Beranda / Romansa / Gus! I Lap Yuh! / [3] Hukuman Menanti..

Share

[3] Hukuman Menanti..

Penulis: qeynov
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Menyaksikan bagaimana perilaku dan lugasnya Tatiana dalam mengumpat, Kyai Sholeh telah memutuskan hal besar. Pria itu akan membimbing Tatiana secara privat bersama keluarganya, sebelum melepaskan Tatiana pada khalayak umum, ke tengah-tengah para santrinya.

Hal tersebut turut Kyai Sholeh beritakan kepada Januar. Dengan dalih demi kebaikan Tatiana sendiri, ia meminta restu papa Tatiana. Mengharapkan ridho pria itu selagi dirinya memberikan keistimewaan.

Beruntung Januar dapat mengerti keputusannya. Laki-laki yang sedang menempuh perjalanan kembali ke Jakarta itu secara penuh memasrahkan putrinya ke tangan Kyai Sholeh. Apa pun yang sekiranya baik untuk sang putri, ia menyertakan izinnya tanpa harus dipertanyakan kepadanya.

“Alhamdulillah kalau begitu Mas Janu. Untuk sementara, Tatiana akan tinggal di ndalem bersama saya dan keluarga. Untuk sementara, biarkan kami yang menangani Tatiana.” Ucap Kyai Sholeh ditengah-tengah sambungan teleponnya.

Nggih, Mas Sholeh. Pangapunten kalau saya merepotkan Mas dan keluarga.”

Mboten, Mas. Saestu, mboten merepotkan,” balas Kyai Sholeh karena memang tak merasa direpotkan, dititipi Tatiana oleh temannya. Ia senang karena dirinya masih diingat. Dengan begitu, silaturahmi mereka tak lagi terputus oleh jarak.

Nggih sampun, Mas. Itu saja. Mas Janu dan rombongan hati-hati nggih, berkabar kalau sudah sampai di rumah. Assalamualaikum,” pesan Kyai Sholeh sebelum memutus sambungan teleponnya. Pria dengan peci putih dikepala itu meletakkan ponselnya ke atas meja. “Nduk, bagaimana Zahra?” tanya-nya kepada sang putri yang menduduki sofa keluarga disebelahnya.

Setelah mengamuk dan mencoba menyerang putranya— Khoiron, Tatiana menangis, mengingat akan betapa tega sahabatnya yang merupakan ayah gadis itu.

Lama Tatiana dan Khoiron saling kejar. Gadis itu lantas dibawa ke kamar pribadi putrinya untuk ditenangkan.

“Tidur, Bi. Sepertinya kelelahan,” jawab Zahra. “Jadinya Mbak Tatiana di sini dulu ya, Bi?”

“Iya, Nduk. Takutnya nanti para santri mengadu ke orang tuanya. Kita juga yang repot, Nduk,” papar Kyai Sholeh. “Ditatar dulu bahasanya ya, sama sekalian nanti kita tanya, sudah sejauh apa Tatiananya bisa ngaji. Kalau turun ke asrama, yang lain hafalan, dianya nggak kan, jadi buah bibir. Kasihan Tatiananya.”

“Umi sampun ngertos, Bi?”

Kyai Sholeh menggelengkan kepalanya. Pria bersahaja itu melepaskan peci dari kepalanya. “Biar jadi urusan Abi. Insha Allah, Umi nggak akan keberatan. Sedikit spot jantung saja nanti pasti,” kelakarnya membuat sang putri tertawa.

Zahra sendiri tidak bisa membayangkan, akan jadi seperti apa Tatiana ketika berhadapan dengan ibunya. “Mbak Tatiananya kuat mental nggak ya, Bi?”

“Loh, ya itu, sepertinya kuat sih,” ujarnya dengan kekehan. Kyai Sholeh juga menanti bagaimana respon istrinya. Kebetulan bersama abah dan ayah mertuanya, perempuan kesayangan setelah almarhum uminya itu tengah pergi.

“Habis Mbak Tatiana ditatar Umi, Bi, hehehe..”

“Dibantu ya, Nduk, Mbaknya. Amanah untuk kita dia. Nanti setengah jam lagi dibangunkan untuk sholat. Kamu bimbim dia,” pinta Kyai Sholeh. “Pelan-Pelan saja. Nggak usah memaksa dia. Abi yakin kamu bisa, Nduk.”

“Serahkan sama Zahra, Bi. Kalau untuk belajar sholat sama ngaji, Zahra bisa. Urusan lain biar Mas, nanti Zahra temani kalau sempat.”

“Ya harus sempat. Mereka bukan mahrom, tidak baik hanya berdua-dua saja. Nanti ada setan menggoda,” peringat Kyai Sholeh agar putrinya senantiasa menjaga kakak dan tamunya. “Minta santri atau sepupu kamu kalau sedang berhalangan membantu.”

Nggih, paham, Bi.”

Setengah jam kemudian, Zahra benar-benar menjalankan perintah Kyai Sholeh. Gadis cantik itu membangunkan Tatiana dari lelapnya.

“Mbak, bangun. Mendekati waktu magrib.”

