BERHENTI memperpanjang langkah, iris kecokelatan Rosa memandang nanar bangunan di hadapannya yang ia biasa di sebut rumah ini. Iya, rumah. Rumahnya. Ah, ini terdengar semakin lucu saja. Rumah, ya? Apakah bisa Rosa sebut demikian sementara seisi rumah itu seakan menolak kehadirannya? Bahkan bangunan itu tidak pernah terasa hangat sampai-sampai ia ingin pulang ke sana kala merasa lelah. Terasa hambar dan dingin untuk selama ini dia rasakan sendiri. Gelenyar menyakitkan nan sangat-sangat mengganjal ketika memandangi rumah di depan matanya ini selalu berhasil membuat Rosa merasa kalau-kalau dia bukanlah apa-apa di dunia yang luas ini. Baik dulu atau sekarang. Sama saja. Tidak ada perubahan berarti selain pertumbuhan tubuh dan perkembangan pikiran. Hanya saja semakin lama di jalani justru di buat bingung sekaligus kapabel sekali dalam membunuh kewarasannya dalam satu waktu yang sama. Rosa seolah-seolah selalu di minta pergi namun kakinya justru makin di rantai begitu kuat. Lantas bagaimana
KICAUAN burung terdengar jauh lebih berisik. Angkasan biru telah kembali memberikan singgasananya kepada sang mentari nan perlahan-lahan merangkak, inginkan tahtanya. Sinarnya dengan menantang mulai membelai separuh isi bumi. Matahari memang belum secara sempurna berdiri tegak dengan pongah pada puncak dunia tersebut, namun cahayanya mampu membuat Rosa mengernyitkan dahi bersama mata terpicing kuat. Gadis mawar tersebut mengatur penglihatannya sejenak sebelum menoleh menuju arah jam dinding. Di sana terpampang jelas pukul 06:45 WIB. Perempuan tersebut serta-merta mendesah pelan, ia bangun kesiangan. Barangkali efek dari agenda menangis semalaman nan sebisa mungkin tanpa suara dari balik selimut dan tidak lama setelahnya jatuh begitu saja, masuk ke dalam dunia mimpi dengan kesunyian nan menemani. Meski semalam Lion mampir mengetuk pintu kamar untuk waktu yang lama, meminta ia keluar untuk makan, Rosa memilih untuk mengabaikannya. Ia tetap setia bungkam dan betah dengan kekosongan kamarn
“ROSA masuk sekolah, Zan.” Beberapa menit lewat begitu kalimat pendek berisi empat kata yang Dhani sampaikan begitu memasuki ruangan OSIS. Kendati demikianlah tanpa menunggu apa-apa lagi Arzan langsung melempar pensil ke meja, meninggalkan pekerjaannya dan berlari dengan gesit keluar dari ruang OSIS. Pemuda dengan lesung pipi tersebut kaget mendapat berita tersebut, pasalnya ia sama sekali tidak tahu-menahu mengenai Rosa yang akan datang sekolah hari ini. Belum lagi informasi dari Joan berkata jikalau gadis mawar itu masih menjadi perbincangan hangat di sekolah mereka. Yah, apalagi penyebabnya kalau bukan tentang foto nan tersebar satu minggu lewat. Dengan sang pemeran utama yang baru saja menampakkan batang hidungnya, mana mungkin si empu tidak langsung menjadi buah bibir masyarakat Bina Bangsa. Mana mungkin begitu, kadang kala sudah naluriah manusia untuk tertarik dengan urusan orang lain, bukan? Jadi mau di cegah sebagaimana pun juga, dua tangan takkan bisa untuk menutup ribuan
