Beranda / Romansa / Gus! I Lap Yuh! / [2] Berat ini, Berat!

Share

[2] Berat ini, Berat!

Penulis: qeynov
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Dikin, lepasin gue!!”

Tatiana meronta-ronta ingin dilepaskan. Dikedua sisi tubuhnya, Sadikin dan papanya memegangi lengannya. Mereka mengangkat dirinya, membuat kakinya terseret-seret hingga mengikuti langkah keduanya.

“Papa, Tiana nggak mau. Papa jahat!” Tatiana seakan tahu mengapa ia sampai berada di sebuah pondok pesantren ketika terbangun. Tak mungkin papanya ingin menjadi donatur. Pria itu pasti ingin meninggalkannya di negeri entah berantah ini.

“Papa! Lepas, Papa!” Pinta Tatiana, mengiba.

“Diam, Tiana! Papa lakuin semua ini karena sayang sama kamu.” Sebenarnya Januar tak tega. Tapi mau bagaimana lagi. Putrinya harus mendapatkan pendidikan agama agar jalan hidupnya berubah. “Satu tahun aja, Sayang. Tolong sekali ini aja, kamu nurut sama kata Papa, ya?”

“Nggak mau! Papa nggak sayang Tiana!”

Apa yang Tatiana alami sukses menjadi tontonan warga pondok pesantren. Banyak anak yang tengah menuju ke masjid, berhenti berjalan untuk menonton aksi Tatiana.

Mereka memekik kala Tatiana menggigit lengan Sadikin dan menghempaskan lengan papanya. Gadis itu memutar tubuhnya, berniat kabur untuk kedua kalinya dari jerat kekejaman sang papa.

“Demi Allah, Tatiana! Selangkah lagi kamu jalan, Papa pastiin nama kamu nggak ada lagi di Kartu Keluarga kita!” Ancam Januar mulai kehilangan akal. Kesabarannya terasa diuji sebab putrinya yang tak lagi semanis masa kecilnya dulu.

“Jangan kamu pikir Papa cuma asal gertak!”

Langkah kaki Tatiana kontan terhenti. Gadis itu membeku mendengar ancaman papanya. Tak pernah sebelumnya ia dengar ancaman yang sama. Semarah-Marahnya sang papa, pria itu tak sampai hati menghapus dirinya dari keluarga. Air matanya meluruh, jatuh membasahi pipinya yang putih.

“Papa bener-bener nggak bercanda, Tiana. Tinggal di sini satu tahun, atau kamu pergi dan jangan anggap Papa, Papa kamu lagi!”

Soraya mendekati putrinya. Tangan lembut wanita itu membelai punggung anak semata wayangnya. “Nurut sama Papa ya, Nak. Sementara aja, sampai marahnya Papa hilang,” rayu wanita itu, berharap kelembutannya mampu meluluhkan hati permata hidupnya.

“Papa melakukan ini demi kamu, Sayang. Kamu anak kami satu-satunya. Ya, Sayang, ya?”

Tatiana memeluk tubuh Soraya erat. Ia memang sulit diatur, tapi bukan berarti dirinya tak menyayangi kedua orang tuanya. Andaikan bukan karena dirinya yang ingin dihilangkan, kepalanya tak akan terangguk, menyetujui permintaan mamanya.

“Sementara kan, Mah? Papa nggak akan buang Tiana selamanya, kan?”

Senyum di wajah Soraya terbit. Ia tahu putrinya tak akan berani melawan kehendak suaminya lebih lama. “Mana mungkin Pak Januar buang anak kesayangannya, hem? Nanti kalau Tiana kangen, Papa Mama pasti jengukin di sini,” ucapnya sembari membelai rambut sang putri.

Januar membuang mukanya ke samping, menguatkan diri untuk membendung tangis yang juga ingin keluar. Tidak! Jangan sampai! Ia harus kuat untuk masa depan putrinya. Kalau ia lemah, akan jadi apa Tatiananya nanti.

“Pah, ke sini dong,” panggil Soraya. “Kita anterin anaknya baik-baik, biar ilmunya jadi berkah, Pah.” Pungkasnya, melambaikan tangan. Keduanya memeluk Tatiana, mencium kening gadis itu secara bersamaan.

“Papa sayang Tiana,” bisik Januar.

Usai drama menghebohkan tersebut, Tatiana diantarkan menuju rumah anak sekaligus penerus Pondok Pesantren Al Hidayah. Kebetulan sosok yang kelak akan menggantikan ayahnya, dalam meneruskan tempat menimba ilmu agama tersebut merupakan teman lama Januar. Keluarga kecil itu lantas memasuki area ‘ndalem,’ yang tidak sembarang orang dapat masuki.

