Share

[8] Back to Sesat Mode

Khoiron membaringkan tubuh Tatiana ke atas pembaringannya. Sebuah ranjang yang tak bisa dikatakan lebar sebab ia berdiam hanya seorang. Tangannya menyentuh pinggiran niqab yang Tatiana kenakan. Berniat melepaskan kain berwarna hitam itu agar tak mengganggu jalannya pernapasan sang istri yang pingsan.

Tatiana— gadis yang berada di hadapannya bernama Tatiana Sujatmiko. Nama yang ia ikrarkan dihadapan kakek, abi dan ayah mertuanya. Nama yang ia lantunkan untuk menjadi pendamping hidupnya agar dapat menyempurnakan ibadahnya terhadap Sang Khalik.

Persis seperti apa yang adiknya ceritakan, parasnya begitu rupawan. Garis wajahnya kecil dengan dagu meruncing. Bulu matanya lentik. Hidungnya mancung dan kedua bibirnya yang kerap ia dengar mengumpat, ternyata begitu tipis.

“MasyaAllah, sungguh indah ciptaan Mu, ya Rabb.”

Selain umi dan adiknya, Khoiron tak pernah memuji sosok lain. Mata dan hatinya terjaga, menginginkan keindahan yang dapat ia reguk ketika itu halal baginya.

Seperti sekarang contohnya.

Tatiana— sesuatu yang halal untuk dia pandang berlama-lama. Mengagumi Tatiana tak akan mendatangkan dosa. Sebuah hal yang Khoiron takuti keberadaannya hingga selalu menundukkan pandangan. Mengabaikan paras-paras ayu, yang kata teman-temannya meneduhkan hati.

Kini Khoiron tahu maknanya. Ia menemukan pengandaian itu dalam wajah lelap istrinya. Perempuan pertama yang berani ia tatap selain keluarganya.

‘Pantas sejak kemarin Zahra selalu memujinya,’ batin Khoiron mengingat betapa seringnya pujian keluar dari mulut adik tercintanya. Zahra berkata jika lalat bahkan mungkin tak mau singgah, saking takutnya tergelincir di wajah sehalus porselen ‘Mbak Tatiana.’

Terlalu berlebihan, tapi wajah Tatiana memang terlihat begitu terawat.

‘Apakah saya bisa memenuhi keperluan kamu, seperti yang orang tua kamu berikan, Ning?’

Walau tak mengenal Januar Sujatmiko, Abinya telah memberitahu secara singkat tentang ayah mertuanya. Beliau merupakan pengusaha mebel ternama. Terdapat dua pabrik berbeda dimana kota Jakarta yang dirinya tinggali, merupakan kantor pusat manajemennya. Sedangkan untuk produksi Beliau memilikinya di Jepara.

Bisnisnya tak dapat dikatakan kecil. Pasar sebaran produknya tersebar dibeberapa negara di Eropa seperti Spanyol, Brazil dan Belanda. Sedang dirinya?

Apalah ia ini. Di usianya yang menuju kepala tiga, ia hanya berstatuskan pengurus pondok. Ada rumah makan kecil yang dirinya miliki, itu pun tak bisa disebut sebagai usaha. Fokusnya adalah membagikan sebagian rezeki yang datang melalui dirinya untuk dibagikan dalam bentuk makanan. Sesekali ia mendapatkan panggilan untuk mengisi sesi perkuliahan sebagai dosen undangan. Dari sanalah dirinya menabung uang agar bisa berbagi.

Astagfirullah.” Khoiron mengusap wajahnya, beristighfar kala meninggikan makhluk dengan membandingkan apa yang dirinya miliki saat ini.

Bukankah jalan hidupnya telah ditentukan?! Selain itu, ia sendiri yang memilih untuk tidak mendahulukan dunia fana ini. Lantas mengapa ia harus setakut ini dalam mengupayakan kebahagiaan wanita yang dirinya nikahi.

Ada Dzat yang akan mencukupkan segala keperluannya. Ia hanya perlu berikhtiar, melambungkan doa supaya apa yang dirinya usahakan dapat membahagiakan sang istri.

Khoiron berusaha menenangkan debar di hatinya sebelum mendudukkan dirinya disamping tubuh sang istri. Ia usap wajah yang kedua matanya tertutup itu. “Ning,” panggilnya mencoba membangunkan Tatiana.

“Bangun, Ning.”

“Khoir…” Umi Aisyah yang sedari tadi berdiri diambang pintu memasuki kamar putranya, “bukan begitu cara membangunkan orang pingsan. Pake ini, Le.” Beliau mengangsurkan botol minyak kayu putih.

“Dibau-baui dekat lubang hidunge mantu Umi,” pandunya karena sang putra terlihat seperti orang yang tak biasa menangani kepingsanan seseorang.

