Home / Romansa / Gus! I Lap Yuh! / [5] Mati Aja Gue, Nyet!

Share

[5] Mati Aja Gue, Nyet!

Author: qeynov
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Nggak mau! Tiana nggak mau nikah sama dia!!”

Tatiana kabur. Ia mendorong tubuh Aisyah, mencari celah supaya bisa berlari menjauh. Sumpah menikah muda tidak pernah ada di dalam kamus Tatiana. Ia dibuang papanya untuk berguru, mencari kitab suci ke barat, bukannya dipinang dengan bismilah oleh pria yang dirinya benci.

Le! Kok malah dlongop! Dikejar calon istrimu,” sentak Kyai Sholeh melihat keterdiaman putranya.

Jujur— Khoiron masih belum dapat mengumpulkan nyawanya. Kesadarannya seakan ditarik naik ke awang-awang, setelah mendapatkan perilaku tidak terpuji santriwati sang ayah. Pria itu mengerjap, mencoba menata puing-puing jiwanya yang berserakan ke segala arah.

“Ya Allah,” desah Kyai Sholeh.

“Umi, tolong. Minta bantuan ke anak-anak. Tatiana nggak tahu daerah sini, Umi,” kepanikan menjalari Kyai Sholeh. Ia takut hal buruk menimpa Tatiana. Putri sahabatnya itu dititipkan kepadanya, menjadi amanah yang begitu besar untuk dirinya jaga.

Ndak akan jauh, nanti dia papasan dengan Zahra,” ucap Kyai Dahlan menenangkan keresahan anaknya. “Kamu lebih baik hubungi orang tua Tatiana. Mintalah putrinya kepada beliau, Nang. Sudah sepantasnya mereka dinikahkan.”

Umi Aisyah menatap sendu putra kebanggannya. Tersimpan rasa tidak rela, tetapi apa yang dapat dirinya lakukan. Keduanya tak hanya saling bersentuhan dan mereka menjadi saksi atas apa yang anak-anak muda itu perbuat.

“Anakku,” lirih Umi Aisyah, merengkuh tubuh Khoiron, “yang sabar ya, Le. Ujian kamu,” bisiknya sembari mengusap punggung sang putra.

Nggih, Umi.”

Kepasrahan tersebut justru meledakan tangis Umi Aisyah. Putranya yang bagus menikah dengan Tatiana— gadis yang ditatar saja masih begitu sulit. Akan menjadi seperti apa rumah tangga mereka kelak? Mampukah putranya membimbing calon menantunya itu?

“Assalamualaikum.. Umi, Abiii!” Jeritan Zahra terdengar. Gadis dengan seragam SMA-nya itu berlari memasuki area ndalem. “Mbak Tatiana!” Zahra melambai-lambaikan tangannya mengarah pada pintu luar ndalem, “Mbak mau bunuh diri nyemplung kolam lele!!”

Khoiron mengusap wajahnya. Mimik mukanya yang keruh semakin terlihat carut-marut, mendengar informasi dari adik perempuannya. Apalagi yang gadis kota itu lakukan sekarang— pikir Khoiron.

“Abi, kalau sedo kepatil lele, pripun Bi?”

“Innalillahi, Zahra! Ampun bilang begitu, ndak elok, Nduk,” Kyai Sholeh menegur lembut putrinya yang berkata sembarangan.

Pasalnya ucapan merupakan sebuah doa. Tidak baik berkata sesumbar. Bagaimana jika ucapan buruk tersebut diaminkan oleh penghuni langit, lalu terjadi menimpa diri Tatiana?!

Sungguh, mereka semua akan merasakan perasaan bersalah sepanjang usia.

Sedangkan ditempat lain, Tatiana menimbang-nimbang keputusan. Haruskah ia melompat seperti apa yang dirinya katakan kepada Zahra.

“Lompat tidak ya?” gumamnya, meragu.

Tapi jika melompat, apa dia akan benar-benar log in ke alam lain? Kalau cuman mandi lumpur, bagaimana?!

Dirinya kan lupa membawa ponsel untuk siaran langsung. ‘Nggak dapet benefitnya dong!’ Gemasnya teracuni oleh oknum-oknum peminta-minta yang sedang happening sekarang ini.

“Kolam apaan sih ini? Ada ikannya nggak?” Tatiana melongokkan kepalanya, mencoba mengintip isi di dalam kolam.

“Tatianaaaa!! Jangan lakukan itu, Nduk!!”

“Mbak Tatianaa! Jangaaan!!”

