Share

[4] Nikahkan Mereka!

Khoiron, pria itu mengangguk, “baik Umi. Akan Khoir ingatkan besok,” ucapnya sebelum melangkahkan kakinya cepat. Ia sungguh takut jika Tatiana akan menyentuhnya lagi. Selama ini, memandang wanita pun ia tidak berani, kecuali itu keluarga dan mahramnya. Khoiron begitu menjaga dirinya. Menghindari dosa sekecil apa pun untuk mendapatkan keridhoan serta kemurahan hati Sang Ilahi pada kehidupan kekalnya kelak.

“Astagfirullah, Ya Allah. Ampunilah dosa-dosa, Hamba. Jauhkanlah Hambamu ini dari hal-hal yang menjerumuskan Hamba pada kemurkaanmu, Ya Rabb.” Panjatnya merasa telah melakukan hal yang salah.

Khoiron membersihkan dirinya. Pada sepertiga malam menuju datangnya waktu subuh, pria itu tak pernah melelapkan diri. Ia menghabiskan penantiannya untuk menghadap Sang Pencipta dengan lantunan ayat suci. Sampai waktu itu tiba, Khoiron sama sekali tidak beranjak dari sajadahnya. Barulah ketika adzan subuh berkumandang, ia bergegas menuju masjid bersama ayahanda dan kakeknya.

“Abi dengar dari Umi, Tatiana tadi pukul kamu, Le?

Kyai Dahlan, beliau mengulum senyumnya ketika sang putra bertanya kepada cucu kesayangannya. Ia menyimak sembari meneruskan langkah kecilnya yang dibantu dengan tongkat.

Sejak melihat wajah santri baru yang dititipkan kepada keluarganya, Kyai Dahlan menaruh minat hingga memperhatikan gadis itu. Melihatnya membuat ia teringat akan Khoiron. Ada kilasan yang dirinya lihat dan kilasan tersebut memang bersinggungan dengan sang cucu.

Njih, Bi. Mbak Tatiana sepertinya masih marah kaleh kulo,” jawab Khoiron membenarkan.

“Kalau bisa dihindari, Le. Jangan dibuat marah. Minta maaf saja biar hatinya Tatiana adem. Abi nantinya ingin kamu ikut membimbing dia, Cah Bagus,” pinta Kyai Sholeh, ingin menitipkan Tatiana kepada putra sulungnya.

Nyuwun ngapuro itu ndak mesti harus melakukan kesalahan. Kalau tujuannya baik, mengalah memang menjadi jalan yang harus ditempuh, Khoiron.”

Khoiron menatap Kyai Dahlan. Pria itu berhenti berjalan, memberikan anggukan atas permintaan kakeknya.

“Dibantu dia. Kalau kamu berhasil, Insha Allah, pahalamu berlipat, Le.”

Khoiron akan mengingat amanah abi dan kakeknya. Ketika dua lelaki tersayangnya membuka mulut, itu tandanya kebaikan telah menyertainya. Tidak sekali pun yang mereka ucapkan menjerumuskannya pada kemudaratan. Keduanya selalu menyertakan berkah untuk dirinya.

Wis, ayo,” ajak Kyai Dahlan. “Gus, kamu imami subuhan kali ini ya,” tutupnya meminta Khoiron mengambil alih tugasnya.

*

“Bu Nyai, wonten nopo nggih kulo dipanggil ke ndalem?”

Seorang santriwati menghadap kepada Aisyah. Perempuan muda itu tak berani mengangkat kepalanya ketika berhadapan dengan istri Kyainya.

“Lia, Bu Nyai mau minta tolong, ini Tatiana. Teman baru kalian.”

Santriwati bernama Lia itu mengangkat kepalanya, memandang sosok yang namanya baru saja disebutkan. Ia tersenyum sembari menganggukkan kepalanya kecil, “saya Lia, Mbak,” ucapnya memperkenalkan diri.

“Tatiana.”

“Salam kenal Mbak Tatik,” ulang Lia, menyapa Tatiana.

Mendengar nama indahnya berubah menjadi panggilan gadis kampung, seperti biasa, mulut tanpa rem Tatiana melayangkan kata mutiara andalan. Seekor hewan peliharaan yang kerap dijadikan penjaga rumah lolos dari bibir ranumnya.

“Tatiana!”

“Um-Umi,” gagap Tatiana. “Tiana nggak sengaja. Dia yang mulai duluan,” rengeknya. Masa hukuman karena war-nya dengan anak Nyai-Nyai di depannya saja belum ia kerjakan. Sekarang ia malah kembali kelepasan.

‘Umi?’ batin Lia, memikirkan panggilan yang teman satu jawatnya sebutkan untuk memanggil Aisyah. Di pondok pesantren Al Hidayah, hanya keluarga yang memanggil perempuan ayu itu dengan sebutan Umi. Semua santriwan dan santriwati memanggilnya dengan panggilan Bu Nyai— mengingat perempuan itu merupakan istri dari Kyai mereka.

