SEHARUSNYA dibandingkan membalaskan kekesalannyaㅡtidak sepenuhnya kesal juga, sih, sebab Rosa lebih banyak tertawa, si gadis harus mengingat kondisi kakinya yang belum sembuh total. Sehingga berujung seluruh lukanya berdenyut-denyut ngilu dan Rosa menahan tangis agar tidak pecah di tengah-tengah keramaian begini. Ia duduk di kursi panjang, sedikit membungkuk untuk mengelus-elus pelan kakinya, berharap rasa sakitnya berkurang tetapi tak kunjung ada perubahan berarti. Denyutannya masih terasa, Rosa mendesah pelan. Sakit banget, ya Allah. Rosa benar-benar ingin menangis sekarang sementara Arzan entah hilang kemana setelah mendudukkan Rosa di kursi. Ramainya festival tidak berkurang sedikitpun meski sore hampir dimakan senja yang sudah terhiasi lembayung jingga. Malah semakin padat setiap detiknya, banyak yang berlalu masuk daripada keluar. Si gadis mendesis kala betis kanannya berdenyut kuat-kuat seolah tengah menjerit kesakitan. Rosa juga tahu, ia menyesal telah berlari. Sepersekian d
“GESER dikit lagi. Nah. Bagus!”Alvin berdecak sebal setengah dendam kesumat. Pemuda kelinci itu mengira saat Jessica mengirimkan sebuah alamat, akan tercipta suatu momentum romantis antara mereka. Jangankan manis-manis madu, malah ia yang berkeringat dengan senja sewarna madu di luar sana. Kalau ngotot ingin pulang karena telah ditipu secara tidak langsung pasti Jessica mengomel tidak jelas padanya. Sementara Jessica puas bukan main telah memperbabu Alvin sore ini. Sebenarnya Jessica tidak begitu banyak berharap Alvin akan membantu tetapi malah pemuda itu sendiri yang membabat habis pekerjaan rumah. Apartemennya ini sudah lama tidak ditinggali jadi banyak sekali debu, lalu Jessica hanya kebagian menyedot debu-debu di lantai dan mengganti sprei. Selebihnyaㅡwow! Alvin sendiri yang lakukan. Mulai dari mengganti tirai, menata sofa yang sudah tak keruan bentuknya dan sebagainya. Alvin seniat itu ternyata. Jessica kagum. Jessica menghampiri Alvin yang sudah duduk lemas bersimbah keringa
ROSA menguap pelan saat guru mata pelajaran kimia baru saja keluar dari kelasnya. Tangannya merenggang kecil untuk melemaskan otot-otot tangannya. Rosa melirik Jessica yang tertidur di mejanya dengan Alvin yang menonton sembari tersenyum-senyum sinting. Iya, mereka berbeda kelas dan cowok itu nekat menyusup di kelasnya di menit-menit terakhir. Katanya tak sengaja melihat Jessica tertidur dari balik jendela. Ia menghela napas, makin kelihatan saja Alvin ini bucin terhadap Jessica. Biasanya juga mengganggu Jessica setiap detik dan setiap saat, tetapi kali ini kalem sekali. Si gadis berjengit kecil kala pundaknya ditepuk dua kali, ia mendongak cepat dan menemukan Arzan berdiri di sisi mejanya. Ia menerbitkan senyumannya. “Kenapa?”“Daripada nontinin orang yang lagi uwu, mending kita pergi ke kantin. Lo laper nggak?”Gadis chipmunk tersebut mengangguk semangat dan berdiri. Rosa sempat melirik ke arah Alvin. “Heh! Jagain sahabat gue, ya. Awas lo apa-apain.”Alvin mengangguk dan tanpa me
DI balik gedung tingkat tiga atau yang lebih sering di sebut belakang sekolah. Lion membawa sang kakak menuju ke sana agar bisa berbicara dengan kondusifㅡtentunya, tidak di depan orang-orang yang sibuk memasang mata serta telinga mereka. Di belakang sekolah bagian barat terdapat pohon besar tinggi serta meja dan sofa ( markas Alvin dan kawan-kawannya yang untungnya sedang tak berada di tempat). Hembusan angin di sini kencang sekali, matahari pun tak sepenuhnya menyinari tempat ini. Rosa sudah menduga bahwa Lion akan datang mencarinya, entah saat mereka berdua atau seperti tadi, di depan banyak orang. Rosa ingin menolak tetapi menatap pancaran mata sang adik, ia tak tega langsung pergi begitu saja. Lion tentu akan membahas mengenai kepindahan sementara Rosa ke apartment Jessica, sebab ia belum membicarakan hal tersebut bersama Lion. Ia paham kalau Lion marah padanya, ditambah Rosa mengabaikan semua pesan dan telepon sang adik karena ingin berpikir jernih terlebih dahulu. Merasa kond
