“Makanya jangan aneh-aneh jadi anak! Lagian kamu, Tiana. Anak gadis main sosor aja!”
Di kamar tamu yang dijadikan tempat keluarga kecil Tatiana beristirahat, telinga Tatiana tak bisa lolos dari merepetan Januar— sang papa. Gadis itu masih saja dimarahi karena tindakan arogan dan jahilnya kepada anak Kyai Sholeh yang kerap dipanggil ‘Gus,’ di lingkungan pondok pesantren itu.
“Khilaf, Pah! Dia sih gegayaan nggak mau dipegang! Tiana kan jadi pengen ngerjain.”
“Nah, sekarang nikmatin hasil dari kejahilan kamu,” sambung Soraya.
Kedua orang tua Tatiana terpaksa menerima pinangan Kyai Sholeh untuk putranya. Mereka tak dapat berbuat apa-apa ketika ancaman penjara membayangi diri putri kesayangan mereka.
“Tahu dia bakal ngacau begini, nggak Papa pesantrenin, Mah,” desah Januar meraup wajah tampannya. Pria berusia empat puluhan itu memandang putrinya lalu menarik telinga anak itu, “ya Allah, Nak! Kamu yang Papa harap bisa berubah, malah makin-makin di sini!”
“Pah sakit, Pah!” Erang Tiana membuat Januar melepaskan jewerannya.
Sudahlah! Tidak ada cara lain. Siapa tahu dengan menikahi anak seorang ulama, putrinya benar-benar bisa bertaubat.
“Semoga Nak Khoiron tahan sama kebengalan kamu!”
Tatiana memutar bola matanya. ‘Biar nggak nahan aja dia. Terus gue jadi janda!’ batin Tiana, memasang tampang penuh taktik. Hal tersebut tercium oleh Januar, “sampai kamu cerai sama Khoiron, Papa tendang kamu nyampe Alaska. Kalau perlu nyusul Oma kamu sana di surga!”
“Pah! Kok ngomongnya gitu,” tegur Soraya. Tatiana memang nakal, tapi kalau harus kehilangan untuk selama-lamanya, ia juga tak rela. Ia melahirkan Tatiana dengan taruhan nyawa. Merawatnya menggunakan tangannya sendiri meski dibantu dengan dua babysitter sekaligus.
“Tau nih, Mah. Jahat banget! Masa anaknya didoain mati. Papa emang udah nggak sayang Tiana sih. Pasti dia punya sugar baby, Mah, diluaran.”
Mulai lagi ngaconya— pikir Januar, sembari menggelengkan kepalanya. “Udah naik ke kasur, Ti. Bobok ditengah-tengah Papa sama Mama, biar kamu nggak kabur. Ngapain masih mainan HP. Besok kamu harus bangun pagi buat prosesi akad,”
“Bentaran Pah. Masih nyoba chat Brandon. Kok dia centang satu sih!”
Diam-Diam gadis itu sedang mengusahakan jalan lain untuk menghilang. Mencoba menghubungi Brandon supaya menyelamatkannya dari pernikahan terkutuk bersama orang yang dirinya benci.
“Brandon Papa suruh blokir semua akses kamu hubungin dia. Papa bilang satu tahun lagi kamu yang ke rumah dia dengan versi terbaru kamu.”
Mata indah Tatiana berkilat. Ingatkan dirinya untuk memasang foto sang papa ke seluruh e-commerce di Indonesia. Kalau perlu platform luar sekalian. Ia akan membuka penawaran supaya dapat melakukan tukar tambah orang tua disana.
“Mah,” Januar memberi kode kepada istrinya supaya membawa putri mereka ke ranjang. Mereka harus meminimalisir kemungkinan terburuk, kalau-kalau anak itu akan kembali mempermalukan mereka.
“Tiana hate Papa so much! to the moon back to Mampang!”
Ujaran kebencian itu kontan membuat Januar dan Soraya tergelak. Dibalik kenakalannya Tatiana tetaplah putri mereka yang lucu dan menggemaskan. Lihatlah putrinya yang menghentakkan kaki ke lantai, rasanya kemarin ia baru menimang-nimang Tiana, besok sudah harus jadi istri orang saja anaknya itu.
