Khoiron, pria itu mengangguk, “baik Umi. Akan Khoir ingatkan besok,” ucapnya sebelum melangkahkan kakinya cepat. Ia sungguh takut jika Tatiana akan menyentuhnya lagi. Selama ini, memandang wanita pun ia tidak berani, kecuali itu keluarga dan mahramnya. Khoiron begitu menjaga dirinya. Menghindari dosa sekecil apa pun untuk mendapatkan keridhoan serta kemurahan hati Sang Ilahi pada kehidupan kekalnya kelak.
“Astagfirullah, Ya Allah. Ampunilah dosa-dosa, Hamba. Jauhkanlah Hambamu ini dari hal-hal yang menjerumuskan Hamba pada kemurkaanmu, Ya Rabb.” Panjatnya merasa telah melakukan hal yang salah.
Khoiron membersihkan dirinya. Pada sepertiga malam menuju datangnya waktu subuh, pria itu tak pernah melelapkan diri. Ia menghabiskan penantiannya untuk menghadap Sang Pencipta dengan lantunan ayat suci. Sampai waktu itu tiba, Khoiron sama sekali tidak beranjak dari sajadahnya. Barulah ketika adzan subuh berkumandang, ia bergegas menuju masjid bersama ayahanda dan kakeknya.
“Abi dengar dari Umi, Tatiana tadi pukul kamu, Le?”
Kyai Dahlan, beliau mengulum senyumnya ketika sang putra bertanya kepada cucu kesayangannya. Ia menyimak sembari meneruskan langkah kecilnya yang dibantu dengan tongkat.
Sejak melihat wajah santri baru yang dititipkan kepada keluarganya, Kyai Dahlan menaruh minat hingga memperhatikan gadis itu. Melihatnya membuat ia teringat akan Khoiron. Ada kilasan yang dirinya lihat dan kilasan tersebut memang bersinggungan dengan sang cucu.
“Njih, Bi. Mbak Tatiana sepertinya masih marah kaleh kulo,” jawab Khoiron membenarkan.
“Kalau bisa dihindari, Le. Jangan dibuat marah. Minta maaf saja biar hatinya Tatiana adem. Abi nantinya ingin kamu ikut membimbing dia, Cah Bagus,” pinta Kyai Sholeh, ingin menitipkan Tatiana kepada putra sulungnya.
“Nyuwun ngapuro itu ndak mesti harus melakukan kesalahan. Kalau tujuannya baik, mengalah memang menjadi jalan yang harus ditempuh, Khoiron.”
Khoiron menatap Kyai Dahlan. Pria itu berhenti berjalan, memberikan anggukan atas permintaan kakeknya.
“Dibantu dia. Kalau kamu berhasil, Insha Allah, pahalamu berlipat, Le.”
Khoiron akan mengingat amanah abi dan kakeknya. Ketika dua lelaki tersayangnya membuka mulut, itu tandanya kebaikan telah menyertainya. Tidak sekali pun yang mereka ucapkan menjerumuskannya pada kemudaratan. Keduanya selalu menyertakan berkah untuk dirinya.
“Wis, ayo,” ajak Kyai Dahlan. “Gus, kamu imami subuhan kali ini ya,” tutupnya meminta Khoiron mengambil alih tugasnya.
*
“Bu Nyai, wonten nopo nggih kulo dipanggil ke ndalem?”
Seorang santriwati menghadap kepada Aisyah. Perempuan muda itu tak berani mengangkat kepalanya ketika berhadapan dengan istri Kyainya.
“Lia, Bu Nyai mau minta tolong, ini Tatiana. Teman baru kalian.”
Santriwati bernama Lia itu mengangkat kepalanya, memandang sosok yang namanya baru saja disebutkan. Ia tersenyum sembari menganggukkan kepalanya kecil, “saya Lia, Mbak,” ucapnya memperkenalkan diri.
“Tatiana.”
“Salam kenal Mbak Tatik,” ulang Lia, menyapa Tatiana.
Mendengar nama indahnya berubah menjadi panggilan gadis kampung, seperti biasa, mulut tanpa rem Tatiana melayangkan kata mutiara andalan. Seekor hewan peliharaan yang kerap dijadikan penjaga rumah lolos dari bibir ranumnya.
“Tatiana!”
“Um-Umi,” gagap Tatiana. “Tiana nggak sengaja. Dia yang mulai duluan,” rengeknya. Masa hukuman karena war-nya dengan anak Nyai-Nyai di depannya saja belum ia kerjakan. Sekarang ia malah kembali kelepasan.
