Niat Khoiron meminang Tatiana sudah bulat. Ia memang tidak memiliki perasaan apa pun terhadap gadis itu. Mengenalnya pun baru satu hari. Pertemuan-Pertemuan mereka pun tak pernah berjalan baik. Selalu ada ketegangan yang menyertai perjumpaan itu. Sejak awal bertemu, sinar permusuhan bahkan selalu ditampakkan untuk dirinya.
Namun sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab, ia harus dapat memperbaiki kesalahan— yah, walau kesalahan tersebut jelas tidak berasal dari dirinya. Tapi dirinya jelas diseret masuk ke dalam lembah dosa yang sama. Kepada perbuatan yang tidak semestinya dilakukan seorang insan yang belum terikat tali pernikahan.
“Nak Khoir, saya rasa tidak perlu. Kamu tidak harus mengorbankan diri karena kenakalan putri saya.”
Dua jam setelah sahabatnya memberikan kabar mengenai tindakan nekat sang putri, Januar langsung bertolak menuju Semarang. Bersama sang istri, ia pergi menggunakan pesawat dari Jakarta. Melakukan penerbangan singkat lalu dijemput oleh anak sahabatnya di bandara Ahmad Yani.
Pemuda yang menjadi korban kenakalan putrinya itu masih menyempatkan diri untuk menjemputnya. Merelakan waktu istirahat-nya yang berharga untuk berpekur dengan perjalanan, yang teramat jauh dari lokasi pondok pesantrennya.
Memang— Usai memberitahukan jika keduanya akan menikah, Khoiron berpamit. Menitipkan Tatiana dibawah pengawasan adiknya, Zahra selagi ia menjemput kedua orang tua calon istrinya. Ia tidak dapat berlama-lama, sebab ada urusan penting yang harus segera diselesaikan.
Dan saat ini, seluruh keluarga telah berkumpul di ruang tamu ndalem. Berniat membicarakan tentang pernikahan Tatiana dan Khoiron yang harus segera dilaksanakan.
“Mas Sholeh, ndak perlu seperti ini,” ucap Januar, merasa tak enak hati. Belum lama kakinya memijak tanah Jakarta, putrinya bahkan sudah membuat keributan yang sangat besar. Rasanya ia tak lagi memiliki muka di hadapan keluarga sahabatnya.
“Khoiron cuman korban kenakalan anakku, Mas. Kasihan dia kalau harus menikah dengan Tiana,” bujuk Januar. Ia mengenal perangai putrinya. Perbedaan diantara keduanya seperti langit dan bumi. Membayangkan putra sahabatnya mati berdiri karena kenakalan-kenakalan putrinya, rasanya Januar tak sanggup.
“Papa!! yang korban disini itu, Tiana!” Tatiana yang tidak terima dengan kalimat papanya memprotes. ‘Apa sih gue cuman nyium, terus disuruh kawin. Di sini gue korban sesungguhnya, ya! Gue dijebak ini!’ batinnya, mengamuk dengan seluruh emosi yang membuat kedua pundaknya bergerak naik-turun.
“Diam Tiana! Kamu malu-maluin, Papa! Gimana bisa kamu bilang korban, kalau kamu yang nyosor Nak Khoiron, heh?!”
Tatiana menunduk, apa yang dikatakan papanya benar adanya. “Kan cuman bercandaan, Pah,” cicitnya takut akan kemarahan Januar. Pria itu tadi menatapnya berang.
“Melecehkan seseorang itu bukan bahan bercanda, Tatiana Sujatmiko!”
Nama panjangnya telah disebutkan— pertanda bahwa Januar memang berada pada titik emosi yang tak mungkin bisa Tatiana redam.
“Pah, sudah, kita di rumah orang,” bisik Soraya, mencoba menenangkan suaminya. Sembari membelai lengan Januar, wanita itu meminta sang suami untuk beristighfar. “Anak kita satu-satunya itu, Pah.”
“Mas sampun, ndak apa-apa. Khoironnya juga sudah setuju, Mas.” Kyai Sholeh menengahi. “Tatiana,” panggilnya begitu lembut, “menikah dengan anak Abi ya, Nduk?” Pria itu lantas menjelaskan sebaik apa Khoiron selama ini memegang teguh larangan-larangan agamanya. Tak sekali pun anak itu berani mengangkat pandangannya kepada lawan jenis untuk menghindari zina mata dan hasutan setan yang terkutuk.
