Niat Khoiron meminang Tatiana sudah bulat. Ia memang tidak memiliki perasaan apa pun terhadap gadis itu. Mengenalnya pun baru satu hari. Pertemuan-Pertemuan mereka pun tak pernah berjalan baik. Selalu ada ketegangan yang menyertai perjumpaan itu. Sejak awal bertemu, sinar permusuhan bahkan selalu ditampakkan untuk dirinya.
Namun sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab, ia harus dapat memperbaiki kesalahan— yah, walau kesalahan tersebut jelas tidak berasal dari dirinya. Tapi dirinya jelas diseret masuk ke dalam lembah dosa yang sama. Kepada perbuatan yang tidak semestinya dilakukan seorang insan yang belum terikat tali pernikahan.
“Nak Khoir, saya rasa tidak perlu. Kamu tidak harus mengorbankan diri karena kenakalan putri saya.”
Dua jam setelah sahabatnya memberikan kabar mengenai tindakan nekat sang putri, Januar langsung bertolak menuju Semarang. Bersama sang istri, ia pergi menggunakan pesawat dari Jakarta. Melakukan penerbangan singkat lalu dijemput oleh anak sahabatnya di bandara Ahmad Yani.
Pemuda yang menjadi korban kenakalan putrinya itu masih menyempatkan diri untuk menjemputnya. Merelakan waktu istirahat-nya yang berharga untuk berpekur dengan perjalanan, yang teramat jauh dari lokasi pondok pesantrennya.
Memang— Usai memberitahukan jika keduanya akan menikah, Khoiron berpamit. Menitipkan Tatiana dibawah pengawasan adiknya, Zahra selagi ia menjemput kedua orang tua calon istrinya. Ia tidak dapat berlama-lama, sebab ada urusan penting yang harus segera diselesaikan.
Dan saat ini, seluruh keluarga telah berkumpul di ruang tamu ndalem. Berniat membicarakan tentang pernikahan Tatiana dan Khoiron yang harus segera dilaksanakan.
“Mas Sholeh, ndak perlu seperti ini,” ucap Januar, merasa tak enak hati. Belum lama kakinya memijak tanah Jakarta, putrinya bahkan sudah membuat keributan yang sangat besar. Rasanya ia tak lagi memiliki muka di hadapan keluarga sahabatnya.
“Khoiron cuman korban kenakalan anakku, Mas. Kasihan dia kalau harus menikah dengan Tiana,” bujuk Januar. Ia mengenal perangai putrinya. Perbedaan diantara keduanya seperti langit dan bumi. Membayangkan putra sahabatnya mati berdiri karena kenakalan-kenakalan putrinya, rasanya Januar tak sanggup.
“Papa!! yang korban disini itu, Tiana!” Tatiana yang tidak terima dengan kalimat papanya memprotes. ‘Apa sih gue cuman nyium, terus disuruh kawin. Di sini gue korban sesungguhnya, ya! Gue dijebak ini!’ batinnya, mengamuk dengan seluruh emosi yang membuat kedua pundaknya bergerak naik-turun.
“Diam Tiana! Kamu malu-maluin, Papa! Gimana bisa kamu bilang korban, kalau kamu yang nyosor Nak Khoiron, heh?!”
Tatiana menunduk, apa yang dikatakan papanya benar adanya. “Kan cuman bercandaan, Pah,” cicitnya takut akan kemarahan Januar. Pria itu tadi menatapnya berang.
“Melecehkan seseorang itu bukan bahan bercanda, Tatiana Sujatmiko!”
Nama panjangnya telah disebutkan— pertanda bahwa Januar memang berada pada titik emosi yang tak mungkin bisa Tatiana redam.
“Pah, sudah, kita di rumah orang,” bisik Soraya, mencoba menenangkan suaminya. Sembari membelai lengan Januar, wanita itu meminta sang suami untuk beristighfar. “Anak kita satu-satunya itu, Pah.”
“Mas sampun, ndak apa-apa. Khoironnya juga sudah setuju, Mas.” Kyai Sholeh menengahi. “Tatiana,” panggilnya begitu lembut, “menikah dengan anak Abi ya, Nduk?” Pria itu lantas menjelaskan sebaik apa Khoiron selama ini memegang teguh larangan-larangan agamanya. Tak sekali pun anak itu berani mengangkat pandangannya kepada lawan jenis untuk menghindari zina mata dan hasutan setan yang terkutuk.