Teriakan dibelakang tubuhnya menyebabkan keseimbangannya tak terjaga. Tatiana oleng. Niat bunuh diri itu terlaksana walau ia telah mengurungkannya.

Byur!!

“Aw! We, Anjing! Apaan ini! Papaa!! Adoh! Syakiiit!! Ey, Bangsat!!”

“Ya Allah, Nduk!” Cemas Kyai Sholeh menyaksikan tragedi di depan matanya. Keadaan ini jauh lebih buruk dari apa yang ia saksikan tadi di ruang keluarga.

“Abiii, tolongin Tianaaa!!” Tangan dan kepalanya menyembul-nyembul ke atas permukaan air. “Ada yang sundut Tiana, Abiii!!”

“Panggil santriwati!! Anak wedok ku!!

Belum genap dua puluh empat jam Tatiana diungsikan, sudah tak terhitung banyaknya kehebohan yang disebabkan olehnya.

Para santri datang berbondong-bondong atas seruan Ning Zahra mereka. Semuanya tercengang hebat, namun tak pelak juga mencoba menyembunyikan tawa.

Memerlukan waktu 15 menit untuk mengangkat Tatiana. Santri-Santri berjenis kelamin perempuan dikerahkan demi menolong calon menantu keluarga Kyai Dahlan. Mereka bersusah payah, menarik-narik Tatiana dan gadis itu berakhir pingsan, hingga dibawa ke rumah sakit terdekat.

*

Tatiana membuka indera penglihatannya. Gadis itu mengerang kesakitan, merasakan perih disekujur tubuhnya.

“Papaaa!!” Teriaknya, menangis memanggil Januar. Ingatan akan dirinya yang tersengat patil ikan-ikan di kolam membuatnya ingin bertemu dengan sang papa. Tatiana ingin protes tentang jalan hidupnya yang kini menjadi sesat.

Zahra meninggalkan sofa kala mengetahui Tatiana telah sadar dari pingsannya. Gadis cantik itu memberondong Tatiana dengan pertanyaan-pertanyaan seputar keadaannya sekarang.

“Apa yang dirasa, Mbak? Zahra panggilkan dokter ya?”

“Ra—,” panggil Tatiana tersendat oleh air matanya sendiri, “ badan gue kok rasanya bengkak, ya?”

‘Ya Allah, Mbak. Memang bengkak. Mbak kan habis dipatil ikan lele,’ ingin rasanya Zahra menjawab seperti itu, akan tetapi ia tidak tega jika Tatiana akan semakin menangis nantinya. “Nggak kok, Mbak. Lebam-Lebam aja dikit, Mbak. Dipakein salep pasti hilang.”

Tatiana tahu Zahra berdusta. Kondisi tubuhnya— ialah yang merasakan. Saat ini ia seperti tengah membawa tumpukan lemak, sayangnya lemak-lemak itu terasa begitu nyeri.

“Mau pulang, Ra. Nggak mau di sini! Pengen ketemu, Papa,” cicit Tatiana memelas. Biasanya ketika sakit, papa akan langsung meninggalkan seluruh kegiatannya. Menemaninya di atas ranjang bersama sang mama. Tak peduli sedang melakukan rapat penting atau berada di luar negeri, pria itu tetap akan menjadikannya prioritas utama.

Tapi sekarang?

Kesedihan mencengkram diri Tatiana. Tidak ada papanya ketika ia membuka mata. Sosok asing yang baru dikenalnya-lah, yang menjaganya.

‘Tiana senakal itu ya, Pah? Nyampe sakit aja, Papa nggak nengok ke sini?’ batinnya, semakin membuat ruang-ruang di dadanya menyempit, menebalkan rasa sakit yang dideritanya.

Zahra menjadi begitu iba melihat ekspresi sedih Tatiana. Anak kedua Kyai Sholeh itu berniat menghapus air mata calon kakak iparnya. Namun hal tersebut ia urungkan karena pintu ruang perawatan yang terbuka dari luar.

“Sudah siuman?” tanya Khoiron bukan kepada pasien yang harus dirinya jaga, melainkan pada sang adik. Ekor matanya melirik Tatiana yang dibalas gadis itu menggunakan pelototan maut.

Cepat sekali mood Tatiana berubah jika berhadapan dengan Khoiron. Entah apa yang membuatnya begitu mendendam pada pria beraura hangat itu— yang Tatiana tahu, pria itu-lah sosok yang membuatnya harus terjerat dan ditinggalkan oleh orang tuanya.

“Sampun, Mas. Nembe ntes siuman, Mbak Tatiananya.”

