“Nggak mau! Tiana nggak mau nikah sama dia!!”
Tatiana kabur. Ia mendorong tubuh Aisyah, mencari celah supaya bisa berlari menjauh. Sumpah menikah muda tidak pernah ada di dalam kamus Tatiana. Ia dibuang papanya untuk berguru, mencari kitab suci ke barat, bukannya dipinang dengan bismilah oleh pria yang dirinya benci.
“Le! Kok malah dlongop! Dikejar calon istrimu,” sentak Kyai Sholeh melihat keterdiaman putranya.
Jujur— Khoiron masih belum dapat mengumpulkan nyawanya. Kesadarannya seakan ditarik naik ke awang-awang, setelah mendapatkan perilaku tidak terpuji santriwati sang ayah. Pria itu mengerjap, mencoba menata puing-puing jiwanya yang berserakan ke segala arah.
“Ya Allah,” desah Kyai Sholeh.
“Umi, tolong. Minta bantuan ke anak-anak. Tatiana nggak tahu daerah sini, Umi,” kepanikan menjalari Kyai Sholeh. Ia takut hal buruk menimpa Tatiana. Putri sahabatnya itu dititipkan kepadanya, menjadi amanah yang begitu besar untuk dirinya jaga.
“Ndak akan jauh, nanti dia papasan dengan Zahra,” ucap Kyai Dahlan menenangkan keresahan anaknya. “Kamu lebih baik hubungi orang tua Tatiana. Mintalah putrinya kepada beliau, Nang. Sudah sepantasnya mereka dinikahkan.”
Umi Aisyah menatap sendu putra kebanggannya. Tersimpan rasa tidak rela, tetapi apa yang dapat dirinya lakukan. Keduanya tak hanya saling bersentuhan dan mereka menjadi saksi atas apa yang anak-anak muda itu perbuat.
“Anakku,” lirih Umi Aisyah, merengkuh tubuh Khoiron, “yang sabar ya, Le. Ujian kamu,” bisiknya sembari mengusap punggung sang putra.
“Nggih, Umi.”
Kepasrahan tersebut justru meledakan tangis Umi Aisyah. Putranya yang bagus menikah dengan Tatiana— gadis yang ditatar saja masih begitu sulit. Akan menjadi seperti apa rumah tangga mereka kelak? Mampukah putranya membimbing calon menantunya itu?
“Assalamualaikum.. Umi, Abiii!” Jeritan Zahra terdengar. Gadis dengan seragam SMA-nya itu berlari memasuki area ndalem. “Mbak Tatiana!” Zahra melambai-lambaikan tangannya mengarah pada pintu luar ndalem, “Mbak mau bunuh diri nyemplung kolam lele!!”
Khoiron mengusap wajahnya. Mimik mukanya yang keruh semakin terlihat carut-marut, mendengar informasi dari adik perempuannya. Apalagi yang gadis kota itu lakukan sekarang— pikir Khoiron.
“Abi, kalau sedo kepatil lele, pripun Bi?”
“Innalillahi, Zahra! Ampun bilang begitu, ndak elok, Nduk,” Kyai Sholeh menegur lembut putrinya yang berkata sembarangan.
Pasalnya ucapan merupakan sebuah doa. Tidak baik berkata sesumbar. Bagaimana jika ucapan buruk tersebut diaminkan oleh penghuni langit, lalu terjadi menimpa diri Tatiana?!
Sungguh, mereka semua akan merasakan perasaan bersalah sepanjang usia.
Sedangkan ditempat lain, Tatiana menimbang-nimbang keputusan. Haruskah ia melompat seperti apa yang dirinya katakan kepada Zahra.
“Lompat tidak ya?” gumamnya, meragu.
Tapi jika melompat, apa dia akan benar-benar log in ke alam lain? Kalau cuman mandi lumpur, bagaimana?!
Dirinya kan lupa membawa ponsel untuk siaran langsung. ‘Nggak dapet benefitnya dong!’ Gemasnya teracuni oleh oknum-oknum peminta-minta yang sedang happening sekarang ini.
“Kolam apaan sih ini? Ada ikannya nggak?” Tatiana melongokkan kepalanya, mencoba mengintip isi di dalam kolam.
“Tatianaaaa!! Jangan lakukan itu, Nduk!!”
“Mbak Tatianaa! Jangaaan!!”