Pripun Mas Janu, Dek Tatiana purun?” tanya Kiyai Sholeh. Ia tidak dapat menerima calon santrinya jika yang bersangkutan ternyata tak memiliki keikhlasan dalam menuntut ilmu. Hasilnya kelak akan percuma. Ilmu yang diajarkan pun tak mungkin dapat merasuk ke dalam hati santrinya.

Purun Mas.”

“Alhamdulillah.” Ucap Kyai Sholeh, merasa lega dengan keridhoan putri sahabatnya.

“Cuman itu, kalau boleh saya minta, Tatiana disatukan saja dengan santri-santri lain. Jangan diistimewakan dengan tinggal disini,” pinta Januar, menolak putrinya diperlakukan berbeda. Januar benar-benar ingin putrinya belajar tanpa adanya keistimewaan. Tatiana harus merasakan bagaimana sesungguhnya belajar menjadi seorang santri di pondok pesantren sahabatnya.

Nggih.. Kalau memang begitu maunya, Mas. Saya nderek mawon,” Kyai Sholeh tak memaksa. Ia akan ikut dengan kemauan sahabatnya. “Nanti biar diantar sama anak saya yang gadis ke asrama putri,” tuturnya sebelum meminta seseorang untuk memanggilkan akan perempuannya.

Nggih, Bi?” Seorang gadis dengan abaya coklat susu datang menghadap. Gadis itu mencium tangan abinya lalu menangkupkan tangan untuk menyapa tamu yang bertandang di rumahnya.

Nduk, Abi minta tolong ya. Tolong diantarkan Mbak Tatiana ke asrama perempuan. Ditempatkan ke kamar yang santrinya masih dua orang saja.”

“Iya, Bi. Nanti Zahra antarkan Mbak Tatiana ke asrama santriwati.”

“Oh iya, ini anak kedua saya Mas Januar. Namanya Zahra. Sepertinya sepantaran dengan Dek Tatiana.”

Gadis bernama Zahra itu mengulas senyumnya demi menghormati tamu abinya.

“Tuh, Sayang. Ada temennya,” seloroh Soraya agar putrinya tak lagi takut jika harus hidup tanpa teman. Sedari tadi putrinya itu hanya diam, memainkan ujung selendang yang digunakan untuk menutupi atasan terbukanya.

“Ganti dulu ya bajunya, Nak.”

Tatiana menggeleng. Ia memegang lengan Soraya, “nanti ditinggalin,” cicitnya. Arogansinya menghilang seiring dengan ketakutan yang merasuk ke dalam sanubarinya.

“Nggak, Mama antar sampai ke asrama!”

“Janji?”

“Iya, Sayang,” balas Soraya, menyakinkan.

“Mari Mbak. Berganti saja di kamar saya,” ajak Zahra, ramah. Pagi tadi ketika menyarap, abinya memang telah memberitahu jika mereka akan kedatangan satu anggota baru dari Jakarta. Tadinya ia sempat kaget ketika ada keributan di pelataran ndalem. Ia sempat tertegun melihat penampilan terbuka gadis yang akan dititipkan di pondok pesantren keluarganya.

“Mama tungguin Tiana. Jangan pergi.” Rengek Tatiana.

“Iya, Sayangnya Mama,” lagi Soraya mengiyakan permintaan putrinya.

Ucapan tersebut rupanya hanyalah angin yang tak dapat Tatiana rengkuh. Secepat apa pun ia berganti, kedua orang tuanya telah pergi meninggalkannya tanpa sempat mengucapkan pamit. Mereka hanya meninggalkan pesan yang disampaikan oleh Kyai Sholeh.

Nduk.. Sekarang tanggung jawab kamu ada pada Bapak. Tatiana boleh memanggil Bapak dengan panggilan Pak Kyai seperti santri lainnya, tapi kalau mau, Tatiana boleh panggil Abi seperti Zahra.”

Di dalam pelukan Zahra, Tatiana menangis, tergugu. Gadis itu terisak pilu, merasakan pedihnya perilaku kedua orang tuanya yang tega membuangnya.

Satu tahun— waktu selama itu akan dirinya habiskan dengan tumpukan rindu. Sebengal apa pun dirinya, tak pernah sekali pun ia berjauhan dengan kedua orang tuanya. Pagi dan malamnya, mereka selalu bertegur sapa, melihat wajah satu sama lain dan sekarang ia hanya dapat mengenangnya dalam ingatan.