“Berisik! Ganggu aja lo, Njing!!” Bentak Tatiana lalu mengubah posisi tidurnya.

‘Astagfirullah,’ Zahra mengusap dadanya, beristighfar di dalam hati. Sudah benar tamunya diasuh di ndalem. “Mbak Tatiana,” ulangnya kembali mencoba peruntungan.

“Apaan sih! Gue ngan.. Eh, loh! Lo siapa?” Tatiana menemui setengah kesadarannya. Kelopak matanya mengerjap menatap Zahra, sebelum bertraveling mengabsen seluruh isi kamar yang dirinya tempati.

“Bukan kamar gue,” gumamnya.

“Saya Zahra, Mbak. Anaknya Pak Sholeh, temannya Papa Mbak Zahra.”

Barulah setelah itu Tatiana menjerit, “huwaaa!! Ternyata bukan mimpi! Gue beneran dibuang ke pesantren! Omaaa!!! Cepetan bangkit dari kubur, Omaa!!”

Suara Tatiana yang menggelar membuat Aisyah— Istri Kyai Sholeh memasuki kamar putrinya. “Ya Allah, ada apa ini? Kok teriak-teriak, Nak?” Songsongnya, menanyakan apa yang telah terjadi. Wanita yang sudah diberitahu oleh suaminya tersebut mendekati ranjang, tempat dimana tamunya masih betah merebahkan diri.

“Nak Tatiana, ayo bangun! Mandi sekarang,” ia menepuk lengan Tatiana. “Dibantu Mbaknya berdiri, Zahra!” Perintahnya tegas kepada sang putri.

“Weh! Apaan ini, Ra! Zahra!”

“Mbak, saya nggak berani ngelawan Umi. Maaf ya,” lirihnya ketika membangunkan tubuh Tatiana secara paksa. “Mbak Tatiana nurut aja. Nanti malah diceramahin Umi sampai subuh,” gadis itu berucap pelan agar uminya tidak mendengar informasi yang dirinya bagikan.

“Umi?” Beo Tatiana, mengarahkan wajahnya untuk melihat wanita yang Zahra sebut sebagai umi. “Ibu lo, maksudnya? Bininya Kyai Sholeh?”

“Iya!” Sela Aisyah. “Sekarang jadi Umi kamu juga. Cepat bangun! Apa Zahra tidak memberitahu kalau tidur selepas Ashar itu tidak baik?”

“Maaf Umi, Zahra nggak tega. Mbak Tatiana kelihatan lelah sekali,” cicit Zahra menyampaikan argumentasinya mengapa santri mereka bisa terlelap saat sore hari.

“Ya kan saya ngantuk,” terang Tatiana, terdengar seperti tengah melawan Aisyah. Gadis itu memang tengah berusaha membela Zahra. “Nggak baik lagi kalau saya tetep melek ya, Tante! Saya cosplay jadi reog ntar!”

“Mau Tantenya saya makan?!” tanyanya dengan mata membola.

“Nak Tatiana yang saya makan hidup-hidup! Jangan membantah lagi, masuk ke kamar mandi! Jangan lupa ambil wudhu sekalian. Setelah Umi sholat, Umi akan lihat, Nak Tatiana bisa sholat atau tidak.”

“Wah, Anjing! Gue diejek nggak bisa sholat!” Padahal kenyataannya Tatiana memang tidak bisa. Di sekolahnya tidak pernah ada tugas mengenai sholat. Maklum ia bersekolah di Yayasan Katolik. Seruan misa biasanya yang ada, itu pun untuk yang beragama non muslim.

“ASTAGFIRULLAHALADZIM! Kamu baru saja mengumpati Umi? Menyamakan Umi dengan hewan, Nak Tatiana?!”

“Umi, sabar, Umi,” Zahra memegang lengan Aisyah. “Abi bilang pelan-pelan,” ia mengingatnya uminya supaya lebih sabar lagi menghadapi Tatiana.

Aisyah menarik napasnya dalam. Sama seperti Tatiana, ia dulu pun tidak berasal dari lingkungan pesantren. Dirinya jatuh cinta pada anak seorang Kyai hingga membuatnya memperdalam agamanya. Perbedaannya dengan Tatiana, ia sukarela belajar dan tinggal di lingkungan pondok, tidak seperti gadis itu yang masih mereka diasingkan.

“Nak Tatiana,” panggil Aisyah lembut, “seorang gadis tidak baik mengumpat. Setiap kata yang keluar dari lisan kita, suatu hari akan dimintai pertanggung jawaban, Nak. Kamu harus belajar menjaganya sekarang atau kalau tidak…”

Perasaan Tatiana mendadak tidak enak. Jantungnya berdebar sangat keras sekali. Terlebih wanita yang Zahra panggil dengan sebutan umi tersebut sengaja menggantung kata-katanya.

“Umi akan menghukum kamu membersihkan setiap toilet di pesantren ini.”

What the..”

“Dimulai dari detik ini,” serobot Aisyah, memotong umpatan yang sebentar lagi akan diterimanya.

Cara tersebut rupanya cukup ampuh. Aisyah tersenyum kala Tatiana membekap bibirnya. Hal tersebut membuatnya tersenyum. Sepertinya tidak akan sulit mengubah si bar-bar, anak teman suaminya. Tatiana cukup takut hidup ditengah kesulitan.