Teriakan dibelakang tubuhnya menyebabkan keseimbangannya tak terjaga. Tatiana oleng. Niat bunuh diri itu terlaksana walau ia telah mengurungkannya.
Byur!!
“Aw! We, Anjing! Apaan ini! Papaa!! Adoh! Syakiiit!! Ey, Bangsat!!”
“Ya Allah, Nduk!” Cemas Kyai Sholeh menyaksikan tragedi di depan matanya. Keadaan ini jauh lebih buruk dari apa yang ia saksikan tadi di ruang keluarga.
“Abiii, tolongin Tianaaa!!” Tangan dan kepalanya menyembul-nyembul ke atas permukaan air. “Ada yang sundut Tiana, Abiii!!”
“Panggil santriwati!! Anak wedok ku!!”
Belum genap dua puluh empat jam Tatiana diungsikan, sudah tak terhitung banyaknya kehebohan yang disebabkan olehnya.
Para santri datang berbondong-bondong atas seruan Ning Zahra mereka. Semuanya tercengang hebat, namun tak pelak juga mencoba menyembunyikan tawa.
Memerlukan waktu 15 menit untuk mengangkat Tatiana. Santri-Santri berjenis kelamin perempuan dikerahkan demi menolong calon menantu keluarga Kyai Dahlan. Mereka bersusah payah, menarik-narik Tatiana dan gadis itu berakhir pingsan, hingga dibawa ke rumah sakit terdekat.
*
Tatiana membuka indera penglihatannya. Gadis itu mengerang kesakitan, merasakan perih disekujur tubuhnya.
“Papaaa!!” Teriaknya, menangis memanggil Januar. Ingatan akan dirinya yang tersengat patil ikan-ikan di kolam membuatnya ingin bertemu dengan sang papa. Tatiana ingin protes tentang jalan hidupnya yang kini menjadi sesat.
Zahra meninggalkan sofa kala mengetahui Tatiana telah sadar dari pingsannya. Gadis cantik itu memberondong Tatiana dengan pertanyaan-pertanyaan seputar keadaannya sekarang.
“Apa yang dirasa, Mbak? Zahra panggilkan dokter ya?”
“Ra—,” panggil Tatiana tersendat oleh air matanya sendiri, “ badan gue kok rasanya bengkak, ya?”
‘Ya Allah, Mbak. Memang bengkak. Mbak kan habis dipatil ikan lele,’ ingin rasanya Zahra menjawab seperti itu, akan tetapi ia tidak tega jika Tatiana akan semakin menangis nantinya. “Nggak kok, Mbak. Lebam-Lebam aja dikit, Mbak. Dipakein salep pasti hilang.”
Tatiana tahu Zahra berdusta. Kondisi tubuhnya— ialah yang merasakan. Saat ini ia seperti tengah membawa tumpukan lemak, sayangnya lemak-lemak itu terasa begitu nyeri.
“Mau pulang, Ra. Nggak mau di sini! Pengen ketemu, Papa,” cicit Tatiana memelas. Biasanya ketika sakit, papa akan langsung meninggalkan seluruh kegiatannya. Menemaninya di atas ranjang bersama sang mama. Tak peduli sedang melakukan rapat penting atau berada di luar negeri, pria itu tetap akan menjadikannya prioritas utama.
Tapi sekarang?
Kesedihan mencengkram diri Tatiana. Tidak ada papanya ketika ia membuka mata. Sosok asing yang baru dikenalnya-lah, yang menjaganya.
‘Tiana senakal itu ya, Pah? Nyampe sakit aja, Papa nggak nengok ke sini?’ batinnya, semakin membuat ruang-ruang di dadanya menyempit, menebalkan rasa sakit yang dideritanya.
Zahra menjadi begitu iba melihat ekspresi sedih Tatiana. Anak kedua Kyai Sholeh itu berniat menghapus air mata calon kakak iparnya. Namun hal tersebut ia urungkan karena pintu ruang perawatan yang terbuka dari luar.
“Sudah siuman?” tanya Khoiron bukan kepada pasien yang harus dirinya jaga, melainkan pada sang adik. Ekor matanya melirik Tatiana yang dibalas gadis itu menggunakan pelototan maut.
Cepat sekali mood Tatiana berubah jika berhadapan dengan Khoiron. Entah apa yang membuatnya begitu mendendam pada pria beraura hangat itu— yang Tatiana tahu, pria itu-lah sosok yang membuatnya harus terjerat dan ditinggalkan oleh orang tuanya.