“Dek, Mas mau bicara dengan Mbak Tatiana, tapi kamu tetap di sini ya,” pinta Khoiron, melarang adiknya untuk pergi meski ia ingin membahas perihal penting, bersama gadis yang sebentar lagi akan berubah status menjadi pendamping hidupnya.

“Nggih, Mas. Adek duduk di sofa kalau gitu.”

Khoiron sempat menepuk puncak kepala Zahra ketika sang adik melewatinya. Ia menempati kursi disamping brankar Tatiana. “Mbak..”

“Lo kalau ngajak ngomong, tatap orangnya! Ngomong sama semut lo!”

Hohoho... Rasa sedih akibat merindukan papanya sudah sirna, ditelan kobaran kejengkelannya yang terpendam pada diri Khoiron.

“Maaf Mbak. Untuk sekarang biarkan saya tetap menundukan pandangan. Saya akan memandang Mbak Tatiana, setelah Mbak Tatiana halal untuk saya.”

Tatiana menyibak selimut yang membungkus kakinya, membuat Khoiron semakin menunduk dalam.

“Lo kira gue makanan, Hah? Harus ada sertifikat halalnya?!”

Zahra— Adik Khoiron itu mencengkram ponselnya. Bukan karena marah sang kakak diperlakukan kasar. Gadis itu hanya sedang mengontrol keinginannya untuk tertawa. Calon kakak iparnya begitu lucu masalahnya.

“Bukan begitu, maksud saya selepas saya menikahi, Mbak Tatiana,” jelas Khoiron.

Khoiron tidak menyalahkan tindakan Tatiana kepadanya. Ia memahami benar dengan apa yang dinamakan garis takdir manusia. Ia tak ingin menghindar, apalagi menyangkal ketentuan yang digariskan untuk dirinya. Sebagai makhluk, ia akan mengikuti apa yang Tuhannya tetapkan untuk dirinya. Menjalaninya dengan keikhlasan agar mendapat keridhoan-Nya.

“Emang siapa yang mau nikah sama lo? Gue sih, no ya!” Tatiana mengibaskan tangannya yang tidak tertusuk oleh jarum infus. Gadis itu tampak seperti Anang yang tengah menolak calon peserta audisi ajang pencarian bakat.

“Saya yakin, Mbak Tatiana cukup dewasa. Mbak pastinya mengerti kalau sebuah tindakan memiliki konsekuensi.”

“Nggak usah lebay deh. Ciuman itu wajar kok! Bukan cuman lo yang gue cium.” Setidaknya Tatiana tidak berbohong. Dahulu ketika ia masih memakai pampers, ia suka sekali mencium pipi gembil Brandon— sahabatnya.

“Ap-pah?” tanya Khoiron, tertegun.

Tatiana bersikap tenang. Ia justru menampakan kepongahan di depan laki-laki sealim Khoiron. Menurutnya Khoiron pasti akan langsung jijik kepadanya. Hal tersebut begitu Tatiana nantikan. ‘Nehik ya kalau gue kawin ama bentukan macem dia! Ganteng sih, tapi nggak menantang!’ Ia menilai Khoiron dari atas ke bawah.

Cupu banget elah! Masa kemana-mana pake baju koko! Dikira lagi lebaran apa!’ Tatiana geleng-geleng kepala, ‘sama Brandon aja kalah jauh!’ Sudut bibir kanan Tatiana berkedut usai membandingkan Khoiron dengan sahabatnya.

“Kita lupain aja deh kejadian itu! Nggak perlu nikah-nikahan segala! Hidup di zaman apa sih kalian!” Decak Tatiana. Ya kali hanya karena sebuah ciuman ia dinikahkan secara paksa? Dengan orang yang dibenci pula-lah!

Khoiron mengucapkan istighfar di dalam hatinya. Mungkin itu istighfar yang ke ribuan kali setelah ia mengenal Tatiana.

“Tidak bisa Mbak,” jawab Khoiron tegas, “Mbak adalah satu-satunya perempuan, yang bagian tubuhnya saya sentuh secara intim. Saya tidak mau lebih berdosa lagi jika tidak mempertanggung jawabkan dosa-dosa kita.”

“Gue tuh cuman mau nakut-nakutin lo aja, ya!! Bukannya mau nikah sama lo!!” Rengek Tatiana mulai kehilangan cara untuk membatalkan pernikahannya. “Gue masih delapan belas tahun! Masih pengen happy-happy!

“Setelah menikah nanti, kita bisa bersenang-senang bersama, Mbak. Tentunya sesuai dengan hadis dan apa yang telah ditentukan sebagai batasan di agama kita.”

“Mati aja gue, Nyet!!”