Sepanjang ber-wudhu, Tatiana tak henti-hentinya mengumpat di dalam hati. Ia selalu lupa urutan sampai-sampai dimarahi oleh Aisyah. Perempuan yang tampak sebaya dengan mamanya itu sungguh membuat emosinya meroket. Meski begitu ia tak dapat meluapkan kekesalannya. Tatiana tidak ingin dihukum. Ancaman Umi Zahra sepertinya akan benar-benar dijalankan jika ia berkata kasar.

“Ulang lagi, kamu lihat bagaimana Zahra wudhu.”

Sudah sampai pada tahap membasuh kening dan Tatiana gagal lagi. Proses itu terlewat karena Tatiana langsung membasahi daun telinganya.

“Contohkan Zahra. Umi pantau!!”

Usai perkara mensucikan diri selesai, Aisyah menanyakan seputar bacaan-bacaan apa saja yang harus Tatiana baca ketika sholat. Pertanyaan ini ditujukan untuk melihat seberapa jauh pengetahuan Tatiana akan gerakan-gerakan dalam ibadah wajib tersebut.

Jawabannya tentu saja— buta bacaan serta gerakan sholat. Aisyah dibuat memejamkan matanya, untuk menenangkan gemuruh di hatinya.

“Nggak apa-apa, Nak Tatiana. Umi akan ajari kamu sampai bisa,” cakap Aisyah.

‘Nggak mau, huweee!! Ribet banget dah!’ Jerit hati Tatiana, membatin. Belum genap satu hari ia sudah merasa tidak sanggup. Ia rindu kehidupannya di Jakarta. Disana ia tidak perlu susah-susah untuk belajar sholat. Orang tuanya tak pernah memaksa seperti Umi Zahra.

“Kita tunggu para laki-laki selesai jamaah, setelah itu kita makan. Zahra akan peragakan gerakan-gerakan sholat, sekaligus mencontohkan surat-surat pendek yang mudah dihafalkan.” Kilat dimata Aisyah membuat Tatiana mereguk hambar salivanya.

Adakah cara untuk kabur dari pesantren?!

*

Nasi yang Tatiana telan seakan terasa seperti jarum-jarum tak kasat mata yang melukai kerongkongannya. Tatiana rindu mamanya. Ia ingin mendengar mamanya mengomel karena ia makan terlalu sedikit, atau menyaksikan papa dan mamanya saling melempar kemesraan di meja makan.

Makan malam yang dirinya lalui sekarang sungguh berbeda. Tak ada suara selain denting sendok yang mungkin tak sengaja beradu dengan piring. Bahkan dalam keramaian anggota keluarga teman papanya, Tatiana merasakan apa itu yang dinamakan kesepian.

Kehampaan itu memeluk relung hatinya. Kunyahan dalam mulutnya semakin memelan dan butir demi butir air mata keluar dari sudut-sudut matanya. Tatiana kemudian terisak.

“Mama,” ucapnya tak jelas. Tangannya yang kecil mencoba menghapus deraian air matanya. “Papa,” kali ini ia memanggil Januar.

Aisyah yang melihat itu meletakan peralatan makannya. Wanita itu meninggalkan kursi makan. Merengkuh tubuh Tatiana. Ia dekap kepala Tatiana, “ada Umi, Nak. Tatiana punya Umi di sini. Jangan sedih lagi,” ungkapnya seakan tahu apa yang membuat Tatiana menangis.

“Sudah ya.. Nanti cantiknya hilang.”

Pembelajaran sholat yang sejatinya akan dilakukan setelah makan malam tak jadi dilakukan. Aisyah mengerti kondisi Tatiana. Istri Kyai Sholeh itu menundanya, menetapkan hari esok selepas sarapan. Tatiana lalu diminta untuk beristirahat supaya dapat menyerap pembelajaran besok pagi.

Nahasnya, untuk sekedar menutup kedua matanya saja Tatiana tak bisa. Rutinitas hariannya terbiasa dimulai usai matahari terbenam. Ia termasuk ke dalam golongan nokturnal, bedanya setiap pagi di hari kerja, ada mata kuliah yang harus ia hadiri ke kampus.

“Zahra udah molor, bisa kali nyebat.”

Tatiana mengambil tas miliknya. Ia berjalan mengendap, berharap aksinya tak ketahuan Zahra. Rasa mulutnya sudah asam. Ia membutuhkan nikotin untuk menormalkan enzim-enzim dimulutnya.

Gadis itu keluar dengan tak mengenakan hijabnya. Ia berpikir jika seluruh penghuni rumah sudah melanglang buana menuju mimpi mereka.

“Aman nih kayaknya,” pekiknya senang karena tak menemukan adanya tanda-tanda kehidupan. Tatiana semakin percaya diri jika misi merokoknya akan berhasil. Untung saja sewaktu berpesta terakhir kali ia sempat membeli tiga bungkus rokok. Orang tuanya juga tak merampas tasnya. Keberuntungan memihaknya.

Apakah ia harus menangisi rokoknya yang selamat?