“Papa bilang Tiana cuman setahun di sini. Kalau nikah, kapan Tiana bisa nyelesain kuliah Tiana?” tanya Tatiana, memelas. Menikah sama saja ia dibuang untuk selama-lamanya. Ia tak mau menanggapi cerita Kyai Sholeh tentang pemahaman putranya itu. Bukan urusannya.
“Papa pasti nggak ngajuin cuti ke kampus Tiana, kan? Nanti Tiana di drop out!”
“Huwaaa!!” lagi-lagi gadis itu menangis. Kali ini keras sekali sampai-sampai Soraya disampingnya menutup kedua telinganya.
“Gus, pripun?” Pandangan Kyai Sholeh jatuh kepada putranya yang sedari tadi berdiam. Segala keputusan ia serahkan pada anak sulungnya. Keteguhan itu dirinya yang memeluk erat.
Kyai Dahlan mengetuk tongkatnya, hanya satu kali untuk mengambil atensi “Wis,” ucapnya. Ia ambil alih kerumitan yang tengah terjadi.
“Mangkato kamu ke Jakarta untuk menyelesaikan segala urusan calon istrimu disana, Khoiron. Setelah Tatiana lulus, boyong dia ke ndalem untuk ikut meneruskan pesantren kita.”
“Abah,” Umi Aisyah hendak menyela, akan tetapi aksi itu tersebut dihentikan, dengan terangkatnya telapak tangan sang pemilik pondok.
“Ini titah, Abah. Khoiron bisa mendaftar menjadi pengajar di kampusnya Tatiana. Menjaga istrinya dari jarak yang paling dekat.”
Tatiana celingukan. Isakannya sudah berhenti, tergantikan oleh kebingungan yang melanda otak kecilnya.
Mengajar?
Memang se-tua apa laki-laki yang dijahili? Dia tidak terlihat seperti Om-Om yang bisa menjadi seorang dosen.
“Nduk, Tatiana, Cucunya, Mbah.. Suamimu ini lulus dengan nilai terbaik di kampusnya. Gelarnya Master dibidang psikologi. Sudah lulus strata 2. Tentu saja selain gelar lain setelah pendidikan yang dia tempuh untuk bekal menjadi penerus Mbah dan Abi mu.”
“Psi-Psi-Ko-Logi?” Beo Tatiana, tersendat-sendat. Pasokan oksigen di paru-parunya langsung menipis, membuahkan pias di wajahnya yang ayu.
“Betul,” jawab Kyai Dahlan, mengulum bibir.
Sial! Psikologi merupakan fakultas yang hampir satu tahun ini dirinya geluti. Bagaimana bisa semua ini terjadi? Kalau begini caranya, ia akan terus terjebak dalam cengkraman manusia bernama Khoi the munapuck Ron bin sok alim itu.
“Wah, kebetulan sekali. Tatiana ini, dia mahasiswa psikologi, Pak Yai. Tapi apa tidak apa-apa? Sungguh saya sangat malu dengan perilaku tidak terpuji putri saya.” Seloroh Januar, mengungkap rasa bersalahnya.
“Ngapunten sebelumnya Pak Yai, Tatiana sendiri saya kirim ke sini untuk belajar agama. Kalau kembali ke Jakarta..” Januar menggantung kalimatnya. Ia tidak tahu lagi harus berkata-kata yang seperti apa untuk menjabarkan maksudnya.
“Sudah takdirnya mereka, Nak Januar. Begitu memang cara Gusti Allah mempertemukan dua jalan yang sebelumnya berbeda. Kamu tenang saja. Cucu lelakiku, dia lebih dari cukup untuk membimbing Tatiana. Apalagi dia akan leluasa mengarahkan Tatiana yang sudah menjadi istrinya.”
“Sanggup to, Le?” tanya-nya, melirik Khoiron.
“In Shaa Allah, Mbah.”
“Kenapa nggak ada yang tanya Tiana?” Gadis itu berdiri sembari menatap satu per satu manusia yang seakan melupakan suaranya. “Tiana yang disuruh nikah, bukan cuman dia aja. Harusnya kalian tanya ke Tiana, mau apa nggak!”