“Papa bilang Tiana cuman setahun di sini. Kalau nikah, kapan Tiana bisa nyelesain kuliah Tiana?” tanya Tatiana, memelas. Menikah sama saja ia dibuang untuk selama-lamanya. Ia tak mau menanggapi cerita Kyai Sholeh tentang pemahaman putranya itu. Bukan urusannya.
“Papa pasti nggak ngajuin cuti ke kampus Tiana, kan? Nanti Tiana di drop out!”
“Huwaaa!!” lagi-lagi gadis itu menangis. Kali ini keras sekali sampai-sampai Soraya disampingnya menutup kedua telinganya.
“Gus, pripun?” Pandangan Kyai Sholeh jatuh kepada putranya yang sedari tadi berdiam. Segala keputusan ia serahkan pada anak sulungnya. Keteguhan itu dirinya yang memeluk erat.
Kyai Dahlan mengetuk tongkatnya, hanya satu kali untuk mengambil atensi “Wis,” ucapnya. Ia ambil alih kerumitan yang tengah terjadi.
“Mangkato kamu ke Jakarta untuk menyelesaikan segala urusan calon istrimu disana, Khoiron. Setelah Tatiana lulus, boyong dia ke ndalem untuk ikut meneruskan pesantren kita.”
“Abah,” Umi Aisyah hendak menyela, akan tetapi aksi itu tersebut dihentikan, dengan terangkatnya telapak tangan sang pemilik pondok.
“Ini titah, Abah. Khoiron bisa mendaftar menjadi pengajar di kampusnya Tatiana. Menjaga istrinya dari jarak yang paling dekat.”
Tatiana celingukan. Isakannya sudah berhenti, tergantikan oleh kebingungan yang melanda otak kecilnya.
Mengajar?
Memang se-tua apa laki-laki yang dijahili? Dia tidak terlihat seperti Om-Om yang bisa menjadi seorang dosen.
“Nduk, Tatiana, Cucunya, Mbah.. Suamimu ini lulus dengan nilai terbaik di kampusnya. Gelarnya Master dibidang psikologi. Sudah lulus strata 2. Tentu saja selain gelar lain setelah pendidikan yang dia tempuh untuk bekal menjadi penerus Mbah dan Abi mu.”
“Psi-Psi-Ko-Logi?” Beo Tatiana, tersendat-sendat. Pasokan oksigen di paru-parunya langsung menipis, membuahkan pias di wajahnya yang ayu.
“Betul,” jawab Kyai Dahlan, mengulum bibir.
Sial! Psikologi merupakan fakultas yang hampir satu tahun ini dirinya geluti. Bagaimana bisa semua ini terjadi? Kalau begini caranya, ia akan terus terjebak dalam cengkraman manusia bernama Khoi the munapuck Ron bin sok alim itu.
“Wah, kebetulan sekali. Tatiana ini, dia mahasiswa psikologi, Pak Yai. Tapi apa tidak apa-apa? Sungguh saya sangat malu dengan perilaku tidak terpuji putri saya.” Seloroh Januar, mengungkap rasa bersalahnya.
“Ngapunten sebelumnya Pak Yai, Tatiana sendiri saya kirim ke sini untuk belajar agama. Kalau kembali ke Jakarta..” Januar menggantung kalimatnya. Ia tidak tahu lagi harus berkata-kata yang seperti apa untuk menjabarkan maksudnya.
“Sudah takdirnya mereka, Nak Januar. Begitu memang cara Gusti Allah mempertemukan dua jalan yang sebelumnya berbeda. Kamu tenang saja. Cucu lelakiku, dia lebih dari cukup untuk membimbing Tatiana. Apalagi dia akan leluasa mengarahkan Tatiana yang sudah menjadi istrinya.”
“Sanggup to, Le?” tanya-nya, melirik Khoiron.
“In Shaa Allah, Mbah.”
“Kenapa nggak ada yang tanya Tiana?” Gadis itu berdiri sembari menatap satu per satu manusia yang seakan melupakan suaranya. “Tiana yang disuruh nikah, bukan cuman dia aja. Harusnya kalian tanya ke Tiana, mau apa nggak!”