“Ponselnya boleh dipegang,” Kyai Sholeh tersenyum, menyodorkan ponsel Tatiana yang dititipkan padanya. “Karena kamu santri kesayangan kami, ndak apa-apa. Tapi diusahakan jangan sampai ketahuan teman-teman santri lainnya ya. Nanti Bapak di demo bagaimana?”

Tatiana tertawa dalam tangisnya. Bapak-Bapak berjubah di depannya ternyata tak seseram pikirannya.

“Nah begitu kan cantik anak wedoknya, Abi.”

*

Zahra membantu Tatiana memakai jilbab. “Mbak cantik,” ucapnya, memuji kecantikan gadis yang tadinya sempat menolak mengenakan penutup auratnya itu.

“Aneh!” Decak Tatiana. Seumur-Umur baru kali ini Tatiana menggunakan penutup kepala selain topi. “Gue keliatan kayak lontong tau, nggak!”

“Belum terbiasa saja Mbak. Tapi sungguh, saya nggak bohong kok.”

“Lo mah!” Tatiana tersipu.

“Yuk, Mbak. Saya antar ke asrama putri.”

Hem.. Karena gue udah ditinggal, nggak ada alasan lagi, buat gue nggak ke sana. Ya udah deh!” Tatiana bangkit. Ia mengangkat bagian bawah gamisnya tinggi, membuat Zahra terpekik hingga bersitigfar.

“Mbak, jangan diangkat gitu,” tegurnya. “Auratnya kelihatan, Mbak.”

“Tapi gue nggak bisa jalan, Zahra! Bisa-Bisa gue keserimpet saking panjangnya.”

Zahra menurunkan gamis Tatiana, “belum terbiasa, Mbak,” sekali lagi Zahra memberi pengertian yang sama. “Dicoba ya, Mbak? Di atas mata kaki itu sudah masuk ke dalam aurat yang tidak boleh dipertontonkan, kecuali dengan mahramnya.”

“Anjinglah ribet banget!”

“Astagfirullahaladzim, Mbak Tatiana.”

Dibalik tembok ruang tengah, Kyai Sholeh menepuk keningnya. Sepertinya akan sangat sulit merubah Tatiana seperti keinginan sahabatnya.

“Ya Allah, kuatkanlah kami. Ketuklah pintu hati Tatiana agar dapat menjadi seperti yang ayahnya kehendaki,” rapal Kyai Sholeh.

“Pelan-Pelan saja Mbak, jalannya.”

“Hu—,”

Bruk!!

Baru akan menjawab, Tatiana sudah terjerembab ke atas lantai. Gadis itu mendudukan dirinya, menendang-nendangkan kaki hingga gamisnya tersingkap.

“Bangsat! Papa nggak mau!! Arrrgh!!”

Tidak bisa dibiarkan. Tatiana belum dapat dilepaskan begitu saja tanpa sebuah pengawasan di dalam asrama putri. Anak itu masih memerlukan bimbingan.

Le.. Mriki.”

Khoiron— anak pertama Kiyai Sholeh mendekat ke arah sang abi yang memanggilnya. “Wonten nopo, Bi?” tanya pria muda berusia dua puluh tujuh itu.

“Panggil adekmu. Abi mau ngomong sesuatu ke dia.”

Nggih..” Khoirun— Pria itu tak sekali pun pernah mengatakan tidak atas ucapan abinya. Ia merupakan anak yang sangat berbakti, sama halnya dengan sang adik.

“Dek, dipanggil Abi.” Kepalanya berpaling ke sisi lain, menghindari gadis yang saat ini tengah mengamuk di lantai ruang tamunya. Untung saja uminya sedang pergi bersama adik dan juga kakeknya. Kalau wanita itu menyaksikan perilaku tamu abinya, sudah dipastikan sang tamu akan mendapatkan kultum satu hari penuh.

“Teman kamu,” Khoirun merekahkan telapak tangan, menutupi pelipis sampai pada separuh wajahnya, “antarkan saja ke kamar kamu dulu, Dek.”

“Iya, Mas.”

“Heh! Ra! Kok makhluk itu ada disini?!” Teriak Tatiana. Ia mengingat wajah pria yang membuatnya sampai tertangkap dari kejaran papanya. Kalau bukan karena pria itu, dia pasti bisa kabur tadi.

“Si Anjing ini! Harus gue kasih pelajaran!”

Tatiana mencoba bangkit, sayang, ia memang benar-benar belum terbiasa menggunakan gamis. Flat Shoes yang dirinya kenakan menginjak ujung kain, membuatnya terjatuh dengan posisi terlentang. “Huwaaa Papaa!! Tiana nggak sanggup!!” Jeritnya, keras sekali.

Taik Babik!