‘Umi?’ batin Lia, memikirkan panggilan yang teman satu jawatnya sebutkan untuk memanggil Aisyah. Di pondok pesantren Al Hidayah, hanya keluarga yang memanggil perempuan ayu itu dengan sebutan Umi. Semua santriwan dan santriwati memanggilnya dengan panggilan Bu Nyai— mengingat perempuan itu merupakan istri dari Kyai mereka.
‘Apa kerabat jauhnya Bu Nyai, ya?’ pikirnya, ingin tahu.
“Umi loloskan untuk yang ini,” Aisyah menghela napasnya. Seperti kata suaminya, ia tidak boleh terlalu keras mendidik Tatiana. Anak itu harus diajarkan dengan segenap kasih sayang, dianggap anak sendiri agar merasa nyaman dan ikhlas menapaki kehidupan barunya.
“Jadi lupa kan Umi,” decak Aisyah, lalu mengembalikan atensinya kepada santrinya. “Lia, Tatiana sedang Bu Nyai hukum. Tolong kamu temani karena Zahra sekolah. Dilihatin saja. Kamu nggak sedang sibuk kan, Nduk?”
“Mboten Bu Nyai, kebetulan saya sudah setor hafalan ke Ustadzah. Sedang libur kuliah juga.”
Kuliah?!
Tatiana menunduk. Ia jadi rindu Brandon dan teman-temannya yang lain.
“Kenapa, Nduk?” tanya Aisyah peka terhadap perubahan Tatiana. “Sudah to, jangan sedih terus. Kenalan sama Lia. Dia setiap hari ke ndalem bantu-bantu Umi. Jadi kalau Zahra sekolah, kamu masih ada temennya.”
‘Lia bisa gue sogok nggak ya? Biar gue bisa nyebat? Ngutang dulu ampe setahun ntar gue bayar,’ pemikiran licik itu bersarang usai Tatiana teringat akan nasib bungkusan rokok-rokoknya.
Oh, pemilik semesta alam. Mulut gue kecut, paru-paru gue nggak smile— Tatiana memejamkan matanya, kedua tangannya terentang ke depan. Dadanya membusung tinggi, “nyebaattt!!” Tuturnya, tidak dalam hati.
Hal tersebut membuat Aisyah geram. Ibunda Khoiron itu menarik daun telinga Tatiana dari luar jilbabnya. “Ada-Ada saja kamu, Tatiana! Sudah! Umi aja yang jagain kamu langsung,” ia menyeret Tatiana, diikuti oleh Lia dibelakangnya.
“Umi sakit, Umi! Aw, lepasin jewerannya!!” Terkutuk Anjing! Mama nggak pernah begini!
Apa yang Aisyah lakukan sukses menarik perhatian santri-santrinya. Seperti Lia, mereka berbisik-bisik menanyakan siapa gerangan yang Aisyah tarik telinganya. Mengapa gadis itu sampai bisa memanggil Ibu Nyai mereka dengan sebutan Umi.
“Umi, ini kenapa Tatiana dieret-eret begini?” Kyai Sholeh dan rombongan menghadang jalan sang istri. Beliau menanyakan sebab sang istri menjewer Tatiana.
“Abi..”
Abi?
Bisik-Bisik tersebut semakin keras terdengar. Tidak hanya kepada Bu Nyai, namun kepada Pak Kyai pun panggilan itu berbeda.
“Habis mengumpat lagi, Nduk?” Kyai Sholeh bertanya penuh kelembutan. Ia membelai puncak kepala Tatiana yang terlapisi jilbab.
“Nggak Abi!”
“Terus kenapa, hem?”
“Lebih parah, Bi. Umi nggak bisa cerita disini. Nanti saja dirumah,” sela Aisyah. Ia tidak mungkin mempermalukan Tatiana dengan menceritakan jika gadis itu merokok. “Sekarang biar Umi hukum dulu, Tatiananya.”
“Bi nggak mau bersihin toilet. Tiana nggak bisa! Nanti muntah,” ia memasang raut wajah memelas. Tatiana yakin Kyai Sholeh akan iba padanya. Tolonglah, adakan keajaiban. Membersihkan kamar saja ia memiliki pembantu di rumah. Kenapa di pesantren ia malah mendapatkan training untuk menjadi babu anyaran?
Katanya belajar ngaji, wey?!
Kyai Dahlan mendekat, ia melakukan hal yang sama pada kepala Tatiana, “Mbah ganti hukumannya, Nduk. Hafalan surah-surah sama Khoiron ya. Gimana?”
