“Saya titip Tatiana selagi saja mengajar.” Mengetahui istrinya memiliki seorang sahabat, Khoiron cukup lega. Untuk sementara dirinya bisa menitipkan perempuan itu, alih-alih membiarkannya sendirian. Emosi istrinya sedang terguncang. Salah-Salah sang istri malah mencari dosen wanita yang membuatnya mengamuk tadi.“Iy-iya, Pak,” jawab Brandon.Dosen Cuy! Takutnya ia juga diajar nanti. Kan harus memberikan kesan yang baik. Siapa tahu dapat nilai A+. Biar hasil semesterannya bisa mencengangkan papa, mama, di rumah.“Tolong jangan dipegang-pegang, ya, Brandon.” Mereka sudah berkenalan tadi. Secara baik-baik hingga pemuda sepantaran istrinya itu tahu statusnya. “Kalian bukan muhrim!”Brandon meneguk ludahnya. Sebenarnya spek macam apa yang menikahi sahabatnya ini. Brandon jadi ragu kalau pria dihadapannya jatuh cinta kepada Tatiana.Amazing sekali!“Siap, Pak! Nggak saya pegang-pegang si curut! Aman! Jaga jarak kayak truk gandeng saya!” Cengir Brandon, bekelakar. Kalau dilihat-lihat, dosen
Tatiana— Lengkapnya Tatiana Sujatmiko. Gadis berusia delapan belas tahun itu merupakan anak tunggal dari pengusaha mebel asal Semarang. Meski demikian, Tatiana lahir dan besar di Jakarta.Seperti kebanyakan anak Metropolitan lainnya, Tatiana dekat dengan hiburan malam. Setiap malamnya ia bahkan tak pernah berada di rumah. Ia dijuluki sebagai The Girl of Senoparty. Selain itu Tatiana cukup rebel alis suka sekali memberontak. Seluruh larangan orang tuanya merupakan hal yang harus ia laksanakan. Ibarat kata— larangan adalah suatu perintah untuk dilakukan.Contohnya seperti malam ini,“Muach!!” Tatiana mencium pipi Soraya. Gadis itu meninggalkan bekas saliva di pipi putih sang mama.“Mau ke mana kamu Tiana?” tanya Januar yang tak lain merupakan papa Tatiana. Pria berusia empat puluh enam tahun itu menelisik penampilan sang putri. Tak ada satu pun bagian yang terlewat dari pengamatan Januar.“Biasa, Pah.”“Biasa apa?!” Sentak Januar. Jangan katakan putrinya akan berpesta sampai pagi di kel
“Dikin, lepasin gue!!”Tatiana meronta-ronta ingin dilepaskan. Dikedua sisi tubuhnya, Sadikin dan papanya memegangi lengannya. Mereka mengangkat dirinya, membuat kakinya terseret-seret hingga mengikuti langkah keduanya.“Papa, Tiana nggak mau. Papa jahat!” Tatiana seakan tahu mengapa ia sampai berada di sebuah pondok pesantren ketika terbangun. Tak mungkin papanya ingin menjadi donatur. Pria itu pasti ingin meninggalkannya di negeri entah berantah ini.“Papa! Lepas, Papa!” Pinta Tatiana, mengiba.“Diam, Tiana! Papa lakuin semua ini karena sayang sama kamu.” Sebenarnya Januar tak tega. Tapi mau bagaimana lagi. Putrinya harus mendapatkan pendidikan agama agar jalan hidupnya berubah. “Satu tahun aja, Sayang. Tolong sekali ini aja, kamu nurut sama kata Papa, ya?”“Nggak mau! Papa nggak sayang Tiana!”Apa yang Tatiana alami sukses menjadi tontonan warga pondok pesantren. Banyak anak yang tengah menuju ke masjid, berhenti berjalan untuk menonton aksi Tatiana.Mereka memekik kala Tatiana men
Menyaksikan bagaimana perilaku dan lugasnya Tatiana dalam mengumpat, Kyai Sholeh telah memutuskan hal besar. Pria itu akan membimbing Tatiana secara privat bersama keluarganya, sebelum melepaskan Tatiana pada khalayak umum, ke tengah-tengah para santrinya.Hal tersebut turut Kyai Sholeh beritakan kepada Januar. Dengan dalih demi kebaikan Tatiana sendiri, ia meminta restu papa Tatiana. Mengharapkan ridho pria itu selagi dirinya memberikan keistimewaan.Beruntung Januar dapat mengerti keputusannya. Laki-laki yang sedang menempuh perjalanan kembali ke Jakarta itu secara penuh memasrahkan putrinya ke tangan Kyai Sholeh. Apa pun yang sekiranya baik untuk sang putri, ia menyertakan izinnya tanpa harus dipertanyakan kepadanya.“Alhamdulillah kalau begitu Mas Janu. Untuk sementara, Tatiana akan tinggal di ndalem bersama saya dan keluarga. Untuk sementara, biarkan kami yang menangani Tatiana.” Ucap Kyai Sholeh ditengah-tengah sambungan teleponnya.‘Nggih, Mas Sholeh. Pangapunten kalau saya mer