Sepertinya, iya!

Hahahaha!

Bruk!!

“Anjing!” Umpat Tatiana ketika tubuhnya menabrak seseorang. Orang tersebut langsung berpaling, membalikan tubuhnya untuk menghindari Tatiana. Kepalanya menunduk.

“Maaf saya tidak sengaja,” lontar si pria— yang ternyata merupakan anak pemilik rumah, Khoiron. Ia memang terbiasa pulang pada tengah malam, setelah menyelesaikan sholatnya di masjid pondok pesantren.

“Lo lagi, Lo lagi!” Tatiana mengamuk. Ia menyimpan kekesalan yang begitu mendalam pada sosok dihadapannya. “Sini lo! Gue masih pengen nempeleng pala lo!” Tatiana berusaha meraih lengan Khoiron. Gadis itu mengerang, merasa semakin kesal karena Khoiron menghempaskan tangannya.

“Mbak maaf, jangan sentuh saya. Kita bukan mahrom.”

“Muna banget nih laki, Njrot!” Geram Tatiana. “Hidup dijaman Babik-Lonia ya, lo?”

Tatiana tak menyerah. Satu kali saja. Ia benar-benar ingin memukul anak Kyainya. Ia tak mau mati penasaran nantinya. Jadi sebelum ia berpulang karena penderitaannya hidup di pondok pesantren, Tatiana akan membalaskan dendam kesumatnya.

“Kena nggak lo, Anying! Mampus lo!!” Tania memberikan hadiah-hadiah kecil berupa tonjokan ke punda Khoiron.

Khoiron sama sekali tidak kesakitan, ia terus menghindar bukan karena rasa sakit, melainkan ketakutannya kepada Sang Pencipta. Selama ini ia terus menjaga dirinya dari makhluk yang bukan mahramnya, berharap dapat mengikis dosa-dosa yang ada.

“Buahahaa… Puas gue! Makan nih bogem mentah, Sat!!”

Lampu ruang tamu menyala. Tatiana kontan melepaskan tangannya. Darah ditubuhnya berhenti tiba-tiba, melihat Aisyah berdiri sembari memandangnya lekat.

“Dimana jilbab kamu, Tatiana? dan apa yang kamu lakukan malam-malam begini?!”

Hening, Tatiana tak dapat menjawab pertanyaan itu. Ia justru mendekap erat tasnya. Di dalam otak kecilnya— Tatiana sedang menyelamatkan harta paling berharganya.

“Khoiron, masuk ke dalam kamar!” Titah Aisyah.

Nggih, Umi.” Khoiron berjalan cepat. Ia harus segera meminta ampun kepada Sang Khalik.

“Sebentar,” tahan Aisyah, menghentikan langkah putranya. “Ingatkan Umi besok untuk menghukum Tatiana. Umi mendengar umpatan kasarnya ke kamu tadi.”

The fuck!

Sudahlah! Tamat riwayat Tatiana. Hukuman menantinya besok.

Bab terkait

  • Gus! I Lap Yuh!   [4] Nikahkan Mereka!

    Khoiron, pria itu mengangguk, “baik Umi. Akan Khoir ingatkan besok,” ucapnya sebelum melangkahkan kakinya cepat. Ia sungguh takut jika Tatiana akan menyentuhnya lagi. Selama ini, memandang wanita pun ia tidak berani, kecuali itu keluarga dan mahramnya. Khoiron begitu menjaga dirinya. Menghindari dosa sekecil apa pun untuk mendapatkan keridhoan serta kemurahan hati Sang Ilahi pada kehidupan kekalnya kelak.“Astagfirullah, Ya Allah. Ampunilah dosa-dosa, Hamba. Jauhkanlah Hambamu ini dari hal-hal yang menjerumuskan Hamba pada kemurkaanmu, Ya Rabb.” Panjatnya merasa telah melakukan hal yang salah.Khoiron membersihkan dirinya. Pada sepertiga malam menuju datangnya waktu subuh, pria itu tak pernah melelapkan diri. Ia menghabiskan penantiannya untuk menghadap Sang Pencipta dengan lantunan ayat suci. Sampai waktu itu tiba, Khoiron sama sekali tidak beranjak dari sajadahnya. Barulah ketika adzan subuh berkumandang, ia bergegas menuju masjid bersama ayahanda dan kakeknya.“Abi dengar dari Umi,

  • Gus! I Lap Yuh!   [5] Mati Aja Gue, Nyet!