“Papa sayang Tiana se-galaxy!” balas Januar memeluk tubuh kesayangannya.
“Mama juga, se-universe!” Soraya tak ingin kalah saing dengan suaminya.
Alah-Alah! Dusta!!— cebik Tatiana mengatakannya dalam hati. Sayang kok anaknya dibuang!
Ingin sekali Tatiana tampol bibir kedua orang tuanya, sayangnya ia takut dicoret dari Kartu Keluarga.
*
“Mah, ini apa?” Tatiana menjinjing selembar kain yang diantarkan oleh Zahra. Katanya itu merupakan permintaan Khoiron untuk dikenakan.
“Mama juga nggak tau, Ti. Dipake dimana ya ini?” Kebingungan melanda ibu dan anak itu. Pusat penglihatan mereka terhenti pada satu titik yang sama. “Kita tanya aja apa sama calon adik ipar kamu?”
“Is!! Nggak dari tadi!” Gerutu Tatiana. ‘Eh, kalau gue keluar dari kamar, gue bisa kabur nih,’ tiba-tiba saja Tatiana mendapatkan secercah harapan untuk menggagalkan pernikahannya.
Berbekal harap yang menjulang setinggi puncak Gunung Everest, Tatiana memasang senyum andalannya, “Mama lanjutin deh dandannya. Tiana yang nanya keluar,” ucapnya, menunjukan kemurahan hati.
‘Kabor! Kabor!’ dendang jin-jin di dalam tubuh Tatiana. Ia sangat bersemangat memutar knop pintu, menarik daunnya sebelum langkah kakinya terhenti pada ketukan pertama ketika melangkah. “Loh, Ra, kok lo balik lagi?”
“Lupa, Mbak. Zahra ternyata diminta Umi buat bantu pasangin niqabnya, Mbak Tatiana.”
‘Doh Anjeeng!’ Langit sepertinya sedang mengajak Tatiana war. Dia tak memberikan kesempatan Tatiana mengecap rasa manis dari harapan yang ia lambungkan. ‘Seenggaknya biarin gue berjuang dulu baru lo cut, Sky!’
“Baiknya Zahra,” puji Soraya dari dalam kamar. Wanita itu tak menyadari masam yang menggerus kecantikan paras putri kandungnya. “Makasih ya sudah mau bantuin Tatiana. Masuk sini, Nak,” undang Soraya mempersilahkan Zahra memasuki bilik yang dirinya tempati.
“Woi apaan ini, Nyet! Nggak, Nggak! Gue nggak mau pake masker model beginian!”
Zahra terkekeh, maklum. “Namanya niqab, Mbak Tatiana,” selorohnya memberitahu apa yang sekarang sedang Tatiana kenakan untuk menyembunyikan kecantikannya. “Mas Khoir bilang, beliau nggak ridho, kalau seumpamanya cantiknya Mbak dinikmati sama santri laki-laki setelah Zahra sama Umi anter ke masjid nanti.”
“Mas pengen jadi yang pertama lihat wajah cantik, Mbaknya.”
“Iiih, romantisnya mantu Mama, Ti,” pekik Soraya. Putrinya yang mendapat perlakuan istimewa, tapi dirinyalah yang serawa terbang menyentuh nirwana.
“Ya udah Mama aja yang pakek!” Tatiana mulai mengkesal mode on. Belum apa-apa saja pria itu sudah banyak minta. ‘Gue harus pinjem kantong ajaib nih keknya! Nomor Doramomon gue save nggak ya, waktu terakhir ke Jepang?’ Terlalu frustasi, otak Tatiana meng-error total. Ia jadi tak bisa membedakan kenyataan dan cerita buatan.
“MasyaAllah,” Umi Aisyah berdiri dengan kekaguman merajai dirinya. Tatiana tampak begitu ayu, berbeda sekali dengan gadis yang pertama kali ia lihat di kamar putrinya, Zahra. Tampilan yang memanjakan mata dan hatinya ini, seolah tak menunjukan jika diri itu merupakan Tatiana.
“Cantik sekali menantu, Umi.”
Soraya menghalau air matanya. Ia yakin putrinya diterima dengan baik oleh keluarga besannya. Ia menyaksikan sendiri bagaimana mereka memperlakukan Tatiana dengan penuh kelembutan, seakan putrinya bukan orang luar bagi mereka.