“Sampun, Mas. Nembe ntes siuman, Mbak Tatiananya.”
“Dek, Mas mau bicara dengan Mbak Tatiana, tapi kamu tetap di sini ya,” pinta Khoiron, melarang adiknya untuk pergi meski ia ingin membahas perihal penting, bersama gadis yang sebentar lagi akan berubah status menjadi pendamping hidupnya.
“Nggih, Mas. Adek duduk di sofa kalau gitu.”
Khoiron sempat menepuk puncak kepala Zahra ketika sang adik melewatinya. Ia menempati kursi disamping brankar Tatiana. “Mbak..”
“Lo kalau ngajak ngomong, tatap orangnya! Ngomong sama semut lo!”
Hohoho... Rasa sedih akibat merindukan papanya sudah sirna, ditelan kobaran kejengkelannya yang terpendam pada diri Khoiron.
“Maaf Mbak. Untuk sekarang biarkan saya tetap menundukan pandangan. Saya akan memandang Mbak Tatiana, setelah Mbak Tatiana halal untuk saya.”
Tatiana menyibak selimut yang membungkus kakinya, membuat Khoiron semakin menunduk dalam.
“Lo kira gue makanan, Hah? Harus ada sertifikat halalnya?!”
Zahra— Adik Khoiron itu mencengkram ponselnya. Bukan karena marah sang kakak diperlakukan kasar. Gadis itu hanya sedang mengontrol keinginannya untuk tertawa. Calon kakak iparnya begitu lucu masalahnya.
“Bukan begitu, maksud saya selepas saya menikahi, Mbak Tatiana,” jelas Khoiron.
Khoiron tidak menyalahkan tindakan Tatiana kepadanya. Ia memahami benar dengan apa yang dinamakan garis takdir manusia. Ia tak ingin menghindar, apalagi menyangkal ketentuan yang digariskan untuk dirinya. Sebagai makhluk, ia akan mengikuti apa yang Tuhannya tetapkan untuk dirinya. Menjalaninya dengan keikhlasan agar mendapat keridhoan-Nya.
“Emang siapa yang mau nikah sama lo? Gue sih, no ya!” Tatiana mengibaskan tangannya yang tidak tertusuk oleh jarum infus. Gadis itu tampak seperti Anang yang tengah menolak calon peserta audisi ajang pencarian bakat.
“Saya yakin, Mbak Tatiana cukup dewasa. Mbak pastinya mengerti kalau sebuah tindakan memiliki konsekuensi.”
“Nggak usah lebay deh. Ciuman itu wajar kok! Bukan cuman lo yang gue cium.” Setidaknya Tatiana tidak berbohong. Dahulu ketika ia masih memakai pampers, ia suka sekali mencium pipi gembil Brandon— sahabatnya.
“Ap-pah?” tanya Khoiron, tertegun.
Tatiana bersikap tenang. Ia justru menampakan kepongahan di depan laki-laki sealim Khoiron. Menurutnya Khoiron pasti akan langsung jijik kepadanya. Hal tersebut begitu Tatiana nantikan. ‘Nehik ya kalau gue kawin ama bentukan macem dia! Ganteng sih, tapi nggak menantang!’ Ia menilai Khoiron dari atas ke bawah.
‘Cupu banget elah! Masa kemana-mana pake baju koko! Dikira lagi lebaran apa!’ Tatiana geleng-geleng kepala, ‘sama Brandon aja kalah jauh!’ Sudut bibir kanan Tatiana berkedut usai membandingkan Khoiron dengan sahabatnya.
“Kita lupain aja deh kejadian itu! Nggak perlu nikah-nikahan segala! Hidup di zaman apa sih kalian!” Decak Tatiana. Ya kali hanya karena sebuah ciuman ia dinikahkan secara paksa? Dengan orang yang dibenci pula-lah!
Khoiron mengucapkan istighfar di dalam hatinya. Mungkin itu istighfar yang ke ribuan kali setelah ia mengenal Tatiana.
“Tidak bisa Mbak,” jawab Khoiron tegas, “Mbak adalah satu-satunya perempuan, yang bagian tubuhnya saya sentuh secara intim. Saya tidak mau lebih berdosa lagi jika tidak mempertanggung jawabkan dosa-dosa kita.”