“Gugup ya?” tanya Umi Aisyah. Senyum jahil menghiasi wajah cantiknya.

Pria berusia dua puluh delapan tahun itu menggaruk tengkuknya. Ia terlihat salah tingkah.

Ndak apa-apa. Umi ngerti. Tatiana yang pertama buat kamu. Mau dibantuin Umi apa bisa sendiri?”

“Dibantu aja, Umi.”

Khoiron mengambil langkah mundur. Ia takut gemetaran ketika mencoba mengangsurkan minyak terapi. Salah-Salah dirinya malah menyiram wajah cantik sang istri lagi.

Di hari pertama meminang seorang wanita, Khoiron tak ingin mendapatkan amukan. Cukup dua hari dirinya selalu menerima makian. Tidak lagi usai mereka telah menikah.

Umi Aisyah tertawa. Baiklah. Ia akan membantu putranya. “Umi Izin sentuh-sentuh, Ningnya ya Gus Khoir,” goda Umi Aisyah membuat pipi Khoiron memerah sempurna.

*

Seperti biasa– Tatiana berulah setelah terbangun dari pingsannya. Gadis itu mengamuk hebat. Mengatakan ingin menuntut cerai karena pernikahannya tidak sah. Argumennya tentu saja langsung dipatahkan.

Berjam-jam gadis itu berbicara enam mata dengan kedua orang tuanya. Membahas tentang pernikahan yang dianggapnya menyalahi aturan padahal dirinya sudah berteriak tidak sah.

“Sudah, Tiana! Papa bilang cukup! Jangan bikin Papa semakin malu. Sekarang kamu berkemas! Kita pulang ke Jakarta!”

“yang bener?” Pupil mata Tatiana terbuka lebar. Ajakan kepulangan Januar terasa layaknya angin segar di kehidupannya yang segersang gurun Sahara.

“Nggak bohong mau pulang kan? Kamera sebelah mana, Mah?” Tatiana mengguncang-guncangkan lengan Soraya. Siapa tahu saja papanya memasang alat perekam itu untuk alih profesi menjadi selebgram terkenal.

“Sadar Tiana,” yang dilakukan Soraya adalah meraup wajah cantik putrinya.

“Ih Mama! Make up Tiana luntur, Ntar!” Decak Tiana masih bisa memikirkan mengenai riasan di wajahnya.

“Lagian kamu! Kan kemarin udah dibahas sama Pak Kyai Dahlan. Kamu bisa lanjutin kuliah lagi! Khoironnya yang jadinya ikut ke Jakarta.”

“Khoi-iron?”

“Kamu nggak lupa sama suami sendiri kan? Baru juga nikah!”

Hidung Tatiana kembang-kempis. Ia pikir dirinya akan terbebas. Pulang ke rumah dan melepaskan nasib buruknya di pesantren. ‘Damn! Pulangnya iya, apesnya yang ngikutin gue kemana-mana!’ gondok Tania sembari mengepalkan tangan.

“Nggak usah berulah Tiana. Surga kamu sekarang ada di Khoiron. Macem-Macem sama dia, gosong kamu kena azab!”

Tatiana bergidik mendengar ocehan Januar. Apakah dirinya akan seperti pemain di sinetron-sinetron ikan koprol? Tersambar petir karena terus-terusan mengelak takdir gelap yang menghampirinya?

‘Sia-Sia dong gue skincare-an, Anjing!’

“Lagian kamu tuh, Sayang. Tadi aja sampai pingsan liat kegantengan mantu Mama. Sekarang sok-sokan mau batalin pernikahannya.”

“Siapa bilang Tiana pingsan karena dia ganteng?” Tatiana menyalak galak. “Muka dia itu innalillahi ya! Nggak ada gan..”

“Ya nggak perlu gerak-gerak tangan kanannya,” Januar melirik tangan kanan Tatiana yang bergoyang. “Kamu kalau bohong ketahuan banget sih! Susahnya ngakuin Khoiron ganteng apa? Emang ganteng kok orangnya. Papa aja ngaku kalah dari dia.”

“B aja!” Tatiana kukuh pada pendapatnya.

“Mirip Min Ho nggak sih?” Pancing Soraya, menyebutkan aktor ternama kesukaannya.

“Nggak tau, Mah! Lebih ke Jun Ki ah. Keliatannya galak tapi teduh banget tatapannya.”

Januar tersedak air liur karena ingin tertawa. Putrinya tampaknya tak menyadari ketertarikannya kepada sang menantu.

“Apalagi pas assalamualaikum. Kok Tiana merinding dengernya tadi.” Tatiana menggosok-gosok lengannya. Hawa itu terasa kembali ketika mengingat kejadian di masjid tadi.

“Jangan-Jangan dia itu iblis berkepala naga, Pah?” Celetuk Tatiana, back to mode sesatnya.

“TATIANA!!!!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status