“Mbak Soraya, mari. Kita duduk dulu di depan ya. Katanya ijabnya sudah mau mulai.”
Tatiana duduk gelisah di ruang tamu ndalem. Gadis itu tak berhenti menautkan jari-jarinya saat suara seorang pria mengalun dari mesin pengeras, menyusul kalimat papanya. Dua kali nama panjangnya disebutkan.
“Nggak bisa!” Pekiknya keras. Ia berdiri membuat semua orang yang berada di ruang tamu terperanjat akan gerakan cepatnya.
“Tatiana!” Teriak Soraya memanggil nama sang putri. Mereka berlari mengikuti langkah lebar Tatiana yang seperti seorang buronan polisi. Orang-Orang yang memenuhi sekitaran masjid pun mengamati gerak-gerik gadis yang mematahkan hati mereka.
Gempar, begitulah satu kata yang mewakili seluruh isi Pesantren Al Hidayah milik keluarga besar Kyai Dahlan.
Tak ada angin, apalagi hujan badai, putra terbaik yang selama ini dieluh-eluhkan oleh para santri, mendadak melakukan ijab bersama gadis yang menghebohkan jagat pondok.
Kabut kesedihan menghiasi wajah-wajah para santriwati. Mereka merasa tak rela jika Gus-nya harus menikah, terlebih dengan gadis yang menurut mereka tak pantas menyandang gelar istri sang pujaan hati. Ada banyak gadis dengan rupa dan akhlak yang baik diantara mereka, mengapa harus penghuni baru yang mendapatkan keistimewaan itu?
Lia— gadis yang selama ini kerap keluar masuk ndalem itu bahkan sampai mengalirkan air matanya kala pria yang ia sukai secara diam-diam, kini menjadi sesuatu yang haram untuknya impikan. Ia mengepalkan kedua telapak tangannya, membalikan tubuh melihat Tatiana.
“Minggir lo semua,” Tatiana mendorong orang-orang yang menghalangi jalannya menuju sang papa. Tak peduli bagaimana orang-orang melihatnya, ia terus berusaha untuk mencapai sisi dalam masjid.
“NGGAK SAH! PERNIKAHAN INI,” kalimatnya tertelan dibatang tenggorokan saat Khoiron menengadahkan wajahnya. Pria itu menampakkan hal yang tak pernah Tatiana saksikan. Dalam sekejapan mata, Tatiana tersihir akan paras dan senyuman milik sang Gus.
Derap langkah sang pejantan pun tak terdengar, karena dalam detik yang tidak Tatiana sangka, Khoiron telah berada dihadapannya. Mengulurkan lengan yang akhirnya terhenti pada puncak kepalanya, lalu mengusap Tatiana lembut, “Assalamualaikum, ya Zaujati,” sapa Khoiron, tak mengurai garis senyum yang mencetak kedua lesung dipipinya.
“Allahu Akbar, Gus Khoir senyum. Ya Allah,” seruan tersebut memenuhi ruang-ruang masjid. Sebuah berkah yang dapat santri-santri nikmati setelah kedatangan Tatiana.
Tatiana sendiri?
“Wha-at..”
Gadis itu pingsan. Beruntung Khoiron kini mau bersentuhan. Karenanya bukan permadani di dalam masjid yang menjadi pendaratan tubuhnya, melainkan lengan kokoh sang suami— Ahmad Khoiron Nabawi.
“Anak saya sepertinya mleyot Mbak Aisyah.”