“Duduk!” Januar memelototkan matanya, meminta Tatiana kembali duduk. “Mah, paksa anakmu duduk!”
Soraya menghela napasnya. Kacau, Kacau! Putrinya memang sulit sekali diatur sampai menimbulkan bencana sedahsyat ini.
“Sudah dicarikan jalan tengah, kamu bisa meneruskan sekolahmu, Nduk. Apa lagi yang memberatkan?” Welas asih itu selalu Kyai Dahlan berikan untuk Tatiana. Tak ada yang mengetahui mengapa pria itu begitu menyayangi Tatiana walau baru bertemu.
“Tiana nggak suka dia, Mbah!!” jawab Tiana menunjuk Khoiron disamping Kyai Sholeh. “He is not my type, ya!”
“Cucu Mbah kurang ganteng apa?” selidik Kyai Dahlan. Padahal banyak perempuan datang berharap dapat meminang Khoiron untuk dirinya.
“Em, ya ganteng sih,” gumam Tatiana. Secara tampang musuh bebuyutan terbarunya ini memanglah oke. Tatiana tak mau berdusta soal itu.
“Terus? Kok tetap ndak mau dinikahi, Nduk?”
“Ndeso alias kampungan!”
“TATIANA!” teriak Januar dan Soraya bersamaan. Mulut ceplas-ceplos Tatiana ini sungguhlah bumerang. Bisa-Bisanya dia asal membuka rahang. Di depan keluarga manusia yang dia cela lagi. “Behave! Kamu pikir dengan siapa kamu berbicara!” timpal Januar memperingati anak semata wayangnya.
“Hahahaha. Ora opo-opo. Biarkan dia berekspresi!!” Kyai Dahlan tertawa.
“Makanya mau menikah dulu dengan Khoiron. Nanti kamu lihat bagaimana tampannya cucu Mbah, Nduk. Apalagi kalau sudah berpakaian seperti orang kantoran. Mbah yang tua ini saja kalah.” Kelakar Kyai Dahlan.
“Ya iyalah! Mbah udah tu.. Aw! Mamaaa!” Jerit Tatiana karena Soraya mencubit pahanya.
Ditempatnya Umi Aisyah meluncurkan granat melalui ekor matanya. Calon menantunya ini— tunggu saja. Nanti ketika sudah tergila-gila dengan putranya, setiap detiknya ia akan mengejek sampai lubang telinganya mengeluarkan asap. ‘Astagfirullahaladzim, kok jadi mendendam saya, ya Allah.’
“Maaf Mbah menyela, kalau Mbak Tatiana menolak mempertanggung jawabkan perzinahan kami, terpaksa, mohon maaf sekali. Saya akan melaporkan tindakan pelecehan yang saya terima ke pihak berwajib,” ujar Khoiron tak main-main. Ia tidak hanya melakukan gertakan. Ada dosa yang membayang-bayangi langkahnya. “Tindakan tersebut terekam CCTV pastinya dan bisa saya ajukan sebagai barang bukti untuk kasus penyerangan dan pelecehan seksual.”
“Apa?” pekik semua orang kaget, mendengar penuturan Khoiron. Sedang di kursinya Tatiana langsung menegakkan punggungnya.
“WEI ANJING! Bangsat ya, lo!” Makinya ingin memarah-marahi Khoiron yang benar-benar sangat lebay hanya karena sebuah ciuman.
“TATIANAAAAAA!!!”
Tatiana mengkerut takut. Ia ingin lari sekarang. Sejauh mungkin. Kalau perlu sampai ke Bekasi– planet terdekat yang bisa dirinya tuju dengan sekali pemberangkatan.