“ROSALINE! MAKAN LO DIKIT AMAT, SIH, ANJIR! KESURUPAN LO?!” Kadang kala ada satu hal aneh dan asing yang ingin sekali manusia lakukan, seperti ide yang tiba-tiba muncul entah datang darimana tetapi terdengar seru apabila di lakukan. Contoh nyatanya saja Rosa. Ia mendadak ingin sekali menukar-tambah Jessica dengan makanan. Apa saja. Barangkali jauh lebih bermanfaat baginya. Yang mana juga bisa membuatnya tidak mendengar teriakan menyebalkan gadis berponi tersebut. Mulutnya itu, lho, ya ampun, kerasnya sudah mampu menyaingi speaker sekolah ini. Memang tidak akan ada yang protes di kantin ini. Mana berani mereka. Lebih baik tuli dini daripada di hajar habis-habisan oleh psikopat berwajah boneka satu ini. Jiwa sosialisasi gadis itu nol besar. Jessica jauh lebih suka berbicara dengan kepalan tangan di bandingkan menggunakan mulut. Jauh lebih praktis, katanya. Gila memang. Rosa menatap jengah ke arah Jessica yang sudah macam orang kesetanan memenuhi isi piringnya dengan berbagai macam ma
MERASAKAN bahwa ada sesuatu nan tidak beres pada Nona Mawarnya usai sang gadis pergi begitu saja ketika mereka berjumpa di lorong pagi tadi, Arzan kembali di liputi kebingungan absolut. Sialnya, dia juga tidak tahu itu apa dan mengapa. Pemuda berlesung pipi itu hanya merasa ada yang salah sekaligus janggal dengan kepergian Rosa saat itu dan karena apa ia mendadak di rundung perasaan bersalah akan suatu hal yang tidak mampu Arzan mengerti. Bahkan sampai-sampai ia tidak bisa menyapa gadis tupai itu tatkala mereka tidak sengaja berpapasan, seolah-olah ada penghalang tidak kasat di antara mereka. Seakan dia takut menganggu waktu tenang Rosa sendiri. Padahal sebelum-sebelumnya Arzan merasa biasa saja, ia pasti akan meluangkan sedikit waktu untuk menyapa Rosa. Namun kali ini terasa berbeda. Oleh karena itu pemuda yang menjabat sebagai ketua OSIS sekolah ini berinisiatif untuk tetap tinggal di kelas sembari menunggu Rosa dengan tugas piket harian. Sebenarnya, ia sendiri cukup kaget tatkala
GADIS tersebut sempat berpikir sepanjang perjalanan bahwa bisa jadi Arzan akan membawanya menuju sebuah tempat yang mana penuh akan makanan, entah itu restoran, kafe atau angkringan seperti minggu lalu. Minimal menuju tempat-tempat romantis macam tingkah serta sikap Arzan selama ini kepadanya atau juga datang ke tempat-tempat di mana bermulanya kisah cinta semacam novel picisan nan zaman sekarang banyak sekali di gemari khalayak ramai. Seperti di penuhi lamu kerlap-kerlip yang cantik, berpendar hangat dan nyaman di lihat, sebuket bunga nan beraroma mawar menenangkan indera penciuman dan lain sejenisnya. Namun kenyataannya pemuda berlesung pipi tersebut justru membawanya menuju tempat ramai nan sesak pengunjung bernama festival kota. Lokasinya cukup jauh hingga mereka memakan waktu lebih dari setengah jam karena harus menerobos macet juga. Yah, setidaknya Rosa dapat menemukan stan makanan nan berjejer rapi di setiap sisi dengan kedua matanya. Jadi ini tidak sepenuhnya buruk. Tidak s
SEHARUSNYA di bandingkan membalas rasa kesal nan sesungguhnya tidak terlalu terasa menyebalkan juga, sebab Rosa jauh lebih banyak tertawa hari ini, namun bagaimana pun juga gadis serupa tupai tersebut harus mengingat benar kondisi kakinya yang belum sembuh total. Akibat terlalu banyak bergerak berujung membuat dia merasakan kembali lukanya berdenyut-denyut ngilu bukan main sampai-sampai Rosa harus menahan tangisannya agar tidak pecah di tengah-tengah keramaian begini. Ia masih punya malu. Rosa kemudian di papah Arzan untuk segera duduk di kursi panjang, dia langsung membungkuk kecil guna mengulurkan tangan demi mengelus-elus pelan luka-lukanya yang masih di perban. Berharap rasa sakit di sana akan segera berkurang akan tetapi tidak kunjung ada perubahan berarti. Denyutan demi denyutan panas itu masih tetap terasa menyakitkan. Rosa mendesis kala mencoba menahan sebisa mungkin sakitnya. Ini benar-benar sekali. Rosa betulan ingin menangis sekarang juga di buatnya sementara Arzan menghil
