Share

[2] Berat ini, Berat!

“Dikin, lepasin gue!!”

Tatiana meronta-ronta ingin dilepaskan. Dikedua sisi tubuhnya, Sadikin dan papanya memegangi lengannya. Mereka mengangkat dirinya, membuat kakinya terseret-seret hingga mengikuti langkah keduanya.

“Papa, Tiana nggak mau. Papa jahat!” Tatiana seakan tahu mengapa ia sampai berada di sebuah pondok pesantren ketika terbangun. Tak mungkin papanya ingin menjadi donatur. Pria itu pasti ingin meninggalkannya di negeri entah berantah ini.

“Papa! Lepas, Papa!” Pinta Tatiana, mengiba.

“Diam, Tiana! Papa lakuin semua ini karena sayang sama kamu.” Sebenarnya Januar tak tega. Tapi mau bagaimana lagi. Putrinya harus mendapatkan pendidikan agama agar jalan hidupnya berubah. “Satu tahun aja, Sayang. Tolong sekali ini aja, kamu nurut sama kata Papa, ya?”

“Nggak mau! Papa nggak sayang Tiana!”

Apa yang Tatiana alami sukses menjadi tontonan warga pondok pesantren. Banyak anak yang tengah menuju ke masjid, berhenti berjalan untuk menonton aksi Tatiana.

Mereka memekik kala Tatiana menggigit lengan Sadikin dan menghempaskan lengan papanya. Gadis itu memutar tubuhnya, berniat kabur untuk kedua kalinya dari jerat kekejaman sang papa.

“Demi Allah, Tatiana! Selangkah lagi kamu jalan, Papa pastiin nama kamu nggak ada lagi di Kartu Keluarga kita!” Ancam Januar mulai kehilangan akal. Kesabarannya terasa diuji sebab putrinya yang tak lagi semanis masa kecilnya dulu.

“Jangan kamu pikir Papa cuma asal gertak!”

Langkah kaki Tatiana kontan terhenti. Gadis itu membeku mendengar ancaman papanya. Tak pernah sebelumnya ia dengar ancaman yang sama. Semarah-Marahnya sang papa, pria itu tak sampai hati menghapus dirinya dari keluarga. Air matanya meluruh, jatuh membasahi pipinya yang putih.

“Papa bener-bener nggak bercanda, Tiana. Tinggal di sini satu tahun, atau kamu pergi dan jangan anggap Papa, Papa kamu lagi!”

Soraya mendekati putrinya. Tangan lembut wanita itu membelai punggung anak semata wayangnya. “Nurut sama Papa ya, Nak. Sementara aja, sampai marahnya Papa hilang,” rayu wanita itu, berharap kelembutannya mampu meluluhkan hati permata hidupnya.

“Papa melakukan ini demi kamu, Sayang. Kamu anak kami satu-satunya. Ya, Sayang, ya?”

Tatiana memeluk tubuh Soraya erat. Ia memang sulit diatur, tapi bukan berarti dirinya tak menyayangi kedua orang tuanya. Andaikan bukan karena dirinya yang ingin dihilangkan, kepalanya tak akan terangguk, menyetujui permintaan mamanya.

“Sementara kan, Mah? Papa nggak akan buang Tiana selamanya, kan?”

Senyum di wajah Soraya terbit. Ia tahu putrinya tak akan berani melawan kehendak suaminya lebih lama. “Mana mungkin Pak Januar buang anak kesayangannya, hem? Nanti kalau Tiana kangen, Papa Mama pasti jengukin di sini,” ucapnya sembari membelai rambut sang putri.

Januar membuang mukanya ke samping, menguatkan diri untuk membendung tangis yang juga ingin keluar. Tidak! Jangan sampai! Ia harus kuat untuk masa depan putrinya. Kalau ia lemah, akan jadi apa Tatiananya nanti.

“Pah, ke sini dong,” panggil Soraya. “Kita anterin anaknya baik-baik, biar ilmunya jadi berkah, Pah.” Pungkasnya, melambaikan tangan. Keduanya memeluk Tatiana, mencium kening gadis itu secara bersamaan.

“Papa sayang Tiana,” bisik Januar.

Usai drama menghebohkan tersebut, Tatiana diantarkan menuju rumah anak sekaligus penerus Pondok Pesantren Al Hidayah. Kebetulan sosok yang kelak akan menggantikan ayahnya, dalam meneruskan tempat menimba ilmu agama tersebut merupakan teman lama Januar. Keluarga kecil itu lantas memasuki area ‘ndalem,’ yang tidak sembarang orang dapat masuki.