‘Apa kerabat jauhnya Bu Nyai, ya?’ pikirnya, ingin tahu.

“Umi loloskan untuk yang ini,” Aisyah menghela napasnya. Seperti kata suaminya, ia tidak boleh terlalu keras mendidik Tatiana. Anak itu harus diajarkan dengan segenap kasih sayang, dianggap anak sendiri agar merasa nyaman dan ikhlas menapaki kehidupan barunya.

“Jadi lupa kan Umi,” decak Aisyah, lalu mengembalikan atensinya kepada santrinya. “Lia, Tatiana sedang Bu Nyai hukum. Tolong kamu temani karena Zahra sekolah. Dilihatin saja. Kamu nggak sedang sibuk kan, Nduk?

Mboten Bu Nyai, kebetulan saya sudah setor hafalan ke Ustadzah. Sedang libur kuliah juga.”

Kuliah?!

Tatiana menunduk. Ia jadi rindu Brandon dan teman-temannya yang lain.

“Kenapa, Nduk?” tanya Aisyah peka terhadap perubahan Tatiana. “Sudah to, jangan sedih terus. Kenalan sama Lia. Dia setiap hari ke ndalem bantu-bantu Umi. Jadi kalau Zahra sekolah, kamu masih ada temennya.”

‘Lia bisa gue sogok nggak ya? Biar gue bisa nyebat? Ngutang dulu ampe setahun ntar gue bayar,’ pemikiran licik itu bersarang usai Tatiana teringat akan nasib bungkusan rokok-rokoknya.

Oh, pemilik semesta alam. Mulut gue kecut, paru-paru gue nggak smile— Tatiana memejamkan matanya, kedua tangannya terentang ke depan. Dadanya membusung tinggi, “nyebaattt!!” Tuturnya, tidak dalam hati.

Hal tersebut membuat Aisyah geram. Ibunda Khoiron itu menarik daun telinga Tatiana dari luar jilbabnya. “Ada-Ada saja kamu, Tatiana! Sudah! Umi aja yang jagain kamu langsung,” ia menyeret Tatiana, diikuti oleh Lia dibelakangnya.

“Umi sakit, Umi! Aw, lepasin jewerannya!!” Terkutuk Anjing! Mama nggak pernah begini!

Apa yang Aisyah lakukan sukses menarik perhatian santri-santrinya. Seperti Lia, mereka berbisik-bisik menanyakan siapa gerangan yang Aisyah tarik telinganya. Mengapa gadis itu sampai bisa memanggil Ibu Nyai mereka dengan sebutan Umi.

“Umi, ini kenapa Tatiana dieret-eret begini?” Kyai Sholeh dan rombongan menghadang jalan sang istri. Beliau menanyakan sebab sang istri menjewer Tatiana.

“Abi..”

Abi?

Bisik-Bisik tersebut semakin keras terdengar. Tidak hanya kepada Bu Nyai, namun kepada Pak Kyai pun panggilan itu berbeda.

“Habis mengumpat lagi, Nduk?” Kyai Sholeh bertanya penuh kelembutan. Ia membelai puncak kepala Tatiana yang terlapisi jilbab.

“Nggak Abi!”

“Terus kenapa, hem?

“Lebih parah, Bi. Umi nggak bisa cerita disini. Nanti saja dirumah,” sela Aisyah. Ia tidak mungkin mempermalukan Tatiana dengan menceritakan jika gadis itu merokok. “Sekarang biar Umi hukum dulu, Tatiananya.”

“Bi nggak mau bersihin toilet. Tiana nggak bisa! Nanti muntah,” ia memasang raut wajah memelas. Tatiana yakin Kyai Sholeh akan iba padanya. Tolonglah, adakan keajaiban. Membersihkan kamar saja ia memiliki pembantu di rumah. Kenapa di pesantren ia malah mendapatkan training untuk menjadi babu anyaran?

Katanya belajar ngaji, wey?!

Kyai Dahlan mendekat, ia melakukan hal yang sama pada kepala Tatiana, “Mbah ganti hukumannya, Nduk. Hafalan surah-surah sama Khoiron ya. Gimana?”

Petir dan halilintar menyambar diri Tatiana. Ditengah teriknya panas matahari pagi, Tatiana merasakan kobaran api yang membakar tubuhnya.

“Bersihin kamar mandi aja, Mbah,” pilih Tatiana mantap. Ia lebih rela disebut sebagai babu semok-semlohay dibanding mati berdiri karena kesal dengan anak teman papanya. “Umi,” Tatiana meraih lengan Aisyah, “ayo Umi! Kita bikin cling toiletnya.”

Kyai Dahlan tertawa— sebuah pemandangan yang hampir jarang dinikmati khalayak umum. Pria paruh baya itu sampai mengetuk-ngetukan tongkatnya ke tanah.

Mpun Aisyah, dibawa masuk ke ndalem lagi cucuku. Mosok ayu-ayu dikon ngosek WC. Dihukum berdiri saja satu kaki, sambil hafalan. Abah yang jagain bareng Khoiron.”