Petir dan halilintar menyambar diri Tatiana. Ditengah teriknya panas matahari pagi, Tatiana merasakan kobaran api yang membakar tubuhnya.
“Bersihin kamar mandi aja, Mbah,” pilih Tatiana mantap. Ia lebih rela disebut sebagai babu semok-semlohay dibanding mati berdiri karena kesal dengan anak teman papanya. “Umi,” Tatiana meraih lengan Aisyah, “ayo Umi! Kita bikin cling toiletnya.”
Kyai Dahlan tertawa— sebuah pemandangan yang hampir jarang dinikmati khalayak umum. Pria paruh baya itu sampai mengetuk-ngetukan tongkatnya ke tanah.
“Mpun Aisyah, dibawa masuk ke ndalem lagi cucuku. Mosok ayu-ayu dikon ngosek WC. Dihukum berdiri saja satu kaki, sambil hafalan. Abah yang jagain bareng Khoiron.”
‘Dia lagi,’ bibir Tatiana mengerucut. Mengapa semuanya serba manusia muna-puck itu? Apakah ia sedang terkena kutukan?
Bagaimana caranya untuk melepaskan diri jika ia memang benar-benar dikutuk?!
“Hahaha, Cah Ayu. Nggak ada yang mengutuk.”
Selorohan Kyai Dahlan membuat diri Tatiana terperanjat. Gadis itu mematung dengan saraf-saraf tubuhnya yang tegang. ‘Mbahnya bisa baca pikiran gue, Anjrot!’ Sadar telah berkata-kata kurang ajar, Tatiana menampar mulutnya secara mandiri.
Tawa Kyai Dahlan meledak lagi— membuat keluarga intinya tersenyum senang. Kedatangan Tatiana di rumah mereka, meredakan lara di hati sang Kyai besar karena kepulangan istrinya ke pangkuan Sang Khalik.
*
“Nggak bisa Surah Al Ikhlas?”
Kyai Dahlan memukul meja di depan Khoiron dengan tongkat bambu yang dirinya genggam. “Khoiron,” tegurnya. “Memang kenapa kalau Tatiana belum bisa? Sudah menjadi tugas kita mengajari sampai dia hafal,” timpalnya sebelum memalingkan wajah, “jangan dimasukan ke hati ya, Nduk. Nanti biar Khoiron, Mbah yang marahi.”
Tatiana mengacungkan 2 ibu jarinya. Ia bahagia karena memiliki antek-antek terkuat di bumi. Hidupnya sepertinya tidak akan terlalu menderita di pondok pesantren. Ia mempunyai Kyai Sholeh dan Kyai Dahlan dibelakangnya.
‘Backingan gue nggak maen-maen ya! Mantabs jiwa!’ Kikiknya.
“Paringi contoh, Khoir. Putu wedok ku ndak boleh dihukum lebih dari angkat kaki. Mbah mau masuk dulu,” amanatnya lalu menarik diri.
“Angkat lagi kaki kamu, Mbak Tatiana! Hafalan dulu baru bisa diturunkan!”
Rasengan Tatiana kirimkan melalui pelototan matanya. “Siapa lo?” bentaknya menantang Khoiron. Di rumah yang ia tempati sekarang, Tatiana hanya akan menurut pada 3 manusia.
Pertama, Kyai Sholeh.
Kedua, Umi Aisyah,
Terakhir, Kyai Dahlan. Selebihnya tak boleh mengaturnya.
“Haruskah saya memanggil Mbah Yai agar kembali ke sini?” tantang Khoiron balik.
Tatiana mengacakkan lengannya dipinggang, “nantangin ya lo,” berangnya sembari melangkah lebar.
Khoiron pun memasang kuda-kudanya. Ia sudah siap berlari, mengamankan diri jika seandainya Tatiana ingin menyentuh tubuhnya. “Mbak, tolong jangan mendekat,” halaunya menjulurkan tangannya.
Khoiron panik. Ia langsung menyambar sebuah buku, menjulur-julurkannya ke arah Tatiana. “Demi Allah, Mbak. Jangan! Kita tidak boleh bersentuhan,” terdapat getar dalam suaranya dan itu membangkitkan setan-setan di dalam diri Tatiana.
Iblis yang bersemayam itu melahirkan seringaian di wajah cantik Tatiana. Roket kejahilan terpasang untuk lepas landas. Khoiron dimatanya tampak seperti anak ayam yang akan disembelih. Tatiana suka sekali melihatnya.
Akhirnya! Dendam kesumat itu bisa dicicil pelunasannya.
