkah manis Rosa terkadang datang begitu saja tanpa permisi, langsung menyerang danㅡtok! Pas sekali mengenai hatinya. Arzan lama-lama bisa jantungan kalau begini caranya.Rosa nyengir, tidak merasa bersalah sama sekali. “Gue 'kan belum selesai ngomong, sayangku. Aduh! Gemoy sekali Anda!” Rosa terbahak.Arzan tersenyum tabah. Sabar sekali menghadapi Rosa.“Zan, lo tau nggakㅡ”“Kalau gue mirip calon imam lo?” sambar Arzan jengah, kalimat ini sering sekali dilontarkan Rosa padanya. Bahkan tak malu mengungkapkannya di depan umum sekalipun. Ben
HARI ini adalah hari pertama Rosa memasuki sekolah setelah libur nyaris satu bulan lamanya. Tak banyak yang berubah. Di pagi hari Rosa sudah bangun lebih dulu untuk memasak sarapan. Membangunkan Jessica agar mau berangkat sekolah tepat waktu namun gadis itulah yang paling susah untuk di atur. Sementara Lion bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik. Iya, memang Jessica memilih tinggal bersama mereka meski kadang pulang juga. Rosa tak keberatan justru senang-senang saja.Rosa dan Lion tinggal di apartemen Jessicaㅡgadis itu yang memaksa. Rosa dan Lion tidak memiliki sanak saudara sehingga Demian menawarkan diri menjadi wali legal mereka. Setidaknya sampai Rosa lulus kuliah dan bekerja. Awalnya si gadis ragu namun setelah diyakinkan oleh ketiga sahabatnya, Rosa setuju. Hanya sampai ia mendapatkan pekerjaan tetap.Rosa berdecak sebal, masih mengenakan celemek bekas memasak dan saat kembali ke kamar Jessica masih dalam posisi sama persis saat ia tinggalkan tadi. “Jessica! Ih! Buruan mandi!
ROSA kembali berduka. Di hari kepulangannya dari rumah sakit dan di hari yang sama pula Rosa melihat Julian terbaring lemah di atas ranjang. Penuh luka dan tak berdaya. Rosa tak merasakan apapun saat menatap Julian yang jangankan untuk kembali menyakitinya, bergerak saja sulit. Seorang polisi pun mendatanginya dengan sebuah kabar bernuansa gagak hitam. Bahkan Rosa belum betul-betul keluar dari rumah sakit tetapi hal-hal buruk sudah menunggu. Marie bunuh diri di rumah mereka dengan cara gantung diri di ruang tamu. Kematian sang ibu rupanya sudah berjalan selama empat hari dan baru terendus warga kemarin karena bau busuk yang menyengat. Lagi-lagi Rosa tidak bisa merasakan apapun. Gadis tersebut hanya diam, membiarkan polisi membawanya untuk mengidentifikasi mayat. Kemudian Marie dibawa pulang untuk dikebumikan dan Lion menangis di sisinya sepanjang hari pemakaman. Rosa tak menangis. Ia hanya menatap kosong pada tubuh Marie yang ditimbun tanah dengan raut datar. Banyak orang yang
DI karenakan luka jahitan di perut maupun di kepala Rosa sudah mengering. Gadis tersebut diizinkan berjalan-jalan keluar kamar asal tetap pada pengawasan dan larangan yang seharusnya. Gadis chipmunk tersebut tentu senang akhirnya bisa keluar dari kamar super sumpek karena Jessica dengan kurang ajar membawa semua makanan yang di pantangkan untuknya. Rosa berdecih, mengumpat, melempar Jessica dengan vas bunga. Tetapi Jessica tetaplah Jessica. Kelakuannya tetap diulangi lagi ke esokannya. Hari inipun sama. Jessica dengan segenap hati dan baik sekali membawa pasta udang ke dalam kamarnya. Rosa mengumpat, berteriak histeris dan Jessica ngakak di tempat. Sahabat tidak ada akhlak. Rosa meremat kuat lengan Arzan sehingga pemuda tersebut meringis. “Kalau gue bisa, gue sleding kepalanya, Zan! Ih! Nyebelin banget, asli. Kuyang geblek, gue doain poninya hilang! Mampus!” gerutu Rosa, kesal pangkat seratus. “Cuih! Najis! Ishhh! Zaaaaan, mau pasta juga,” rengeknya. Arzan menghela napas berat,