“Ya Allah.. Astaghfirullah.. Astagfirullah..” Kyai Sholeh, Khoiron dan Zahra melafalkan istighfar bersamaan. Ketiganya memegang dada karena ucapan kasar Tatiana.

Berat, ini berat!

Bab terkait

  • Gus! I Lap Yuh!   [3] Hukuman Menanti..

    Menyaksikan bagaimana perilaku dan lugasnya Tatiana dalam mengumpat, Kyai Sholeh telah memutuskan hal besar. Pria itu akan membimbing Tatiana secara privat bersama keluarganya, sebelum melepaskan Tatiana pada khalayak umum, ke tengah-tengah para santrinya.Hal tersebut turut Kyai Sholeh beritakan kepada Januar. Dengan dalih demi kebaikan Tatiana sendiri, ia meminta restu papa Tatiana. Mengharapkan ridho pria itu selagi dirinya memberikan keistimewaan.Beruntung Januar dapat mengerti keputusannya. Laki-laki yang sedang menempuh perjalanan kembali ke Jakarta itu secara penuh memasrahkan putrinya ke tangan Kyai Sholeh. Apa pun yang sekiranya baik untuk sang putri, ia menyertakan izinnya tanpa harus dipertanyakan kepadanya.“Alhamdulillah kalau begitu Mas Janu. Untuk sementara, Tatiana akan tinggal di ndalem bersama saya dan keluarga. Untuk sementara, biarkan kami yang menangani Tatiana.” Ucap Kyai Sholeh ditengah-tengah sambungan teleponnya.‘Nggih, Mas Sholeh. Pangapunten kalau saya mer

  • Gus! I Lap Yuh!   [4] Nikahkan Mereka!

    Khoiron, pria itu mengangguk, “baik Umi. Akan Khoir ingatkan besok,” ucapnya sebelum melangkahkan kakinya cepat. Ia sungguh takut jika Tatiana akan menyentuhnya lagi. Selama ini, memandang wanita pun ia tidak berani, kecuali itu keluarga dan mahramnya. Khoiron begitu menjaga dirinya. Menghindari dosa sekecil apa pun untuk mendapatkan keridhoan serta kemurahan hati Sang Ilahi pada kehidupan kekalnya kelak.“Astagfirullah, Ya Allah. Ampunilah dosa-dosa, Hamba. Jauhkanlah Hambamu ini dari hal-hal yang menjerumuskan Hamba pada kemurkaanmu, Ya Rabb.” Panjatnya merasa telah melakukan hal yang salah.Khoiron membersihkan dirinya. Pada sepertiga malam menuju datangnya waktu subuh, pria itu tak pernah melelapkan diri. Ia menghabiskan penantiannya untuk menghadap Sang Pencipta dengan lantunan ayat suci. Sampai waktu itu tiba, Khoiron sama sekali tidak beranjak dari sajadahnya. Barulah ketika adzan subuh berkumandang, ia bergegas menuju masjid bersama ayahanda dan kakeknya.“Abi dengar dari Umi,

  • Gus! I Lap Yuh!   [5] Mati Aja Gue, Nyet!

    “Nggak mau! Tiana nggak mau nikah sama dia!!”Tatiana kabur. Ia mendorong tubuh Aisyah, mencari celah supaya bisa berlari menjauh. Sumpah menikah muda tidak pernah ada di dalam kamus Tatiana. Ia dibuang papanya untuk berguru, mencari kitab suci ke barat, bukannya dipinang dengan bismilah oleh pria yang dirinya benci.“Le! Kok malah dlongop! Dikejar calon istrimu,” sentak Kyai Sholeh melihat keterdiaman putranya.Jujur— Khoiron masih belum dapat mengumpulkan nyawanya. Kesadarannya seakan ditarik naik ke awang-awang, setelah mendapatkan perilaku tidak terpuji santriwati sang ayah. Pria itu mengerjap, mencoba menata puing-puing jiwanya yang berserakan ke segala arah.“Ya Allah,” desah Kyai Sholeh.“Umi, tolong. Minta bantuan ke anak-anak. Tatiana nggak tahu daerah sini, Umi,” kepanikan menjalari Kyai Sholeh. Ia takut hal buruk menimpa Tatiana. Putri sahabatnya itu dititipkan kepadanya, menjadi amanah yang begitu besar untuk dirinya jaga.“Ndak akan jauh, nanti dia papasan dengan Zahra,”