    “Nggak mau! Tiana nggak mau nikah sama dia!!”Tatiana kabur. Ia mendorong tubuh Aisyah, mencari celah supaya bisa berlari menjauh. Sumpah menikah muda tidak pernah ada di dalam kamus Tatiana. Ia dibuang papanya untuk berguru, mencari kitab suci ke barat, bukannya dipinang dengan bismilah oleh pria yang dirinya benci.“Le! Kok malah dlongop! Dikejar calon istrimu,” sentak Kyai Sholeh melihat keterdiaman putranya.Jujur— Khoiron masih belum dapat mengumpulkan nyawanya. Kesadarannya seakan ditarik naik ke awang-awang, setelah mendapatkan perilaku tidak terpuji santriwati sang ayah. Pria itu mengerjap, mencoba menata puing-puing jiwanya yang berserakan ke segala arah.“Ya Allah,” desah Kyai Sholeh.“Umi, tolong. Minta bantuan ke anak-anak. Tatiana nggak tahu daerah sini, Umi,” kepanikan menjalari Kyai Sholeh. Ia takut hal buruk menimpa Tatiana. Putri sahabatnya itu dititipkan kepadanya, menjadi amanah yang begitu besar untuk dirinya jaga.“Ndak akan jauh, nanti dia papasan dengan Zahra,”

  • Gus! I Lap Yuh!   [6] Gus Mau Lapor Polisi

    Niat Khoiron meminang Tatiana sudah bulat. Ia memang tidak memiliki perasaan apa pun terhadap gadis itu. Mengenalnya pun baru satu hari. Pertemuan-Pertemuan mereka pun tak pernah berjalan baik. Selalu ada ketegangan yang menyertai perjumpaan itu. Sejak awal bertemu, sinar permusuhan bahkan selalu ditampakkan untuk dirinya.Namun sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab, ia harus dapat memperbaiki kesalahan— yah, walau kesalahan tersebut jelas tidak berasal dari dirinya. Tapi dirinya jelas diseret masuk ke dalam lembah dosa yang sama. Kepada perbuatan yang tidak semestinya dilakukan seorang insan yang belum terikat tali pernikahan.“Nak Khoir, saya rasa tidak perlu. Kamu tidak harus mengorbankan diri karena kenakalan putri saya.”Dua jam setelah sahabatnya memberikan kabar mengenai tindakan nekat sang putri, Januar langsung bertolak menuju Semarang. Bersama sang istri, ia pergi menggunakan pesawat dari Jakarta. Melakukan penerbangan singkat lalu dijemput oleh anak sahabatnya di

  • Gus! I Lap Yuh!   [7] Tatiana Mleyot…

    “Makanya jangan aneh-aneh jadi anak! Lagian kamu, Tiana. Anak gadis main sosor aja!”Di kamar tamu yang dijadikan tempat keluarga kecil Tatiana beristirahat, telinga Tatiana tak bisa lolos dari merepetan Januar— sang papa. Gadis itu masih saja dimarahi karena tindakan arogan dan jahilnya kepada anak Kyai Sholeh yang kerap dipanggil ‘Gus,’ di lingkungan pondok pesantren itu.“Khilaf, Pah! Dia sih gegayaan nggak mau dipegang! Tiana kan jadi pengen ngerjain.”“Nah, sekarang nikmatin hasil dari kejahilan kamu,” sambung Soraya.Kedua orang tua Tatiana terpaksa menerima pinangan Kyai Sholeh untuk putranya. Mereka tak dapat berbuat apa-apa ketika ancaman penjara membayangi diri putri kesayangan mereka.“Tahu dia bakal ngacau begini, nggak Papa pesantrenin, Mah,” desah Januar meraup wajah tampannya. Pria berusia empat puluhan itu memandang putrinya lalu menarik telinga anak itu, “ya Allah, Nak! Kamu yang Papa harap bisa berubah, malah makin-makin di sini!”“Pah sakit, Pah!” Erang Tiana membua

  • Gus! I Lap Yuh!   [8] Back to Sesat Mode

    Khoiron membaringkan tubuh Tatiana ke atas pembaringannya. Sebuah ranjang yang tak bisa dikatakan lebar sebab ia berdiam hanya seorang. Tangannya menyentuh pinggiran niqab yang Tatiana kenakan. Berniat melepaskan kain berwarna hitam itu agar tak mengganggu jalannya pernapasan sang istri yang pingsan.Tatiana— gadis yang berada di hadapannya bernama Tatiana Sujatmiko. Nama yang ia ikrarkan dihadapan kakek, abi dan ayah mertuanya. Nama yang ia lantunkan untuk menjadi pendamping hidupnya agar dapat menyempurnakan ibadahnya terhadap Sang Khalik.Persis seperti apa yang adiknya ceritakan, parasnya begitu rupawan. Garis wajahnya kecil dengan dagu meruncing. Bulu matanya lentik. Hidungnya mancung dan kedua bibirnya yang kerap ia dengar mengumpat, ternyata begitu tipis.“MasyaAllah, sungguh indah ciptaan Mu, ya Rabb.”Selain umi dan adiknya, Khoiron tak pernah memuji sosok lain. Mata dan hatinya terjaga, menginginkan keindahan yang dapat ia reguk ketika itu halal baginya.Seperti sekarang con

