Khoiron membaringkan tubuh Tatiana ke atas pembaringannya. Sebuah ranjang yang tak bisa dikatakan lebar sebab ia berdiam hanya seorang. Tangannya menyentuh pinggiran niqab yang Tatiana kenakan. Berniat melepaskan kain berwarna hitam itu agar tak mengganggu jalannya pernapasan sang istri yang pingsan.
Tatiana— gadis yang berada di hadapannya bernama Tatiana Sujatmiko. Nama yang ia ikrarkan dihadapan kakek, abi dan ayah mertuanya. Nama yang ia lantunkan untuk menjadi pendamping hidupnya agar dapat menyempurnakan ibadahnya terhadap Sang Khalik.
Persis seperti apa yang adiknya ceritakan, parasnya begitu rupawan. Garis wajahnya kecil dengan dagu meruncing. Bulu matanya lentik. Hidungnya mancung dan kedua bibirnya yang kerap ia dengar mengumpat, ternyata begitu tipis.
“MasyaAllah, sungguh indah ciptaan Mu, ya Rabb.”
Selain umi dan adiknya, Khoiron tak pernah memuji sosok lain. Mata dan hatinya terjaga, menginginkan keindahan yang dapat ia reguk ketika itu halal baginya.
Seperti sekarang contohnya.
Tatiana— sesuatu yang halal untuk dia pandang berlama-lama. Mengagumi Tatiana tak akan mendatangkan dosa. Sebuah hal yang Khoiron takuti keberadaannya hingga selalu menundukkan pandangan. Mengabaikan paras-paras ayu, yang kata teman-temannya meneduhkan hati.
Kini Khoiron tahu maknanya. Ia menemukan pengandaian itu dalam wajah lelap istrinya. Perempuan pertama yang berani ia tatap selain keluarganya.
‘Pantas sejak kemarin Zahra selalu memujinya,’ batin Khoiron mengingat betapa seringnya pujian keluar dari mulut adik tercintanya. Zahra berkata jika lalat bahkan mungkin tak mau singgah, saking takutnya tergelincir di wajah sehalus porselen ‘Mbak Tatiana.’
Terlalu berlebihan, tapi wajah Tatiana memang terlihat begitu terawat.
‘Apakah saya bisa memenuhi keperluan kamu, seperti yang orang tua kamu berikan, Ning?’
Walau tak mengenal Januar Sujatmiko, Abinya telah memberitahu secara singkat tentang ayah mertuanya. Beliau merupakan pengusaha mebel ternama. Terdapat dua pabrik berbeda dimana kota Jakarta yang dirinya tinggali, merupakan kantor pusat manajemennya. Sedangkan untuk produksi Beliau memilikinya di Jepara.
Bisnisnya tak dapat dikatakan kecil. Pasar sebaran produknya tersebar dibeberapa negara di Eropa seperti Spanyol, Brazil dan Belanda. Sedang dirinya?
Apalah ia ini. Di usianya yang menuju kepala tiga, ia hanya berstatuskan pengurus pondok. Ada rumah makan kecil yang dirinya miliki, itu pun tak bisa disebut sebagai usaha. Fokusnya adalah membagikan sebagian rezeki yang datang melalui dirinya untuk dibagikan dalam bentuk makanan. Sesekali ia mendapatkan panggilan untuk mengisi sesi perkuliahan sebagai dosen undangan. Dari sanalah dirinya menabung uang agar bisa berbagi.
“Astagfirullah.” Khoiron mengusap wajahnya, beristighfar kala meninggikan makhluk dengan membandingkan apa yang dirinya miliki saat ini.
Bukankah jalan hidupnya telah ditentukan?! Selain itu, ia sendiri yang memilih untuk tidak mendahulukan dunia fana ini. Lantas mengapa ia harus setakut ini dalam mengupayakan kebahagiaan wanita yang dirinya nikahi.