“Muehehehe..”
Tatiana si atlet lompat jauh dadakan, menyingsingkan gamisnya sebatas paha. Gadis itu melompat tepat dihadapan Khoiron, membuat sang pejantan jatuh terduduk bersandarkan tembok ditengah ketidakberdayaannya.
“Abis ini mandi besar lo, Bosque! Gue akan mengotorimu wahai manusia sok suci!!” Tatiana memenjara kedua pipi Khoiron. Menangkupnya erat-erat, memastikan buruannya tidak akan terlepas.
“Ya Allah, Ya Allah,” tukas Khoiron berulang kali mengingat Sang Maha Kuasa. Matanya terpejam dengan bibir dikulum.
“MUAAAACHHH!!”
“Allahuakbar!! Tatiana, Khoiron! Apa yang sedang kalian lakukan?!”
Tatiana yang kaget tak dapat menahan bobot tubuhnya. Gadis itu terjatuh ke atas pangkuan Khoiron.
“Abi ada ap… ASTAGFIRULLAH! KALIAN!”– itu suara Aisyah. Disusul dengan perintah tegas Kyai Dahlan yang menyusul setelah dirinya, “nikahkan mereka berdua!”
“Anying! Nggak mau!!”
“TATIANA!!!”
“Nggak mau! Tiana nggak mau nikah sama dia!!”Tatiana kabur. Ia mendorong tubuh Aisyah, mencari celah supaya bisa berlari menjauh. Sumpah menikah muda tidak pernah ada di dalam kamus Tatiana. Ia dibuang papanya untuk berguru, mencari kitab suci ke barat, bukannya dipinang dengan bismilah oleh pria yang dirinya benci.“Le! Kok malah dlongop! Dikejar calon istrimu,” sentak Kyai Sholeh melihat keterdiaman putranya.Jujur— Khoiron masih belum dapat mengumpulkan nyawanya. Kesadarannya seakan ditarik naik ke awang-awang, setelah mendapatkan perilaku tidak terpuji santriwati sang ayah. Pria itu mengerjap, mencoba menata puing-puing jiwanya yang berserakan ke segala arah.“Ya Allah,” desah Kyai Sholeh.“Umi, tolong. Minta bantuan ke anak-anak. Tatiana nggak tahu daerah sini, Umi,” kepanikan menjalari Kyai Sholeh. Ia takut hal buruk menimpa Tatiana. Putri sahabatnya itu dititipkan kepadanya, menjadi amanah yang begitu besar untuk dirinya jaga.“Ndak akan jauh, nanti dia papasan dengan Zahra,”
Niat Khoiron meminang Tatiana sudah bulat. Ia memang tidak memiliki perasaan apa pun terhadap gadis itu. Mengenalnya pun baru satu hari. Pertemuan-Pertemuan mereka pun tak pernah berjalan baik. Selalu ada ketegangan yang menyertai perjumpaan itu. Sejak awal bertemu, sinar permusuhan bahkan selalu ditampakkan untuk dirinya.Namun sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab, ia harus dapat memperbaiki kesalahan— yah, walau kesalahan tersebut jelas tidak berasal dari dirinya. Tapi dirinya jelas diseret masuk ke dalam lembah dosa yang sama. Kepada perbuatan yang tidak semestinya dilakukan seorang insan yang belum terikat tali pernikahan.“Nak Khoir, saya rasa tidak perlu. Kamu tidak harus mengorbankan diri karena kenakalan putri saya.”Dua jam setelah sahabatnya memberikan kabar mengenai tindakan nekat sang putri, Januar langsung bertolak menuju Semarang. Bersama sang istri, ia pergi menggunakan pesawat dari Jakarta. Melakukan penerbangan singkat lalu dijemput oleh anak sahabatnya di
“Makanya jangan aneh-aneh jadi anak! Lagian kamu, Tiana. Anak gadis main sosor aja!”Di kamar tamu yang dijadikan tempat keluarga kecil Tatiana beristirahat, telinga Tatiana tak bisa lolos dari merepetan Januar— sang papa. Gadis itu masih saja dimarahi karena tindakan arogan dan jahilnya kepada anak Kyai Sholeh yang kerap dipanggil ‘Gus,’ di lingkungan pondok pesantren itu.“Khilaf, Pah! Dia sih gegayaan nggak mau dipegang! Tiana kan jadi pengen ngerjain.”“Nah, sekarang nikmatin hasil dari kejahilan kamu,” sambung Soraya.Kedua orang tua Tatiana terpaksa menerima pinangan Kyai Sholeh untuk putranya. Mereka tak dapat berbuat apa-apa ketika ancaman penjara membayangi diri putri kesayangan mereka.“Tahu dia bakal ngacau begini, nggak Papa pesantrenin, Mah,” desah Januar meraup wajah tampannya. Pria berusia empat puluhan itu memandang putrinya lalu menarik telinga anak itu, “ya Allah, Nak! Kamu yang Papa harap bisa berubah, malah makin-makin di sini!”“Pah sakit, Pah!” Erang Tiana membua
