Share

[5] Mati Aja Gue, Nyet!

“Nggak mau! Tiana nggak mau nikah sama dia!!”

Tatiana kabur. Ia mendorong tubuh Aisyah, mencari celah supaya bisa berlari menjauh. Sumpah menikah muda tidak pernah ada di dalam kamus Tatiana. Ia dibuang papanya untuk berguru, mencari kitab suci ke barat, bukannya dipinang dengan bismilah oleh pria yang dirinya benci.

Le! Kok malah dlongop! Dikejar calon istrimu,” sentak Kyai Sholeh melihat keterdiaman putranya.

Jujur— Khoiron masih belum dapat mengumpulkan nyawanya. Kesadarannya seakan ditarik naik ke awang-awang, setelah mendapatkan perilaku tidak terpuji santriwati sang ayah. Pria itu mengerjap, mencoba menata puing-puing jiwanya yang berserakan ke segala arah.

“Ya Allah,” desah Kyai Sholeh.

“Umi, tolong. Minta bantuan ke anak-anak. Tatiana nggak tahu daerah sini, Umi,” kepanikan menjalari Kyai Sholeh. Ia takut hal buruk menimpa Tatiana. Putri sahabatnya itu dititipkan kepadanya, menjadi amanah yang begitu besar untuk dirinya jaga.

Ndak akan jauh, nanti dia papasan dengan Zahra,” ucap Kyai Dahlan menenangkan keresahan anaknya. “Kamu lebih baik hubungi orang tua Tatiana. Mintalah putrinya kepada beliau, Nang. Sudah sepantasnya mereka dinikahkan.”

Umi Aisyah menatap sendu putra kebanggannya. Tersimpan rasa tidak rela, tetapi apa yang dapat dirinya lakukan. Keduanya tak hanya saling bersentuhan dan mereka menjadi saksi atas apa yang anak-anak muda itu perbuat.

“Anakku,” lirih Umi Aisyah, merengkuh tubuh Khoiron, “yang sabar ya, Le. Ujian kamu,” bisiknya sembari mengusap punggung sang putra.

Nggih, Umi.”

Kepasrahan tersebut justru meledakan tangis Umi Aisyah. Putranya yang bagus menikah dengan Tatiana— gadis yang ditatar saja masih begitu sulit. Akan menjadi seperti apa rumah tangga mereka kelak? Mampukah putranya membimbing calon menantunya itu?

“Assalamualaikum.. Umi, Abiii!” Jeritan Zahra terdengar. Gadis dengan seragam SMA-nya itu berlari memasuki area ndalem. “Mbak Tatiana!” Zahra melambai-lambaikan tangannya mengarah pada pintu luar ndalem, “Mbak mau bunuh diri nyemplung kolam lele!!”

Khoiron mengusap wajahnya. Mimik mukanya yang keruh semakin terlihat carut-marut, mendengar informasi dari adik perempuannya. Apalagi yang gadis kota itu lakukan sekarang— pikir Khoiron.

“Abi, kalau sedo kepatil lele, pripun Bi?”

“Innalillahi, Zahra! Ampun bilang begitu, ndak elok, Nduk,” Kyai Sholeh menegur lembut putrinya yang berkata sembarangan.

Pasalnya ucapan merupakan sebuah doa. Tidak baik berkata sesumbar. Bagaimana jika ucapan buruk tersebut diaminkan oleh penghuni langit, lalu terjadi menimpa diri Tatiana?!

Sungguh, mereka semua akan merasakan perasaan bersalah sepanjang usia.

Sedangkan ditempat lain, Tatiana menimbang-nimbang keputusan. Haruskah ia melompat seperti apa yang dirinya katakan kepada Zahra.

“Lompat tidak ya?” gumamnya, meragu.

Tapi jika melompat, apa dia akan benar-benar log in ke alam lain? Kalau cuman mandi lumpur, bagaimana?!

Dirinya kan lupa membawa ponsel untuk siaran langsung. ‘Nggak dapet benefitnya dong!’ Gemasnya teracuni oleh oknum-oknum peminta-minta yang sedang happening sekarang ini.

“Kolam apaan sih ini? Ada ikannya nggak?” Tatiana melongokkan kepalanya, mencoba mengintip isi di dalam kolam.

“Tatianaaaa!! Jangan lakukan itu, Nduk!!”

“Mbak Tatianaa! Jangaaan!!”

Teriakan dibelakang tubuhnya menyebabkan keseimbangannya tak terjaga. Tatiana oleng. Niat bunuh diri itu terlaksana walau ia telah mengurungkannya.