Pripun Mas Janu, Dek Tatiana purun?” tanya Kiyai Sholeh. Ia tidak dapat menerima calon santrinya jika yang bersangkutan ternyata tak memiliki keikhlasan dalam menuntut ilmu. Hasilnya kelak akan percuma. Ilmu yang diajarkan pun tak mungkin dapat merasuk ke dalam hati santrinya.

Purun Mas.”

“Alhamdulillah.” Ucap Kyai Sholeh, merasa lega dengan keridhoan putri sahabatnya.

“Cuman itu, kalau boleh saya minta, Tatiana disatukan saja dengan santri-santri lain. Jangan diistimewakan dengan tinggal disini,” pinta Januar, menolak putrinya diperlakukan berbeda. Januar benar-benar ingin putrinya belajar tanpa adanya keistimewaan. Tatiana harus merasakan bagaimana sesungguhnya belajar menjadi seorang santri di pondok pesantren sahabatnya.

Nggih.. Kalau memang begitu maunya, Mas. Saya nderek mawon,” Kyai Sholeh tak memaksa. Ia akan ikut dengan kemauan sahabatnya. “Nanti biar diantar sama anak saya yang gadis ke asrama putri,” tuturnya sebelum meminta seseorang untuk memanggilkan akan perempuannya.

Nggih, Bi?” Seorang gadis dengan abaya coklat susu datang menghadap. Gadis itu mencium tangan abinya lalu menangkupkan tangan untuk menyapa tamu yang bertandang di rumahnya.

Nduk, Abi minta tolong ya. Tolong diantarkan Mbak Tatiana ke asrama perempuan. Ditempatkan ke kamar yang santrinya masih dua orang saja.”

“Iya, Bi. Nanti Zahra antarkan Mbak Tatiana ke asrama santriwati.”

“Oh iya, ini anak kedua saya Mas Januar. Namanya Zahra. Sepertinya sepantaran dengan Dek Tatiana.”

Gadis bernama Zahra itu mengulas senyumnya demi menghormati tamu abinya.

“Tuh, Sayang. Ada temennya,” seloroh Soraya agar putrinya tak lagi takut jika harus hidup tanpa teman. Sedari tadi putrinya itu hanya diam, memainkan ujung selendang yang digunakan untuk menutupi atasan terbukanya.

“Ganti dulu ya bajunya, Nak.”

Tatiana menggeleng. Ia memegang lengan Soraya, “nanti ditinggalin,” cicitnya. Arogansinya menghilang seiring dengan ketakutan yang merasuk ke dalam sanubarinya.

“Nggak, Mama antar sampai ke asrama!”

“Janji?”

“Iya, Sayang,” balas Soraya, menyakinkan.

“Mari Mbak. Berganti saja di kamar saya,” ajak Zahra, ramah. Pagi tadi ketika menyarap, abinya memang telah memberitahu jika mereka akan kedatangan satu anggota baru dari Jakarta. Tadinya ia sempat kaget ketika ada keributan di pelataran ndalem. Ia sempat tertegun melihat penampilan terbuka gadis yang akan dititipkan di pondok pesantren keluarganya.

“Mama tungguin Tiana. Jangan pergi.” Rengek Tatiana.

“Iya, Sayangnya Mama,” lagi Soraya mengiyakan permintaan putrinya.

Ucapan tersebut rupanya hanyalah angin yang tak dapat Tatiana rengkuh. Secepat apa pun ia berganti, kedua orang tuanya telah pergi meninggalkannya tanpa sempat mengucapkan pamit. Mereka hanya meninggalkan pesan yang disampaikan oleh Kyai Sholeh.

Nduk.. Sekarang tanggung jawab kamu ada pada Bapak. Tatiana boleh memanggil Bapak dengan panggilan Pak Kyai seperti santri lainnya, tapi kalau mau, Tatiana boleh panggil Abi seperti Zahra.”

Di dalam pelukan Zahra, Tatiana menangis, tergugu. Gadis itu terisak pilu, merasakan pedihnya perilaku kedua orang tuanya yang tega membuangnya.

Satu tahun— waktu selama itu akan dirinya habiskan dengan tumpukan rindu. Sebengal apa pun dirinya, tak pernah sekali pun ia berjauhan dengan kedua orang tuanya. Pagi dan malamnya, mereka selalu bertegur sapa, melihat wajah satu sama lain dan sekarang ia hanya dapat mengenangnya dalam ingatan.

“Ponselnya boleh dipegang,” Kyai Sholeh tersenyum, menyodorkan ponsel Tatiana yang dititipkan padanya. “Karena kamu santri kesayangan kami, ndak apa-apa. Tapi diusahakan jangan sampai ketahuan teman-teman santri lainnya ya. Nanti Bapak di demo bagaimana?”