Khoiron membaringkan tubuh Tatiana ke atas pembaringannya. Sebuah ranjang yang tak bisa dikatakan lebar sebab ia berdiam hanya seorang. Tangannya menyentuh pinggiran niqab yang Tatiana kenakan. Berniat melepaskan kain berwarna hitam itu agar tak mengganggu jalannya pernapasan sang istri yang pingsan.Tatiana— gadis yang berada di hadapannya bernama Tatiana Sujatmiko. Nama yang ia ikrarkan dihadapan kakek, abi dan ayah mertuanya. Nama yang ia lantunkan untuk menjadi pendamping hidupnya agar dapat menyempurnakan ibadahnya terhadap Sang Khalik.Persis seperti apa yang adiknya ceritakan, parasnya begitu rupawan. Garis wajahnya kecil dengan dagu meruncing. Bulu matanya lentik. Hidungnya mancung dan kedua bibirnya yang kerap ia dengar mengumpat, ternyata begitu tipis.“MasyaAllah, sungguh indah ciptaan Mu, ya Rabb.”Selain umi dan adiknya, Khoiron tak pernah memuji sosok lain. Mata dan hatinya terjaga, menginginkan keindahan yang dapat ia reguk ketika itu halal baginya.Seperti sekarang con
‘Jakarta, I’m coming!’Uh— siapa sangka estimasi pembuangan yang dirancang satu tahun, ternyata hanya terjadi beberapa hari saja. Hohohoho! Nikmat Tuhan mana lagi yang ingin Tatiana dustakan. Pernikahan dadakan dengan anak pemilik pesantren menjadi dua hal berbeda.Disatu sisi, Tatiana mengamuk karena dipaksa melepas masa lajangnya, akan tetapi disisi lain, ia harus berpesta guna merayakan kebebasannya dari tempat pengungsian. Penderitaannya telah berakhir. Tidak akan ada lagi manusia yang memintanya menghafalkan doa-doa untuk sholat.Pria itu— Khoiron, akan berada di daerah kekuasaannya. Dia pasti tidak akan bisa menyengsarakan, karena sebaliknya, dirinyalah yang akan melakukan hal tersebut agar Khoiron tak betah tinggal di Jakarta.“Mantunya Abi mukanya senang sekali. Nggak sabar ya pengen pulang ke kota?”Tatiana menganggukkan kepalanya dengan semangat. Ia benar-benar sudah tidak sabar. Setelah sampai nanti, ia ingin berkunjung ke rumah sahabatnya. Mengincar beberapa tulang di tubu
“Kamu nggak bisa lari, Dek!”Khoiron menutup pintu belakang mobilnya sebelum berlari kencang mengejar Tatiana. Tanpa ba-bi-bu, pria itu mengangkat tubuh sang istri, memanggul layaknya gadis itu karung berisikan butiran beras-beras.“ANJING! Woi! Turunin gue!!” Jerit Tatiana memukuli punggung Khoiron. Kepalanya langsung pusing karena dijungkir-balikkan.“Toloooong!! Gue diculik Om-Om mesum!!” Teriak Tatiana meminta bantuan. “Isilop!!! 911!! Brandoooon!! Sembooooh!!”“Om Botaaaakkk!!!” Semua orang Tatiana panggil, termasuk si pemilik acara tutup pintu.Khoiron menggelengkan kepalanya. Pria itu tidak takut sekali pun orang-orang mulai mendatanginya. “Istri saya, Pak, Bu,” jelasnya mencoba menyakinkan mereka.“Bohong! Gue bukan istrinya!” bukan Tatiana namanya jika menyerah begitu saja. Ia tidak akan membiarkan Khoiron menang. Lagipula tidak ada bukti yang menunjukan mereka telah menikah. “Papa! Mama! Tolongin Tiana! Ada orang jahat!!”“Mas! Jangan bohong! Mbaknya bilang bukan istri Mas!”