“Duduk!” Januar memelototkan matanya, meminta Tatiana kembali duduk. “Mah, paksa anakmu duduk!”
Soraya menghela napasnya. Kacau, Kacau! Putrinya memang sulit sekali diatur sampai menimbulkan bencana sedahsyat ini.
“Sudah dicarikan jalan tengah, kamu bisa meneruskan sekolahmu, Nduk. Apa lagi yang memberatkan?” Welas asih itu selalu Kyai Dahlan berikan untuk Tatiana. Tak ada yang mengetahui mengapa pria itu begitu menyayangi Tatiana walau baru bertemu.
“Tiana nggak suka dia, Mbah!!” jawab Tiana menunjuk Khoiron disamping Kyai Sholeh. “He is not my type, ya!”
“Cucu Mbah kurang ganteng apa?” selidik Kyai Dahlan. Padahal banyak perempuan datang berharap dapat meminang Khoiron untuk dirinya.
“Em, ya ganteng sih,” gumam Tatiana. Secara tampang musuh bebuyutan terbarunya ini memanglah oke. Tatiana tak mau berdusta soal itu.
“Terus? Kok tetap ndak mau dinikahi, Nduk?”
“Ndeso alias kampungan!”
“TATIANA!” teriak Januar dan Soraya bersamaan. Mulut ceplas-ceplos Tatiana ini sungguhlah bumerang. Bisa-Bisanya dia asal membuka rahang. Di depan keluarga manusia yang dia cela lagi. “Behave! Kamu pikir dengan siapa kamu berbicara!” timpal Januar memperingati anak semata wayangnya.
“Hahahaha. Ora opo-opo. Biarkan dia berekspresi!!” Kyai Dahlan tertawa.
“Makanya mau menikah dulu dengan Khoiron. Nanti kamu lihat bagaimana tampannya cucu Mbah, Nduk. Apalagi kalau sudah berpakaian seperti orang kantoran. Mbah yang tua ini saja kalah.” Kelakar Kyai Dahlan.
“Ya iyalah! Mbah udah tu.. Aw! Mamaaa!” Jerit Tatiana karena Soraya mencubit pahanya.
Ditempatnya Umi Aisyah meluncurkan granat melalui ekor matanya. Calon menantunya ini— tunggu saja. Nanti ketika sudah tergila-gila dengan putranya, setiap detiknya ia akan mengejek sampai lubang telinganya mengeluarkan asap. ‘Astagfirullahaladzim, kok jadi mendendam saya, ya Allah.’
“Maaf Mbah menyela, kalau Mbak Tatiana menolak mempertanggung jawabkan perzinahan kami, terpaksa, mohon maaf sekali. Saya akan melaporkan tindakan pelecehan yang saya terima ke pihak berwajib,” ujar Khoiron tak main-main. Ia tidak hanya melakukan gertakan. Ada dosa yang membayang-bayangi langkahnya. “Tindakan tersebut terekam CCTV pastinya dan bisa saya ajukan sebagai barang bukti untuk kasus penyerangan dan pelecehan seksual.”
“Apa?” pekik semua orang kaget, mendengar penuturan Khoiron. Sedang di kursinya Tatiana langsung menegakkan punggungnya.
“WEI ANJING! Bangsat ya, lo!” Makinya ingin memarah-marahi Khoiron yang benar-benar sangat lebay hanya karena sebuah ciuman.
“TATIANAAAAAA!!!”
Tatiana mengkerut takut. Ia ingin lari sekarang. Sejauh mungkin. Kalau perlu sampai ke Bekasi– planet terdekat yang bisa dirinya tuju dengan sekali pemberangkatan.