  • Gus! I Lap Yuh!   [9] Tatiana Menantang Gus

    ‘Jakarta, I’m coming!’Uh— siapa sangka estimasi pembuangan yang dirancang satu tahun, ternyata hanya terjadi beberapa hari saja. Hohohoho! Nikmat Tuhan mana lagi yang ingin Tatiana dustakan. Pernikahan dadakan dengan anak pemilik pesantren menjadi dua hal berbeda.Disatu sisi, Tatiana mengamuk karena dipaksa melepas masa lajangnya, akan tetapi disisi lain, ia harus berpesta guna merayakan kebebasannya dari tempat pengungsian. Penderitaannya telah berakhir. Tidak akan ada lagi manusia yang memintanya menghafalkan doa-doa untuk sholat.Pria itu— Khoiron, akan berada di daerah kekuasaannya. Dia pasti tidak akan bisa menyengsarakan, karena sebaliknya, dirinyalah yang akan melakukan hal tersebut agar Khoiron tak betah tinggal di Jakarta.“Mantunya Abi mukanya senang sekali. Nggak sabar ya pengen pulang ke kota?”Tatiana menganggukkan kepalanya dengan semangat. Ia benar-benar sudah tidak sabar. Setelah sampai nanti, ia ingin berkunjung ke rumah sahabatnya. Mengincar beberapa tulang di tubu

  • Gus! I Lap Yuh!   [10] Go Away from Meeeh!!

    “Kamu nggak bisa lari, Dek!”Khoiron menutup pintu belakang mobilnya sebelum berlari kencang mengejar Tatiana. Tanpa ba-bi-bu, pria itu mengangkat tubuh sang istri, memanggul layaknya gadis itu karung berisikan butiran beras-beras.“ANJING! Woi! Turunin gue!!” Jerit Tatiana memukuli punggung Khoiron. Kepalanya langsung pusing karena dijungkir-balikkan.“Toloooong!! Gue diculik Om-Om mesum!!” Teriak Tatiana meminta bantuan. “Isilop!!! 911!! Brandoooon!! Sembooooh!!”“Om Botaaaakkk!!!” Semua orang Tatiana panggil, termasuk si pemilik acara tutup pintu.Khoiron menggelengkan kepalanya. Pria itu tidak takut sekali pun orang-orang mulai mendatanginya. “Istri saya, Pak, Bu,” jelasnya mencoba menyakinkan mereka.“Bohong! Gue bukan istrinya!” bukan Tatiana namanya jika menyerah begitu saja. Ia tidak akan membiarkan Khoiron menang. Lagipula tidak ada bukti yang menunjukan mereka telah menikah. “Papa! Mama! Tolongin Tiana! Ada orang jahat!!”“Mas! Jangan bohong! Mbaknya bilang bukan istri Mas!”

  • Gus! I Lap Yuh!   [11] Menghukum Tatiana

    Berniat ingin membangunkan Tatiana, Khoiron justru dibuat terkejut. Pria itu sampai memegangi dadanya karena istrinya tiba-tiba saja terduduk.“Hiyaa!!!”Tatiana mengubah posisinya, merangkak menaiki kepala ranjang. “Kenapa lo ada disini? Gue udah kabur kayak babi ngepet,” seingatnya ia sudah berlari tunggang-langgang untuk menghindari kejaran Khoiron. Memasuki hutan belantara. Menyebrangi lautan bahkan memanjat Burj Khalifa.Mengapa ia masih melihat wajah Khoiron yang datar seperti papan triplek di hadapannya?Mata Tatiana mengedar. Ia merasa familiar dengan ruangan yang ditempatinya sekarang. Perasaan ia sedang melompat ke atas helikopter karena Khoiron memiliki sayap layaknya capung. Menghindari kejaran pria itu sampai tunggangannya oleng ke laut merah.“Eh, loh, ini kamar gue,” gumamnya pelan, melihat satu per satu perabotan yang ada. Otaknya masih sangat waras. Ia tak menderita amnesia walau beberapa kali jatuh bangun dalam pelariannya. “Weh, sakti banget gue ternyata,” ucapnya b

Bab terbaru

  • Gus! I Lap Yuh!   [69] Annyeong, Calon Adik Ipar!

    “Biar gue aja yang ngomong ke Nando. Lo tau beres aja, Ti.”“Ashiaap!” jawab Tatiana, melengkingkan nadanya. Ia akan menyiapkan gendang telinganya baik-baik, memastikan jika otak cerdiknya dapat memahami setiap kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya.Mari kita lihat, bagaimana cara Brandon menjaga Zahra. Apa yang akan sahabatnya katakan pada Nando— Kakak tingkat sekaligus Ketua BEM Universitas mereka. Setahu Tatiana keduanya memang saling mengenal. Beberapa kali Brandon terlihat mengobrol dengan anak teknik itu saat mereka berada di kelab malam.“Gue mau ketemu Nando. Lima menit.” Ucap Brandon pada sekelompok anak BEM yang menjadi panitia ospek. “Masih di sini kan dia?”“Siapa yang nyariin gue?”Suara maskulin Brandon rupanya terdengar sampai ke dalam ruangan. Keduanya tak perlu bersusah payah melobi para kakak tingkat yang pastinya menyulitkan pergerakan.“What&r