Berniat ingin membangunkan Tatiana, Khoiron justru dibuat terkejut. Pria itu sampai memegangi dadanya karena istrinya tiba-tiba saja terduduk.“Hiyaa!!!”Tatiana mengubah posisinya, merangkak menaiki kepala ranjang. “Kenapa lo ada disini? Gue udah kabur kayak babi ngepet,” seingatnya ia sudah berlari tunggang-langgang untuk menghindari kejaran Khoiron. Memasuki hutan belantara. Menyebrangi lautan bahkan memanjat Burj Khalifa.Mengapa ia masih melihat wajah Khoiron yang datar seperti papan triplek di hadapannya?Mata Tatiana mengedar. Ia merasa familiar dengan ruangan yang ditempatinya sekarang. Perasaan ia sedang melompat ke atas helikopter karena Khoiron memiliki sayap layaknya capung. Menghindari kejaran pria itu sampai tunggangannya oleng ke laut merah.“Eh, loh, ini kamar gue,” gumamnya pelan, melihat satu per satu perabotan yang ada. Otaknya masih sangat waras. Ia tak menderita amnesia walau beberapa kali jatuh bangun dalam pelariannya. “Weh, sakti banget gue ternyata,” ucapnya b
“Iya!”Sejujurnya Khoiron tidak tahu apa itu arti ena-ena. Ia hanya sedang mengusili istri cantiknya. Salah gadis itu sendiri tidak mau menurut. Padahal tinggal mengganti pakaian dan mereka tak perlu membuang waktu lebih banyak lagi.“Mun-Mundur! Gue masih dibawah umur! Jangan apa-apain gue, Om!”‘Om?’ Alis Khoiron menyerngit. Jarak usia mereka memang terpaut sepuluh tahun, tapi apakah wajahnya se-tua itu sampai diberikan panggilan Om oleh istrinya ini. “Kamu habis ngumpatin Mas, sekarang ngejek Mas tua, Dek? Wah! Mas bener-bener nggak akan lepasin kamu sih!” goda Khoiron semakin melancarkan kejahilannya.Tatiana memejamkan matanya erat. Ia memeluk dirinya sendiri. Merasa ketakutan dengan ancaman Khoiron kepadanya.Kaki gadis itu melangkah mundur sampai sebuah nakas menghentikan pergerakannya. Sepertinya ia tidak akan bisa meloloskan diri. Tamat sudah riwayat harta berharga, yang dirinya jaga dari jamahan pria hidung belang di kelab malam.“Papa tolong!” pekik Tatiana keras ketika tel
“Ibu..”Tatiana mengangkat kedua tangannya ke atas.Tidak, tidak!— Ia tidak akan terpengaruh dengan raut memelas suami tercintanya. Pria itu harus merasakan betapa spektakulernya kelakuan anak mereka saat menginginkan sesuatu.‘Enak aja! Bikinnya bareng-bareng, masa bagian puyengnya, Ibu yang paling banyak.’ Dumel Tatiana, membantin.“Mau ini, Ayah! Mas Adnan mau ini.” Keras kepala Adnan dengan menunjuk satu unit mobil yang sedang dipamerkan pada lantai dasar sebuah Mall ternama di Jakarta.Tatiana terkekeh sembari memalingkan wajahnya. Biarlah ia berdosa. Namun wajah frustasi suaminya sangatlah menghibur jiwa emak-emaknya.“Beliin! Mas Adnan mau punya mobil yang pintunya 2, Ayah.”“Ya Allah, Mas.. yang pintunya 4 kan udah punya.”“Kan empat, nggak dua!” Ngeyel Adnan, membalas kata-kata sang ayah.“Mas..”“Enggak dalem!” potong anak itu menolak panggilan Khoiron.Khoiron menatap lembut kedua mata putranya yang membola. “Kok begitu jawab ke Ayahnya, Mas?” Sama seperti tatapannya, suara