“Makanya jangan aneh-aneh jadi anak! Lagian kamu, Tiana. Anak gadis main sosor aja!”Di kamar tamu yang dijadikan tempat keluarga kecil Tatiana beristirahat, telinga Tatiana tak bisa lolos dari merepetan Januar— sang papa. Gadis itu masih saja dimarahi karena tindakan arogan dan jahilnya kepada anak Kyai Sholeh yang kerap dipanggil ‘Gus,’ di lingkungan pondok pesantren itu.“Khilaf, Pah! Dia sih gegayaan nggak mau dipegang! Tiana kan jadi pengen ngerjain.”“Nah, sekarang nikmatin hasil dari kejahilan kamu,” sambung Soraya.Kedua orang tua Tatiana terpaksa menerima pinangan Kyai Sholeh untuk putranya. Mereka tak dapat berbuat apa-apa ketika ancaman penjara membayangi diri putri kesayangan mereka.“Tahu dia bakal ngacau begini, nggak Papa pesantrenin, Mah,” desah Januar meraup wajah tampannya. Pria berusia empat puluhan itu memandang putrinya lalu menarik telinga anak itu, “ya Allah, Nak! Kamu yang Papa harap bisa berubah, malah makin-makin di sini!”“Pah sakit, Pah!” Erang Tiana membua
Khoiron membaringkan tubuh Tatiana ke atas pembaringannya. Sebuah ranjang yang tak bisa dikatakan lebar sebab ia berdiam hanya seorang. Tangannya menyentuh pinggiran niqab yang Tatiana kenakan. Berniat melepaskan kain berwarna hitam itu agar tak mengganggu jalannya pernapasan sang istri yang pingsan.Tatiana— gadis yang berada di hadapannya bernama Tatiana Sujatmiko. Nama yang ia ikrarkan dihadapan kakek, abi dan ayah mertuanya. Nama yang ia lantunkan untuk menjadi pendamping hidupnya agar dapat menyempurnakan ibadahnya terhadap Sang Khalik.Persis seperti apa yang adiknya ceritakan, parasnya begitu rupawan. Garis wajahnya kecil dengan dagu meruncing. Bulu matanya lentik. Hidungnya mancung dan kedua bibirnya yang kerap ia dengar mengumpat, ternyata begitu tipis.“MasyaAllah, sungguh indah ciptaan Mu, ya Rabb.”Selain umi dan adiknya, Khoiron tak pernah memuji sosok lain. Mata dan hatinya terjaga, menginginkan keindahan yang dapat ia reguk ketika itu halal baginya.Seperti sekarang con
‘Jakarta, I’m coming!’Uh— siapa sangka estimasi pembuangan yang dirancang satu tahun, ternyata hanya terjadi beberapa hari saja. Hohohoho! Nikmat Tuhan mana lagi yang ingin Tatiana dustakan. Pernikahan dadakan dengan anak pemilik pesantren menjadi dua hal berbeda.Disatu sisi, Tatiana mengamuk karena dipaksa melepas masa lajangnya, akan tetapi disisi lain, ia harus berpesta guna merayakan kebebasannya dari tempat pengungsian. Penderitaannya telah berakhir. Tidak akan ada lagi manusia yang memintanya menghafalkan doa-doa untuk sholat.Pria itu— Khoiron, akan berada di daerah kekuasaannya. Dia pasti tidak akan bisa menyengsarakan, karena sebaliknya, dirinyalah yang akan melakukan hal tersebut agar Khoiron tak betah tinggal di Jakarta.“Mantunya Abi mukanya senang sekali. Nggak sabar ya pengen pulang ke kota?”Tatiana menganggukkan kepalanya dengan semangat. Ia benar-benar sudah tidak sabar. Setelah sampai nanti, ia ingin berkunjung ke rumah sahabatnya. Mengincar beberapa tulang di tubu
“Kamu nggak bisa lari, Dek!”Khoiron menutup pintu belakang mobilnya sebelum berlari kencang mengejar Tatiana. Tanpa ba-bi-bu, pria itu mengangkat tubuh sang istri, memanggul layaknya gadis itu karung berisikan butiran beras-beras.“ANJING! Woi! Turunin gue!!” Jerit Tatiana memukuli punggung Khoiron. Kepalanya langsung pusing karena dijungkir-balikkan.“Toloooong!! Gue diculik Om-Om mesum!!” Teriak Tatiana meminta bantuan. “Isilop!!! 911!! Brandoooon!! Sembooooh!!”“Om Botaaaakkk!!!” Semua orang Tatiana panggil, termasuk si pemilik acara tutup pintu.Khoiron menggelengkan kepalanya. Pria itu tidak takut sekali pun orang-orang mulai mendatanginya. “Istri saya, Pak, Bu,” jelasnya mencoba menyakinkan mereka.“Bohong! Gue bukan istrinya!” bukan Tatiana namanya jika menyerah begitu saja. Ia tidak akan membiarkan Khoiron menang. Lagipula tidak ada bukti yang menunjukan mereka telah menikah. “Papa! Mama! Tolongin Tiana! Ada orang jahat!!”“Mas! Jangan bohong! Mbaknya bilang bukan istri Mas!”
