Share

[7] Tatiana Mleyot…

“Makanya jangan aneh-aneh jadi anak! Lagian kamu, Tiana. Anak gadis main sosor aja!”

Di kamar tamu yang dijadikan tempat keluarga kecil Tatiana beristirahat, telinga Tatiana tak bisa lolos dari merepetan Januar— sang papa. Gadis itu masih saja dimarahi karena tindakan arogan dan jahilnya kepada anak Kyai Sholeh yang kerap dipanggil ‘Gus,’ di lingkungan pondok pesantren itu.

“Khilaf, Pah! Dia sih gegayaan nggak mau dipegang! Tiana kan jadi pengen ngerjain.”

“Nah, sekarang nikmatin hasil dari kejahilan kamu,” sambung Soraya.

Kedua orang tua Tatiana terpaksa menerima pinangan Kyai Sholeh untuk putranya. Mereka tak dapat berbuat apa-apa ketika ancaman penjara membayangi diri putri kesayangan mereka.

“Tahu dia bakal ngacau begini, nggak Papa pesantrenin, Mah,” desah Januar meraup wajah tampannya. Pria berusia empat puluhan itu memandang putrinya lalu menarik telinga anak itu, “ya Allah, Nak! Kamu yang Papa harap bisa berubah, malah makin-makin di sini!”

“Pah sakit, Pah!” Erang Tiana membuat Januar melepaskan jewerannya.

Sudahlah! Tidak ada cara lain. Siapa tahu dengan menikahi anak seorang ulama, putrinya benar-benar bisa bertaubat.

“Semoga Nak Khoiron tahan sama kebengalan kamu!”

Tatiana memutar bola matanya. ‘Biar nggak nahan aja dia. Terus gue jadi janda!’ batin Tiana, memasang tampang penuh taktik. Hal tersebut tercium oleh Januar, “sampai kamu cerai sama Khoiron, Papa tendang kamu nyampe Alaska. Kalau perlu nyusul Oma kamu sana di surga!”

“Pah! Kok ngomongnya gitu,” tegur Soraya. Tatiana memang nakal, tapi kalau harus kehilangan untuk selama-lamanya, ia juga tak rela. Ia melahirkan Tatiana dengan taruhan nyawa. Merawatnya menggunakan tangannya sendiri meski dibantu dengan dua babysitter sekaligus.

“Tau nih, Mah. Jahat banget! Masa anaknya didoain mati. Papa emang udah nggak sayang Tiana sih. Pasti dia punya sugar baby, Mah, diluaran.”

Mulai lagi ngaconya— pikir Januar, sembari menggelengkan kepalanya. “Udah naik ke kasur, Ti. Bobok ditengah-tengah Papa sama Mama, biar kamu nggak kabur. Ngapain masih mainan HP. Besok kamu harus bangun pagi buat prosesi akad,”

“Bentaran Pah. Masih nyoba chat Brandon. Kok dia centang satu sih!”

Diam-Diam gadis itu sedang mengusahakan jalan lain untuk menghilang. Mencoba menghubungi Brandon supaya menyelamatkannya dari pernikahan terkutuk bersama orang yang dirinya benci.

“Brandon Papa suruh blokir semua akses kamu hubungin dia. Papa bilang satu tahun lagi kamu yang ke rumah dia dengan versi terbaru kamu.”

Mata indah Tatiana berkilat. Ingatkan dirinya untuk memasang foto sang papa ke seluruh e-commerce di Indonesia. Kalau perlu platform luar sekalian. Ia akan membuka penawaran supaya dapat melakukan tukar tambah orang tua disana.

“Mah,” Januar memberi kode kepada istrinya supaya membawa putri mereka ke ranjang. Mereka harus meminimalisir kemungkinan terburuk, kalau-kalau anak itu akan kembali mempermalukan mereka.

“Tiana hate Papa so much! to the moon back to Mampang!”