Mendekati pukul lima sore hari, Tatiana, Adnan dan Soraya— ketiganya tampak rapi, berjajar pada halaman luas kediaman mereka.Barisan vertikal yang ketiganya bentuk itu, merupakan pemandangan yang sehari-harinya akan terlihat jika saja tidak turun hujan kala hari hari kerja berlangsung.Di dalam barisan itu, ketiganya akan melakukan sebuah penghormatan besar kepada dua orang terkasih yang telah rela menghabiskan waktunya untuk bekerja keras agar mereka dapat hidup enak.Mereka akan menunggu kepulangan para pencari nafkah. Menyambut keduanya dengan senyum hangat supaya seluruh lelah yang merajai diri mereka sirna.Dalam hal ini, tradisi itu dibentuk setelah si kecil Adnan terlahir ke dunia. Sebuah kebiasaan kecil yang pada akhirnya terus dipertahankan dan menjadi rutinitas harian yang keberadaannya tak pernah ditinggalkan oleh Tatiana dan mamanya.“Itu mobil Ayah.” Seru Adnan, gembira. “Opa sama Ayah pulang, ye-ye-ye-ye!” Anak itu melompat kegirangan, merasa tak sabar untuk menyambut a
Tatiana tak pernah berhenti dibuat istighfar oleh atraksi anak laki-lakinya. Si kecil yang kini menginjak usia 5 tahun itu mempunyai banyak sekali tingkah. Kulit di dadanya mungkin sudah menipis saking seringnya dibelai secara mandiri karena kelakuan membagongkannya.“Ibu nyerah, Mas Adnan!” Tatiana mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ia menyerah, mengibarkan benderah putih ke angkasa.Ayah anak itu baru saja pergi beberapa menit yang lalu, dan si kecil sudah kembali berulah.Adnan memang sangat tahu caranya menguji batas kesabaran ibunya. Dia mencari momen terbaik saat satu-satunya manusia yang ditakutinya tak lagi berada di rumah.“Mas, Ya Allah! Ikan koinya Ibu loh, mati itu ntar Mas!” lontar Tatiana, lemas tak bertenaga.Tatiana pikir dengan dirinya menyatakan kekalahkannya, putranya akan berbaik hati untuk hengkang dari kolam kesayangannya. Namun ternyata, ia salah. Anak itu tetap melanjutkan kegiatan merusuhnya.“Mas Adnan baik loh, Ibu. Mas kan lagi bantu ikan koinya Ibu napas.
Holla, temen-temen.Setelah banyak merenung, Qey mohon maaf karena pada akhirnya, cerita Gus! I Lap Yuh! ini akan tamat sesuai dengan naskah aslinya.Keputusan ini diambil karena beberapa aspek, khususnya dari segi kesehatan Qey yang tampaknya tidak mumpuni untuk mengerjakan 3 on going sekaligus.Takutnya, seluruh karya termasuk judul ini malah akan terbengkalai nantinya. Jadi, Qey putuskan untuk hanya meng-uploud ekstra partnya saja dan mengurungkan niat untuk melangkah ke seasion 2-nya. Bagi pembaca baru, cerita ini sudah ada sequelnya, judulnya Pelet Cinta Lolita!, ya. Disitu menceritakan kisah cintanya Mas Adnan dengan Female Lead, Lolita. Bu Tatik & Ayah Khoir ada disana juga kok, jadi kangen kalian sama pasangan ini akan sedikit terobati nantinya.Segitu aja ya temen-temen. Mohon doanya untuk kesembuhan Qey. Semoga diakhir tahun ini, sakitnya Qey ditutup dengan penutupan tahun. Doain Qey sehat dan pulih sedia kala ya. Amin, Amin.Terima kasih atas perhatiannya, Semua.Salam Saya
Hai, semua. This is Qey.Kemarin saat Qey up chapter untuk ending, kebetulan ada kakak yang mengusulkan untuk dilanjutkan ke Season 2-nya. Untuk kakak-kakak yang lain bagaimana? Season 2-nya akan fokus ke Bu Tatik & keluarga kecilnya, termasuk Mas Adnan versi bocil ya. Karena untuk cerita Mas Adnan sendiri, versi dewasanya sudah ada tuh dijudul "Pelet Cinta Lolita." Kebetulan Mas Adnan tokoh utama prianya disana. Qey membutuhkan masukan sebelum akhirnya memutuskan apakah naskah chapter spesial yang ada akan tetap dijadikan chapter ekstra, atau digunakan untuk melanjutkan ke Season 2. Jadi, please komen ya semua. Terima kasih atas perhatiannya.