Berniat ingin membangunkan Tatiana, Khoiron justru dibuat terkejut. Pria itu sampai memegangi dadanya karena istrinya tiba-tiba saja terduduk.“Hiyaa!!!”Tatiana mengubah posisinya, merangkak menaiki kepala ranjang. “Kenapa lo ada disini? Gue udah kabur kayak babi ngepet,” seingatnya ia sudah berlari tunggang-langgang untuk menghindari kejaran Khoiron. Memasuki hutan belantara. Menyebrangi lautan bahkan memanjat Burj Khalifa.Mengapa ia masih melihat wajah Khoiron yang datar seperti papan triplek di hadapannya?Mata Tatiana mengedar. Ia merasa familiar dengan ruangan yang ditempatinya sekarang. Perasaan ia sedang melompat ke atas helikopter karena Khoiron memiliki sayap layaknya capung. Menghindari kejaran pria itu sampai tunggangannya oleng ke laut merah.“Eh, loh, ini kamar gue,” gumamnya pelan, melihat satu per satu perabotan yang ada. Otaknya masih sangat waras. Ia tak menderita amnesia walau beberapa kali jatuh bangun dalam pelariannya. “Weh, sakti banget gue ternyata,” ucapnya b
“Iya!”Sejujurnya Khoiron tidak tahu apa itu arti ena-ena. Ia hanya sedang mengusili istri cantiknya. Salah gadis itu sendiri tidak mau menurut. Padahal tinggal mengganti pakaian dan mereka tak perlu membuang waktu lebih banyak lagi.“Mun-Mundur! Gue masih dibawah umur! Jangan apa-apain gue, Om!”‘Om?’ Alis Khoiron menyerngit. Jarak usia mereka memang terpaut sepuluh tahun, tapi apakah wajahnya se-tua itu sampai diberikan panggilan Om oleh istrinya ini. “Kamu habis ngumpatin Mas, sekarang ngejek Mas tua, Dek? Wah! Mas bener-bener nggak akan lepasin kamu sih!” goda Khoiron semakin melancarkan kejahilannya.Tatiana memejamkan matanya erat. Ia memeluk dirinya sendiri. Merasa ketakutan dengan ancaman Khoiron kepadanya.Kaki gadis itu melangkah mundur sampai sebuah nakas menghentikan pergerakannya. Sepertinya ia tidak akan bisa meloloskan diri. Tamat sudah riwayat harta berharga, yang dirinya jaga dari jamahan pria hidung belang di kelab malam.“Papa tolong!” pekik Tatiana keras ketika tel
“Bodo amat-lah!”Tatiana tidak peduli Khoiron akan ngambek atau marah-marah kepadanya. Nanti bisa dirinya urus ketika ia selesai melakukan perhitungan dengan Brandon. Ada baiknya Khoiron tak jadi mengantarkannya ke rumah Brandon. Ia jadi tak harus mencari-cari alasan tentang siapa diri pria itu.“Liat ya lo, Nyet!” tangan Tatiana mengangkat ujung gamisnya. Ia berjalan setengah berlari untuk melalui rumahnya.“MasyaAllah, Mbak Tiana! Mau pengajian ke mana?!”“Banyak lambe! Bukain Pak, gece!” ujar Tatiana membalas pertanyaan satpam rumahnya. Ia sengaja tidak menggunakan mobil karena rumah Brandon terlampau sangat dekat. Sia-Sia bensin mobilnya.“Tumben Mbak pakai jilbab? Beneran mau pergi ke tempat kajian?”“Kajian apaan sih!” bentak Tiana mulai kehilangan kesabaran. Satpam rumahnya dari tadi ngang-ngeng-ngong tak jelas, mengucapkan kalimat yang ia sendiri tidak mengerti. “Gue mau nyamperin Brandon! Udah ah, cepetan! Panas ini yak!”“Saya kirain mau ke masjid. Kan ada ustad terkenal tuh
“Salim dulu, Dek. Tolong dibiasakan.”Khoiron mengulurkan tangannya yang langsung saja ditarik secara bar-bar oleh Tatiana. Gadis itu menempelkan punggung tangan Khoiron pada keningnya, bersalim ria meski terpaksa.“Salah, Dek,” koreksi Khoiron dengan kepalanya yang menggeleng. “Bukan kening yang cium tangan Mas, tapi bibir kamu. Ayo diulang biar benar,” ucapnya mengarahkan Tatiana.Tatiana mendengus dan itu membuat Khoiron menatapnya tajam. Pria itu mulai membuka sesi ceramahnya. Mengatakan jika Tatiana akan sangat berdosa karena berlaku tidak sopan kepada suaminya.“Mas mengajarkan kebaikan loh ke kamu. Memang salah, jadi harus dirubah.”“Iya.. Iya!” Kesal Tatiana. Ia mengulangi cara salimnya, sesuai dengan perintah Khoiron the munapuck man. “Udah kan? Gue boleh turun kan?”“Sebentar,” tahan Khoiron.‘Apaan lagi dah!’ Dumel Tatiana. Sebentar lagi kelasnya dimulai ini. Gara-Gara Khoiron membangunkannya pukul tiga pagi untuk sholat berjamaah, ia jadi harus begadang sampai subuh. Setel