“Gue tuh cuman mau nakut-nakutin lo aja, ya!! Bukannya mau nikah sama lo!!” Rengek Tatiana mulai kehilangan cara untuk membatalkan pernikahannya. “Gue masih delapan belas tahun! Masih pengen happy-happy!”
“Setelah menikah nanti, kita bisa bersenang-senang bersama, Mbak. Tentunya sesuai dengan hadis dan apa yang telah ditentukan sebagai batasan di agama kita.”
“Mati aja gue, Nyet!!”
Apakah ini yang disebut karma dibayar tunai?
Niat Khoiron meminang Tatiana sudah bulat. Ia memang tidak memiliki perasaan apa pun terhadap gadis itu. Mengenalnya pun baru satu hari. Pertemuan-Pertemuan mereka pun tak pernah berjalan baik. Selalu ada ketegangan yang menyertai perjumpaan itu. Sejak awal bertemu, sinar permusuhan bahkan selalu ditampakkan untuk dirinya.Namun sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab, ia harus dapat memperbaiki kesalahan— yah, walau kesalahan tersebut jelas tidak berasal dari dirinya. Tapi dirinya jelas diseret masuk ke dalam lembah dosa yang sama. Kepada perbuatan yang tidak semestinya dilakukan seorang insan yang belum terikat tali pernikahan.“Nak Khoir, saya rasa tidak perlu. Kamu tidak harus mengorbankan diri karena kenakalan putri saya.”Dua jam setelah sahabatnya memberikan kabar mengenai tindakan nekat sang putri, Januar langsung bertolak menuju Semarang. Bersama sang istri, ia pergi menggunakan pesawat dari Jakarta. Melakukan penerbangan singkat lalu dijemput oleh anak sahabatnya di
“Makanya jangan aneh-aneh jadi anak! Lagian kamu, Tiana. Anak gadis main sosor aja!”Di kamar tamu yang dijadikan tempat keluarga kecil Tatiana beristirahat, telinga Tatiana tak bisa lolos dari merepetan Januar— sang papa. Gadis itu masih saja dimarahi karena tindakan arogan dan jahilnya kepada anak Kyai Sholeh yang kerap dipanggil ‘Gus,’ di lingkungan pondok pesantren itu.“Khilaf, Pah! Dia sih gegayaan nggak mau dipegang! Tiana kan jadi pengen ngerjain.”“Nah, sekarang nikmatin hasil dari kejahilan kamu,” sambung Soraya.Kedua orang tua Tatiana terpaksa menerima pinangan Kyai Sholeh untuk putranya. Mereka tak dapat berbuat apa-apa ketika ancaman penjara membayangi diri putri kesayangan mereka.“Tahu dia bakal ngacau begini, nggak Papa pesantrenin, Mah,” desah Januar meraup wajah tampannya. Pria berusia empat puluhan itu memandang putrinya lalu menarik telinga anak itu, “ya Allah, Nak! Kamu yang Papa harap bisa berubah, malah makin-makin di sini!”“Pah sakit, Pah!” Erang Tiana membua
Khoiron membaringkan tubuh Tatiana ke atas pembaringannya. Sebuah ranjang yang tak bisa dikatakan lebar sebab ia berdiam hanya seorang. Tangannya menyentuh pinggiran niqab yang Tatiana kenakan. Berniat melepaskan kain berwarna hitam itu agar tak mengganggu jalannya pernapasan sang istri yang pingsan.Tatiana— gadis yang berada di hadapannya bernama Tatiana Sujatmiko. Nama yang ia ikrarkan dihadapan kakek, abi dan ayah mertuanya. Nama yang ia lantunkan untuk menjadi pendamping hidupnya agar dapat menyempurnakan ibadahnya terhadap Sang Khalik.Persis seperti apa yang adiknya ceritakan, parasnya begitu rupawan. Garis wajahnya kecil dengan dagu meruncing. Bulu matanya lentik. Hidungnya mancung dan kedua bibirnya yang kerap ia dengar mengumpat, ternyata begitu tipis.“MasyaAllah, sungguh indah ciptaan Mu, ya Rabb.”Selain umi dan adiknya, Khoiron tak pernah memuji sosok lain. Mata dan hatinya terjaga, menginginkan keindahan yang dapat ia reguk ketika itu halal baginya.Seperti sekarang con