Ada Dzat yang akan mencukupkan segala keperluannya. Ia hanya perlu berikhtiar, melambungkan doa supaya apa yang dirinya usahakan dapat membahagiakan sang istri.
Khoiron berusaha menenangkan debar di hatinya sebelum mendudukkan dirinya disamping tubuh sang istri. Ia usap wajah yang kedua matanya tertutup itu. “Ning,” panggilnya mencoba membangunkan Tatiana.
“Bangun, Ning.”
“Khoir…” Umi Aisyah yang sedari tadi berdiri diambang pintu memasuki kamar putranya, “bukan begitu cara membangunkan orang pingsan. Pake ini, Le.” Beliau mengangsurkan botol minyak kayu putih.
“Dibau-baui dekat lubang hidunge mantu Umi,” pandunya karena sang putra terlihat seperti orang yang tak biasa menangani kepingsanan seseorang.
“Gugup ya?” tanya Umi Aisyah. Senyum jahil menghiasi wajah cantiknya.
Pria berusia dua puluh delapan tahun itu menggaruk tengkuknya. Ia terlihat salah tingkah.
“Ndak apa-apa. Umi ngerti. Tatiana yang pertama buat kamu. Mau dibantuin Umi apa bisa sendiri?”
“Dibantu aja, Umi.”
Khoiron mengambil langkah mundur. Ia takut gemetaran ketika mencoba mengangsurkan minyak terapi. Salah-Salah dirinya malah menyiram wajah cantik sang istri lagi.
Di hari pertama meminang seorang wanita, Khoiron tak ingin mendapatkan amukan. Cukup dua hari dirinya selalu menerima makian. Tidak lagi usai mereka telah menikah.
Umi Aisyah tertawa. Baiklah. Ia akan membantu putranya. “Umi Izin sentuh-sentuh, Ningnya ya Gus Khoir,” goda Umi Aisyah membuat pipi Khoiron memerah sempurna.
*
Seperti biasa– Tatiana berulah setelah terbangun dari pingsannya. Gadis itu mengamuk hebat. Mengatakan ingin menuntut cerai karena pernikahannya tidak sah. Argumennya tentu saja langsung dipatahkan.
Berjam-jam gadis itu berbicara enam mata dengan kedua orang tuanya. Membahas tentang pernikahan yang dianggapnya menyalahi aturan padahal dirinya sudah berteriak tidak sah.
“Sudah, Tiana! Papa bilang cukup! Jangan bikin Papa semakin malu. Sekarang kamu berkemas! Kita pulang ke Jakarta!”
“yang bener?” Pupil mata Tatiana terbuka lebar. Ajakan kepulangan Januar terasa layaknya angin segar di kehidupannya yang segersang gurun Sahara.
“Nggak bohong mau pulang kan? Kamera sebelah mana, Mah?” Tatiana mengguncang-guncangkan lengan Soraya. Siapa tahu saja papanya memasang alat perekam itu untuk alih profesi menjadi selebgram terkenal.
“Sadar Tiana,” yang dilakukan Soraya adalah meraup wajah cantik putrinya.
“Ih Mama! Make up Tiana luntur, Ntar!” Decak Tiana masih bisa memikirkan mengenai riasan di wajahnya.
“Lagian kamu! Kan kemarin udah dibahas sama Pak Kyai Dahlan. Kamu bisa lanjutin kuliah lagi! Khoironnya yang jadinya ikut ke Jakarta.”
“Khoi-iron?”
“Kamu nggak lupa sama suami sendiri kan? Baru juga nikah!”
Hidung Tatiana kembang-kempis. Ia pikir dirinya akan terbebas. Pulang ke rumah dan melepaskan nasib buruknya di pesantren. ‘Damn! Pulangnya iya, apesnya yang ngikutin gue kemana-mana!’ gondok Tania sembari mengepalkan tangan.
“Nggak usah berulah Tiana. Surga kamu sekarang ada di Khoiron. Macem-Macem sama dia, gosong kamu kena azab!”