Ujaran kebencian itu kontan membuat Januar dan Soraya tergelak. Dibalik kenakalannya Tatiana tetaplah putri mereka yang lucu dan menggemaskan. Lihatlah putrinya yang menghentakkan kaki ke lantai, rasanya kemarin ia baru menimang-nimang Tiana, besok sudah harus jadi istri orang saja anaknya itu.

“Papa sayang Tiana se-galaxy!” balas Januar memeluk tubuh kesayangannya.

“Mama juga, se-universe!” Soraya tak ingin kalah saing dengan suaminya.

Alah-Alah! Dusta!!— cebik Tatiana mengatakannya dalam hati. Sayang kok anaknya dibuang!

Ingin sekali Tatiana tampol bibir kedua orang tuanya, sayangnya ia takut dicoret dari Kartu Keluarga.

*

“Mah, ini apa?” Tatiana menjinjing selembar kain yang diantarkan oleh Zahra. Katanya itu merupakan permintaan Khoiron untuk dikenakan.

“Mama juga nggak tau, Ti. Dipake dimana ya ini?” Kebingungan melanda ibu dan anak itu. Pusat penglihatan mereka terhenti pada satu titik yang sama. “Kita tanya aja apa sama calon adik ipar kamu?”

“Is!! Nggak dari tadi!” Gerutu Tatiana. ‘Eh, kalau gue keluar dari kamar, gue bisa kabur nih,’ tiba-tiba saja Tatiana mendapatkan secercah harapan untuk menggagalkan pernikahannya.

Berbekal harap yang menjulang setinggi puncak Gunung Everest, Tatiana memasang senyum andalannya, “Mama lanjutin deh dandannya. Tiana yang nanya keluar,” ucapnya, menunjukan kemurahan hati.

‘Kabor! Kabor!’ dendang jin-jin di dalam tubuh Tatiana. Ia sangat bersemangat memutar knop pintu, menarik daunnya sebelum langkah kakinya terhenti pada ketukan pertama ketika melangkah. “Loh, Ra, kok lo balik lagi?”

“Lupa, Mbak. Zahra ternyata diminta Umi buat bantu pasangin niqabnya, Mbak Tatiana.”

‘Doh Anjeeng!’ Langit sepertinya sedang mengajak Tatiana war. Dia tak memberikan kesempatan Tatiana mengecap rasa manis dari harapan yang ia lambungkan. ‘Seenggaknya biarin gue berjuang dulu baru lo cut, Sky!

“Baiknya Zahra,” puji Soraya dari dalam kamar. Wanita itu tak menyadari masam yang menggerus kecantikan paras putri kandungnya. “Makasih ya sudah mau bantuin Tatiana. Masuk sini, Nak,” undang Soraya mempersilahkan Zahra memasuki bilik yang dirinya tempati.

“Woi apaan ini, Nyet! Nggak, Nggak! Gue nggak mau pake masker model beginian!”

Zahra terkekeh, maklum. “Namanya niqab, Mbak Tatiana,” selorohnya memberitahu apa yang sekarang sedang Tatiana kenakan untuk menyembunyikan kecantikannya. “Mas Khoir bilang, beliau nggak ridho, kalau seumpamanya cantiknya Mbak dinikmati sama santri laki-laki setelah Zahra sama Umi anter ke masjid nanti.”

“Mas pengen jadi yang pertama lihat wajah cantik, Mbaknya.”

“Iiih, romantisnya mantu Mama, Ti,” pekik Soraya. Putrinya yang mendapat perlakuan istimewa, tapi dirinyalah yang serawa terbang menyentuh nirwana.

“Ya udah Mama aja yang pakek!” Tatiana mulai mengkesal mode on. Belum apa-apa saja pria itu sudah banyak minta. ‘Gue harus pinjem kantong ajaib nih keknya! Nomor Doramomon gue save nggak ya, waktu terakhir ke Jepang?’ Terlalu frustasi, otak Tatiana meng-error total. Ia jadi tak bisa membedakan kenyataan dan cerita buatan.