“Ibu..”Tatiana mengangkat kedua tangannya ke atas.Tidak, tidak!— Ia tidak akan terpengaruh dengan raut memelas suami tercintanya. Pria itu harus merasakan betapa spektakulernya kelakuan anak mereka saat menginginkan sesuatu.‘Enak aja! Bikinnya bareng-bareng, masa bagian puyengnya, Ibu yang paling banyak.’ Dumel Tatiana, membantin.“Mau ini, Ayah! Mas Adnan mau ini.” Keras kepala Adnan dengan menunjuk satu unit mobil yang sedang dipamerkan pada lantai dasar sebuah Mall ternama di Jakarta.Tatiana terkekeh sembari memalingkan wajahnya. Biarlah ia berdosa. Namun wajah frustasi suaminya sangatlah menghibur jiwa emak-emaknya.“Beliin! Mas Adnan mau punya mobil yang pintunya 2, Ayah.”“Ya Allah, Mas.. yang pintunya 4 kan udah punya.”“Kan empat, nggak dua!” Ngeyel Adnan, membalas kata-kata sang ayah.“Mas..”“Enggak dalem!” potong anak itu menolak panggilan Khoiron.Khoiron menatap lembut kedua mata putranya yang membola. “Kok begitu jawab ke Ayahnya, Mas?” Sama seperti tatapannya, suara
Mendekati pukul lima sore hari, Tatiana, Adnan dan Soraya— ketiganya tampak rapi, berjajar pada halaman luas kediaman mereka.Barisan vertikal yang ketiganya bentuk itu, merupakan pemandangan yang sehari-harinya akan terlihat jika saja tidak turun hujan kala hari hari kerja berlangsung.Di dalam barisan itu, ketiganya akan melakukan sebuah penghormatan besar kepada dua orang terkasih yang telah rela menghabiskan waktunya untuk bekerja keras agar mereka dapat hidup enak.Mereka akan menunggu kepulangan para pencari nafkah. Menyambut keduanya dengan senyum hangat supaya seluruh lelah yang merajai diri mereka sirna.Dalam hal ini, tradisi itu dibentuk setelah si kecil Adnan terlahir ke dunia. Sebuah kebiasaan kecil yang pada akhirnya terus dipertahankan dan menjadi rutinitas harian yang keberadaannya tak pernah ditinggalkan oleh Tatiana dan mamanya.“Itu mobil Ayah.” Seru Adnan, gembira. “Opa sama Ayah pulang, ye-ye-ye-ye!” Anak itu melompat kegirangan, merasa tak sabar untuk menyambut a
Tatiana tak pernah berhenti dibuat istighfar oleh atraksi anak laki-lakinya. Si kecil yang kini menginjak usia 5 tahun itu mempunyai banyak sekali tingkah. Kulit di dadanya mungkin sudah menipis saking seringnya dibelai secara mandiri karena kelakuan membagongkannya.“Ibu nyerah, Mas Adnan!” Tatiana mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ia menyerah, mengibarkan benderah putih ke angkasa.Ayah anak itu baru saja pergi beberapa menit yang lalu, dan si kecil sudah kembali berulah.Adnan memang sangat tahu caranya menguji batas kesabaran ibunya. Dia mencari momen terbaik saat satu-satunya manusia yang ditakutinya tak lagi berada di rumah.“Mas, Ya Allah! Ikan koinya Ibu loh, mati itu ntar Mas!” lontar Tatiana, lemas tak bertenaga.Tatiana pikir dengan dirinya menyatakan kekalahkannya, putranya akan berbaik hati untuk hengkang dari kolam kesayangannya. Namun ternyata, ia salah. Anak itu tetap melanjutkan kegiatan merusuhnya.“Mas Adnan baik loh, Ibu. Mas kan lagi bantu ikan koinya Ibu napas.