Byur!!

“Aw! We, Anjing! Apaan ini! Papaa!! Adoh! Syakiiit!! Ey, Bangsat!!”

“Ya Allah, Nduk!” Cemas Kyai Sholeh menyaksikan tragedi di depan matanya. Keadaan ini jauh lebih buruk dari apa yang ia saksikan tadi di ruang keluarga.

“Abiii, tolongin Tianaaa!!” Tangan dan kepalanya menyembul-nyembul ke atas permukaan air. “Ada yang sundut Tiana, Abiii!!”

“Panggil santriwati!! Anak wedok ku!!

Belum genap dua puluh empat jam Tatiana diungsikan, sudah tak terhitung banyaknya kehebohan yang disebabkan olehnya.

Para santri datang berbondong-bondong atas seruan Ning Zahra mereka. Semuanya tercengang hebat, namun tak pelak juga mencoba menyembunyikan tawa.

Memerlukan waktu 15 menit untuk mengangkat Tatiana. Santri-Santri berjenis kelamin perempuan dikerahkan demi menolong calon menantu keluarga Kyai Dahlan. Mereka bersusah payah, menarik-narik Tatiana dan gadis itu berakhir pingsan, hingga dibawa ke rumah sakit terdekat.

*

Tatiana membuka indera penglihatannya. Gadis itu mengerang kesakitan, merasakan perih disekujur tubuhnya.

“Papaaa!!” Teriaknya, menangis memanggil Januar. Ingatan akan dirinya yang tersengat patil ikan-ikan di kolam membuatnya ingin bertemu dengan sang papa. Tatiana ingin protes tentang jalan hidupnya yang kini menjadi sesat.

Zahra meninggalkan sofa kala mengetahui Tatiana telah sadar dari pingsannya. Gadis cantik itu memberondong Tatiana dengan pertanyaan-pertanyaan seputar keadaannya sekarang.

“Apa yang dirasa, Mbak? Zahra panggilkan dokter ya?”

“Ra—,” panggil Tatiana tersendat oleh air matanya sendiri, “ badan gue kok rasanya bengkak, ya?”

‘Ya Allah, Mbak. Memang bengkak. Mbak kan habis dipatil ikan lele,’ ingin rasanya Zahra menjawab seperti itu, akan tetapi ia tidak tega jika Tatiana akan semakin menangis nantinya. “Nggak kok, Mbak. Lebam-Lebam aja dikit, Mbak. Dipakein salep pasti hilang.”

Tatiana tahu Zahra berdusta. Kondisi tubuhnya— ialah yang merasakan. Saat ini ia seperti tengah membawa tumpukan lemak, sayangnya lemak-lemak itu terasa begitu nyeri.

“Mau pulang, Ra. Nggak mau di sini! Pengen ketemu, Papa,” cicit Tatiana memelas. Biasanya ketika sakit, papa akan langsung meninggalkan seluruh kegiatannya. Menemaninya di atas ranjang bersama sang mama. Tak peduli sedang melakukan rapat penting atau berada di luar negeri, pria itu tetap akan menjadikannya prioritas utama.

Tapi sekarang?

Kesedihan mencengkram diri Tatiana. Tidak ada papanya ketika ia membuka mata. Sosok asing yang baru dikenalnya-lah, yang menjaganya.

‘Tiana senakal itu ya, Pah? Nyampe sakit aja, Papa nggak nengok ke sini?’ batinnya, semakin membuat ruang-ruang di dadanya menyempit, menebalkan rasa sakit yang dideritanya.

Zahra menjadi begitu iba melihat ekspresi sedih Tatiana. Anak kedua Kyai Sholeh itu berniat menghapus air mata calon kakak iparnya. Namun hal tersebut ia urungkan karena pintu ruang perawatan yang terbuka dari luar.

“Sudah siuman?” tanya Khoiron bukan kepada pasien yang harus dirinya jaga, melainkan pada sang adik. Ekor matanya melirik Tatiana yang dibalas gadis itu menggunakan pelototan maut.

Cepat sekali mood Tatiana berubah jika berhadapan dengan Khoiron. Entah apa yang membuatnya begitu mendendam pada pria beraura hangat itu— yang Tatiana tahu, pria itu-lah sosok yang membuatnya harus terjerat dan ditinggalkan oleh orang tuanya.

“Sampun, Mas. Nembe ntes siuman, Mbak Tatiananya.”

“Dek, Mas mau bicara dengan Mbak Tatiana, tapi kamu tetap di sini ya,” pinta Khoiron, melarang adiknya untuk pergi meski ia ingin membahas perihal penting, bersama gadis yang sebentar lagi akan berubah status menjadi pendamping hidupnya.