“GESER dikit lagi. Nah. Bagus!” Demi Tuhan! Alvin akan ingat peristiwa ini sampai ia mati. Ia akan balas dendam dengan sangat-sangat kejam demi rasa kekecewaan dan sakit yang di terima hatinya. Alvin berdecak sebal, ia dendam kesumat melihat sosok manis yang berdiri tidak jauh dari posisinya ini. Pemuda nan mirip kelinci itu mengira ketika Jessica mengirimkan sebuah alamat kepadanya, Alvin pikir adegan berikutnya merupakan terciptanya suatu momentum romantis di antara mereka berdua. Namun nihil. Dia tertipu. Alvin harus di paksa menancapkan bendera kekalahannya begitu sampai. Jangankan berbuat manis-manis madu, malah sekarang Alvin banjir keringat dengan di temani senja sewarna madu di luar jendela sana. Jessica memperalatnya sebagai seorang kuli sekarang. Jikalau ia nekat dan bersikeras ingin pulang karena kepercayaannya telah di permainkan begitu saja, sudah pasti Jessica akan langsung menyumpah serapahinya. Alvin bukannya takut, tetapi Alvin tidak tega saja harus membuat Jessica
BEBERAPA hal terkadang berlalu begitu cepat tanpa di sangka-sangka. Seperti, misalnya kau tengah menonton sebuah film tetapi ternyata eksekusi adegannya tidak membuatmu tertarik dan lekas mendatangkan bosan, namun karena masih penasaran dengan ujung cerita pada akhirnya kau akan memilih mempercepat laju jalannya film tersebut tanpa pikir panjang. Iya, seperti itu. Inti adegan dan juga sekelumit kisah yang coba sutradara sampaikan dapat sekilas di pahami dan di ingat. Begitu juga akan kehidupan. Memang saat menjalaninya terasa berat, ingin menyerah dan membuatmu terasa ingin meninggalkan dunia dengan sesegera mungkin. Sebab kewarasan tengah berada di ujung tanduk. Akal sehat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi hati juga hancur lebur di obrak-abrik takdir. Pada akhirnya, hanya kata menyerah dan putus asa yang keluar dari belah bibir. Kehidupan dan takdir memang begitu. Benang merahnya sangat rumit untuk di uraikan dengan rangkaian kata belaka. Namun percayalah. Ketika semua
“ROSA! Lo tau nggakㅡ”“ENGGAK! NGGAK TAU! NGGAK TAU! GUE IKAN SOALNYA!”Sementara Arzan mengulum senyum geli, gadis chipmunk tersebut mati-matian menahan gondok. Bukan karena apa, setelah kejadian di mana ia juga mati-matian menggombali Arzan dan ketahuan oleh pemuda itu bahwa Rosa tengah mengerjainya sebagai ajang balas dendam. Arzan marah seharian, mogon bicara dan tahu-tahu besoknya malah menggantikan Rosa dalam hal gombal menggombali.Jantung Rosa tidak kuat. Memang ya, balas dendam itu tidak baik. Rosa malah nyaris spot jantung setiap saat karena Arzan membalasnya dua kali lebih parah daripada apa yang dia lakukan. Bahkan tak ragu-ragu untuk mengejarnya sepanjang sekolah demi berkata :“MAKMUMKU! KAMU MAU KEMANA? KOK CALON IMAMMU INI DITINGGAL?!”Rosa malu. Rosa nyaris sinting. Nyaris mati karena detakan jantungnya tak keruan. Sial. Lihat saja senyum manis Arzan yang masih betah bertengger. Rosa ingin sekali mencakar wajah tampan itu tetapi sayang kalau memiliki goresan. Rosa hany