Khoiron membaringkan tubuh Tatiana ke atas pembaringannya. Sebuah ranjang yang tak bisa dikatakan lebar sebab ia berdiam hanya seorang. Tangannya menyentuh pinggiran niqab yang Tatiana kenakan. Berniat melepaskan kain berwarna hitam itu agar tak mengganggu jalannya pernapasan sang istri yang pingsan.Tatiana— gadis yang berada di hadapannya bernama Tatiana Sujatmiko. Nama yang ia ikrarkan dihadapan kakek, abi dan ayah mertuanya. Nama yang ia lantunkan untuk menjadi pendamping hidupnya agar dapat menyempurnakan ibadahnya terhadap Sang Khalik.Persis seperti apa yang adiknya ceritakan, parasnya begitu rupawan. Garis wajahnya kecil dengan dagu meruncing. Bulu matanya lentik. Hidungnya mancung dan kedua bibirnya yang kerap ia dengar mengumpat, ternyata begitu tipis.“MasyaAllah, sungguh indah ciptaan Mu, ya Rabb.”Selain umi dan adiknya, Khoiron tak pernah memuji sosok lain. Mata dan hatinya terjaga, menginginkan keindahan yang dapat ia reguk ketika itu halal baginya.Seperti sekarang con
‘Jakarta, I’m coming!’Uh— siapa sangka estimasi pembuangan yang dirancang satu tahun, ternyata hanya terjadi beberapa hari saja. Hohohoho! Nikmat Tuhan mana lagi yang ingin Tatiana dustakan. Pernikahan dadakan dengan anak pemilik pesantren menjadi dua hal berbeda.Disatu sisi, Tatiana mengamuk karena dipaksa melepas masa lajangnya, akan tetapi disisi lain, ia harus berpesta guna merayakan kebebasannya dari tempat pengungsian. Penderitaannya telah berakhir. Tidak akan ada lagi manusia yang memintanya menghafalkan doa-doa untuk sholat.Pria itu— Khoiron, akan berada di daerah kekuasaannya. Dia pasti tidak akan bisa menyengsarakan, karena sebaliknya, dirinyalah yang akan melakukan hal tersebut agar Khoiron tak betah tinggal di Jakarta.“Mantunya Abi mukanya senang sekali. Nggak sabar ya pengen pulang ke kota?”Tatiana menganggukkan kepalanya dengan semangat. Ia benar-benar sudah tidak sabar. Setelah sampai nanti, ia ingin berkunjung ke rumah sahabatnya. Mengincar beberapa tulang di tubu
“Kamu nggak bisa lari, Dek!”Khoiron menutup pintu belakang mobilnya sebelum berlari kencang mengejar Tatiana. Tanpa ba-bi-bu, pria itu mengangkat tubuh sang istri, memanggul layaknya gadis itu karung berisikan butiran beras-beras.“ANJING! Woi! Turunin gue!!” Jerit Tatiana memukuli punggung Khoiron. Kepalanya langsung pusing karena dijungkir-balikkan.“Toloooong!! Gue diculik Om-Om mesum!!” Teriak Tatiana meminta bantuan. “Isilop!!! 911!! Brandoooon!! Sembooooh!!”“Om Botaaaakkk!!!” Semua orang Tatiana panggil, termasuk si pemilik acara tutup pintu.Khoiron menggelengkan kepalanya. Pria itu tidak takut sekali pun orang-orang mulai mendatanginya. “Istri saya, Pak, Bu,” jelasnya mencoba menyakinkan mereka.“Bohong! Gue bukan istrinya!” bukan Tatiana namanya jika menyerah begitu saja. Ia tidak akan membiarkan Khoiron menang. Lagipula tidak ada bukti yang menunjukan mereka telah menikah. “Papa! Mama! Tolongin Tiana! Ada orang jahat!!”“Mas! Jangan bohong! Mbaknya bilang bukan istri Mas!”