Holla, temen-temen.Setelah banyak merenung, Qey mohon maaf karena pada akhirnya, cerita Gus! I Lap Yuh! ini akan tamat sesuai dengan naskah aslinya.Keputusan ini diambil karena beberapa aspek, khususnya dari segi kesehatan Qey yang tampaknya tidak mumpuni untuk mengerjakan 3 on going sekaligus.Takutnya, seluruh karya termasuk judul ini malah akan terbengkalai nantinya. Jadi, Qey putuskan untuk hanya meng-uploud ekstra partnya saja dan mengurungkan niat untuk melangkah ke seasion 2-nya. Bagi pembaca baru, cerita ini sudah ada sequelnya, judulnya Pelet Cinta Lolita!, ya. Disitu menceritakan kisah cintanya Mas Adnan dengan Female Lead, Lolita. Bu Tatik & Ayah Khoir ada disana juga kok, jadi kangen kalian sama pasangan ini akan sedikit terobati nantinya.Segitu aja ya temen-temen. Mohon doanya untuk kesembuhan Qey. Semoga diakhir tahun ini, sakitnya Qey ditutup dengan penutupan tahun. Doain Qey sehat dan pulih sedia kala ya. Amin, Amin.Terima kasih atas perhatiannya, Semua.Salam Saya
Hai, semua. This is Qey.Kemarin saat Qey up chapter untuk ending, kebetulan ada kakak yang mengusulkan untuk dilanjutkan ke Season 2-nya. Untuk kakak-kakak yang lain bagaimana? Season 2-nya akan fokus ke Bu Tatik & keluarga kecilnya, termasuk Mas Adnan versi bocil ya. Karena untuk cerita Mas Adnan sendiri, versi dewasanya sudah ada tuh dijudul "Pelet Cinta Lolita." Kebetulan Mas Adnan tokoh utama prianya disana. Qey membutuhkan masukan sebelum akhirnya memutuskan apakah naskah chapter spesial yang ada akan tetap dijadikan chapter ekstra, atau digunakan untuk melanjutkan ke Season 2. Jadi, please komen ya semua. Terima kasih atas perhatiannya.