“Makanya jangan aneh-aneh jadi anak! Lagian kamu, Tiana. Anak gadis main sosor aja!”Di kamar tamu yang dijadikan tempat keluarga kecil Tatiana beristirahat, telinga Tatiana tak bisa lolos dari merepetan Januar— sang papa. Gadis itu masih saja dimarahi karena tindakan arogan dan jahilnya kepada anak Kyai Sholeh yang kerap dipanggil ‘Gus,’ di lingkungan pondok pesantren itu.“Khilaf, Pah! Dia sih gegayaan nggak mau dipegang! Tiana kan jadi pengen ngerjain.”“Nah, sekarang nikmatin hasil dari kejahilan kamu,” sambung Soraya.Kedua orang tua Tatiana terpaksa menerima pinangan Kyai Sholeh untuk putranya. Mereka tak dapat berbuat apa-apa ketika ancaman penjara membayangi diri putri kesayangan mereka.“Tahu dia bakal ngacau begini, nggak Papa pesantrenin, Mah,” desah Januar meraup wajah tampannya. Pria berusia empat puluhan itu memandang putrinya lalu menarik telinga anak itu, “ya Allah, Nak! Kamu yang Papa harap bisa berubah, malah makin-makin di sini!”“Pah sakit, Pah!” Erang Tiana membua
Khoiron membaringkan tubuh Tatiana ke atas pembaringannya. Sebuah ranjang yang tak bisa dikatakan lebar sebab ia berdiam hanya seorang. Tangannya menyentuh pinggiran niqab yang Tatiana kenakan. Berniat melepaskan kain berwarna hitam itu agar tak mengganggu jalannya pernapasan sang istri yang pingsan.Tatiana— gadis yang berada di hadapannya bernama Tatiana Sujatmiko. Nama yang ia ikrarkan dihadapan kakek, abi dan ayah mertuanya. Nama yang ia lantunkan untuk menjadi pendamping hidupnya agar dapat menyempurnakan ibadahnya terhadap Sang Khalik.Persis seperti apa yang adiknya ceritakan, parasnya begitu rupawan. Garis wajahnya kecil dengan dagu meruncing. Bulu matanya lentik. Hidungnya mancung dan kedua bibirnya yang kerap ia dengar mengumpat, ternyata begitu tipis.“MasyaAllah, sungguh indah ciptaan Mu, ya Rabb.”Selain umi dan adiknya, Khoiron tak pernah memuji sosok lain. Mata dan hatinya terjaga, menginginkan keindahan yang dapat ia reguk ketika itu halal baginya.Seperti sekarang con
‘Jakarta, I’m coming!’Uh— siapa sangka estimasi pembuangan yang dirancang satu tahun, ternyata hanya terjadi beberapa hari saja. Hohohoho! Nikmat Tuhan mana lagi yang ingin Tatiana dustakan. Pernikahan dadakan dengan anak pemilik pesantren menjadi dua hal berbeda.Disatu sisi, Tatiana mengamuk karena dipaksa melepas masa lajangnya, akan tetapi disisi lain, ia harus berpesta guna merayakan kebebasannya dari tempat pengungsian. Penderitaannya telah berakhir. Tidak akan ada lagi manusia yang memintanya menghafalkan doa-doa untuk sholat.Pria itu— Khoiron, akan berada di daerah kekuasaannya. Dia pasti tidak akan bisa menyengsarakan, karena sebaliknya, dirinyalah yang akan melakukan hal tersebut agar Khoiron tak betah tinggal di Jakarta.“Mantunya Abi mukanya senang sekali. Nggak sabar ya pengen pulang ke kota?”Tatiana menganggukkan kepalanya dengan semangat. Ia benar-benar sudah tidak sabar. Setelah sampai nanti, ia ingin berkunjung ke rumah sahabatnya. Mengincar beberapa tulang di tubu
“Kamu nggak bisa lari, Dek!”Khoiron menutup pintu belakang mobilnya sebelum berlari kencang mengejar Tatiana. Tanpa ba-bi-bu, pria itu mengangkat tubuh sang istri, memanggul layaknya gadis itu karung berisikan butiran beras-beras.“ANJING! Woi! Turunin gue!!” Jerit Tatiana memukuli punggung Khoiron. Kepalanya langsung pusing karena dijungkir-balikkan.“Toloooong!! Gue diculik Om-Om mesum!!” Teriak Tatiana meminta bantuan. “Isilop!!! 911!! Brandoooon!! Sembooooh!!”“Om Botaaaakkk!!!” Semua orang Tatiana panggil, termasuk si pemilik acara tutup pintu.Khoiron menggelengkan kepalanya. Pria itu tidak takut sekali pun orang-orang mulai mendatanginya. “Istri saya, Pak, Bu,” jelasnya mencoba menyakinkan mereka.“Bohong! Gue bukan istrinya!” bukan Tatiana namanya jika menyerah begitu saja. Ia tidak akan membiarkan Khoiron menang. Lagipula tidak ada bukti yang menunjukan mereka telah menikah. “Papa! Mama! Tolongin Tiana! Ada orang jahat!!”“Mas! Jangan bohong! Mbaknya bilang bukan istri Mas!”