Berniat ingin membangunkan Tatiana, Khoiron justru dibuat terkejut. Pria itu sampai memegangi dadanya karena istrinya tiba-tiba saja terduduk.“Hiyaa!!!”Tatiana mengubah posisinya, merangkak menaiki kepala ranjang. “Kenapa lo ada disini? Gue udah kabur kayak babi ngepet,” seingatnya ia sudah berlari tunggang-langgang untuk menghindari kejaran Khoiron. Memasuki hutan belantara. Menyebrangi lautan bahkan memanjat Burj Khalifa.Mengapa ia masih melihat wajah Khoiron yang datar seperti papan triplek di hadapannya?Mata Tatiana mengedar. Ia merasa familiar dengan ruangan yang ditempatinya sekarang. Perasaan ia sedang melompat ke atas helikopter karena Khoiron memiliki sayap layaknya capung. Menghindari kejaran pria itu sampai tunggangannya oleng ke laut merah.“Eh, loh, ini kamar gue,” gumamnya pelan, melihat satu per satu perabotan yang ada. Otaknya masih sangat waras. Ia tak menderita amnesia walau beberapa kali jatuh bangun dalam pelariannya. “Weh, sakti banget gue ternyata,” ucapnya b
“Iya!”Sejujurnya Khoiron tidak tahu apa itu arti ena-ena. Ia hanya sedang mengusili istri cantiknya. Salah gadis itu sendiri tidak mau menurut. Padahal tinggal mengganti pakaian dan mereka tak perlu membuang waktu lebih banyak lagi.“Mun-Mundur! Gue masih dibawah umur! Jangan apa-apain gue, Om!”‘Om?’ Alis Khoiron menyerngit. Jarak usia mereka memang terpaut sepuluh tahun, tapi apakah wajahnya se-tua itu sampai diberikan panggilan Om oleh istrinya ini. “Kamu habis ngumpatin Mas, sekarang ngejek Mas tua, Dek? Wah! Mas bener-bener nggak akan lepasin kamu sih!” goda Khoiron semakin melancarkan kejahilannya.Tatiana memejamkan matanya erat. Ia memeluk dirinya sendiri. Merasa ketakutan dengan ancaman Khoiron kepadanya.Kaki gadis itu melangkah mundur sampai sebuah nakas menghentikan pergerakannya. Sepertinya ia tidak akan bisa meloloskan diri. Tamat sudah riwayat harta berharga, yang dirinya jaga dari jamahan pria hidung belang di kelab malam.“Papa tolong!” pekik Tatiana keras ketika tel
“Bodo amat-lah!”Tatiana tidak peduli Khoiron akan ngambek atau marah-marah kepadanya. Nanti bisa dirinya urus ketika ia selesai melakukan perhitungan dengan Brandon. Ada baiknya Khoiron tak jadi mengantarkannya ke rumah Brandon. Ia jadi tak harus mencari-cari alasan tentang siapa diri pria itu.“Liat ya lo, Nyet!” tangan Tatiana mengangkat ujung gamisnya. Ia berjalan setengah berlari untuk melalui rumahnya.“MasyaAllah, Mbak Tiana! Mau pengajian ke mana?!”“Banyak lambe! Bukain Pak, gece!” ujar Tatiana membalas pertanyaan satpam rumahnya. Ia sengaja tidak menggunakan mobil karena rumah Brandon terlampau sangat dekat. Sia-Sia bensin mobilnya.“Tumben Mbak pakai jilbab? Beneran mau pergi ke tempat kajian?”“Kajian apaan sih!” bentak Tiana mulai kehilangan kesabaran. Satpam rumahnya dari tadi ngang-ngeng-ngong tak jelas, mengucapkan kalimat yang ia sendiri tidak mengerti. “Gue mau nyamperin Brandon! Udah ah, cepetan! Panas ini yak!”“Saya kirain mau ke masjid. Kan ada ustad terkenal tuh
“Salim dulu, Dek. Tolong dibiasakan.”Khoiron mengulurkan tangannya yang langsung saja ditarik secara bar-bar oleh Tatiana. Gadis itu menempelkan punggung tangan Khoiron pada keningnya, bersalim ria meski terpaksa.“Salah, Dek,” koreksi Khoiron dengan kepalanya yang menggeleng. “Bukan kening yang cium tangan Mas, tapi bibir kamu. Ayo diulang biar benar,” ucapnya mengarahkan Tatiana.Tatiana mendengus dan itu membuat Khoiron menatapnya tajam. Pria itu mulai membuka sesi ceramahnya. Mengatakan jika Tatiana akan sangat berdosa karena berlaku tidak sopan kepada suaminya.“Mas mengajarkan kebaikan loh ke kamu. Memang salah, jadi harus dirubah.”“Iya.. Iya!” Kesal Tatiana. Ia mengulangi cara salimnya, sesuai dengan perintah Khoiron the munapuck man. “Udah kan? Gue boleh turun kan?”“Sebentar,” tahan Khoiron.‘Apaan lagi dah!’ Dumel Tatiana. Sebentar lagi kelasnya dimulai ini. Gara-Gara Khoiron membangunkannya pukul tiga pagi untuk sholat berjamaah, ia jadi harus begadang sampai subuh. Setel