  • Gus! I Lap Yuh!   [6] Gus Mau Lapor Polisi

    Niat Khoiron meminang Tatiana sudah bulat. Ia memang tidak memiliki perasaan apa pun terhadap gadis itu. Mengenalnya pun baru satu hari. Pertemuan-Pertemuan mereka pun tak pernah berjalan baik. Selalu ada ketegangan yang menyertai perjumpaan itu. Sejak awal bertemu, sinar permusuhan bahkan selalu ditampakkan untuk dirinya.Namun sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab, ia harus dapat memperbaiki kesalahan— yah, walau kesalahan tersebut jelas tidak berasal dari dirinya. Tapi dirinya jelas diseret masuk ke dalam lembah dosa yang sama. Kepada perbuatan yang tidak semestinya dilakukan seorang insan yang belum terikat tali pernikahan.“Nak Khoir, saya rasa tidak perlu. Kamu tidak harus mengorbankan diri karena kenakalan putri saya.”Dua jam setelah sahabatnya memberikan kabar mengenai tindakan nekat sang putri, Januar langsung bertolak menuju Semarang. Bersama sang istri, ia pergi menggunakan pesawat dari Jakarta. Melakukan penerbangan singkat lalu dijemput oleh anak sahabatnya di

  • Gus! I Lap Yuh!   [7] Tatiana Mleyot…

    “Makanya jangan aneh-aneh jadi anak! Lagian kamu, Tiana. Anak gadis main sosor aja!”Di kamar tamu yang dijadikan tempat keluarga kecil Tatiana beristirahat, telinga Tatiana tak bisa lolos dari merepetan Januar— sang papa. Gadis itu masih saja dimarahi karena tindakan arogan dan jahilnya kepada anak Kyai Sholeh yang kerap dipanggil ‘Gus,’ di lingkungan pondok pesantren itu.“Khilaf, Pah! Dia sih gegayaan nggak mau dipegang! Tiana kan jadi pengen ngerjain.”“Nah, sekarang nikmatin hasil dari kejahilan kamu,” sambung Soraya.Kedua orang tua Tatiana terpaksa menerima pinangan Kyai Sholeh untuk putranya. Mereka tak dapat berbuat apa-apa ketika ancaman penjara membayangi diri putri kesayangan mereka.“Tahu dia bakal ngacau begini, nggak Papa pesantrenin, Mah,” desah Januar meraup wajah tampannya. Pria berusia empat puluhan itu memandang putrinya lalu menarik telinga anak itu, “ya Allah, Nak! Kamu yang Papa harap bisa berubah, malah makin-makin di sini!”“Pah sakit, Pah!” Erang Tiana membua

  • Gus! I Lap Yuh!   [8] Back to Sesat Mode

    Khoiron membaringkan tubuh Tatiana ke atas pembaringannya. Sebuah ranjang yang tak bisa dikatakan lebar sebab ia berdiam hanya seorang. Tangannya menyentuh pinggiran niqab yang Tatiana kenakan. Berniat melepaskan kain berwarna hitam itu agar tak mengganggu jalannya pernapasan sang istri yang pingsan.Tatiana— gadis yang berada di hadapannya bernama Tatiana Sujatmiko. Nama yang ia ikrarkan dihadapan kakek, abi dan ayah mertuanya. Nama yang ia lantunkan untuk menjadi pendamping hidupnya agar dapat menyempurnakan ibadahnya terhadap Sang Khalik.Persis seperti apa yang adiknya ceritakan, parasnya begitu rupawan. Garis wajahnya kecil dengan dagu meruncing. Bulu matanya lentik. Hidungnya mancung dan kedua bibirnya yang kerap ia dengar mengumpat, ternyata begitu tipis.“MasyaAllah, sungguh indah ciptaan Mu, ya Rabb.”Selain umi dan adiknya, Khoiron tak pernah memuji sosok lain. Mata dan hatinya terjaga, menginginkan keindahan yang dapat ia reguk ketika itu halal baginya.Seperti sekarang con

  • Gus! I Lap Yuh!   [9] Tatiana Menantang Gus

    ‘Jakarta, I’m coming!’Uh— siapa sangka estimasi pembuangan yang dirancang satu tahun, ternyata hanya terjadi beberapa hari saja. Hohohoho! Nikmat Tuhan mana lagi yang ingin Tatiana dustakan. Pernikahan dadakan dengan anak pemilik pesantren menjadi dua hal berbeda.Disatu sisi, Tatiana mengamuk karena dipaksa melepas masa lajangnya, akan tetapi disisi lain, ia harus berpesta guna merayakan kebebasannya dari tempat pengungsian. Penderitaannya telah berakhir. Tidak akan ada lagi manusia yang memintanya menghafalkan doa-doa untuk sholat.Pria itu— Khoiron, akan berada di daerah kekuasaannya. Dia pasti tidak akan bisa menyengsarakan, karena sebaliknya, dirinyalah yang akan melakukan hal tersebut agar Khoiron tak betah tinggal di Jakarta.“Mantunya Abi mukanya senang sekali. Nggak sabar ya pengen pulang ke kota?”Tatiana menganggukkan kepalanya dengan semangat. Ia benar-benar sudah tidak sabar. Setelah sampai nanti, ia ingin berkunjung ke rumah sahabatnya. Mengincar beberapa tulang di tubu

  • Gus! I Lap Yuh!   [10] Go Away from Meeeh!!