Apakah ini yang disebut karma dibayar tunai?

Related chapters

  • Gus! I Lap Yuh!   [6] Gus Mau Lapor Polisi

    Niat Khoiron meminang Tatiana sudah bulat. Ia memang tidak memiliki perasaan apa pun terhadap gadis itu. Mengenalnya pun baru satu hari. Pertemuan-Pertemuan mereka pun tak pernah berjalan baik. Selalu ada ketegangan yang menyertai perjumpaan itu. Sejak awal bertemu, sinar permusuhan bahkan selalu ditampakkan untuk dirinya.Namun sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab, ia harus dapat memperbaiki kesalahan— yah, walau kesalahan tersebut jelas tidak berasal dari dirinya. Tapi dirinya jelas diseret masuk ke dalam lembah dosa yang sama. Kepada perbuatan yang tidak semestinya dilakukan seorang insan yang belum terikat tali pernikahan.“Nak Khoir, saya rasa tidak perlu. Kamu tidak harus mengorbankan diri karena kenakalan putri saya.”Dua jam setelah sahabatnya memberikan kabar mengenai tindakan nekat sang putri, Januar langsung bertolak menuju Semarang. Bersama sang istri, ia pergi menggunakan pesawat dari Jakarta. Melakukan penerbangan singkat lalu dijemput oleh anak sahabatnya di

  • Gus! I Lap Yuh!   [7] Tatiana Mleyot…

    “Makanya jangan aneh-aneh jadi anak! Lagian kamu, Tiana. Anak gadis main sosor aja!”Di kamar tamu yang dijadikan tempat keluarga kecil Tatiana beristirahat, telinga Tatiana tak bisa lolos dari merepetan Januar— sang papa. Gadis itu masih saja dimarahi karena tindakan arogan dan jahilnya kepada anak Kyai Sholeh yang kerap dipanggil ‘Gus,’ di lingkungan pondok pesantren itu.“Khilaf, Pah! Dia sih gegayaan nggak mau dipegang! Tiana kan jadi pengen ngerjain.”“Nah, sekarang nikmatin hasil dari kejahilan kamu,” sambung Soraya.Kedua orang tua Tatiana terpaksa menerima pinangan Kyai Sholeh untuk putranya. Mereka tak dapat berbuat apa-apa ketika ancaman penjara membayangi diri putri kesayangan mereka.“Tahu dia bakal ngacau begini, nggak Papa pesantrenin, Mah,” desah Januar meraup wajah tampannya. Pria berusia empat puluhan itu memandang putrinya lalu menarik telinga anak itu, “ya Allah, Nak! Kamu yang Papa harap bisa berubah, malah makin-makin di sini!”“Pah sakit, Pah!” Erang Tiana membua

  • Gus! I Lap Yuh!   [8] Back to Sesat Mode

    Khoiron membaringkan tubuh Tatiana ke atas pembaringannya. Sebuah ranjang yang tak bisa dikatakan lebar sebab ia berdiam hanya seorang. Tangannya menyentuh pinggiran niqab yang Tatiana kenakan. Berniat melepaskan kain berwarna hitam itu agar tak mengganggu jalannya pernapasan sang istri yang pingsan.Tatiana— gadis yang berada di hadapannya bernama Tatiana Sujatmiko. Nama yang ia ikrarkan dihadapan kakek, abi dan ayah mertuanya. Nama yang ia lantunkan untuk menjadi pendamping hidupnya agar dapat menyempurnakan ibadahnya terhadap Sang Khalik.Persis seperti apa yang adiknya ceritakan, parasnya begitu rupawan. Garis wajahnya kecil dengan dagu meruncing. Bulu matanya lentik. Hidungnya mancung dan kedua bibirnya yang kerap ia dengar mengumpat, ternyata begitu tipis.“MasyaAllah, sungguh indah ciptaan Mu, ya Rabb.”Selain umi dan adiknya, Khoiron tak pernah memuji sosok lain. Mata dan hatinya terjaga, menginginkan keindahan yang dapat ia reguk ketika itu halal baginya.Seperti sekarang con