Tatiana bergidik mendengar ocehan Januar. Apakah dirinya akan seperti pemain di sinetron-sinetron ikan koprol? Tersambar petir karena terus-terusan mengelak takdir gelap yang menghampirinya?
‘Sia-Sia dong gue skincare-an, Anjing!’
“Lagian kamu tuh, Sayang. Tadi aja sampai pingsan liat kegantengan mantu Mama. Sekarang sok-sokan mau batalin pernikahannya.”
“Siapa bilang Tiana pingsan karena dia ganteng?” Tatiana menyalak galak. “Muka dia itu innalillahi ya! Nggak ada gan..”
“Ya nggak perlu gerak-gerak tangan kanannya,” Januar melirik tangan kanan Tatiana yang bergoyang. “Kamu kalau bohong ketahuan banget sih! Susahnya ngakuin Khoiron ganteng apa? Emang ganteng kok orangnya. Papa aja ngaku kalah dari dia.”
“B aja!” Tatiana kukuh pada pendapatnya.
“Mirip Min Ho nggak sih?” Pancing Soraya, menyebutkan aktor ternama kesukaannya.
“Nggak tau, Mah! Lebih ke Jun Ki ah. Keliatannya galak tapi teduh banget tatapannya.”
Januar tersedak air liur karena ingin tertawa. Putrinya tampaknya tak menyadari ketertarikannya kepada sang menantu.
“Apalagi pas assalamualaikum. Kok Tiana merinding dengernya tadi.” Tatiana menggosok-gosok lengannya. Hawa itu terasa kembali ketika mengingat kejadian di masjid tadi.
“Jangan-Jangan dia itu iblis berkepala naga, Pah?” Celetuk Tatiana, back to mode sesatnya.
“TATIANA!!!!”
‘Jakarta, I’m coming!’Uh— siapa sangka estimasi pembuangan yang dirancang satu tahun, ternyata hanya terjadi beberapa hari saja. Hohohoho! Nikmat Tuhan mana lagi yang ingin Tatiana dustakan. Pernikahan dadakan dengan anak pemilik pesantren menjadi dua hal berbeda.Disatu sisi, Tatiana mengamuk karena dipaksa melepas masa lajangnya, akan tetapi disisi lain, ia harus berpesta guna merayakan kebebasannya dari tempat pengungsian. Penderitaannya telah berakhir. Tidak akan ada lagi manusia yang memintanya menghafalkan doa-doa untuk sholat.Pria itu— Khoiron, akan berada di daerah kekuasaannya. Dia pasti tidak akan bisa menyengsarakan, karena sebaliknya, dirinyalah yang akan melakukan hal tersebut agar Khoiron tak betah tinggal di Jakarta.“Mantunya Abi mukanya senang sekali. Nggak sabar ya pengen pulang ke kota?”Tatiana menganggukkan kepalanya dengan semangat. Ia benar-benar sudah tidak sabar. Setelah sampai nanti, ia ingin berkunjung ke rumah sahabatnya. Mengincar beberapa tulang di tubu
“Kamu nggak bisa lari, Dek!”Khoiron menutup pintu belakang mobilnya sebelum berlari kencang mengejar Tatiana. Tanpa ba-bi-bu, pria itu mengangkat tubuh sang istri, memanggul layaknya gadis itu karung berisikan butiran beras-beras.“ANJING! Woi! Turunin gue!!” Jerit Tatiana memukuli punggung Khoiron. Kepalanya langsung pusing karena dijungkir-balikkan.“Toloooong!! Gue diculik Om-Om mesum!!” Teriak Tatiana meminta bantuan. “Isilop!!! 911!! Brandoooon!! Sembooooh!!”“Om Botaaaakkk!!!” Semua orang Tatiana panggil, termasuk si pemilik acara tutup pintu.Khoiron menggelengkan kepalanya. Pria itu tidak takut sekali pun orang-orang mulai mendatanginya. “Istri saya, Pak, Bu,” jelasnya mencoba menyakinkan mereka.“Bohong! Gue bukan istrinya!” bukan Tatiana namanya jika menyerah begitu saja. Ia tidak akan membiarkan Khoiron menang. Lagipula tidak ada bukti yang menunjukan mereka telah menikah. “Papa! Mama! Tolongin Tiana! Ada orang jahat!!”“Mas! Jangan bohong! Mbaknya bilang bukan istri Mas!”