“Mas.. Zahra cantik ya?”Kepala Khoiron mengangguk, “iya, Dek,” ucapnya menjawab pertanyaan sang istri kepadanya.Pria itu meremas tangan Tatiana yang berada di dalam genggamannya, lalu kembali berucap, “tapi istri Mas ini, jauh lebih cantik.”Dibalik niqab yang dirinya kenakan, senyum seindah mekarnya bunga di musim gugur, menghiasi wajah Tatiana.“Mas ini! Zahra ratunya hari ini!” Tutur Tatiana, pura-pura menghardik Khoiron. Ia tidak ingin dibuat salah tingkah di momen bersejarah sahabat dan adik iparnya. Kalau pun ada kebahagiaan, seharusnya itu berasal dari acara penting mereka berdua. Bukannya dari hasil gombalan suaminya.Khoiron pun memalingkan wajahnya ke kanan. Ia menatap kedua manik Tatiana dalam. “Mas nggak mau bohong. Ibunya Mas Adnan wanita paling cantik. Ratunya Mas setiap hari.”“Uhuk!”Suara batuk dibelakang mereka menyadarkan Tatiana, jika saat ini keduanya tengah berada di dalam kerumunan santri-santri yang tengah menemani Zahra.“Ya Allah, Mas! Malu.”“Gus Khoir tern
Di dalam kamus Khoiron, ia tidak mengenal apa itu pamali. Pamali hanyalah sebuah culture yang keberadaannya terus dipertahankan dari tahun ke tahun. Namun ia tetap tidak bisa membawa Adnan pergi ke luar rumah terlalu lama. Bagaimana pun, usia Adnan masih beberapa hari. Daya tahan tubuhnya masihlah belum sekuat orang dewasa.“Adek, kita sepertinya nggak bisa bawa Mas Adnan ke kampus.”“Loh, kenapa Mas?”“Mas Adnannya masih kecil, Ibu. Pamernya ditunda saja dulu ya?”Tatiana adalah wanita yang mudah untuk diberikan pengertian. Istrinya mungkin sedikit keras kepala dalam beberapa hal, tapi dia bukan seseorang yang akan mengorbankan orang terkasih demi kesenangan pribadinya.“Mas Adnannya bisa sakit, Ibu. Urusan Brandon, biar ayah yang ngomong ke dia. Dia pasti nggak akan berani nakal.”“Nurut ya, buat Mas Adnan kecil kita.”“Kalau Ayah ngomong buat Mas Adnan, gimana Ibu bisa nggak nurut.” Tutur Tatiana sembari menyandarkan dirinya pada dada bidang Khoiron.Anaknya adalah sosok paling pen
“Mas Adnan, emang Ibu salah ya?”Tatiana menyangga kepalanya menggunakan tangan. Ia tidur menyamping, menatap putranya kesayangannya.“Jawab dong, Mas. Ibu nggak salah kan, ya?”Khoiron mengulum bibirnya. Istrinya sedang mencari pembenaran, hanya saja kepada orang yang salah.Apa yang istrinya harapkan dari seorang bayi mungil tak berdosa? Pembelaan?! Jelas Adnan belum bisa melakukannya. Putranya mereka masih tak memiliki daya untuk hal itu. Tunggu usianya bertambah, nanti Adnan akan dapat diajak berkomunikasi.“Adnan, mah! Ibu hopeless nih. Ayah juga ngambek ke Ibu. Ibu jadi nggak ada temennya, Mas.”“Kok bawa-bawa Ayah, Bu? yang ngambek bukannya Ibu, ya?”“Mas diem!”Lucu sekali istrinya. Dia yang mogok bicara pada semua orang, tapi malah mengaku menjadi pihak tersakiti. Mana mengelabui anak sendiri. Sungguh nakal!“Mas dianggurin nih?! Mentang-mentang sudah punya Mas Adnan sekarang.”“Aduh! Ada yang ngomong, siapa sih! Ganggu quality time aku sama anakku aja deh!”Khoiron terkikik.
“Uh, gemesinnya anak Ibu. Ibu pengen gepengin kamu, Dek.”Khoiron yang baru saja memasuki kamar, kontan berlari mendekati ranjang. “Adek! Istighfar! Jangan gepengin Adnan!” Ucap, pria itu panik. Gemasnya sang istri sungguh membahayakan. Masa anak sendiri mau dibuat gepeng.“Bercanda, Mas Khoir!”“Huh!” Khoiron melepaskan napasnya. Ia pikir istrinya serius ingin menggepengkan anak mereka.“Umi gimana, Mas? Udah dipanggilin dokter belum?”“Udah sadar kok..” Khoiron mendudukan dirinya disamping Tatiana. Tangannya yang besar menggenggam telapak kecil anak lelakinya. “Nggak sampai harus manggil dokter. Umi cuman kaget aja, Dek.”Jangan kan uminya, abinya kalau berada di kamar, pasti juga akan ikut pingsan. Ia tidak mengira kalau kenakalan istrinya sampai bisa membuat heboh satu komplek.“Hehe.. Mama dulu juga pingsan, Mas.” Cengir Tatiana. Mamanya sampai dilarikan ke rumah sakit saat rumahnya di demo. Akhirnya masalah diselesaikan oleh orang tua Brandon. Mereka hanya perlu mengganti mobil