“ZAN, tau nggakㅡ”“Udah dong, Saaa!”Arzan tidak sanggup. Arzan tidak kuat lagi. Arzan sudah tidak bisa menanggungnya lagi. Arzan bisa-bisa stres plus diabetes jika diberi gula terus-menerus. Bukannya apa-apa, hanya saja memang Arzan menyukai perubahan sifat Rosa. Sangat malahan. Manisnya tak tanggung-tanggung membuat Arzan terkadang malu sendiri. Arzan malah seperti anak gadis sementara Rosa seperti cowok yang hobi menggombalinya seperti sekarang.Tingkah manis Rosa terkadang datang begitu saja tanpa permisi, langsung menyerang danㅡtok! Pas sekali mengenai hatinya. Arzan lama-lama bisa jantungan kalau begini caranya.Rosa nyengir, tidak merasa bersalah sama sekali. “Gue 'kan belum selesai ngomong, sayangku. Aduh! Gemoy sekali Anda!” Rosa terbahak.Arzan tersenyum tabah. Sabar sekali menghadapi Rosa.“Zan, lo tau nggakㅡ”“Kalau gue mirip calon imam lo?” sambar Arzan jengah, kalimat ini sering sekali dilontarkan Rosa padanya. Bahkan tak malu mengungkapkannya di depan umum sekalipun. Ben
HARI ini adalah hari pertama Rosa memasuki sekolah setelah libur nyaris satu bulan lamanya. Tak banyak yang berubah. Di pagi hari Rosa sudah bangun lebih dulu untuk memasak sarapan. Membangunkan Jessica agar mau berangkat sekolah tepat waktu namun gadis itulah yang paling susah untuk di atur. Sementara Lion bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik. Iya, memang Jessica memilih tinggal bersama mereka meski kadang pulang juga. Rosa tak keberatan justru senang-senang saja.Rosa dan Lion tinggal di apartemen Jessicaㅡgadis itu yang memaksa. Rosa dan Lion tidak memiliki sanak saudara sehingga Demian menawarkan diri menjadi wali legal mereka. Setidaknya sampai Rosa lulus kuliah dan bekerja. Awalnya si gadis ragu namun setelah diyakinkan oleh ketiga sahabatnya, Rosa setuju. Hanya sampai ia mendapatkan pekerjaan tetap.Rosa berdecak sebal, masih mengenakan celemek bekas memasak dan saat kembali ke kamar Jessica masih dalam posisi sama persis saat ia tinggalkan tadi. “Jessica! Ih! Buruan mandi!
ROSA kembali berduka. Di hari kepulangannya dari rumah sakit dan di hari yang sama pula Rosa melihat Julian terbaring lemah di atas ranjang. Penuh luka dan tak berdaya. Rosa tak merasakan apapun saat menatap Julian yang jangankan untuk kembali menyakitinya, bergerak saja sulit. Seorang polisi pun mendatanginya dengan sebuah kabar bernuansa gagak hitam. Bahkan Rosa belum betul-betul keluar dari rumah sakit tetapi hal-hal buruk sudah menunggu. Marie bunuh diri di rumah mereka dengan cara gantung diri di ruang tamu. Kematian sang ibu rupanya sudah berjalan selama empat hari dan baru terendus warga kemarin karena bau busuk yang menyengat. Lagi-lagi Rosa tidak bisa merasakan apapun. Gadis tersebut hanya diam, membiarkan polisi membawanya untuk mengidentifikasi mayat. Kemudian Marie dibawa pulang untuk dikebumikan dan Lion menangis di sisinya sepanjang hari pemakaman. Rosa tak menangis. Ia hanya menatap kosong pada tubuh Marie yang ditimbun tanah dengan raut datar. Banyak orang yang
DI karenakan luka jahitan di perut maupun di kepala Rosa sudah mengering. Gadis tersebut diizinkan berjalan-jalan keluar kamar asal tetap pada pengawasan dan larangan yang seharusnya. Gadis chipmunk tersebut tentu senang akhirnya bisa keluar dari kamar super sumpek karena Jessica dengan kurang ajar membawa semua makanan yang di pantangkan untuknya. Rosa berdecih, mengumpat, melempar Jessica dengan vas bunga. Tetapi Jessica tetaplah Jessica. Kelakuannya tetap diulangi lagi ke esokannya. Hari inipun sama. Jessica dengan segenap hati dan baik sekali membawa pasta udang ke dalam kamarnya. Rosa mengumpat, berteriak histeris dan Jessica ngakak di tempat. Sahabat tidak ada akhlak. Rosa meremat kuat lengan Arzan sehingga pemuda tersebut meringis. “Kalau gue bisa, gue sleding kepalanya, Zan! Ih! Nyebelin banget, asli. Kuyang geblek, gue doain poninya hilang! Mampus!” gerutu Rosa, kesal pangkat seratus. “Cuih! Najis! Ishhh! Zaaaaan, mau pasta juga,” rengeknya. Arzan menghela napas berat,