Tatiana tertawa dalam tangisnya. Bapak-Bapak berjubah di depannya ternyata tak seseram pikirannya.

“Nah begitu kan cantik anak wedoknya, Abi.”

*

Zahra membantu Tatiana memakai jilbab. “Mbak cantik,” ucapnya, memuji kecantikan gadis yang tadinya sempat menolak mengenakan penutup auratnya itu.

“Aneh!” Decak Tatiana. Seumur-Umur baru kali ini Tatiana menggunakan penutup kepala selain topi. “Gue keliatan kayak lontong tau, nggak!”

“Belum terbiasa saja Mbak. Tapi sungguh, saya nggak bohong kok.”

“Lo mah!” Tatiana tersipu.

“Yuk, Mbak. Saya antar ke asrama putri.”

Hem.. Karena gue udah ditinggal, nggak ada alasan lagi, buat gue nggak ke sana. Ya udah deh!” Tatiana bangkit. Ia mengangkat bagian bawah gamisnya tinggi, membuat Zahra terpekik hingga bersitigfar.

“Mbak, jangan diangkat gitu,” tegurnya. “Auratnya kelihatan, Mbak.”

“Tapi gue nggak bisa jalan, Zahra! Bisa-Bisa gue keserimpet saking panjangnya.”

Zahra menurunkan gamis Tatiana, “belum terbiasa, Mbak,” sekali lagi Zahra memberi pengertian yang sama. “Dicoba ya, Mbak? Di atas mata kaki itu sudah masuk ke dalam aurat yang tidak boleh dipertontonkan, kecuali dengan mahramnya.”

“Anjinglah ribet banget!”

“Astagfirullahaladzim, Mbak Tatiana.”

Dibalik tembok ruang tengah, Kyai Sholeh menepuk keningnya. Sepertinya akan sangat sulit merubah Tatiana seperti keinginan sahabatnya.

“Ya Allah, kuatkanlah kami. Ketuklah pintu hati Tatiana agar dapat menjadi seperti yang ayahnya kehendaki,” rapal Kyai Sholeh.

“Pelan-Pelan saja Mbak, jalannya.”

“Hu—,”

Bruk!!

Baru akan menjawab, Tatiana sudah terjerembab ke atas lantai. Gadis itu mendudukan dirinya, menendang-nendangkan kaki hingga gamisnya tersingkap.

“Bangsat! Papa nggak mau!! Arrrgh!!”

Tidak bisa dibiarkan. Tatiana belum dapat dilepaskan begitu saja tanpa sebuah pengawasan di dalam asrama putri. Anak itu masih memerlukan bimbingan.

Le.. Mriki.”

Khoiron— anak pertama Kiyai Sholeh mendekat ke arah sang abi yang memanggilnya. “Wonten nopo, Bi?” tanya pria muda berusia dua puluh tujuh itu.

“Panggil adekmu. Abi mau ngomong sesuatu ke dia.”

Nggih..” Khoirun— Pria itu tak sekali pun pernah mengatakan tidak atas ucapan abinya. Ia merupakan anak yang sangat berbakti, sama halnya dengan sang adik.

“Dek, dipanggil Abi.” Kepalanya berpaling ke sisi lain, menghindari gadis yang saat ini tengah mengamuk di lantai ruang tamunya. Untung saja uminya sedang pergi bersama adik dan juga kakeknya. Kalau wanita itu menyaksikan perilaku tamu abinya, sudah dipastikan sang tamu akan mendapatkan kultum satu hari penuh.

“Teman kamu,” Khoirun merekahkan telapak tangan, menutupi pelipis sampai pada separuh wajahnya, “antarkan saja ke kamar kamu dulu, Dek.”

“Iya, Mas.”

“Heh! Ra! Kok makhluk itu ada disini?!” Teriak Tatiana. Ia mengingat wajah pria yang membuatnya sampai tertangkap dari kejaran papanya. Kalau bukan karena pria itu, dia pasti bisa kabur tadi.

“Si Anjing ini! Harus gue kasih pelajaran!”

Tatiana mencoba bangkit, sayang, ia memang benar-benar belum terbiasa menggunakan gamis. Flat Shoes yang dirinya kenakan menginjak ujung kain, membuatnya terjatuh dengan posisi terlentang. “Huwaaa Papaa!! Tiana nggak sanggup!!” Jeritnya, keras sekali.

Taik Babik!

“Ya Allah.. Astaghfirullah.. Astagfirullah..” Kyai Sholeh, Khoiron dan Zahra melafalkan istighfar bersamaan. Ketiganya memegang dada karena ucapan kasar Tatiana.

Berat, ini berat!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status