Berniat ingin membangunkan Tatiana, Khoiron justru dibuat terkejut. Pria itu sampai memegangi dadanya karena istrinya tiba-tiba saja terduduk.“Hiyaa!!!”Tatiana mengubah posisinya, merangkak menaiki kepala ranjang. “Kenapa lo ada disini? Gue udah kabur kayak babi ngepet,” seingatnya ia sudah berlari tunggang-langgang untuk menghindari kejaran Khoiron. Memasuki hutan belantara. Menyebrangi lautan bahkan memanjat Burj Khalifa.Mengapa ia masih melihat wajah Khoiron yang datar seperti papan triplek di hadapannya?Mata Tatiana mengedar. Ia merasa familiar dengan ruangan yang ditempatinya sekarang. Perasaan ia sedang melompat ke atas helikopter karena Khoiron memiliki sayap layaknya capung. Menghindari kejaran pria itu sampai tunggangannya oleng ke laut merah.“Eh, loh, ini kamar gue,” gumamnya pelan, melihat satu per satu perabotan yang ada. Otaknya masih sangat waras. Ia tak menderita amnesia walau beberapa kali jatuh bangun dalam pelariannya. “Weh, sakti banget gue ternyata,” ucapnya b
“Iya!”Sejujurnya Khoiron tidak tahu apa itu arti ena-ena. Ia hanya sedang mengusili istri cantiknya. Salah gadis itu sendiri tidak mau menurut. Padahal tinggal mengganti pakaian dan mereka tak perlu membuang waktu lebih banyak lagi.“Mun-Mundur! Gue masih dibawah umur! Jangan apa-apain gue, Om!”‘Om?’ Alis Khoiron menyerngit. Jarak usia mereka memang terpaut sepuluh tahun, tapi apakah wajahnya se-tua itu sampai diberikan panggilan Om oleh istrinya ini. “Kamu habis ngumpatin Mas, sekarang ngejek Mas tua, Dek? Wah! Mas bener-bener nggak akan lepasin kamu sih!” goda Khoiron semakin melancarkan kejahilannya.Tatiana memejamkan matanya erat. Ia memeluk dirinya sendiri. Merasa ketakutan dengan ancaman Khoiron kepadanya.Kaki gadis itu melangkah mundur sampai sebuah nakas menghentikan pergerakannya. Sepertinya ia tidak akan bisa meloloskan diri. Tamat sudah riwayat harta berharga, yang dirinya jaga dari jamahan pria hidung belang di kelab malam.“Papa tolong!” pekik Tatiana keras ketika tel
“Bodo amat-lah!”Tatiana tidak peduli Khoiron akan ngambek atau marah-marah kepadanya. Nanti bisa dirinya urus ketika ia selesai melakukan perhitungan dengan Brandon. Ada baiknya Khoiron tak jadi mengantarkannya ke rumah Brandon. Ia jadi tak harus mencari-cari alasan tentang siapa diri pria itu.“Liat ya lo, Nyet!” tangan Tatiana mengangkat ujung gamisnya. Ia berjalan setengah berlari untuk melalui rumahnya.“MasyaAllah, Mbak Tiana! Mau pengajian ke mana?!”“Banyak lambe! Bukain Pak, gece!” ujar Tatiana membalas pertanyaan satpam rumahnya. Ia sengaja tidak menggunakan mobil karena rumah Brandon terlampau sangat dekat. Sia-Sia bensin mobilnya.“Tumben Mbak pakai jilbab? Beneran mau pergi ke tempat kajian?”“Kajian apaan sih!” bentak Tiana mulai kehilangan kesabaran. Satpam rumahnya dari tadi ngang-ngeng-ngong tak jelas, mengucapkan kalimat yang ia sendiri tidak mengerti. “Gue mau nyamperin Brandon! Udah ah, cepetan! Panas ini yak!”“Saya kirain mau ke masjid. Kan ada ustad terkenal tuh