‘Dia lagi,’ bibir Tatiana mengerucut. Mengapa semuanya serba manusia muna-puck itu? Apakah ia sedang terkena kutukan?

Bagaimana caranya untuk melepaskan diri jika ia memang benar-benar dikutuk?!

“Hahaha, Cah Ayu. Nggak ada yang mengutuk.”

Selorohan Kyai Dahlan membuat diri Tatiana terperanjat. Gadis itu mematung dengan saraf-saraf tubuhnya yang tegang. ‘Mbahnya bisa baca pikiran gue, Anjrot!’ Sadar telah berkata-kata kurang ajar, Tatiana menampar mulutnya secara mandiri.

Tawa Kyai Dahlan meledak lagi— membuat keluarga intinya tersenyum senang. Kedatangan Tatiana di rumah mereka, meredakan lara di hati sang Kyai besar karena kepulangan istrinya ke pangkuan Sang Khalik.

*

“Nggak bisa Surah Al Ikhlas?”

Kyai Dahlan memukul meja di depan Khoiron dengan tongkat bambu yang dirinya genggam. “Khoiron,” tegurnya. “Memang kenapa kalau Tatiana belum bisa? Sudah menjadi tugas kita mengajari sampai dia hafal,” timpalnya sebelum memalingkan wajah, “jangan dimasukan ke hati ya, Nduk. Nanti biar Khoiron, Mbah yang marahi.”

Tatiana mengacungkan 2 ibu jarinya. Ia bahagia karena memiliki antek-antek terkuat di bumi. Hidupnya sepertinya tidak akan terlalu menderita di pondok pesantren. Ia mempunyai Kyai Sholeh dan Kyai Dahlan dibelakangnya.

Backingan gue nggak maen-maen ya! Mantabs jiwa!’ Kikiknya.

Paringi contoh, Khoir. Putu wedok ku ndak boleh dihukum lebih dari angkat kaki. Mbah mau masuk dulu,” amanatnya lalu menarik diri.

“Angkat lagi kaki kamu, Mbak Tatiana! Hafalan dulu baru bisa diturunkan!”

Rasengan Tatiana kirimkan melalui pelototan matanya. “Siapa lo?” bentaknya menantang Khoiron. Di rumah yang ia tempati sekarang, Tatiana hanya akan menurut pada 3 manusia.

Pertama, Kyai Sholeh.

Kedua, Umi Aisyah,

Terakhir, Kyai Dahlan. Selebihnya tak boleh mengaturnya.

“Haruskah saya memanggil Mbah Yai agar kembali ke sini?” tantang Khoiron balik.

Tatiana mengacakkan lengannya dipinggang, “nantangin ya lo,” berangnya sembari melangkah lebar.

Khoiron pun memasang kuda-kudanya. Ia sudah siap berlari, mengamankan diri jika seandainya Tatiana ingin menyentuh tubuhnya. “Mbak, tolong jangan mendekat,” halaunya menjulurkan tangannya.

Khoiron panik. Ia langsung menyambar sebuah buku, menjulur-julurkannya ke arah Tatiana. “Demi Allah, Mbak. Jangan! Kita tidak boleh bersentuhan,” terdapat getar dalam suaranya dan itu membangkitkan setan-setan di dalam diri Tatiana.

Iblis yang bersemayam itu melahirkan seringaian di wajah cantik Tatiana. Roket kejahilan terpasang untuk lepas landas. Khoiron dimatanya tampak seperti anak ayam yang akan disembelih. Tatiana suka sekali melihatnya.

Akhirnya! Dendam kesumat itu bisa dicicil pelunasannya.

“Muehehehe..”

Tatiana si atlet lompat jauh dadakan, menyingsingkan gamisnya sebatas paha. Gadis itu melompat tepat dihadapan Khoiron, membuat sang pejantan jatuh terduduk bersandarkan tembok ditengah ketidakberdayaannya.

“Abis ini mandi besar lo, Bosque! Gue akan mengotorimu wahai manusia sok suci!!” Tatiana memenjara kedua pipi Khoiron. Menangkupnya erat-erat, memastikan buruannya tidak akan terlepas.

“Ya Allah, Ya Allah,” tukas Khoiron berulang kali mengingat Sang Maha Kuasa. Matanya terpejam dengan bibir dikulum.

“MUAAAACHHH!!”

“Allahuakbar!! Tatiana, Khoiron! Apa yang sedang kalian lakukan?!”

Tatiana yang kaget tak dapat menahan bobot tubuhnya. Gadis itu terjatuh ke atas pangkuan Khoiron.

“Abi ada ap… ASTAGFIRULLAH! KALIAN!”– itu suara Aisyah. Disusul dengan perintah tegas Kyai Dahlan yang menyusul setelah dirinya, “nikahkan mereka berdua!”

“Anying! Nggak mau!!”

“TATIANA!!!” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status