“Kho-Khoir!” Adakah kesialan lain, selain bertemu mantan pacar saat bertransformasi menjadi ukhti? Jawabannya, ada! Ke-Gep Khoiron saat lagi enak-enaknya nyebat. Tatiana tidak tahu mengapa nyalinya yang bar-bar, mendadak menciut saat melihat tatapan setajam silet Khoiron. Ia merasa seperti anak ayam yang takut diperkosa oleh kucing gila di jalanan.“Ikut, Mas!” Perintah itu terdengar cukup tegas, seolah Khoiron tak ingin dibantah. Anehnya Tatiana bangkit. Ia menyenggol lengan Brandon agar mengikuti dirinya. Kalau pun batang lehernya nanti ditebas, ia memiliki saksi supaya hidup Khoiron tak tenang di alam dunia.“Bentar.. Bentar! Lo beneran Tiana, mantan gue?” Namun langkahnya yang sudah berat tertahan oleh cekalan tangan Thomas. Mantannya ini memang mengesalkan. Selain tak memiliki kesadaran diri, dia juga spesialis tukang ngajak ribut. “Lo kesambet apaan, Ti? Abis kecelakaan?” “Anak Muda, tolong lepaskan jari-jari kamu dari tangan Tatiana!” Entah sejak kapan Khoiron melangkahka
“Ibu..”Tatiana mengangkat kedua tangannya ke atas.Tidak, tidak!— Ia tidak akan terpengaruh dengan raut memelas suami tercintanya. Pria itu harus merasakan betapa spektakulernya kelakuan anak mereka saat menginginkan sesuatu.‘Enak aja! Bikinnya bareng-bareng, masa bagian puyengnya, Ibu yang paling banyak.’ Dumel Tatiana, membantin.“Mau ini, Ayah! Mas Adnan mau ini.” Keras kepala Adnan dengan menunjuk satu unit mobil yang sedang dipamerkan pada lantai dasar sebuah Mall ternama di Jakarta.Tatiana terkekeh sembari memalingkan wajahnya. Biarlah ia berdosa. Namun wajah frustasi suaminya sangatlah menghibur jiwa emak-emaknya.“Beliin! Mas Adnan mau punya mobil yang pintunya 2, Ayah.”“Ya Allah, Mas.. yang pintunya 4 kan udah punya.”“Kan empat, nggak dua!” Ngeyel Adnan, membalas kata-kata sang ayah.“Mas..”“Enggak dalem!” potong anak itu menolak panggilan Khoiron.Khoiron menatap lembut kedua mata putranya yang membola. “Kok begitu jawab ke Ayahnya, Mas?” Sama seperti tatapannya, suara
Mendekati pukul lima sore hari, Tatiana, Adnan dan Soraya— ketiganya tampak rapi, berjajar pada halaman luas kediaman mereka.Barisan vertikal yang ketiganya bentuk itu, merupakan pemandangan yang sehari-harinya akan terlihat jika saja tidak turun hujan kala hari hari kerja berlangsung.Di dalam barisan itu, ketiganya akan melakukan sebuah penghormatan besar kepada dua orang terkasih yang telah rela menghabiskan waktunya untuk bekerja keras agar mereka dapat hidup enak.Mereka akan menunggu kepulangan para pencari nafkah. Menyambut keduanya dengan senyum hangat supaya seluruh lelah yang merajai diri mereka sirna.Dalam hal ini, tradisi itu dibentuk setelah si kecil Adnan terlahir ke dunia. Sebuah kebiasaan kecil yang pada akhirnya terus dipertahankan dan menjadi rutinitas harian yang keberadaannya tak pernah ditinggalkan oleh Tatiana dan mamanya.“Itu mobil Ayah.” Seru Adnan, gembira. “Opa sama Ayah pulang, ye-ye-ye-ye!” Anak itu melompat kegirangan, merasa tak sabar untuk menyambut a
Tatiana tak pernah berhenti dibuat istighfar oleh atraksi anak laki-lakinya. Si kecil yang kini menginjak usia 5 tahun itu mempunyai banyak sekali tingkah. Kulit di dadanya mungkin sudah menipis saking seringnya dibelai secara mandiri karena kelakuan membagongkannya.“Ibu nyerah, Mas Adnan!” Tatiana mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ia menyerah, mengibarkan benderah putih ke angkasa.Ayah anak itu baru saja pergi beberapa menit yang lalu, dan si kecil sudah kembali berulah.Adnan memang sangat tahu caranya menguji batas kesabaran ibunya. Dia mencari momen terbaik saat satu-satunya manusia yang ditakutinya tak lagi berada di rumah.“Mas, Ya Allah! Ikan koinya Ibu loh, mati itu ntar Mas!” lontar Tatiana, lemas tak bertenaga.Tatiana pikir dengan dirinya menyatakan kekalahkannya, putranya akan berbaik hati untuk hengkang dari kolam kesayangannya. Namun ternyata, ia salah. Anak itu tetap melanjutkan kegiatan merusuhnya.“Mas Adnan baik loh, Ibu. Mas kan lagi bantu ikan koinya Ibu napas.