  • Gus! I Lap Yuh!   [68] Wangi Bunga Cinta

    Tragedi ngidam bakso homemade menjadi pelajaran tersendiri untuk Brandon. Pemuda itu tidak akan pernah menerima kebaikan hati suami sahabatnya. Selelah apa pun dirinya, keinginan ia harus melakukan sesuai dengan keinginan Lord Tatiana.Gara-Gara Tatiana, saldo rekening Brandon menjadi sangat mengenaskan.Pemuda itu dihukum tak mendapatkan santunan dari orang tuanya selama satu bulan penuh. Belum lagi ceramahan di setiap sisi yang merusak gendang telinganya. Brandon kapok! Benar-benar kapok.Tatiana adalah sebenar-benarnya trouble maker. Kehamilan perempuan itu mendukung untuk melakukan penindasan terhadap pria-pria lemah. Terutama Brandon dan Khoiron. Sekarang keduanya bagaikan pengikut setia Tatiana. Macam-Macam sedikit, para pelindung Tatiana yang akan turun tangan.Bayangkan saja, sikap un-rasional Tatiana didukung oleh dua generasi sebelumnya. Tiga pasang orang tua dan generasi lainnya adalah Kyai Dahlan&mdash

  • Gus! I Lap Yuh!   [67] When Tatiana Ngidam Pentol [2]

    Menemani Khoiron memasak bakso?Zzz…Air liur Tatiana menjadi saksi dari ucapannya saat melepas kepergian sang suami.Tiga puluh menit wanita itu bergulat dengan antusiasmenya sendiri. Terus berceloteh tentang betapa gentle-nya Khoiron pada adik iparnya. Namun tak berselang tiga puluh menit dari kepergian Khoiron, matanya terpejam untuk mengarungi indahnya alam mimpi.Hal tersebut sampai membuat Zahra terperangah. Pasalnya suara kakak iparnya perlahan-lahan menghilang, tergantikan oleh dengkuran halus.Ternyata, oh, ternyata— wanita cantik yang memiliki usia satu tahun di atasnya itu terlelap.Memastikan jika sang kakak tidak akan asal-asalan dalam memenuhi permintaan ngidam keponakannya, Zahra pun memberitahukan kondisi Tatiana saat ini. Kakaknya memiliki banyak waktu untuk berbelanja sehingga tak perlu terburu-buru.“Selamat bobok, Mbak Tiana, ponakannya Tante. Nanti kalau Papa Khoir udah pulang,

  • Gus! I Lap Yuh!   [66] When Tatiana Ngidam Pentol [1]

    Rasa nyaman Tatiana rasakan saat Khoiron membelai perutnya. Pria itu sedang membacakan sebuah surat dikala Tatiana sibuk menggulirkan layar ponselnya.“Adem banget liatnya ya, Pah. Dulu waktu Mama hamil Tiana, Papa nggak pernah kayak Khoiron.” Ucap Soraya membuat Januar menatap istrinya dengan tatapan bersalah.Januar jelas berbeda dengan menantunya. Pemuda itu diasuh dan diberikan asupan pendidikan agama sedari kecil, sedangkan dirinya hanyalah pemuda salah gaul yang hanya mengerti cara mempertahankan bisnis orang tuanya.“Maaf ya, Mah. Dulu waktu kita baru-baru nikah, Papa masih anak begajulan kayak Brandon.”“Loh! Om! Kok Brandon dibawa-bawa sih!” Potong Brandon cepat, masuk ke dalam pembicaraan. Sedari tadi dirinya anteng membaca buku. Tahu akan diseret pada hal-hal keji dirinya tidak akan menetap usai belajar mengaji bersama abangnya.“Kamu contoh paling deket, Bran.. Masa Papamu?! Papamu mudanya anak

  • Gus! I Lap Yuh!   [65] Mutiara Tersembunyi

    “Mas.. Adek pinjem HP-nya dong.”Selayaknya remaja kebanyakan yang memang suka sekali menunjukkan hasil kemenangannya, Tatiana ingin membuat memberikan hadiah terakhir untuk Mutia. Meski tidak bisa melihat ekspresi dosennya secara langsung, setidaknya ia bisa menambah kekesalan yang ada pada dirinya.“Boleh buat story IG kan, Mas?”Sejak mereka terbang, segelintir ide-ide jahil berhamburan di otaknya. Berhubung mereka masih ada di bandara, Tatiana akan menyematkan lokasi mereka.“Boleh.. Tapi nggak boleh muka Adek, ya.. Takut ain, Sayang.”Tatiana mengangguk. Itulah sebab mengapa media sosial suaminya tidak pernah mengunggah potret siapa pun. Meski memiliki banyak pengikut, media sosial suaminya terkesan seperti akun tanpa awak. Tidak ada postingan selama beberapa waktu ini. Terakhir suaminya mengunggah kata-kata, meminta doa restu atas pernikahan mereka.“Foto bandaranya kok, Mas.”Brandon yang mengerti akal bulus Tatiana menggelengkan kepalanya. Sahabatnya itu pasti ingin mencari ke

  • Gus! I Lap Yuh!   [64] Selamat! Anda Kena Prank!