  • Gus! I Lap Yuh!   [9] Tatiana Menantang Gus

    ‘Jakarta, I’m coming!’Uh— siapa sangka estimasi pembuangan yang dirancang satu tahun, ternyata hanya terjadi beberapa hari saja. Hohohoho! Nikmat Tuhan mana lagi yang ingin Tatiana dustakan. Pernikahan dadakan dengan anak pemilik pesantren menjadi dua hal berbeda.Disatu sisi, Tatiana mengamuk karena dipaksa melepas masa lajangnya, akan tetapi disisi lain, ia harus berpesta guna merayakan kebebasannya dari tempat pengungsian. Penderitaannya telah berakhir. Tidak akan ada lagi manusia yang memintanya menghafalkan doa-doa untuk sholat.Pria itu— Khoiron, akan berada di daerah kekuasaannya. Dia pasti tidak akan bisa menyengsarakan, karena sebaliknya, dirinyalah yang akan melakukan hal tersebut agar Khoiron tak betah tinggal di Jakarta.“Mantunya Abi mukanya senang sekali. Nggak sabar ya pengen pulang ke kota?”Tatiana menganggukkan kepalanya dengan semangat. Ia benar-benar sudah tidak sabar. Setelah sampai nanti, ia ingin berkunjung ke rumah sahabatnya. Mengincar beberapa tulang di tubu

  • Gus! I Lap Yuh!   [10] Go Away from Meeeh!!

    “Kamu nggak bisa lari, Dek!”Khoiron menutup pintu belakang mobilnya sebelum berlari kencang mengejar Tatiana. Tanpa ba-bi-bu, pria itu mengangkat tubuh sang istri, memanggul layaknya gadis itu karung berisikan butiran beras-beras.“ANJING! Woi! Turunin gue!!” Jerit Tatiana memukuli punggung Khoiron. Kepalanya langsung pusing karena dijungkir-balikkan.“Toloooong!! Gue diculik Om-Om mesum!!” Teriak Tatiana meminta bantuan. “Isilop!!! 911!! Brandoooon!! Sembooooh!!”“Om Botaaaakkk!!!” Semua orang Tatiana panggil, termasuk si pemilik acara tutup pintu.Khoiron menggelengkan kepalanya. Pria itu tidak takut sekali pun orang-orang mulai mendatanginya. “Istri saya, Pak, Bu,” jelasnya mencoba menyakinkan mereka.“Bohong! Gue bukan istrinya!” bukan Tatiana namanya jika menyerah begitu saja. Ia tidak akan membiarkan Khoiron menang. Lagipula tidak ada bukti yang menunjukan mereka telah menikah. “Papa! Mama! Tolongin Tiana! Ada orang jahat!!”“Mas! Jangan bohong! Mbaknya bilang bukan istri Mas!”

  • Gus! I Lap Yuh!   [11] Menghukum Tatiana

    Berniat ingin membangunkan Tatiana, Khoiron justru dibuat terkejut. Pria itu sampai memegangi dadanya karena istrinya tiba-tiba saja terduduk.“Hiyaa!!!”Tatiana mengubah posisinya, merangkak menaiki kepala ranjang. “Kenapa lo ada disini? Gue udah kabur kayak babi ngepet,” seingatnya ia sudah berlari tunggang-langgang untuk menghindari kejaran Khoiron. Memasuki hutan belantara. Menyebrangi lautan bahkan memanjat Burj Khalifa.Mengapa ia masih melihat wajah Khoiron yang datar seperti papan triplek di hadapannya?Mata Tatiana mengedar. Ia merasa familiar dengan ruangan yang ditempatinya sekarang. Perasaan ia sedang melompat ke atas helikopter karena Khoiron memiliki sayap layaknya capung. Menghindari kejaran pria itu sampai tunggangannya oleng ke laut merah.“Eh, loh, ini kamar gue,” gumamnya pelan, melihat satu per satu perabotan yang ada. Otaknya masih sangat waras. Ia tak menderita amnesia walau beberapa kali jatuh bangun dalam pelariannya. “Weh, sakti banget gue ternyata,” ucapnya b

  • Gus! I Lap Yuh!   [12] Make Dukun Mana?

    “Iya!”Sejujurnya Khoiron tidak tahu apa itu arti ena-ena. Ia hanya sedang mengusili istri cantiknya. Salah gadis itu sendiri tidak mau menurut. Padahal tinggal mengganti pakaian dan mereka tak perlu membuang waktu lebih banyak lagi.“Mun-Mundur! Gue masih dibawah umur! Jangan apa-apain gue, Om!”‘Om?’ Alis Khoiron menyerngit. Jarak usia mereka memang terpaut sepuluh tahun, tapi apakah wajahnya se-tua itu sampai diberikan panggilan Om oleh istrinya ini. “Kamu habis ngumpatin Mas, sekarang ngejek Mas tua, Dek? Wah! Mas bener-bener nggak akan lepasin kamu sih!” goda Khoiron semakin melancarkan kejahilannya.Tatiana memejamkan matanya erat. Ia memeluk dirinya sendiri. Merasa ketakutan dengan ancaman Khoiron kepadanya.Kaki gadis itu melangkah mundur sampai sebuah nakas menghentikan pergerakannya. Sepertinya ia tidak akan bisa meloloskan diri. Tamat sudah riwayat harta berharga, yang dirinya jaga dari jamahan pria hidung belang di kelab malam.“Papa tolong!” pekik Tatiana keras ketika tel