Berniat ingin membangunkan Tatiana, Khoiron justru dibuat terkejut. Pria itu sampai memegangi dadanya karena istrinya tiba-tiba saja terduduk.“Hiyaa!!!”Tatiana mengubah posisinya, merangkak menaiki kepala ranjang. “Kenapa lo ada disini? Gue udah kabur kayak babi ngepet,” seingatnya ia sudah berlari tunggang-langgang untuk menghindari kejaran Khoiron. Memasuki hutan belantara. Menyebrangi lautan bahkan memanjat Burj Khalifa.Mengapa ia masih melihat wajah Khoiron yang datar seperti papan triplek di hadapannya?Mata Tatiana mengedar. Ia merasa familiar dengan ruangan yang ditempatinya sekarang. Perasaan ia sedang melompat ke atas helikopter karena Khoiron memiliki sayap layaknya capung. Menghindari kejaran pria itu sampai tunggangannya oleng ke laut merah.“Eh, loh, ini kamar gue,” gumamnya pelan, melihat satu per satu perabotan yang ada. Otaknya masih sangat waras. Ia tak menderita amnesia walau beberapa kali jatuh bangun dalam pelariannya. “Weh, sakti banget gue ternyata,” ucapnya b
“Iya!”Sejujurnya Khoiron tidak tahu apa itu arti ena-ena. Ia hanya sedang mengusili istri cantiknya. Salah gadis itu sendiri tidak mau menurut. Padahal tinggal mengganti pakaian dan mereka tak perlu membuang waktu lebih banyak lagi.“Mun-Mundur! Gue masih dibawah umur! Jangan apa-apain gue, Om!”‘Om?’ Alis Khoiron menyerngit. Jarak usia mereka memang terpaut sepuluh tahun, tapi apakah wajahnya se-tua itu sampai diberikan panggilan Om oleh istrinya ini. “Kamu habis ngumpatin Mas, sekarang ngejek Mas tua, Dek? Wah! Mas bener-bener nggak akan lepasin kamu sih!” goda Khoiron semakin melancarkan kejahilannya.Tatiana memejamkan matanya erat. Ia memeluk dirinya sendiri. Merasa ketakutan dengan ancaman Khoiron kepadanya.Kaki gadis itu melangkah mundur sampai sebuah nakas menghentikan pergerakannya. Sepertinya ia tidak akan bisa meloloskan diri. Tamat sudah riwayat harta berharga, yang dirinya jaga dari jamahan pria hidung belang di kelab malam.“Papa tolong!” pekik Tatiana keras ketika tel
“Bodo amat-lah!”Tatiana tidak peduli Khoiron akan ngambek atau marah-marah kepadanya. Nanti bisa dirinya urus ketika ia selesai melakukan perhitungan dengan Brandon. Ada baiknya Khoiron tak jadi mengantarkannya ke rumah Brandon. Ia jadi tak harus mencari-cari alasan tentang siapa diri pria itu.“Liat ya lo, Nyet!” tangan Tatiana mengangkat ujung gamisnya. Ia berjalan setengah berlari untuk melalui rumahnya.“MasyaAllah, Mbak Tiana! Mau pengajian ke mana?!”“Banyak lambe! Bukain Pak, gece!” ujar Tatiana membalas pertanyaan satpam rumahnya. Ia sengaja tidak menggunakan mobil karena rumah Brandon terlampau sangat dekat. Sia-Sia bensin mobilnya.“Tumben Mbak pakai jilbab? Beneran mau pergi ke tempat kajian?”“Kajian apaan sih!” bentak Tiana mulai kehilangan kesabaran. Satpam rumahnya dari tadi ngang-ngeng-ngong tak jelas, mengucapkan kalimat yang ia sendiri tidak mengerti. “Gue mau nyamperin Brandon! Udah ah, cepetan! Panas ini yak!”“Saya kirain mau ke masjid. Kan ada ustad terkenal tuh