“Nggih, Mas. Adek duduk di sofa kalau gitu.”

Khoiron sempat menepuk puncak kepala Zahra ketika sang adik melewatinya. Ia menempati kursi disamping brankar Tatiana. “Mbak..”

“Lo kalau ngajak ngomong, tatap orangnya! Ngomong sama semut lo!”

Hohoho... Rasa sedih akibat merindukan papanya sudah sirna, ditelan kobaran kejengkelannya yang terpendam pada diri Khoiron.

“Maaf Mbak. Untuk sekarang biarkan saya tetap menundukan pandangan. Saya akan memandang Mbak Tatiana, setelah Mbak Tatiana halal untuk saya.”

Tatiana menyibak selimut yang membungkus kakinya, membuat Khoiron semakin menunduk dalam.

“Lo kira gue makanan, Hah? Harus ada sertifikat halalnya?!”

Zahra— Adik Khoiron itu mencengkram ponselnya. Bukan karena marah sang kakak diperlakukan kasar. Gadis itu hanya sedang mengontrol keinginannya untuk tertawa. Calon kakak iparnya begitu lucu masalahnya.

“Bukan begitu, maksud saya selepas saya menikahi, Mbak Tatiana,” jelas Khoiron.

Khoiron tidak menyalahkan tindakan Tatiana kepadanya. Ia memahami benar dengan apa yang dinamakan garis takdir manusia. Ia tak ingin menghindar, apalagi menyangkal ketentuan yang digariskan untuk dirinya. Sebagai makhluk, ia akan mengikuti apa yang Tuhannya tetapkan untuk dirinya. Menjalaninya dengan keikhlasan agar mendapat keridhoan-Nya.

“Emang siapa yang mau nikah sama lo? Gue sih, no ya!” Tatiana mengibaskan tangannya yang tidak tertusuk oleh jarum infus. Gadis itu tampak seperti Anang yang tengah menolak calon peserta audisi ajang pencarian bakat.

“Saya yakin, Mbak Tatiana cukup dewasa. Mbak pastinya mengerti kalau sebuah tindakan memiliki konsekuensi.”

“Nggak usah lebay deh. Ciuman itu wajar kok! Bukan cuman lo yang gue cium.” Setidaknya Tatiana tidak berbohong. Dahulu ketika ia masih memakai pampers, ia suka sekali mencium pipi gembil Brandon— sahabatnya.

“Ap-pah?” tanya Khoiron, tertegun.

Tatiana bersikap tenang. Ia justru menampakan kepongahan di depan laki-laki sealim Khoiron. Menurutnya Khoiron pasti akan langsung jijik kepadanya. Hal tersebut begitu Tatiana nantikan. ‘Nehik ya kalau gue kawin ama bentukan macem dia! Ganteng sih, tapi nggak menantang!’ Ia menilai Khoiron dari atas ke bawah.

Cupu banget elah! Masa kemana-mana pake baju koko! Dikira lagi lebaran apa!’ Tatiana geleng-geleng kepala, ‘sama Brandon aja kalah jauh!’ Sudut bibir kanan Tatiana berkedut usai membandingkan Khoiron dengan sahabatnya.

“Kita lupain aja deh kejadian itu! Nggak perlu nikah-nikahan segala! Hidup di zaman apa sih kalian!” Decak Tatiana. Ya kali hanya karena sebuah ciuman ia dinikahkan secara paksa? Dengan orang yang dibenci pula-lah!

Khoiron mengucapkan istighfar di dalam hatinya. Mungkin itu istighfar yang ke ribuan kali setelah ia mengenal Tatiana.

“Tidak bisa Mbak,” jawab Khoiron tegas, “Mbak adalah satu-satunya perempuan, yang bagian tubuhnya saya sentuh secara intim. Saya tidak mau lebih berdosa lagi jika tidak mempertanggung jawabkan dosa-dosa kita.”

“Gue tuh cuman mau nakut-nakutin lo aja, ya!! Bukannya mau nikah sama lo!!” Rengek Tatiana mulai kehilangan cara untuk membatalkan pernikahannya. “Gue masih delapan belas tahun! Masih pengen happy-happy!

“Setelah menikah nanti, kita bisa bersenang-senang bersama, Mbak. Tentunya sesuai dengan hadis dan apa yang telah ditentukan sebagai batasan di agama kita.”

“Mati aja gue, Nyet!!”

Apakah ini yang disebut karma dibayar tunai?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status