KAMAR inap Rosa ramai meski di isi hening, memperhatikan setiap gerak-gerik dokter yang kembali mengecek kondisi tubuh si gadis. Setelah Rosa sadar, Jessica seperti orang kerasukan menelepon semua orang, memberitahukan kabar gembira ini. Chelsie dan Jenna datang dengan napas terengah-engah dan mata membulat sempurna. Di susul Raffa, Revin dan Alvin kemudian. Lion pun juga datang setelahnya dengan masih mengenakan seragam basket. Jelas sekali kabur dari sesi latihan. Dokter tersebut berbalik dan membuat mereka menahan napas sejenak. Dokter tersebut tersenyum, “Pasien hanya butuh istirahat total untuk pemulihan. Jadi saya harap,” dokter tersebut menggantungkan kalimat dan tersenyum kecil. “Kalian tidak boleh terlalu memaksakan sesuatu hal pada pasien. Kalau begitu saya permisi dulu.” Mereka serentak menghela napas lega. Tepat setelah pintu tertutup mereka semua langsung mengerubungi setiap sisi ranjang Rosa. Seolah mereka adalah lalat yang baru saja melihat kue lava yang lezat. Jessi
DUA minggu berlalu. Kondisi Rosa makin memburuk. Arzan tidak tahu harus bagaimana mendefinisikannya namun ia rasa setiap melangkah menuju kamar si gadis. Lututnya melemas melihat banyak alat penopang kehidupan yang terpasang di tubub Rosa. Arzan seharusnya bersyukur saat gadis itu masih bisa bertahan, tetapi ia malah berpikir jika Rosa ingin pergi. Napasnya memberat. Tepat seminggu Rosa masih berdiam diri di ranjangnya, Arzan sudah dibolehkan untuk pulang. Menjalani aktifitasnya seperti biasa, bahkan Arzan tidak merasakan apapun saat Pak Harry memujinya terus-terusan atas kinerja mereka pada OS. Setiap hari yang Arzan lakukan hanya pulang sekolah dengan cepat agar menghabiskan sisa hari di sisi ranjang Rosa. Tangannya terjulur untuk menyelipkan anak rambut Rosa ke belakang telinga si gadis. Agar wajahnya tidak tertutupi lagi selain dengan alat pernapasan. “Kayaknya di sana enak ya, Sa? Sampai lo nggak mau bangun gini,” ujar Arzan sendu. Diusapnya punggung tangan Rosa yang makin d
MUNGKIN mempertahankan kewarasan bagi seseorang seperti mempertahankan dirimu di medan perang. Sulit, mematikan, menyakitkan namun fisik dan mental dipaksa untuk terus bekerja secara spontan. Satu saja salah langkah, kamu bisa saja jatuh pada kubangan menyakitkan bernama depresiㅡgangguan mental lainnya atau bisa jadi lenyap dari muka bumiㅡmati. Barangkali opsi terakhir sering dipakai karena kebanyakan dari mereka memilih untuk tidak bertahan.Apa Rosa akan begitu?Arzan tidak tahu dan tidak ingin menebak-nebak juga. Ia tidak ingin mendapatkan jawaban yang diluar dugaan nantinyaㅡnanti yang entah kapan. Tepat pukul sepuluh malam saat Krystal sudah terlelap di ranjang tambahan bersama laptop yang menyala. Alvin pun sudah pulang bersama Jessicaㅡkatanya. Arzan meloncat turun pelan-pelan dari ranjangnya. Meski dihantam pening, si pemuda tak goyah.Menarik tiang infus dengan gerakan sepelan mungkin agar tidak membangunkan Krystal, begitu pula saat membuka pintu. Lorong rumah sakit sudah agak