Khoiron, pria itu mengangguk, “baik Umi. Akan Khoir ingatkan besok,” ucapnya sebelum melangkahkan kakinya cepat. Ia sungguh takut jika Tatiana akan menyentuhnya lagi. Selama ini, memandang wanita pun ia tidak berani, kecuali itu keluarga dan mahramnya. Khoiron begitu menjaga dirinya. Menghindari dosa sekecil apa pun untuk mendapatkan keridhoan serta kemurahan hati Sang Ilahi pada kehidupan kekalnya kelak.“Astagfirullah, Ya Allah. Ampunilah dosa-dosa, Hamba. Jauhkanlah Hambamu ini dari hal-hal yang menjerumuskan Hamba pada kemurkaanmu, Ya Rabb.” Panjatnya merasa telah melakukan hal yang salah.Khoiron membersihkan dirinya. Pada sepertiga malam menuju datangnya waktu subuh, pria itu tak pernah melelapkan diri. Ia menghabiskan penantiannya untuk menghadap Sang Pencipta dengan lantunan ayat suci. Sampai waktu itu tiba, Khoiron sama sekali tidak beranjak dari sajadahnya. Barulah ketika adzan subuh berkumandang, ia bergegas menuju masjid bersama ayahanda dan kakeknya.“Abi dengar dari Umi,
“Nggak mau! Tiana nggak mau nikah sama dia!!”Tatiana kabur. Ia mendorong tubuh Aisyah, mencari celah supaya bisa berlari menjauh. Sumpah menikah muda tidak pernah ada di dalam kamus Tatiana. Ia dibuang papanya untuk berguru, mencari kitab suci ke barat, bukannya dipinang dengan bismilah oleh pria yang dirinya benci.“Le! Kok malah dlongop! Dikejar calon istrimu,” sentak Kyai Sholeh melihat keterdiaman putranya.Jujur— Khoiron masih belum dapat mengumpulkan nyawanya. Kesadarannya seakan ditarik naik ke awang-awang, setelah mendapatkan perilaku tidak terpuji santriwati sang ayah. Pria itu mengerjap, mencoba menata puing-puing jiwanya yang berserakan ke segala arah.“Ya Allah,” desah Kyai Sholeh.“Umi, tolong. Minta bantuan ke anak-anak. Tatiana nggak tahu daerah sini, Umi,” kepanikan menjalari Kyai Sholeh. Ia takut hal buruk menimpa Tatiana. Putri sahabatnya itu dititipkan kepadanya, menjadi amanah yang begitu besar untuk dirinya jaga.“Ndak akan jauh, nanti dia papasan dengan Zahra,”
Niat Khoiron meminang Tatiana sudah bulat. Ia memang tidak memiliki perasaan apa pun terhadap gadis itu. Mengenalnya pun baru satu hari. Pertemuan-Pertemuan mereka pun tak pernah berjalan baik. Selalu ada ketegangan yang menyertai perjumpaan itu. Sejak awal bertemu, sinar permusuhan bahkan selalu ditampakkan untuk dirinya.Namun sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab, ia harus dapat memperbaiki kesalahan— yah, walau kesalahan tersebut jelas tidak berasal dari dirinya. Tapi dirinya jelas diseret masuk ke dalam lembah dosa yang sama. Kepada perbuatan yang tidak semestinya dilakukan seorang insan yang belum terikat tali pernikahan.“Nak Khoir, saya rasa tidak perlu. Kamu tidak harus mengorbankan diri karena kenakalan putri saya.”Dua jam setelah sahabatnya memberikan kabar mengenai tindakan nekat sang putri, Januar langsung bertolak menuju Semarang. Bersama sang istri, ia pergi menggunakan pesawat dari Jakarta. Melakukan penerbangan singkat lalu dijemput oleh anak sahabatnya di
“Makanya jangan aneh-aneh jadi anak! Lagian kamu, Tiana. Anak gadis main sosor aja!”Di kamar tamu yang dijadikan tempat keluarga kecil Tatiana beristirahat, telinga Tatiana tak bisa lolos dari merepetan Januar— sang papa. Gadis itu masih saja dimarahi karena tindakan arogan dan jahilnya kepada anak Kyai Sholeh yang kerap dipanggil ‘Gus,’ di lingkungan pondok pesantren itu.“Khilaf, Pah! Dia sih gegayaan nggak mau dipegang! Tiana kan jadi pengen ngerjain.”“Nah, sekarang nikmatin hasil dari kejahilan kamu,” sambung Soraya.Kedua orang tua Tatiana terpaksa menerima pinangan Kyai Sholeh untuk putranya. Mereka tak dapat berbuat apa-apa ketika ancaman penjara membayangi diri putri kesayangan mereka.“Tahu dia bakal ngacau begini, nggak Papa pesantrenin, Mah,” desah Januar meraup wajah tampannya. Pria berusia empat puluhan itu memandang putrinya lalu menarik telinga anak itu, “ya Allah, Nak! Kamu yang Papa harap bisa berubah, malah makin-makin di sini!”“Pah sakit, Pah!” Erang Tiana membua