“Mas.. Zahra cantik ya?”Kepala Khoiron mengangguk, “iya, Dek,” ucapnya menjawab pertanyaan sang istri kepadanya.Pria itu meremas tangan Tatiana yang berada di dalam genggamannya, lalu kembali berucap, “tapi istri Mas ini, jauh lebih cantik.”Dibalik niqab yang dirinya kenakan, senyum seindah mekarnya bunga di musim gugur, menghiasi wajah Tatiana.“Mas ini! Zahra ratunya hari ini!” Tutur Tatiana, pura-pura menghardik Khoiron. Ia tidak ingin dibuat salah tingkah di momen bersejarah sahabat dan adik iparnya. Kalau pun ada kebahagiaan, seharusnya itu berasal dari acara penting mereka berdua. Bukannya dari hasil gombalan suaminya.Khoiron pun memalingkan wajahnya ke kanan. Ia menatap kedua manik Tatiana dalam. “Mas nggak mau bohong. Ibunya Mas Adnan wanita paling cantik. Ratunya Mas setiap hari.”“Uhuk!”Suara batuk dibelakang mereka menyadarkan Tatiana, jika saat ini keduanya tengah berada di dalam kerumunan santri-santri yang tengah menemani Zahra.“Ya Allah, Mas! Malu.”“Gus Khoir tern
Di dalam kamus Khoiron, ia tidak mengenal apa itu pamali. Pamali hanyalah sebuah culture yang keberadaannya terus dipertahankan dari tahun ke tahun. Namun ia tetap tidak bisa membawa Adnan pergi ke luar rumah terlalu lama. Bagaimana pun, usia Adnan masih beberapa hari. Daya tahan tubuhnya masihlah belum sekuat orang dewasa.“Adek, kita sepertinya nggak bisa bawa Mas Adnan ke kampus.”“Loh, kenapa Mas?”“Mas Adnannya masih kecil, Ibu. Pamernya ditunda saja dulu ya?”Tatiana adalah wanita yang mudah untuk diberikan pengertian. Istrinya mungkin sedikit keras kepala dalam beberapa hal, tapi dia bukan seseorang yang akan mengorbankan orang terkasih demi kesenangan pribadinya.“Mas Adnannya bisa sakit, Ibu. Urusan Brandon, biar ayah yang ngomong ke dia. Dia pasti nggak akan berani nakal.”“Nurut ya, buat Mas Adnan kecil kita.”“Kalau Ayah ngomong buat Mas Adnan, gimana Ibu bisa nggak nurut.” Tutur Tatiana sembari menyandarkan dirinya pada dada bidang Khoiron.Anaknya adalah sosok paling pen
“Mas Adnan, emang Ibu salah ya?”Tatiana menyangga kepalanya menggunakan tangan. Ia tidur menyamping, menatap putranya kesayangannya.“Jawab dong, Mas. Ibu nggak salah kan, ya?”Khoiron mengulum bibirnya. Istrinya sedang mencari pembenaran, hanya saja kepada orang yang salah.Apa yang istrinya harapkan dari seorang bayi mungil tak berdosa? Pembelaan?! Jelas Adnan belum bisa melakukannya. Putranya mereka masih tak memiliki daya untuk hal itu. Tunggu usianya bertambah, nanti Adnan akan dapat diajak berkomunikasi.“Adnan, mah! Ibu hopeless nih. Ayah juga ngambek ke Ibu. Ibu jadi nggak ada temennya, Mas.”“Kok bawa-bawa Ayah, Bu? yang ngambek bukannya Ibu, ya?”“Mas diem!”Lucu sekali istrinya. Dia yang mogok bicara pada semua orang, tapi malah mengaku menjadi pihak tersakiti. Mana mengelabui anak sendiri. Sungguh nakal!“Mas dianggurin nih?! Mentang-mentang sudah punya Mas Adnan sekarang.”“Aduh! Ada yang ngomong, siapa sih! Ganggu quality time aku sama anakku aja deh!”Khoiron terkikik.
“Uh, gemesinnya anak Ibu. Ibu pengen gepengin kamu, Dek.”Khoiron yang baru saja memasuki kamar, kontan berlari mendekati ranjang. “Adek! Istighfar! Jangan gepengin Adnan!” Ucap, pria itu panik. Gemasnya sang istri sungguh membahayakan. Masa anak sendiri mau dibuat gepeng.“Bercanda, Mas Khoir!”“Huh!” Khoiron melepaskan napasnya. Ia pikir istrinya serius ingin menggepengkan anak mereka.“Umi gimana, Mas? Udah dipanggilin dokter belum?”“Udah sadar kok..” Khoiron mendudukan dirinya disamping Tatiana. Tangannya yang besar menggenggam telapak kecil anak lelakinya. “Nggak sampai harus manggil dokter. Umi cuman kaget aja, Dek.”Jangan kan uminya, abinya kalau berada di kamar, pasti juga akan ikut pingsan. Ia tidak mengira kalau kenakalan istrinya sampai bisa membuat heboh satu komplek.“Hehe.. Mama dulu juga pingsan, Mas.” Cengir Tatiana. Mamanya sampai dilarikan ke rumah sakit saat rumahnya di demo. Akhirnya masalah diselesaikan oleh orang tua Brandon. Mereka hanya perlu mengganti mobil