‘Jakarta, I’m coming!’Uh— siapa sangka estimasi pembuangan yang dirancang satu tahun, ternyata hanya terjadi beberapa hari saja. Hohohoho! Nikmat Tuhan mana lagi yang ingin Tatiana dustakan. Pernikahan dadakan dengan anak pemilik pesantren menjadi dua hal berbeda.Disatu sisi, Tatiana mengamuk karena dipaksa melepas masa lajangnya, akan tetapi disisi lain, ia harus berpesta guna merayakan kebebasannya dari tempat pengungsian. Penderitaannya telah berakhir. Tidak akan ada lagi manusia yang memintanya menghafalkan doa-doa untuk sholat.Pria itu— Khoiron, akan berada di daerah kekuasaannya. Dia pasti tidak akan bisa menyengsarakan, karena sebaliknya, dirinyalah yang akan melakukan hal tersebut agar Khoiron tak betah tinggal di Jakarta.“Mantunya Abi mukanya senang sekali. Nggak sabar ya pengen pulang ke kota?”Tatiana menganggukkan kepalanya dengan semangat. Ia benar-benar sudah tidak sabar. Setelah sampai nanti, ia ingin berkunjung ke rumah sahabatnya. Mengincar beberapa tulang di tubu
“Kamu nggak bisa lari, Dek!”Khoiron menutup pintu belakang mobilnya sebelum berlari kencang mengejar Tatiana. Tanpa ba-bi-bu, pria itu mengangkat tubuh sang istri, memanggul layaknya gadis itu karung berisikan butiran beras-beras.“ANJING! Woi! Turunin gue!!” Jerit Tatiana memukuli punggung Khoiron. Kepalanya langsung pusing karena dijungkir-balikkan.“Toloooong!! Gue diculik Om-Om mesum!!” Teriak Tatiana meminta bantuan. “Isilop!!! 911!! Brandoooon!! Sembooooh!!”“Om Botaaaakkk!!!” Semua orang Tatiana panggil, termasuk si pemilik acara tutup pintu.Khoiron menggelengkan kepalanya. Pria itu tidak takut sekali pun orang-orang mulai mendatanginya. “Istri saya, Pak, Bu,” jelasnya mencoba menyakinkan mereka.“Bohong! Gue bukan istrinya!” bukan Tatiana namanya jika menyerah begitu saja. Ia tidak akan membiarkan Khoiron menang. Lagipula tidak ada bukti yang menunjukan mereka telah menikah. “Papa! Mama! Tolongin Tiana! Ada orang jahat!!”“Mas! Jangan bohong! Mbaknya bilang bukan istri Mas!”
Berniat ingin membangunkan Tatiana, Khoiron justru dibuat terkejut. Pria itu sampai memegangi dadanya karena istrinya tiba-tiba saja terduduk.“Hiyaa!!!”Tatiana mengubah posisinya, merangkak menaiki kepala ranjang. “Kenapa lo ada disini? Gue udah kabur kayak babi ngepet,” seingatnya ia sudah berlari tunggang-langgang untuk menghindari kejaran Khoiron. Memasuki hutan belantara. Menyebrangi lautan bahkan memanjat Burj Khalifa.Mengapa ia masih melihat wajah Khoiron yang datar seperti papan triplek di hadapannya?Mata Tatiana mengedar. Ia merasa familiar dengan ruangan yang ditempatinya sekarang. Perasaan ia sedang melompat ke atas helikopter karena Khoiron memiliki sayap layaknya capung. Menghindari kejaran pria itu sampai tunggangannya oleng ke laut merah.“Eh, loh, ini kamar gue,” gumamnya pelan, melihat satu per satu perabotan yang ada. Otaknya masih sangat waras. Ia tak menderita amnesia walau beberapa kali jatuh bangun dalam pelariannya. “Weh, sakti banget gue ternyata,” ucapnya b