    “Kamu nggak bisa lari, Dek!”Khoiron menutup pintu belakang mobilnya sebelum berlari kencang mengejar Tatiana. Tanpa ba-bi-bu, pria itu mengangkat tubuh sang istri, memanggul layaknya gadis itu karung berisikan butiran beras-beras.“ANJING! Woi! Turunin gue!!” Jerit Tatiana memukuli punggung Khoiron. Kepalanya langsung pusing karena dijungkir-balikkan.“Toloooong!! Gue diculik Om-Om mesum!!” Teriak Tatiana meminta bantuan. “Isilop!!! 911!! Brandoooon!! Sembooooh!!”“Om Botaaaakkk!!!” Semua orang Tatiana panggil, termasuk si pemilik acara tutup pintu.Khoiron menggelengkan kepalanya. Pria itu tidak takut sekali pun orang-orang mulai mendatanginya. “Istri saya, Pak, Bu,” jelasnya mencoba menyakinkan mereka.“Bohong! Gue bukan istrinya!” bukan Tatiana namanya jika menyerah begitu saja. Ia tidak akan membiarkan Khoiron menang. Lagipula tidak ada bukti yang menunjukan mereka telah menikah. “Papa! Mama! Tolongin Tiana! Ada orang jahat!!”“Mas! Jangan bohong! Mbaknya bilang bukan istri Mas!”

Bab terbaru

  • Gus! I Lap Yuh!   [69] Annyeong, Calon Adik Ipar!

    “Biar gue aja yang ngomong ke Nando. Lo tau beres aja, Ti.”“Ashiaap!” jawab Tatiana, melengkingkan nadanya. Ia akan menyiapkan gendang telinganya baik-baik, memastikan jika otak cerdiknya dapat memahami setiap kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya.Mari kita lihat, bagaimana cara Brandon menjaga Zahra. Apa yang akan sahabatnya katakan pada Nando— Kakak tingkat sekaligus Ketua BEM Universitas mereka. Setahu Tatiana keduanya memang saling mengenal. Beberapa kali Brandon terlihat mengobrol dengan anak teknik itu saat mereka berada di kelab malam.“Gue mau ketemu Nando. Lima menit.” Ucap Brandon pada sekelompok anak BEM yang menjadi panitia ospek. “Masih di sini kan dia?”“Siapa yang nyariin gue?”Suara maskulin Brandon rupanya terdengar sampai ke dalam ruangan. Keduanya tak perlu bersusah payah melobi para kakak tingkat yang pastinya menyulitkan pergerakan.“What&r

  • Gus! I Lap Yuh!   [68] Wangi Bunga Cinta

    Tragedi ngidam bakso homemade menjadi pelajaran tersendiri untuk Brandon. Pemuda itu tidak akan pernah menerima kebaikan hati suami sahabatnya. Selelah apa pun dirinya, keinginan ia harus melakukan sesuai dengan keinginan Lord Tatiana.Gara-Gara Tatiana, saldo rekening Brandon menjadi sangat mengenaskan.Pemuda itu dihukum tak mendapatkan santunan dari orang tuanya selama satu bulan penuh. Belum lagi ceramahan di setiap sisi yang merusak gendang telinganya. Brandon kapok! Benar-benar kapok.Tatiana adalah sebenar-benarnya trouble maker. Kehamilan perempuan itu mendukung untuk melakukan penindasan terhadap pria-pria lemah. Terutama Brandon dan Khoiron. Sekarang keduanya bagaikan pengikut setia Tatiana. Macam-Macam sedikit, para pelindung Tatiana yang akan turun tangan.Bayangkan saja, sikap un-rasional Tatiana didukung oleh dua generasi sebelumnya. Tiga pasang orang tua dan generasi lainnya adalah Kyai Dahlan&mdash

  • Gus! I Lap Yuh!   [67] When Tatiana Ngidam Pentol [2]