    “Lifah, kamu liat sendiri kan?! Dua anak itu pinter banget bersilat lidah. Mereka bener-bener manipulatif, Lif.”Khalifa geram— bahkan menggunakan mata telanjang sekali pun, orang lain akan mengetahui siapa sosok yang ciri-cirinya sedang Mutia sebutkan.Plak!“Sadar, Mut! Sing eling jadi manusia!”Tidak pernah Mutia bayangkan sahabatnya akan menampar dirinya. “Fah.. Jangan bilang kamu percaya sama kata-kata mereka?!” Memegangi bekas tamparan Khalifa, Mutia bertanya dengan wajah sarat akan kesedihan.“Kalau aku nggak percaya, bisa kamu sebutin alasan apa yang membuat kamu ngerengek minta diantar ke sini?!”“Penelitian, Fah.. Apa itu nggak cukup?!”“Seperti kataku, Mut. Penelitianmu bahkan nggak menguntungkan pihak yayasan kamu.” Sepertinya disini dirinyalah yang bodoh. Khalifa merasa menjadi manusia dengan otak yang dangkal sekarang. “Kampusmu yayasan katolik, Mutia. Untuk apa mereka menyetujui penelitian tentang perilaku santri?! Ada banyak penelitian yang lebih berkaitan dengan dunia

  • Gus! I Lap Yuh!   [63] Mukanya Tolong Dijelekkin

    “Umi, Tiana mau tunggu Mas Khoir.”“Kamu ini, Nduk. Ya wis.. Zahra temenin Mbak Mu. Umi, Mbah, sama Abi pulang dulu.” Pesan Umi Aisyah sebelum meninggalkan kedua anak perempuannya di pelataran masjid.Abinya sempat mengatakan jika Khoiron sedang berbincang dengan pengurus ponpes di dalam. Tatiana tidak ingin meninggalkan suaminya, seperti Khoiron yang selalu menunggu saat dirinya keluar terlambat.“Duduk aja ya, Mbak. Jangan berdiri terus.” Ujar Zahra. Gadis itu membimbing kakak ipar kesayangannya untuk menduduki kursi tak jauh dari mereka.Kapala Tatiana menangkap sosok yang membantunya. “Kamu sini...” panggilnya membuat segerombolan santriwati menghampirinya.“Dalem, Ning.”“Kamu ke Ndalem ya... Bilang aja ke Umi disuruh saya. Minta di ambilin 5 kotak cake. Terserah Umi yang mana aja gitu.” Ia ingat janjinya, tapi tak bisa segera pulang karena suaminya belum terlihat.“Nggih, Ning Tiana. Ning mari..” Pamit mereka sebelum berlalu.Sepuluh menit Tatiana menunggu dan Khoiron beserta Br

  • Gus! I Lap Yuh!   [62] Interaksi yang Membuat Pelakor Meradang

    “Mbak Lia, hati-hati. Kata temen ku yang tadi tugas di Ndalem, Mbak yang itu pelakor.”“Pelakor?”“Iya, Mbak.. Dia kesini mau godain Gus Khoir katanya.”“Hus,” Lia menyentuh punggung tangan juniornya di pondok, “ndak boleh suudzon,” ucapnya, memperingati agar tidak berpikiran buruk. Bagaimanapun juga, mereka merupakan tamu sang guru.“Serius, Mbak. Dia denger sendiri waktu tamunya ngobrol. Sampai nggak habis pikir loh temen ku.”“Wis-Wis.. Ayo kita ke masjid. Sebentar lagi adzan magrib.” Ajak Lia. Tidak ada yang perlu dirisaukan dari para tamu tersebut. Ia yang pernah mencoba peruntungan dengan tanpa malunya saja tidak berhasil. Gus mereka bukan laki-laki yang mudah digoda. Beliau begitu mencintai Ning Tatiana.Melewati Khalifa dan Mutia, Lia beserta santri lainnya menundukkan kepala. “Amit, Mbak.” Ucap mereka sopan sedikit membungkuk.“Kalian mau shalat di masjid ya?”“Betul, Mbak.” Jawab Lia mewakili adik-adiknya.“Kami boleh bareng?”“Monggo silahkan.”Di depan pagar masjid yang me

  • Gus! I Lap Yuh!   [61] Sorry, Nggak Mempan!

    Mutia— Dosen yang mengampu salah satu mata kuliah Tatiana itu dengan percaya dirinya memperkenalkan diri. “Saya rekan mengajar Pak Khoiron di Jakarta, Pak Kyai, Bu Nyai.”“Oh, begitu.” Umi Aisyah menjadi orang pertama yang menanggapi perkenalan terlambat Mutia. “Dosennya menantu saya juga kan ya?” Beliau mempertanyakan apa yang terlewat untuk diperkenalkan wanita yang menjadi tamunya.“Ben-Benar..”“Wah, kebetulan sekali ini.” Menyematkan senyuman, Umi Aisyah lantas menanyakan bagaimana Tatiana ketika di kampus. Dan sebuah hal tidak terduga justru menjadi jawaban dari mulut Mutia.“Sebelumnya saya ingin meminta maaf, Bu Nyai. Bukan maksud saya menjelek-jelekkan. Saya hanya ingin berterus terang tanpa kebohongan. Kalau ditanyakan bagaimana Tatiana, menantu Bu Nyai cukup bermasalah di kampus. Dia anak nakal.”Tatiana mengepalkan jari-jarinya. Brandon ternganga dan Khoiron sendiri terdiam dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di dalam otaknya. Sedang anggota keluar lain yang mendengar

DMCA.com Protection Status