“Iya!”Sejujurnya Khoiron tidak tahu apa itu arti ena-ena. Ia hanya sedang mengusili istri cantiknya. Salah gadis itu sendiri tidak mau menurut. Padahal tinggal mengganti pakaian dan mereka tak perlu membuang waktu lebih banyak lagi.“Mun-Mundur! Gue masih dibawah umur! Jangan apa-apain gue, Om!”‘Om?’ Alis Khoiron menyerngit. Jarak usia mereka memang terpaut sepuluh tahun, tapi apakah wajahnya se-tua itu sampai diberikan panggilan Om oleh istrinya ini. “Kamu habis ngumpatin Mas, sekarang ngejek Mas tua, Dek? Wah! Mas bener-bener nggak akan lepasin kamu sih!” goda Khoiron semakin melancarkan kejahilannya.Tatiana memejamkan matanya erat. Ia memeluk dirinya sendiri. Merasa ketakutan dengan ancaman Khoiron kepadanya.Kaki gadis itu melangkah mundur sampai sebuah nakas menghentikan pergerakannya. Sepertinya ia tidak akan bisa meloloskan diri. Tamat sudah riwayat harta berharga, yang dirinya jaga dari jamahan pria hidung belang di kelab malam.“Papa tolong!” pekik Tatiana keras ketika tel
“Bodo amat-lah!”Tatiana tidak peduli Khoiron akan ngambek atau marah-marah kepadanya. Nanti bisa dirinya urus ketika ia selesai melakukan perhitungan dengan Brandon. Ada baiknya Khoiron tak jadi mengantarkannya ke rumah Brandon. Ia jadi tak harus mencari-cari alasan tentang siapa diri pria itu.“Liat ya lo, Nyet!” tangan Tatiana mengangkat ujung gamisnya. Ia berjalan setengah berlari untuk melalui rumahnya.“MasyaAllah, Mbak Tiana! Mau pengajian ke mana?!”“Banyak lambe! Bukain Pak, gece!” ujar Tatiana membalas pertanyaan satpam rumahnya. Ia sengaja tidak menggunakan mobil karena rumah Brandon terlampau sangat dekat. Sia-Sia bensin mobilnya.“Tumben Mbak pakai jilbab? Beneran mau pergi ke tempat kajian?”“Kajian apaan sih!” bentak Tiana mulai kehilangan kesabaran. Satpam rumahnya dari tadi ngang-ngeng-ngong tak jelas, mengucapkan kalimat yang ia sendiri tidak mengerti. “Gue mau nyamperin Brandon! Udah ah, cepetan! Panas ini yak!”“Saya kirain mau ke masjid. Kan ada ustad terkenal tuh
“Ibu..”Tatiana mengangkat kedua tangannya ke atas.Tidak, tidak!— Ia tidak akan terpengaruh dengan raut memelas suami tercintanya. Pria itu harus merasakan betapa spektakulernya kelakuan anak mereka saat menginginkan sesuatu.‘Enak aja! Bikinnya bareng-bareng, masa bagian puyengnya, Ibu yang paling banyak.’ Dumel Tatiana, membantin.“Mau ini, Ayah! Mas Adnan mau ini.” Keras kepala Adnan dengan menunjuk satu unit mobil yang sedang dipamerkan pada lantai dasar sebuah Mall ternama di Jakarta.Tatiana terkekeh sembari memalingkan wajahnya. Biarlah ia berdosa. Namun wajah frustasi suaminya sangatlah menghibur jiwa emak-emaknya.“Beliin! Mas Adnan mau punya mobil yang pintunya 2, Ayah.”“Ya Allah, Mas.. yang pintunya 4 kan udah punya.”“Kan empat, nggak dua!” Ngeyel Adnan, membalas kata-kata sang ayah.“Mas..”“Enggak dalem!” potong anak itu menolak panggilan Khoiron.Khoiron menatap lembut kedua mata putranya yang membola. “Kok begitu jawab ke Ayahnya, Mas?” Sama seperti tatapannya, suara