KAMAR inap Rosa ramai meski di isi hening, memperhatikan setiap gerak-gerik dokter yang kembali mengecek kondisi tubuh si gadis. Setelah Rosa sadar, Jessica seperti orang kerasukan menelepon semua orang, memberitahukan kabar gembira ini. Chelsie dan Jenna datang dengan napas terengah-engah dan mata membulat sempurna. Di susul Raffa, Revin dan Alvin kemudian. Lion pun juga datang setelahnya dengan masih mengenakan seragam basket. Jelas sekali kabur dari sesi latihan. Dokter tersebut berbalik dan membuat mereka menahan napas sejenak. Dokter tersebut tersenyum, “Pasien hanya butuh istirahat total untuk pemulihan. Jadi saya harap,” dokter tersebut menggantungkan kalimat dan tersenyum kecil. “Kalian tidak boleh terlalu memaksakan sesuatu hal pada pasien. Kalau begitu saya permisi dulu.” Mereka serentak menghela napas lega. Tepat setelah pintu tertutup mereka semua langsung mengerubungi setiap sisi ranjang Rosa. Seolah mereka adalah lalat yang baru saja melihat kue lava yang lezat. Jessi
DUA minggu berlalu. Kondisi Rosa makin memburuk. Arzan tidak tahu harus bagaimana mendefinisikannya namun ia rasa setiap melangkah menuju kamar si gadis. Lututnya melemas melihat banyak alat penopang kehidupan yang terpasang di tubub Rosa. Arzan seharusnya bersyukur saat gadis itu masih bisa bertahan, tetapi ia malah berpikir jika Rosa ingin pergi. Napasnya memberat. Tepat seminggu Rosa masih berdiam diri di ranjangnya, Arzan sudah dibolehkan untuk pulang. Menjalani aktifitasnya seperti biasa, bahkan Arzan tidak merasakan apapun saat Pak Harry memujinya terus-terusan atas kinerja mereka pada OS. Setiap hari yang Arzan lakukan hanya pulang sekolah dengan cepat agar menghabiskan sisa hari di sisi ranjang Rosa. Tangannya terjulur untuk menyelipkan anak rambut Rosa ke belakang telinga si gadis. Agar wajahnya tidak tertutupi lagi selain dengan alat pernapasan. “Kayaknya di sana enak ya, Sa? Sampai lo nggak mau bangun gini,” ujar Arzan sendu. Diusapnya punggung tangan Rosa yang makin d
MUNGKIN mempertahankan kewarasan bagi seseorang seperti mempertahankan dirimu di medan perang. Sulit, mematikan, menyakitkan namun fisik dan mental dipaksa untuk terus bekerja secara spontan. Satu saja salah langkah, kamu bisa saja jatuh pada kubangan menyakitkan bernama depresiㅡgangguan mental lainnya atau bisa jadi lenyap dari muka bumiㅡmati. Barangkali opsi terakhir sering dipakai karena kebanyakan dari mereka memilih untuk tidak bertahan.Apa Rosa akan begitu?Arzan tidak tahu dan tidak ingin menebak-nebak juga. Ia tidak ingin mendapatkan jawaban yang diluar dugaan nantinyaㅡnanti yang entah kapan. Tepat pukul sepuluh malam saat Krystal sudah terlelap di ranjang tambahan bersama laptop yang menyala. Alvin pun sudah pulang bersama Jessicaㅡkatanya. Arzan meloncat turun pelan-pelan dari ranjangnya. Meski dihantam pening, si pemuda tak goyah.Menarik tiang infus dengan gerakan sepelan mungkin agar tidak membangunkan Krystal, begitu pula saat membuka pintu. Lorong rumah sakit sudah agak