“Salim dulu, Dek. Tolong dibiasakan.”Khoiron mengulurkan tangannya yang langsung saja ditarik secara bar-bar oleh Tatiana. Gadis itu menempelkan punggung tangan Khoiron pada keningnya, bersalim ria meski terpaksa.“Salah, Dek,” koreksi Khoiron dengan kepalanya yang menggeleng. “Bukan kening yang cium tangan Mas, tapi bibir kamu. Ayo diulang biar benar,” ucapnya mengarahkan Tatiana.Tatiana mendengus dan itu membuat Khoiron menatapnya tajam. Pria itu mulai membuka sesi ceramahnya. Mengatakan jika Tatiana akan sangat berdosa karena berlaku tidak sopan kepada suaminya.“Mas mengajarkan kebaikan loh ke kamu. Memang salah, jadi harus dirubah.”“Iya.. Iya!” Kesal Tatiana. Ia mengulangi cara salimnya, sesuai dengan perintah Khoiron the munapuck man. “Udah kan? Gue boleh turun kan?”“Sebentar,” tahan Khoiron.‘Apaan lagi dah!’ Dumel Tatiana. Sebentar lagi kelasnya dimulai ini. Gara-Gara Khoiron membangunkannya pukul tiga pagi untuk sholat berjamaah, ia jadi harus begadang sampai subuh. Setel
“Biar gue aja yang ngomong ke Nando. Lo tau beres aja, Ti.”“Ashiaap!” jawab Tatiana, melengkingkan nadanya. Ia akan menyiapkan gendang telinganya baik-baik, memastikan jika otak cerdiknya dapat memahami setiap kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya.Mari kita lihat, bagaimana cara Brandon menjaga Zahra. Apa yang akan sahabatnya katakan pada Nando— Kakak tingkat sekaligus Ketua BEM Universitas mereka. Setahu Tatiana keduanya memang saling mengenal. Beberapa kali Brandon terlihat mengobrol dengan anak teknik itu saat mereka berada di kelab malam.“Gue mau ketemu Nando. Lima menit.” Ucap Brandon pada sekelompok anak BEM yang menjadi panitia ospek. “Masih di sini kan dia?”“Siapa yang nyariin gue?”Suara maskulin Brandon rupanya terdengar sampai ke dalam ruangan. Keduanya tak perlu bersusah payah melobi para kakak tingkat yang pastinya menyulitkan pergerakan.“What&r
Tragedi ngidam bakso homemade menjadi pelajaran tersendiri untuk Brandon. Pemuda itu tidak akan pernah menerima kebaikan hati suami sahabatnya. Selelah apa pun dirinya, keinginan ia harus melakukan sesuai dengan keinginan Lord Tatiana.Gara-Gara Tatiana, saldo rekening Brandon menjadi sangat mengenaskan.Pemuda itu dihukum tak mendapatkan santunan dari orang tuanya selama satu bulan penuh. Belum lagi ceramahan di setiap sisi yang merusak gendang telinganya. Brandon kapok! Benar-benar kapok.Tatiana adalah sebenar-benarnya trouble maker. Kehamilan perempuan itu mendukung untuk melakukan penindasan terhadap pria-pria lemah. Terutama Brandon dan Khoiron. Sekarang keduanya bagaikan pengikut setia Tatiana. Macam-Macam sedikit, para pelindung Tatiana yang akan turun tangan.Bayangkan saja, sikap un-rasional Tatiana didukung oleh dua generasi sebelumnya. Tiga pasang orang tua dan generasi lainnya adalah Kyai Dahlan&mdash
Menemani Khoiron memasak bakso?Zzz…Air liur Tatiana menjadi saksi dari ucapannya saat melepas kepergian sang suami.Tiga puluh menit wanita itu bergulat dengan antusiasmenya sendiri. Terus berceloteh tentang betapa gentle-nya Khoiron pada adik iparnya. Namun tak berselang tiga puluh menit dari kepergian Khoiron, matanya terpejam untuk mengarungi indahnya alam mimpi.Hal tersebut sampai membuat Zahra terperangah. Pasalnya suara kakak iparnya perlahan-lahan menghilang, tergantikan oleh dengkuran halus.Ternyata, oh, ternyata— wanita cantik yang memiliki usia satu tahun di atasnya itu terlelap.Memastikan jika sang kakak tidak akan asal-asalan dalam memenuhi permintaan ngidam keponakannya, Zahra pun memberitahukan kondisi Tatiana saat ini. Kakaknya memiliki banyak waktu untuk berbelanja sehingga tak perlu terburu-buru.“Selamat bobok, Mbak Tiana, ponakannya Tante. Nanti kalau Papa Khoir udah pulang,