Mendekati pukul lima sore hari, Tatiana, Adnan dan Soraya— ketiganya tampak rapi, berjajar pada halaman luas kediaman mereka.Barisan vertikal yang ketiganya bentuk itu, merupakan pemandangan yang sehari-harinya akan terlihat jika saja tidak turun hujan kala hari hari kerja berlangsung.Di dalam barisan itu, ketiganya akan melakukan sebuah penghormatan besar kepada dua orang terkasih yang telah rela menghabiskan waktunya untuk bekerja keras agar mereka dapat hidup enak.Mereka akan menunggu kepulangan para pencari nafkah. Menyambut keduanya dengan senyum hangat supaya seluruh lelah yang merajai diri mereka sirna.Dalam hal ini, tradisi itu dibentuk setelah si kecil Adnan terlahir ke dunia. Sebuah kebiasaan kecil yang pada akhirnya terus dipertahankan dan menjadi rutinitas harian yang keberadaannya tak pernah ditinggalkan oleh Tatiana dan mamanya.“Itu mobil Ayah.” Seru Adnan, gembira. “Opa sama Ayah pulang, ye-ye-ye-ye!” Anak itu melompat kegirangan, merasa tak sabar untuk menyambut a
Tatiana tak pernah berhenti dibuat istighfar oleh atraksi anak laki-lakinya. Si kecil yang kini menginjak usia 5 tahun itu mempunyai banyak sekali tingkah. Kulit di dadanya mungkin sudah menipis saking seringnya dibelai secara mandiri karena kelakuan membagongkannya.“Ibu nyerah, Mas Adnan!” Tatiana mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ia menyerah, mengibarkan benderah putih ke angkasa.Ayah anak itu baru saja pergi beberapa menit yang lalu, dan si kecil sudah kembali berulah.Adnan memang sangat tahu caranya menguji batas kesabaran ibunya. Dia mencari momen terbaik saat satu-satunya manusia yang ditakutinya tak lagi berada di rumah.“Mas, Ya Allah! Ikan koinya Ibu loh, mati itu ntar Mas!” lontar Tatiana, lemas tak bertenaga.Tatiana pikir dengan dirinya menyatakan kekalahkannya, putranya akan berbaik hati untuk hengkang dari kolam kesayangannya. Namun ternyata, ia salah. Anak itu tetap melanjutkan kegiatan merusuhnya.“Mas Adnan baik loh, Ibu. Mas kan lagi bantu ikan koinya Ibu napas.
Holla, temen-temen.Setelah banyak merenung, Qey mohon maaf karena pada akhirnya, cerita Gus! I Lap Yuh! ini akan tamat sesuai dengan naskah aslinya.Keputusan ini diambil karena beberapa aspek, khususnya dari segi kesehatan Qey yang tampaknya tidak mumpuni untuk mengerjakan 3 on going sekaligus.Takutnya, seluruh karya termasuk judul ini malah akan terbengkalai nantinya. Jadi, Qey putuskan untuk hanya meng-uploud ekstra partnya saja dan mengurungkan niat untuk melangkah ke seasion 2-nya. Bagi pembaca baru, cerita ini sudah ada sequelnya, judulnya Pelet Cinta Lolita!, ya. Disitu menceritakan kisah cintanya Mas Adnan dengan Female Lead, Lolita. Bu Tatik & Ayah Khoir ada disana juga kok, jadi kangen kalian sama pasangan ini akan sedikit terobati nantinya.Segitu aja ya temen-temen. Mohon doanya untuk kesembuhan Qey. Semoga diakhir tahun ini, sakitnya Qey ditutup dengan penutupan tahun. Doain Qey sehat dan pulih sedia kala ya. Amin, Amin.Terima kasih atas perhatiannya, Semua.Salam Saya
Hai, semua. This is Qey.Kemarin saat Qey up chapter untuk ending, kebetulan ada kakak yang mengusulkan untuk dilanjutkan ke Season 2-nya. Untuk kakak-kakak yang lain bagaimana? Season 2-nya akan fokus ke Bu Tatik & keluarga kecilnya, termasuk Mas Adnan versi bocil ya. Karena untuk cerita Mas Adnan sendiri, versi dewasanya sudah ada tuh dijudul "Pelet Cinta Lolita." Kebetulan Mas Adnan tokoh utama prianya disana. Qey membutuhkan masukan sebelum akhirnya memutuskan apakah naskah chapter spesial yang ada akan tetap dijadikan chapter ekstra, atau digunakan untuk melanjutkan ke Season 2. Jadi, please komen ya semua. Terima kasih atas perhatiannya.