“Salim dulu, Dek. Tolong dibiasakan.”Khoiron mengulurkan tangannya yang langsung saja ditarik secara bar-bar oleh Tatiana. Gadis itu menempelkan punggung tangan Khoiron pada keningnya, bersalim ria meski terpaksa.“Salah, Dek,” koreksi Khoiron dengan kepalanya yang menggeleng. “Bukan kening yang cium tangan Mas, tapi bibir kamu. Ayo diulang biar benar,” ucapnya mengarahkan Tatiana.Tatiana mendengus dan itu membuat Khoiron menatapnya tajam. Pria itu mulai membuka sesi ceramahnya. Mengatakan jika Tatiana akan sangat berdosa karena berlaku tidak sopan kepada suaminya.“Mas mengajarkan kebaikan loh ke kamu. Memang salah, jadi harus dirubah.”“Iya.. Iya!” Kesal Tatiana. Ia mengulangi cara salimnya, sesuai dengan perintah Khoiron the munapuck man. “Udah kan? Gue boleh turun kan?”“Sebentar,” tahan Khoiron.‘Apaan lagi dah!’ Dumel Tatiana. Sebentar lagi kelasnya dimulai ini. Gara-Gara Khoiron membangunkannya pukul tiga pagi untuk sholat berjamaah, ia jadi harus begadang sampai subuh. Setel
“Kho-Khoir!” Adakah kesialan lain, selain bertemu mantan pacar saat bertransformasi menjadi ukhti? Jawabannya, ada! Ke-Gep Khoiron saat lagi enak-enaknya nyebat. Tatiana tidak tahu mengapa nyalinya yang bar-bar, mendadak menciut saat melihat tatapan setajam silet Khoiron. Ia merasa seperti anak ayam yang takut diperkosa oleh kucing gila di jalanan.“Ikut, Mas!” Perintah itu terdengar cukup tegas, seolah Khoiron tak ingin dibantah. Anehnya Tatiana bangkit. Ia menyenggol lengan Brandon agar mengikuti dirinya. Kalau pun batang lehernya nanti ditebas, ia memiliki saksi supaya hidup Khoiron tak tenang di alam dunia.“Bentar.. Bentar! Lo beneran Tiana, mantan gue?” Namun langkahnya yang sudah berat tertahan oleh cekalan tangan Thomas. Mantannya ini memang mengesalkan. Selain tak memiliki kesadaran diri, dia juga spesialis tukang ngajak ribut. “Lo kesambet apaan, Ti? Abis kecelakaan?” “Anak Muda, tolong lepaskan jari-jari kamu dari tangan Tatiana!” Entah sejak kapan Khoiron melangkahka
“Saya titip Tatiana selagi saja mengajar.” Mengetahui istrinya memiliki seorang sahabat, Khoiron cukup lega. Untuk sementara dirinya bisa menitipkan perempuan itu, alih-alih membiarkannya sendirian. Emosi istrinya sedang terguncang. Salah-Salah sang istri malah mencari dosen wanita yang membuatnya mengamuk tadi.“Iy-iya, Pak,” jawab Brandon.Dosen Cuy! Takutnya ia juga diajar nanti. Kan harus memberikan kesan yang baik. Siapa tahu dapat nilai A+. Biar hasil semesterannya bisa mencengangkan papa, mama, di rumah.“Tolong jangan dipegang-pegang, ya, Brandon.” Mereka sudah berkenalan tadi. Secara baik-baik hingga pemuda sepantaran istrinya itu tahu statusnya. “Kalian bukan muhrim!”Brandon meneguk ludahnya. Sebenarnya spek macam apa yang menikahi sahabatnya ini. Brandon jadi ragu kalau pria dihadapannya jatuh cinta kepada Tatiana.Amazing sekali!“Siap, Pak! Nggak saya pegang-pegang si curut! Aman! Jaga jarak kayak truk gandeng saya!” Cengir Brandon, bekelakar. Kalau dilihat-lihat, dosen