“LO nggak baik-baik aja, Sa,” tembak Arzan setelah duduk di samping si gadis seusai membeli dua botol minuman kemasan. Rosa terkekeh mendengarnya dan mengangguk seraya menerima botol berisi kopi susu. “Well, emang. Gue lagi banyak pikiran,” balasnya. Setelah perbincangan singkat yang terasa lama bersama Jessica. Benang kusut di kepala Rosa makin menjadi-jadi kusut dan berkelit panjang. Pelipisnya berdenyut sebab terlalu stres, saraf-saraf kepalanya mengakui itu rupanya. Rosa menghela napas berat, si gadis kembali terhenyak, menyelami kubangan kenangan dan pikirannya sendiri. Otak dan batinnya tengah berperang hebat di dalam sana. Rosa tak akan menyangka bahwa hidupnya akan serumit ini. Benar-benar rumit sehingga ia kepayahan mencari jalan keluar, untuk dirinya sendiri. Si gadis tak akan menyangka bahwa Jessica akan menawarkan nama belakang 'Atriyadinata' padanya. Pertanyaanya, apakah ia sanggup dan mampu untuk itu? Melepas nama belakang 'Evendi'ㅡyang selama ini tak pernah Rosa tu
TANGANNYA terulur menarik kasar sejumput rambut perempuan di depan mata hingga wajahnya mendongak ke arahnya. Jessica menyeringai ke arah Wira, gadis itu banjir air mata, tubuh bergetar serta wajah penuh luka sedangkan temannya yang satu lagi, Rara sudah pingsan. Entah karena syok atau memang daya tubuhnya yang lemah. Jessica tidak peduli. Wira menatap Jessica takut, tubuhnya tremor parah serta iris yang bergetar bersitatap dengan perempuan sinting di depan mata. Jessica menarik lebih kuat rambut milik Wira hingga si empunya mengaduh. “Gimana? Menyenangkan, 'kan?”“Am-ampun, Jes,” lirih Wira, ia mengatupkan tangan dan menggosok-gosok kedua telapak tangannya memohon. Jessica menekuk wajahnya sok sedih. “Hei! Masa gitu, sih, gue belum puas main, lho, Wira,” ujarnya, ia melirik Rara yang terkapar di atas lantai penuh debu, penampilannya sama acak-acakan dengan Wira. “Temen lo udah bobo duluan, jadi nggak seru. Ayo main lagi!”Wira menggeleng heboh, matanya membulat sempurna, takut. Ia
MENAIKKAN satu alis, agaknya Rosa dibuat bingung dengan eksistensi Mika di depan kelasnya. Tampaknya tak hanya Rosa yang penasaran maksud dan tujuan Mika mendatangi kelasnya yang tengah jam kosong. Seluruh penghuni 11 IPA 3 juga bertanya-tanya, siapa gerangan pemuda tampan itu?. Seminggu lalu heboh bersama Arzan. Ditambah Lion yang notebenenya cowok populer, makin memanas. Kemudian Mika yang dengan wajah asing nan rupawan serta memiliki senyum memikat mendatangi Rosa. Mereka agaknya langsung berpikir. Hidup Rosa dikelilingi para pria tampan nan rupawan, baik hati serta mudah tersenyum. Berbeda dengan si gadis yang cenderung jutek dan mengintimidasi. Yeah, mereka hanya tidak tahu saja kehidupan Rosa selama 17 tahun menapaki bumi. Sudah seperti neraka versi dunia. Mika nyengir. Rosa memasang wajah senggol bacok. Apa-apaan laki-laki itu? Datang hanya untuk nyengir saja padanya?. “Jadi?” Rosa membuka suara, bersedekap tangan dengan sorot mata menuntut. Mika melirik pada banyaknya pres
ARZAN pundung. Rosa yakin, seratus pangkat seratus persen. Buktinya? Lihat saja wajah pemuda berlesung pipi tersebut. Ditekuk, masam, mengerut, terus-menerus mendengus. Setiap Rosa melangkah mengikuti arah manik mata Arzan memandang, pemuda tinggi terus-terusan menghindar; membuang muka. Penyebabnya jelas karena Mika. Saat Rosa dan Mika ingin bertukar nomor ponsel laki-laki tersebut tiba-tiba datang, entah datang darimana. Bagai jelangkung saja. Bahkan Arzan juga menatap Mika dengan tatapan menusuk sampai anak itu cepat-cepat pamit undur diri. Rosa yakin Mika berpikir yang tidak-tidak menjurus aneh, seperti :“Apa muka gue terlalu ganteng jadi dia merasa tersaingi?”Rosa menghela napas, setengah geli setengah kesal dengan sikap Arzan sekarang. Semenjak peninggalan Mika yang kabur menuju ke kelasnyaㅡmungkin, Arzan mogok bicara padanya. Tidak sepenuhnya, sih, hanya saja Arzan tidak mengacuhkannya. Sementara Rosa yakin bahwa mulutnya sudah penuh busa karena bergerak sejak tadi. Mungkin