Holla, temen-temen.Setelah banyak merenung, Qey mohon maaf karena pada akhirnya, cerita Gus! I Lap Yuh! ini akan tamat sesuai dengan naskah aslinya.Keputusan ini diambil karena beberapa aspek, khususnya dari segi kesehatan Qey yang tampaknya tidak mumpuni untuk mengerjakan 3 on going sekaligus.Takutnya, seluruh karya termasuk judul ini malah akan terbengkalai nantinya. Jadi, Qey putuskan untuk hanya meng-uploud ekstra partnya saja dan mengurungkan niat untuk melangkah ke seasion 2-nya. Bagi pembaca baru, cerita ini sudah ada sequelnya, judulnya Pelet Cinta Lolita!, ya. Disitu menceritakan kisah cintanya Mas Adnan dengan Female Lead, Lolita. Bu Tatik & Ayah Khoir ada disana juga kok, jadi kangen kalian sama pasangan ini akan sedikit terobati nantinya.Segitu aja ya temen-temen. Mohon doanya untuk kesembuhan Qey. Semoga diakhir tahun ini, sakitnya Qey ditutup dengan penutupan tahun. Doain Qey sehat dan pulih sedia kala ya. Amin, Amin.Terima kasih atas perhatiannya, Semua.Salam Saya
Hai, semua. This is Qey.Kemarin saat Qey up chapter untuk ending, kebetulan ada kakak yang mengusulkan untuk dilanjutkan ke Season 2-nya. Untuk kakak-kakak yang lain bagaimana? Season 2-nya akan fokus ke Bu Tatik & keluarga kecilnya, termasuk Mas Adnan versi bocil ya. Karena untuk cerita Mas Adnan sendiri, versi dewasanya sudah ada tuh dijudul "Pelet Cinta Lolita." Kebetulan Mas Adnan tokoh utama prianya disana. Qey membutuhkan masukan sebelum akhirnya memutuskan apakah naskah chapter spesial yang ada akan tetap dijadikan chapter ekstra, atau digunakan untuk melanjutkan ke Season 2. Jadi, please komen ya semua. Terima kasih atas perhatiannya.