“Biar gue aja yang ngomong ke Nando. Lo tau beres aja, Ti.”“Ashiaap!” jawab Tatiana, melengkingkan nadanya. Ia akan menyiapkan gendang telinganya baik-baik, memastikan jika otak cerdiknya dapat memahami setiap kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya.Mari kita lihat, bagaimana cara Brandon menjaga Zahra. Apa yang akan sahabatnya katakan pada Nando— Kakak tingkat sekaligus Ketua BEM Universitas mereka. Setahu Tatiana keduanya memang saling mengenal. Beberapa kali Brandon terlihat mengobrol dengan anak teknik itu saat mereka berada di kelab malam.“Gue mau ketemu Nando. Lima menit.” Ucap Brandon pada sekelompok anak BEM yang menjadi panitia ospek. “Masih di sini kan dia?”“Siapa yang nyariin gue?”Suara maskulin Brandon rupanya terdengar sampai ke dalam ruangan. Keduanya tak perlu bersusah payah melobi para kakak tingkat yang pastinya menyulitkan pergerakan.“What&r
Tragedi ngidam bakso homemade menjadi pelajaran tersendiri untuk Brandon. Pemuda itu tidak akan pernah menerima kebaikan hati suami sahabatnya. Selelah apa pun dirinya, keinginan ia harus melakukan sesuai dengan keinginan Lord Tatiana.Gara-Gara Tatiana, saldo rekening Brandon menjadi sangat mengenaskan.Pemuda itu dihukum tak mendapatkan santunan dari orang tuanya selama satu bulan penuh. Belum lagi ceramahan di setiap sisi yang merusak gendang telinganya. Brandon kapok! Benar-benar kapok.Tatiana adalah sebenar-benarnya trouble maker. Kehamilan perempuan itu mendukung untuk melakukan penindasan terhadap pria-pria lemah. Terutama Brandon dan Khoiron. Sekarang keduanya bagaikan pengikut setia Tatiana. Macam-Macam sedikit, para pelindung Tatiana yang akan turun tangan.Bayangkan saja, sikap un-rasional Tatiana didukung oleh dua generasi sebelumnya. Tiga pasang orang tua dan generasi lainnya adalah Kyai Dahlan&mdash
Menemani Khoiron memasak bakso?Zzz…Air liur Tatiana menjadi saksi dari ucapannya saat melepas kepergian sang suami.Tiga puluh menit wanita itu bergulat dengan antusiasmenya sendiri. Terus berceloteh tentang betapa gentle-nya Khoiron pada adik iparnya. Namun tak berselang tiga puluh menit dari kepergian Khoiron, matanya terpejam untuk mengarungi indahnya alam mimpi.Hal tersebut sampai membuat Zahra terperangah. Pasalnya suara kakak iparnya perlahan-lahan menghilang, tergantikan oleh dengkuran halus.Ternyata, oh, ternyata— wanita cantik yang memiliki usia satu tahun di atasnya itu terlelap.Memastikan jika sang kakak tidak akan asal-asalan dalam memenuhi permintaan ngidam keponakannya, Zahra pun memberitahukan kondisi Tatiana saat ini. Kakaknya memiliki banyak waktu untuk berbelanja sehingga tak perlu terburu-buru.“Selamat bobok, Mbak Tiana, ponakannya Tante. Nanti kalau Papa Khoir udah pulang,