    Menemani Khoiron memasak bakso?Zzz…Air liur Tatiana menjadi saksi dari ucapannya saat melepas kepergian sang suami.Tiga puluh menit wanita itu bergulat dengan antusiasmenya sendiri. Terus berceloteh tentang betapa gentle-nya Khoiron pada adik iparnya. Namun tak berselang tiga puluh menit dari kepergian Khoiron, matanya terpejam untuk mengarungi indahnya alam mimpi.Hal tersebut sampai membuat Zahra terperangah. Pasalnya suara kakak iparnya perlahan-lahan menghilang, tergantikan oleh dengkuran halus.Ternyata, oh, ternyata— wanita cantik yang memiliki usia satu tahun di atasnya itu terlelap.Memastikan jika sang kakak tidak akan asal-asalan dalam memenuhi permintaan ngidam keponakannya, Zahra pun memberitahukan kondisi Tatiana saat ini. Kakaknya memiliki banyak waktu untuk berbelanja sehingga tak perlu terburu-buru.“Selamat bobok, Mbak Tiana, ponakannya Tante. Nanti kalau Papa Khoir udah pulang,

  • Gus! I Lap Yuh!   [66] When Tatiana Ngidam Pentol [1]

    Rasa nyaman Tatiana rasakan saat Khoiron membelai perutnya. Pria itu sedang membacakan sebuah surat dikala Tatiana sibuk menggulirkan layar ponselnya.“Adem banget liatnya ya, Pah. Dulu waktu Mama hamil Tiana, Papa nggak pernah kayak Khoiron.” Ucap Soraya membuat Januar menatap istrinya dengan tatapan bersalah.Januar jelas berbeda dengan menantunya. Pemuda itu diasuh dan diberikan asupan pendidikan agama sedari kecil, sedangkan dirinya hanyalah pemuda salah gaul yang hanya mengerti cara mempertahankan bisnis orang tuanya.“Maaf ya, Mah. Dulu waktu kita baru-baru nikah, Papa masih anak begajulan kayak Brandon.”“Loh! Om! Kok Brandon dibawa-bawa sih!” Potong Brandon cepat, masuk ke dalam pembicaraan. Sedari tadi dirinya anteng membaca buku. Tahu akan diseret pada hal-hal keji dirinya tidak akan menetap usai belajar mengaji bersama abangnya.“Kamu contoh paling deket, Bran.. Masa Papamu?! Papamu mudanya anak

  • Gus! I Lap Yuh!   [65] Mutiara Tersembunyi

    “Mas.. Adek pinjem HP-nya dong.”Selayaknya remaja kebanyakan yang memang suka sekali menunjukkan hasil kemenangannya, Tatiana ingin membuat memberikan hadiah terakhir untuk Mutia. Meski tidak bisa melihat ekspresi dosennya secara langsung, setidaknya ia bisa menambah kekesalan yang ada pada dirinya.“Boleh buat story IG kan, Mas?”Sejak mereka terbang, segelintir ide-ide jahil berhamburan di otaknya. Berhubung mereka masih ada di bandara, Tatiana akan menyematkan lokasi mereka.“Boleh.. Tapi nggak boleh muka Adek, ya.. Takut ain, Sayang.”Tatiana mengangguk. Itulah sebab mengapa media sosial suaminya tidak pernah mengunggah potret siapa pun. Meski memiliki banyak pengikut, media sosial suaminya terkesan seperti akun tanpa awak. Tidak ada postingan selama beberapa waktu ini. Terakhir suaminya mengunggah kata-kata, meminta doa restu atas pernikahan mereka.“Foto bandaranya kok, Mas.”Brandon yang mengerti akal bulus Tatiana menggelengkan kepalanya. Sahabatnya itu pasti ingin mencari ke

  • Gus! I Lap Yuh!   [64] Selamat! Anda Kena Prank!

    “Lifah, kamu liat sendiri kan?! Dua anak itu pinter banget bersilat lidah. Mereka bener-bener manipulatif, Lif.”Khalifa geram— bahkan menggunakan mata telanjang sekali pun, orang lain akan mengetahui siapa sosok yang ciri-cirinya sedang Mutia sebutkan.Plak!“Sadar, Mut! Sing eling jadi manusia!”Tidak pernah Mutia bayangkan sahabatnya akan menampar dirinya. “Fah.. Jangan bilang kamu percaya sama kata-kata mereka?!” Memegangi bekas tamparan Khalifa, Mutia bertanya dengan wajah sarat akan kesedihan.“Kalau aku nggak percaya, bisa kamu sebutin alasan apa yang membuat kamu ngerengek minta diantar ke sini?!”“Penelitian, Fah.. Apa itu nggak cukup?!”“Seperti kataku, Mut. Penelitianmu bahkan nggak menguntungkan pihak yayasan kamu.” Sepertinya disini dirinyalah yang bodoh. Khalifa merasa menjadi manusia dengan otak yang dangkal sekarang. “Kampusmu yayasan katolik, Mutia. Untuk apa mereka menyetujui penelitian tentang perilaku santri?! Ada banyak penelitian yang lebih berkaitan dengan dunia