Rasa nyaman Tatiana rasakan saat Khoiron membelai perutnya. Pria itu sedang membacakan sebuah surat dikala Tatiana sibuk menggulirkan layar ponselnya.“Adem banget liatnya ya, Pah. Dulu waktu Mama hamil Tiana, Papa nggak pernah kayak Khoiron.” Ucap Soraya membuat Januar menatap istrinya dengan tatapan bersalah.Januar jelas berbeda dengan menantunya. Pemuda itu diasuh dan diberikan asupan pendidikan agama sedari kecil, sedangkan dirinya hanyalah pemuda salah gaul yang hanya mengerti cara mempertahankan bisnis orang tuanya.“Maaf ya, Mah. Dulu waktu kita baru-baru nikah, Papa masih anak begajulan kayak Brandon.”“Loh! Om! Kok Brandon dibawa-bawa sih!” Potong Brandon cepat, masuk ke dalam pembicaraan. Sedari tadi dirinya anteng membaca buku. Tahu akan diseret pada hal-hal keji dirinya tidak akan menetap usai belajar mengaji bersama abangnya.“Kamu contoh paling deket, Bran.. Masa Papamu?! Papamu mudanya anak
“Mas.. Adek pinjem HP-nya dong.”Selayaknya remaja kebanyakan yang memang suka sekali menunjukkan hasil kemenangannya, Tatiana ingin membuat memberikan hadiah terakhir untuk Mutia. Meski tidak bisa melihat ekspresi dosennya secara langsung, setidaknya ia bisa menambah kekesalan yang ada pada dirinya.“Boleh buat story IG kan, Mas?”Sejak mereka terbang, segelintir ide-ide jahil berhamburan di otaknya. Berhubung mereka masih ada di bandara, Tatiana akan menyematkan lokasi mereka.“Boleh.. Tapi nggak boleh muka Adek, ya.. Takut ain, Sayang.”Tatiana mengangguk. Itulah sebab mengapa media sosial suaminya tidak pernah mengunggah potret siapa pun. Meski memiliki banyak pengikut, media sosial suaminya terkesan seperti akun tanpa awak. Tidak ada postingan selama beberapa waktu ini. Terakhir suaminya mengunggah kata-kata, meminta doa restu atas pernikahan mereka.“Foto bandaranya kok, Mas.”Brandon yang mengerti akal bulus Tatiana menggelengkan kepalanya. Sahabatnya itu pasti ingin mencari ke
“Lifah, kamu liat sendiri kan?! Dua anak itu pinter banget bersilat lidah. Mereka bener-bener manipulatif, Lif.”Khalifa geram— bahkan menggunakan mata telanjang sekali pun, orang lain akan mengetahui siapa sosok yang ciri-cirinya sedang Mutia sebutkan.Plak!“Sadar, Mut! Sing eling jadi manusia!”Tidak pernah Mutia bayangkan sahabatnya akan menampar dirinya. “Fah.. Jangan bilang kamu percaya sama kata-kata mereka?!” Memegangi bekas tamparan Khalifa, Mutia bertanya dengan wajah sarat akan kesedihan.“Kalau aku nggak percaya, bisa kamu sebutin alasan apa yang membuat kamu ngerengek minta diantar ke sini?!”“Penelitian, Fah.. Apa itu nggak cukup?!”“Seperti kataku, Mut. Penelitianmu bahkan nggak menguntungkan pihak yayasan kamu.” Sepertinya disini dirinyalah yang bodoh. Khalifa merasa menjadi manusia dengan otak yang dangkal sekarang. “Kampusmu yayasan katolik, Mutia. Untuk apa mereka menyetujui penelitian tentang perilaku santri?! Ada banyak penelitian yang lebih berkaitan dengan dunia