Rasa nyaman Tatiana rasakan saat Khoiron membelai perutnya. Pria itu sedang membacakan sebuah surat dikala Tatiana sibuk menggulirkan layar ponselnya.“Adem banget liatnya ya, Pah. Dulu waktu Mama hamil Tiana, Papa nggak pernah kayak Khoiron.” Ucap Soraya membuat Januar menatap istrinya dengan tatapan bersalah.Januar jelas berbeda dengan menantunya. Pemuda itu diasuh dan diberikan asupan pendidikan agama sedari kecil, sedangkan dirinya hanyalah pemuda salah gaul yang hanya mengerti cara mempertahankan bisnis orang tuanya.“Maaf ya, Mah. Dulu waktu kita baru-baru nikah, Papa masih anak begajulan kayak Brandon.”“Loh! Om! Kok Brandon dibawa-bawa sih!” Potong Brandon cepat, masuk ke dalam pembicaraan. Sedari tadi dirinya anteng membaca buku. Tahu akan diseret pada hal-hal keji dirinya tidak akan menetap usai belajar mengaji bersama abangnya.“Kamu contoh paling deket, Bran.. Masa Papamu?! Papamu mudanya anak
“Mas.. Adek pinjem HP-nya dong.”Selayaknya remaja kebanyakan yang memang suka sekali menunjukkan hasil kemenangannya, Tatiana ingin membuat memberikan hadiah terakhir untuk Mutia. Meski tidak bisa melihat ekspresi dosennya secara langsung, setidaknya ia bisa menambah kekesalan yang ada pada dirinya.“Boleh buat story IG kan, Mas?”Sejak mereka terbang, segelintir ide-ide jahil berhamburan di otaknya. Berhubung mereka masih ada di bandara, Tatiana akan menyematkan lokasi mereka.“Boleh.. Tapi nggak boleh muka Adek, ya.. Takut ain, Sayang.”Tatiana mengangguk. Itulah sebab mengapa media sosial suaminya tidak pernah mengunggah potret siapa pun. Meski memiliki banyak pengikut, media sosial suaminya terkesan seperti akun tanpa awak. Tidak ada postingan selama beberapa waktu ini. Terakhir suaminya mengunggah kata-kata, meminta doa restu atas pernikahan mereka.“Foto bandaranya kok, Mas.”Brandon yang mengerti akal bulus Tatiana menggelengkan kepalanya. Sahabatnya itu pasti ingin mencari ke
“Lifah, kamu liat sendiri kan?! Dua anak itu pinter banget bersilat lidah. Mereka bener-bener manipulatif, Lif.”Khalifa geram— bahkan menggunakan mata telanjang sekali pun, orang lain akan mengetahui siapa sosok yang ciri-cirinya sedang Mutia sebutkan.Plak!“Sadar, Mut! Sing eling jadi manusia!”Tidak pernah Mutia bayangkan sahabatnya akan menampar dirinya. “Fah.. Jangan bilang kamu percaya sama kata-kata mereka?!” Memegangi bekas tamparan Khalifa, Mutia bertanya dengan wajah sarat akan kesedihan.“Kalau aku nggak percaya, bisa kamu sebutin alasan apa yang membuat kamu ngerengek minta diantar ke sini?!”“Penelitian, Fah.. Apa itu nggak cukup?!”“Seperti kataku, Mut. Penelitianmu bahkan nggak menguntungkan pihak yayasan kamu.” Sepertinya disini dirinyalah yang bodoh. Khalifa merasa menjadi manusia dengan otak yang dangkal sekarang. “Kampusmu yayasan katolik, Mutia. Untuk apa mereka menyetujui penelitian tentang perilaku santri?! Ada banyak penelitian yang lebih berkaitan dengan dunia