  • Gus! I Lap Yuh!   [13] Tatiana Depresot Sampai Ngesot

    “Bodo amat-lah!”Tatiana tidak peduli Khoiron akan ngambek atau marah-marah kepadanya. Nanti bisa dirinya urus ketika ia selesai melakukan perhitungan dengan Brandon. Ada baiknya Khoiron tak jadi mengantarkannya ke rumah Brandon. Ia jadi tak harus mencari-cari alasan tentang siapa diri pria itu.“Liat ya lo, Nyet!” tangan Tatiana mengangkat ujung gamisnya. Ia berjalan setengah berlari untuk melalui rumahnya.“MasyaAllah, Mbak Tiana! Mau pengajian ke mana?!”“Banyak lambe! Bukain Pak, gece!” ujar Tatiana membalas pertanyaan satpam rumahnya. Ia sengaja tidak menggunakan mobil karena rumah Brandon terlampau sangat dekat. Sia-Sia bensin mobilnya.“Tumben Mbak pakai jilbab? Beneran mau pergi ke tempat kajian?”“Kajian apaan sih!” bentak Tiana mulai kehilangan kesabaran. Satpam rumahnya dari tadi ngang-ngeng-ngong tak jelas, mengucapkan kalimat yang ia sendiri tidak mengerti. “Gue mau nyamperin Brandon! Udah ah, cepetan! Panas ini yak!”“Saya kirain mau ke masjid. Kan ada ustad terkenal tuh

Latest chapter

  • Gus! I Lap Yuh!   [69] Annyeong, Calon Adik Ipar!

    “Biar gue aja yang ngomong ke Nando. Lo tau beres aja, Ti.”“Ashiaap!” jawab Tatiana, melengkingkan nadanya. Ia akan menyiapkan gendang telinganya baik-baik, memastikan jika otak cerdiknya dapat memahami setiap kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya.Mari kita lihat, bagaimana cara Brandon menjaga Zahra. Apa yang akan sahabatnya katakan pada Nando— Kakak tingkat sekaligus Ketua BEM Universitas mereka. Setahu Tatiana keduanya memang saling mengenal. Beberapa kali Brandon terlihat mengobrol dengan anak teknik itu saat mereka berada di kelab malam.“Gue mau ketemu Nando. Lima menit.” Ucap Brandon pada sekelompok anak BEM yang menjadi panitia ospek. “Masih di sini kan dia?”“Siapa yang nyariin gue?”Suara maskulin Brandon rupanya terdengar sampai ke dalam ruangan. Keduanya tak perlu bersusah payah melobi para kakak tingkat yang pastinya menyulitkan pergerakan.“What&r

  • Gus! I Lap Yuh!   [68] Wangi Bunga Cinta

    Tragedi ngidam bakso homemade menjadi pelajaran tersendiri untuk Brandon. Pemuda itu tidak akan pernah menerima kebaikan hati suami sahabatnya. Selelah apa pun dirinya, keinginan ia harus melakukan sesuai dengan keinginan Lord Tatiana.Gara-Gara Tatiana, saldo rekening Brandon menjadi sangat mengenaskan.Pemuda itu dihukum tak mendapatkan santunan dari orang tuanya selama satu bulan penuh. Belum lagi ceramahan di setiap sisi yang merusak gendang telinganya. Brandon kapok! Benar-benar kapok.Tatiana adalah sebenar-benarnya trouble maker. Kehamilan perempuan itu mendukung untuk melakukan penindasan terhadap pria-pria lemah. Terutama Brandon dan Khoiron. Sekarang keduanya bagaikan pengikut setia Tatiana. Macam-Macam sedikit, para pelindung Tatiana yang akan turun tangan.Bayangkan saja, sikap un-rasional Tatiana didukung oleh dua generasi sebelumnya. Tiga pasang orang tua dan generasi lainnya adalah Kyai Dahlan&mdash

  • Gus! I Lap Yuh!   [67] When Tatiana Ngidam Pentol [2]