“Umi, Tiana mau tunggu Mas Khoir.”“Kamu ini, Nduk. Ya wis.. Zahra temenin Mbak Mu. Umi, Mbah, sama Abi pulang dulu.” Pesan Umi Aisyah sebelum meninggalkan kedua anak perempuannya di pelataran masjid.Abinya sempat mengatakan jika Khoiron sedang berbincang dengan pengurus ponpes di dalam. Tatiana tidak ingin meninggalkan suaminya, seperti Khoiron yang selalu menunggu saat dirinya keluar terlambat.“Duduk aja ya, Mbak. Jangan berdiri terus.” Ujar Zahra. Gadis itu membimbing kakak ipar kesayangannya untuk menduduki kursi tak jauh dari mereka.Kapala Tatiana menangkap sosok yang membantunya. “Kamu sini...” panggilnya membuat segerombolan santriwati menghampirinya.“Dalem, Ning.”“Kamu ke Ndalem ya... Bilang aja ke Umi disuruh saya. Minta di ambilin 5 kotak cake. Terserah Umi yang mana aja gitu.” Ia ingat janjinya, tapi tak bisa segera pulang karena suaminya belum terlihat.“Nggih, Ning Tiana. Ning mari..” Pamit mereka sebelum berlalu.Sepuluh menit Tatiana menunggu dan Khoiron beserta Br
“Mbak Lia, hati-hati. Kata temen ku yang tadi tugas di Ndalem, Mbak yang itu pelakor.”“Pelakor?”“Iya, Mbak.. Dia kesini mau godain Gus Khoir katanya.”“Hus,” Lia menyentuh punggung tangan juniornya di pondok, “ndak boleh suudzon,” ucapnya, memperingati agar tidak berpikiran buruk. Bagaimanapun juga, mereka merupakan tamu sang guru.“Serius, Mbak. Dia denger sendiri waktu tamunya ngobrol. Sampai nggak habis pikir loh temen ku.”“Wis-Wis.. Ayo kita ke masjid. Sebentar lagi adzan magrib.” Ajak Lia. Tidak ada yang perlu dirisaukan dari para tamu tersebut. Ia yang pernah mencoba peruntungan dengan tanpa malunya saja tidak berhasil. Gus mereka bukan laki-laki yang mudah digoda. Beliau begitu mencintai Ning Tatiana.Melewati Khalifa dan Mutia, Lia beserta santri lainnya menundukkan kepala. “Amit, Mbak.” Ucap mereka sopan sedikit membungkuk.“Kalian mau shalat di masjid ya?”“Betul, Mbak.” Jawab Lia mewakili adik-adiknya.“Kami boleh bareng?”“Monggo silahkan.”Di depan pagar masjid yang me
Mutia— Dosen yang mengampu salah satu mata kuliah Tatiana itu dengan percaya dirinya memperkenalkan diri. “Saya rekan mengajar Pak Khoiron di Jakarta, Pak Kyai, Bu Nyai.”“Oh, begitu.” Umi Aisyah menjadi orang pertama yang menanggapi perkenalan terlambat Mutia. “Dosennya menantu saya juga kan ya?” Beliau mempertanyakan apa yang terlewat untuk diperkenalkan wanita yang menjadi tamunya.“Ben-Benar..”“Wah, kebetulan sekali ini.” Menyematkan senyuman, Umi Aisyah lantas menanyakan bagaimana Tatiana ketika di kampus. Dan sebuah hal tidak terduga justru menjadi jawaban dari mulut Mutia.“Sebelumnya saya ingin meminta maaf, Bu Nyai. Bukan maksud saya menjelek-jelekkan. Saya hanya ingin berterus terang tanpa kebohongan. Kalau ditanyakan bagaimana Tatiana, menantu Bu Nyai cukup bermasalah di kampus. Dia anak nakal.”Tatiana mengepalkan jari-jarinya. Brandon ternganga dan Khoiron sendiri terdiam dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di dalam otaknya. Sedang anggota keluar lain yang mendengar