“Umi, Tiana mau tunggu Mas Khoir.”“Kamu ini, Nduk. Ya wis.. Zahra temenin Mbak Mu. Umi, Mbah, sama Abi pulang dulu.” Pesan Umi Aisyah sebelum meninggalkan kedua anak perempuannya di pelataran masjid.Abinya sempat mengatakan jika Khoiron sedang berbincang dengan pengurus ponpes di dalam. Tatiana tidak ingin meninggalkan suaminya, seperti Khoiron yang selalu menunggu saat dirinya keluar terlambat.“Duduk aja ya, Mbak. Jangan berdiri terus.” Ujar Zahra. Gadis itu membimbing kakak ipar kesayangannya untuk menduduki kursi tak jauh dari mereka.Kapala Tatiana menangkap sosok yang membantunya. “Kamu sini...” panggilnya membuat segerombolan santriwati menghampirinya.“Dalem, Ning.”“Kamu ke Ndalem ya... Bilang aja ke Umi disuruh saya. Minta di ambilin 5 kotak cake. Terserah Umi yang mana aja gitu.” Ia ingat janjinya, tapi tak bisa segera pulang karena suaminya belum terlihat.“Nggih, Ning Tiana. Ning mari..” Pamit mereka sebelum berlalu.Sepuluh menit Tatiana menunggu dan Khoiron beserta Br
“Mbak Lia, hati-hati. Kata temen ku yang tadi tugas di Ndalem, Mbak yang itu pelakor.”“Pelakor?”“Iya, Mbak.. Dia kesini mau godain Gus Khoir katanya.”“Hus,” Lia menyentuh punggung tangan juniornya di pondok, “ndak boleh suudzon,” ucapnya, memperingati agar tidak berpikiran buruk. Bagaimanapun juga, mereka merupakan tamu sang guru.“Serius, Mbak. Dia denger sendiri waktu tamunya ngobrol. Sampai nggak habis pikir loh temen ku.”“Wis-Wis.. Ayo kita ke masjid. Sebentar lagi adzan magrib.” Ajak Lia. Tidak ada yang perlu dirisaukan dari para tamu tersebut. Ia yang pernah mencoba peruntungan dengan tanpa malunya saja tidak berhasil. Gus mereka bukan laki-laki yang mudah digoda. Beliau begitu mencintai Ning Tatiana.Melewati Khalifa dan Mutia, Lia beserta santri lainnya menundukkan kepala. “Amit, Mbak.” Ucap mereka sopan sedikit membungkuk.“Kalian mau shalat di masjid ya?”“Betul, Mbak.” Jawab Lia mewakili adik-adiknya.“Kami boleh bareng?”“Monggo silahkan.”Di depan pagar masjid yang me
Mutia— Dosen yang mengampu salah satu mata kuliah Tatiana itu dengan percaya dirinya memperkenalkan diri. “Saya rekan mengajar Pak Khoiron di Jakarta, Pak Kyai, Bu Nyai.”“Oh, begitu.” Umi Aisyah menjadi orang pertama yang menanggapi perkenalan terlambat Mutia. “Dosennya menantu saya juga kan ya?” Beliau mempertanyakan apa yang terlewat untuk diperkenalkan wanita yang menjadi tamunya.“Ben-Benar..”“Wah, kebetulan sekali ini.” Menyematkan senyuman, Umi Aisyah lantas menanyakan bagaimana Tatiana ketika di kampus. Dan sebuah hal tidak terduga justru menjadi jawaban dari mulut Mutia.“Sebelumnya saya ingin meminta maaf, Bu Nyai. Bukan maksud saya menjelek-jelekkan. Saya hanya ingin berterus terang tanpa kebohongan. Kalau ditanyakan bagaimana Tatiana, menantu Bu Nyai cukup bermasalah di kampus. Dia anak nakal.”Tatiana mengepalkan jari-jarinya. Brandon ternganga dan Khoiron sendiri terdiam dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di dalam otaknya. Sedang anggota keluar lain yang mendengar