  • Gus! I Lap Yuh!   [63] Mukanya Tolong Dijelekkin

    “Umi, Tiana mau tunggu Mas Khoir.”“Kamu ini, Nduk. Ya wis.. Zahra temenin Mbak Mu. Umi, Mbah, sama Abi pulang dulu.” Pesan Umi Aisyah sebelum meninggalkan kedua anak perempuannya di pelataran masjid.Abinya sempat mengatakan jika Khoiron sedang berbincang dengan pengurus ponpes di dalam. Tatiana tidak ingin meninggalkan suaminya, seperti Khoiron yang selalu menunggu saat dirinya keluar terlambat.“Duduk aja ya, Mbak. Jangan berdiri terus.” Ujar Zahra. Gadis itu membimbing kakak ipar kesayangannya untuk menduduki kursi tak jauh dari mereka.Kapala Tatiana menangkap sosok yang membantunya. “Kamu sini...” panggilnya membuat segerombolan santriwati menghampirinya.“Dalem, Ning.”“Kamu ke Ndalem ya... Bilang aja ke Umi disuruh saya. Minta di ambilin 5 kotak cake. Terserah Umi yang mana aja gitu.” Ia ingat janjinya, tapi tak bisa segera pulang karena suaminya belum terlihat.“Nggih, Ning Tiana. Ning mari..” Pamit mereka sebelum berlalu.Sepuluh menit Tatiana menunggu dan Khoiron beserta Br

  • Gus! I Lap Yuh!   [62] Interaksi yang Membuat Pelakor Meradang

    “Mbak Lia, hati-hati. Kata temen ku yang tadi tugas di Ndalem, Mbak yang itu pelakor.”“Pelakor?”“Iya, Mbak.. Dia kesini mau godain Gus Khoir katanya.”“Hus,” Lia menyentuh punggung tangan juniornya di pondok, “ndak boleh suudzon,” ucapnya, memperingati agar tidak berpikiran buruk. Bagaimanapun juga, mereka merupakan tamu sang guru.“Serius, Mbak. Dia denger sendiri waktu tamunya ngobrol. Sampai nggak habis pikir loh temen ku.”“Wis-Wis.. Ayo kita ke masjid. Sebentar lagi adzan magrib.” Ajak Lia. Tidak ada yang perlu dirisaukan dari para tamu tersebut. Ia yang pernah mencoba peruntungan dengan tanpa malunya saja tidak berhasil. Gus mereka bukan laki-laki yang mudah digoda. Beliau begitu mencintai Ning Tatiana.Melewati Khalifa dan Mutia, Lia beserta santri lainnya menundukkan kepala. “Amit, Mbak.” Ucap mereka sopan sedikit membungkuk.“Kalian mau shalat di masjid ya?”“Betul, Mbak.” Jawab Lia mewakili adik-adiknya.“Kami boleh bareng?”“Monggo silahkan.”Di depan pagar masjid yang me

  • Gus! I Lap Yuh!   [61] Sorry, Nggak Mempan!

    Mutia— Dosen yang mengampu salah satu mata kuliah Tatiana itu dengan percaya dirinya memperkenalkan diri. “Saya rekan mengajar Pak Khoiron di Jakarta, Pak Kyai, Bu Nyai.”“Oh, begitu.” Umi Aisyah menjadi orang pertama yang menanggapi perkenalan terlambat Mutia. “Dosennya menantu saya juga kan ya?” Beliau mempertanyakan apa yang terlewat untuk diperkenalkan wanita yang menjadi tamunya.“Ben-Benar..”“Wah, kebetulan sekali ini.” Menyematkan senyuman, Umi Aisyah lantas menanyakan bagaimana Tatiana ketika di kampus. Dan sebuah hal tidak terduga justru menjadi jawaban dari mulut Mutia.“Sebelumnya saya ingin meminta maaf, Bu Nyai. Bukan maksud saya menjelek-jelekkan. Saya hanya ingin berterus terang tanpa kebohongan. Kalau ditanyakan bagaimana Tatiana, menantu Bu Nyai cukup bermasalah di kampus. Dia anak nakal.”Tatiana mengepalkan jari-jarinya. Brandon ternganga dan Khoiron sendiri terdiam dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di dalam otaknya. Sedang anggota keluar lain yang mendengar

DMCA.com Protection Status