    Menemani Khoiron memasak bakso?Zzz…Air liur Tatiana menjadi saksi dari ucapannya saat melepas kepergian sang suami.Tiga puluh menit wanita itu bergulat dengan antusiasmenya sendiri. Terus berceloteh tentang betapa gentle-nya Khoiron pada adik iparnya. Namun tak berselang tiga puluh menit dari kepergian Khoiron, matanya terpejam untuk mengarungi indahnya alam mimpi.Hal tersebut sampai membuat Zahra terperangah. Pasalnya suara kakak iparnya perlahan-lahan menghilang, tergantikan oleh dengkuran halus.Ternyata, oh, ternyata— wanita cantik yang memiliki usia satu tahun di atasnya itu terlelap.Memastikan jika sang kakak tidak akan asal-asalan dalam memenuhi permintaan ngidam keponakannya, Zahra pun memberitahukan kondisi Tatiana saat ini. Kakaknya memiliki banyak waktu untuk berbelanja sehingga tak perlu terburu-buru.“Selamat bobok, Mbak Tiana, ponakannya Tante. Nanti kalau Papa Khoir udah pulang,

  • Gus! I Lap Yuh!   [66] When Tatiana Ngidam Pentol [1]

    Rasa nyaman Tatiana rasakan saat Khoiron membelai perutnya. Pria itu sedang membacakan sebuah surat dikala Tatiana sibuk menggulirkan layar ponselnya.“Adem banget liatnya ya, Pah. Dulu waktu Mama hamil Tiana, Papa nggak pernah kayak Khoiron.” Ucap Soraya membuat Januar menatap istrinya dengan tatapan bersalah.Januar jelas berbeda dengan menantunya. Pemuda itu diasuh dan diberikan asupan pendidikan agama sedari kecil, sedangkan dirinya hanyalah pemuda salah gaul yang hanya mengerti cara mempertahankan bisnis orang tuanya.“Maaf ya, Mah. Dulu waktu kita baru-baru nikah, Papa masih anak begajulan kayak Brandon.”“Loh! Om! Kok Brandon dibawa-bawa sih!” Potong Brandon cepat, masuk ke dalam pembicaraan. Sedari tadi dirinya anteng membaca buku. Tahu akan diseret pada hal-hal keji dirinya tidak akan menetap usai belajar mengaji bersama abangnya.“Kamu contoh paling deket, Bran.. Masa Papamu?! Papamu mudanya anak

  • Gus! I Lap Yuh!   [65] Mutiara Tersembunyi

    “Mas.. Adek pinjem HP-nya dong.”Selayaknya remaja kebanyakan yang memang suka sekali menunjukkan hasil kemenangannya, Tatiana ingin membuat memberikan hadiah terakhir untuk Mutia. Meski tidak bisa melihat ekspresi dosennya secara langsung, setidaknya ia bisa menambah kekesalan yang ada pada dirinya.“Boleh buat story IG kan, Mas?”Sejak mereka terbang, segelintir ide-ide jahil berhamburan di otaknya. Berhubung mereka masih ada di bandara, Tatiana akan menyematkan lokasi mereka.“Boleh.. Tapi nggak boleh muka Adek, ya.. Takut ain, Sayang.”Tatiana mengangguk. Itulah sebab mengapa media sosial suaminya tidak pernah mengunggah potret siapa pun. Meski memiliki banyak pengikut, media sosial suaminya terkesan seperti akun tanpa awak. Tidak ada postingan selama beberapa waktu ini. Terakhir suaminya mengunggah kata-kata, meminta doa restu atas pernikahan mereka.“Foto bandaranya kok, Mas.”Brandon yang mengerti akal bulus Tatiana menggelengkan kepalanya. Sahabatnya itu pasti ingin mencari ke

  • Gus! I Lap Yuh!   [64] Selamat! Anda Kena Prank!

    “Lifah, kamu liat sendiri kan?! Dua anak itu pinter banget bersilat lidah. Mereka bener-bener manipulatif, Lif.”Khalifa geram— bahkan menggunakan mata telanjang sekali pun, orang lain akan mengetahui siapa sosok yang ciri-cirinya sedang Mutia sebutkan.Plak!“Sadar, Mut! Sing eling jadi manusia!”Tidak pernah Mutia bayangkan sahabatnya akan menampar dirinya. “Fah.. Jangan bilang kamu percaya sama kata-kata mereka?!” Memegangi bekas tamparan Khalifa, Mutia bertanya dengan wajah sarat akan kesedihan.“Kalau aku nggak percaya, bisa kamu sebutin alasan apa yang membuat kamu ngerengek minta diantar ke sini?!”“Penelitian, Fah.. Apa itu nggak cukup?!”“Seperti kataku, Mut. Penelitianmu bahkan nggak menguntungkan pihak yayasan kamu.” Sepertinya disini dirinyalah yang bodoh. Khalifa merasa menjadi manusia dengan otak yang dangkal sekarang. “Kampusmu yayasan katolik, Mutia. Untuk apa mereka menyetujui penelitian tentang perilaku santri?! Ada banyak penelitian yang lebih berkaitan dengan dunia