“Mas.. Zahra cantik ya?”Kepala Khoiron mengangguk, “iya, Dek,” ucapnya menjawab pertanyaan sang istri kepadanya.Pria itu meremas tangan Tatiana yang berada di dalam genggamannya, lalu kembali berucap, “tapi istri Mas ini, jauh lebih cantik.”Dibalik niqab yang dirinya kenakan, senyum seindah mekarnya bunga di musim gugur, menghiasi wajah Tatiana.“Mas ini! Zahra ratunya hari ini!” Tutur Tatiana, pura-pura menghardik Khoiron. Ia tidak ingin dibuat salah tingkah di momen bersejarah sahabat dan adik iparnya. Kalau pun ada kebahagiaan, seharusnya itu berasal dari acara penting mereka berdua. Bukannya dari hasil gombalan suaminya.Khoiron pun memalingkan wajahnya ke kanan. Ia menatap kedua manik Tatiana dalam. “Mas nggak mau bohong. Ibunya Mas Adnan wanita paling cantik. Ratunya Mas setiap hari.”“Uhuk!”Suara batuk dibelakang mereka menyadarkan Tatiana, jika saat ini keduanya tengah berada di dalam kerumunan santri-santri yang tengah menemani Zahra.“Ya Allah, Mas! Malu.”“Gus Khoir tern
Di dalam kamus Khoiron, ia tidak mengenal apa itu pamali. Pamali hanyalah sebuah culture yang keberadaannya terus dipertahankan dari tahun ke tahun. Namun ia tetap tidak bisa membawa Adnan pergi ke luar rumah terlalu lama. Bagaimana pun, usia Adnan masih beberapa hari. Daya tahan tubuhnya masihlah belum sekuat orang dewasa.“Adek, kita sepertinya nggak bisa bawa Mas Adnan ke kampus.”“Loh, kenapa Mas?”“Mas Adnannya masih kecil, Ibu. Pamernya ditunda saja dulu ya?”Tatiana adalah wanita yang mudah untuk diberikan pengertian. Istrinya mungkin sedikit keras kepala dalam beberapa hal, tapi dia bukan seseorang yang akan mengorbankan orang terkasih demi kesenangan pribadinya.“Mas Adnannya bisa sakit, Ibu. Urusan Brandon, biar ayah yang ngomong ke dia. Dia pasti nggak akan berani nakal.”“Nurut ya, buat Mas Adnan kecil kita.”“Kalau Ayah ngomong buat Mas Adnan, gimana Ibu bisa nggak nurut.” Tutur Tatiana sembari menyandarkan dirinya pada dada bidang Khoiron.Anaknya adalah sosok paling pen
“Mas Adnan, emang Ibu salah ya?”Tatiana menyangga kepalanya menggunakan tangan. Ia tidur menyamping, menatap putranya kesayangannya.“Jawab dong, Mas. Ibu nggak salah kan, ya?”Khoiron mengulum bibirnya. Istrinya sedang mencari pembenaran, hanya saja kepada orang yang salah.Apa yang istrinya harapkan dari seorang bayi mungil tak berdosa? Pembelaan?! Jelas Adnan belum bisa melakukannya. Putranya mereka masih tak memiliki daya untuk hal itu. Tunggu usianya bertambah, nanti Adnan akan dapat diajak berkomunikasi.“Adnan, mah! Ibu hopeless nih. Ayah juga ngambek ke Ibu. Ibu jadi nggak ada temennya, Mas.”“Kok bawa-bawa Ayah, Bu? yang ngambek bukannya Ibu, ya?”“Mas diem!”Lucu sekali istrinya. Dia yang mogok bicara pada semua orang, tapi malah mengaku menjadi pihak tersakiti. Mana mengelabui anak sendiri. Sungguh nakal!“Mas dianggurin nih?! Mentang-mentang sudah punya Mas Adnan sekarang.”“Aduh! Ada yang ngomong, siapa sih! Ganggu quality time aku sama anakku aja deh!”Khoiron terkikik.
“Uh, gemesinnya anak Ibu. Ibu pengen gepengin kamu, Dek.”Khoiron yang baru saja memasuki kamar, kontan berlari mendekati ranjang. “Adek! Istighfar! Jangan gepengin Adnan!” Ucap, pria itu panik. Gemasnya sang istri sungguh membahayakan. Masa anak sendiri mau dibuat gepeng.“Bercanda, Mas Khoir!”“Huh!” Khoiron melepaskan napasnya. Ia pikir istrinya serius ingin menggepengkan anak mereka.“Umi gimana, Mas? Udah dipanggilin dokter belum?”“Udah sadar kok..” Khoiron mendudukan dirinya disamping Tatiana. Tangannya yang besar menggenggam telapak kecil anak lelakinya. “Nggak sampai harus manggil dokter. Umi cuman kaget aja, Dek.”Jangan kan uminya, abinya kalau berada di kamar, pasti juga akan ikut pingsan. Ia tidak mengira kalau kenakalan istrinya sampai bisa membuat heboh satu komplek.“Hehe.. Mama dulu juga pingsan, Mas.” Cengir Tatiana. Mamanya sampai dilarikan ke rumah sakit saat rumahnya di demo. Akhirnya masalah diselesaikan oleh orang tua Brandon. Mereka hanya perlu mengganti mobil