“MasyaAllah,” Umi Aisyah berdiri dengan kekaguman merajai dirinya. Tatiana tampak begitu ayu, berbeda sekali dengan gadis yang pertama kali ia lihat di kamar putrinya, Zahra. Tampilan yang memanjakan mata dan hatinya ini, seolah tak menunjukan jika diri itu merupakan Tatiana.

“Cantik sekali menantu, Umi.”

Soraya menghalau air matanya. Ia yakin putrinya diterima dengan baik oleh keluarga besannya. Ia menyaksikan sendiri bagaimana mereka memperlakukan Tatiana dengan penuh kelembutan, seakan putrinya bukan orang luar bagi mereka.

“Mbak Soraya, mari. Kita duduk dulu di depan ya. Katanya ijabnya sudah mau mulai.”

Tatiana duduk gelisah di ruang tamu ndalem. Gadis itu tak berhenti menautkan jari-jarinya saat suara seorang pria mengalun dari mesin pengeras, menyusul kalimat papanya. Dua kali nama panjangnya disebutkan.

“Nggak bisa!” Pekiknya keras. Ia berdiri membuat semua orang yang berada di ruang tamu terperanjat akan gerakan cepatnya.

“Tatiana!” Teriak Soraya memanggil nama sang putri. Mereka berlari mengikuti langkah lebar Tatiana yang seperti seorang buronan polisi. Orang-Orang yang memenuhi sekitaran masjid pun mengamati gerak-gerik gadis yang mematahkan hati mereka.

Gempar, begitulah satu kata yang mewakili seluruh isi Pesantren Al Hidayah milik keluarga besar Kyai Dahlan.

Tak ada angin, apalagi hujan badai, putra terbaik yang selama ini dieluh-eluhkan oleh para santri, mendadak melakukan ijab bersama gadis yang menghebohkan jagat pondok.

Kabut kesedihan menghiasi wajah-wajah para santriwati. Mereka merasa tak rela jika Gus-nya harus menikah, terlebih dengan gadis yang menurut mereka tak pantas menyandang gelar istri sang pujaan hati. Ada banyak gadis dengan rupa dan akhlak yang baik diantara mereka, mengapa harus penghuni baru yang mendapatkan keistimewaan itu?

Lia— gadis yang selama ini kerap keluar masuk ndalem itu bahkan sampai mengalirkan air matanya kala pria yang ia sukai secara diam-diam, kini menjadi sesuatu yang haram untuknya impikan. Ia mengepalkan kedua telapak tangannya, membalikan tubuh melihat Tatiana.

“Minggir lo semua,” Tatiana mendorong orang-orang yang menghalangi jalannya menuju sang papa. Tak peduli bagaimana orang-orang melihatnya, ia terus berusaha untuk mencapai sisi dalam masjid.

“NGGAK SAH! PERNIKAHAN INI,” kalimatnya tertelan dibatang tenggorokan saat Khoiron menengadahkan wajahnya. Pria itu menampakkan hal yang tak pernah Tatiana saksikan. Dalam sekejapan mata, Tatiana tersihir akan paras dan senyuman milik sang Gus.

Derap langkah sang pejantan pun tak terdengar, karena dalam detik yang tidak Tatiana sangka, Khoiron telah berada dihadapannya. Mengulurkan lengan yang akhirnya terhenti pada puncak kepalanya, lalu mengusap Tatiana lembut, “Assalamualaikum, ya Zaujati,” sapa Khoiron, tak mengurai garis senyum yang mencetak kedua lesung dipipinya.

“Allahu Akbar, Gus Khoir senyum. Ya Allah,” seruan tersebut memenuhi ruang-ruang masjid. Sebuah berkah yang dapat santri-santri nikmati setelah kedatangan Tatiana.

Tatiana sendiri?

Wha-at..”

Gadis itu pingsan. Beruntung Khoiron kini mau bersentuhan. Karenanya bukan permadani di dalam masjid yang menjadi pendaratan tubuhnya, melainkan lengan kokoh sang suami— Ahmad Khoiron Nabawi.

“Anak saya sepertinya mleyot Mbak Aisyah.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status