“Mas.. Zahra cantik ya?”Kepala Khoiron mengangguk, “iya, Dek,” ucapnya menjawab pertanyaan sang istri kepadanya.Pria itu meremas tangan Tatiana yang berada di dalam genggamannya, lalu kembali berucap, “tapi istri Mas ini, jauh lebih cantik.”Dibalik niqab yang dirinya kenakan, senyum seindah mekarnya bunga di musim gugur, menghiasi wajah Tatiana.“Mas ini! Zahra ratunya hari ini!” Tutur Tatiana, pura-pura menghardik Khoiron. Ia tidak ingin dibuat salah tingkah di momen bersejarah sahabat dan adik iparnya. Kalau pun ada kebahagiaan, seharusnya itu berasal dari acara penting mereka berdua. Bukannya dari hasil gombalan suaminya.Khoiron pun memalingkan wajahnya ke kanan. Ia menatap kedua manik Tatiana dalam. “Mas nggak mau bohong. Ibunya Mas Adnan wanita paling cantik. Ratunya Mas setiap hari.”“Uhuk!”Suara batuk dibelakang mereka menyadarkan Tatiana, jika saat ini keduanya tengah berada di dalam kerumunan santri-santri yang tengah menemani Zahra.“Ya Allah, Mas! Malu.”“Gus Khoir tern
Di dalam kamus Khoiron, ia tidak mengenal apa itu pamali. Pamali hanyalah sebuah culture yang keberadaannya terus dipertahankan dari tahun ke tahun. Namun ia tetap tidak bisa membawa Adnan pergi ke luar rumah terlalu lama. Bagaimana pun, usia Adnan masih beberapa hari. Daya tahan tubuhnya masihlah belum sekuat orang dewasa.“Adek, kita sepertinya nggak bisa bawa Mas Adnan ke kampus.”“Loh, kenapa Mas?”“Mas Adnannya masih kecil, Ibu. Pamernya ditunda saja dulu ya?”Tatiana adalah wanita yang mudah untuk diberikan pengertian. Istrinya mungkin sedikit keras kepala dalam beberapa hal, tapi dia bukan seseorang yang akan mengorbankan orang terkasih demi kesenangan pribadinya.“Mas Adnannya bisa sakit, Ibu. Urusan Brandon, biar ayah yang ngomong ke dia. Dia pasti nggak akan berani nakal.”“Nurut ya, buat Mas Adnan kecil kita.”“Kalau Ayah ngomong buat Mas Adnan, gimana Ibu bisa nggak nurut.” Tutur Tatiana sembari menyandarkan dirinya pada dada bidang Khoiron.Anaknya adalah sosok paling pen
“Mas Adnan, emang Ibu salah ya?”Tatiana menyangga kepalanya menggunakan tangan. Ia tidur menyamping, menatap putranya kesayangannya.“Jawab dong, Mas. Ibu nggak salah kan, ya?”Khoiron mengulum bibirnya. Istrinya sedang mencari pembenaran, hanya saja kepada orang yang salah.Apa yang istrinya harapkan dari seorang bayi mungil tak berdosa? Pembelaan?! Jelas Adnan belum bisa melakukannya. Putranya mereka masih tak memiliki daya untuk hal itu. Tunggu usianya bertambah, nanti Adnan akan dapat diajak berkomunikasi.“Adnan, mah! Ibu hopeless nih. Ayah juga ngambek ke Ibu. Ibu jadi nggak ada temennya, Mas.”“Kok bawa-bawa Ayah, Bu? yang ngambek bukannya Ibu, ya?”“Mas diem!”Lucu sekali istrinya. Dia yang mogok bicara pada semua orang, tapi malah mengaku menjadi pihak tersakiti. Mana mengelabui anak sendiri. Sungguh nakal!“Mas dianggurin nih?! Mentang-mentang sudah punya Mas Adnan sekarang.”“Aduh! Ada yang ngomong, siapa sih! Ganggu quality time aku sama anakku aja deh!”Khoiron terkikik.
“Uh, gemesinnya anak Ibu. Ibu pengen gepengin kamu, Dek.”Khoiron yang baru saja memasuki kamar, kontan berlari mendekati ranjang. “Adek! Istighfar! Jangan gepengin Adnan!” Ucap, pria itu panik. Gemasnya sang istri sungguh membahayakan. Masa anak sendiri mau dibuat gepeng.“Bercanda, Mas Khoir!”“Huh!” Khoiron melepaskan napasnya. Ia pikir istrinya serius ingin menggepengkan anak mereka.“Umi gimana, Mas? Udah dipanggilin dokter belum?”“Udah sadar kok..” Khoiron mendudukan dirinya disamping Tatiana. Tangannya yang besar menggenggam telapak kecil anak lelakinya. “Nggak sampai harus manggil dokter. Umi cuman kaget aja, Dek.”Jangan kan uminya, abinya kalau berada di kamar, pasti juga akan ikut pingsan. Ia tidak mengira kalau kenakalan istrinya sampai bisa membuat heboh satu komplek.“Hehe.. Mama dulu juga pingsan, Mas.” Cengir Tatiana. Mamanya sampai dilarikan ke rumah sakit saat rumahnya di demo. Akhirnya masalah diselesaikan oleh orang tua Brandon. Mereka hanya perlu mengganti mobil