  • Gus! I Lap Yuh!   [63] Mukanya Tolong Dijelekkin

    “Umi, Tiana mau tunggu Mas Khoir.”“Kamu ini, Nduk. Ya wis.. Zahra temenin Mbak Mu. Umi, Mbah, sama Abi pulang dulu.” Pesan Umi Aisyah sebelum meninggalkan kedua anak perempuannya di pelataran masjid.Abinya sempat mengatakan jika Khoiron sedang berbincang dengan pengurus ponpes di dalam. Tatiana tidak ingin meninggalkan suaminya, seperti Khoiron yang selalu menunggu saat dirinya keluar terlambat.“Duduk aja ya, Mbak. Jangan berdiri terus.” Ujar Zahra. Gadis itu membimbing kakak ipar kesayangannya untuk menduduki kursi tak jauh dari mereka.Kapala Tatiana menangkap sosok yang membantunya. “Kamu sini...” panggilnya membuat segerombolan santriwati menghampirinya.“Dalem, Ning.”“Kamu ke Ndalem ya... Bilang aja ke Umi disuruh saya. Minta di ambilin 5 kotak cake. Terserah Umi yang mana aja gitu.” Ia ingat janjinya, tapi tak bisa segera pulang karena suaminya belum terlihat.“Nggih, Ning Tiana. Ning mari..” Pamit mereka sebelum berlalu.Sepuluh menit Tatiana menunggu dan Khoiron beserta Br

  • Gus! I Lap Yuh!   [62] Interaksi yang Membuat Pelakor Meradang

    “Mbak Lia, hati-hati. Kata temen ku yang tadi tugas di Ndalem, Mbak yang itu pelakor.”“Pelakor?”“Iya, Mbak.. Dia kesini mau godain Gus Khoir katanya.”“Hus,” Lia menyentuh punggung tangan juniornya di pondok, “ndak boleh suudzon,” ucapnya, memperingati agar tidak berpikiran buruk. Bagaimanapun juga, mereka merupakan tamu sang guru.“Serius, Mbak. Dia denger sendiri waktu tamunya ngobrol. Sampai nggak habis pikir loh temen ku.”“Wis-Wis.. Ayo kita ke masjid. Sebentar lagi adzan magrib.” Ajak Lia. Tidak ada yang perlu dirisaukan dari para tamu tersebut. Ia yang pernah mencoba peruntungan dengan tanpa malunya saja tidak berhasil. Gus mereka bukan laki-laki yang mudah digoda. Beliau begitu mencintai Ning Tatiana.Melewati Khalifa dan Mutia, Lia beserta santri lainnya menundukkan kepala. “Amit, Mbak.” Ucap mereka sopan sedikit membungkuk.“Kalian mau shalat di masjid ya?”“Betul, Mbak.” Jawab Lia mewakili adik-adiknya.“Kami boleh bareng?”“Monggo silahkan.”Di depan pagar masjid yang me

  • Gus! I Lap Yuh!   [61] Sorry, Nggak Mempan!

    Mutia— Dosen yang mengampu salah satu mata kuliah Tatiana itu dengan percaya dirinya memperkenalkan diri. “Saya rekan mengajar Pak Khoiron di Jakarta, Pak Kyai, Bu Nyai.”“Oh, begitu.” Umi Aisyah menjadi orang pertama yang menanggapi perkenalan terlambat Mutia. “Dosennya menantu saya juga kan ya?” Beliau mempertanyakan apa yang terlewat untuk diperkenalkan wanita yang menjadi tamunya.“Ben-Benar..”“Wah, kebetulan sekali ini.” Menyematkan senyuman, Umi Aisyah lantas menanyakan bagaimana Tatiana ketika di kampus. Dan sebuah hal tidak terduga justru menjadi jawaban dari mulut Mutia.“Sebelumnya saya ingin meminta maaf, Bu Nyai. Bukan maksud saya menjelek-jelekkan. Saya hanya ingin berterus terang tanpa kebohongan. Kalau ditanyakan bagaimana Tatiana, menantu Bu Nyai cukup bermasalah di kampus. Dia anak nakal.”Tatiana mengepalkan jari-jarinya. Brandon ternganga dan Khoiron sendiri terdiam dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di dalam otaknya. Sedang anggota keluar lain yang mendengar

DMCA.com Protection Status