Menyaksikan bagaimana perilaku dan lugasnya Tatiana dalam mengumpat, Kyai Sholeh telah memutuskan hal besar. Pria itu akan membimbing Tatiana secara privat bersama keluarganya, sebelum melepaskan Tatiana pada khalayak umum, ke tengah-tengah para santrinya.
Hal tersebut turut Kyai Sholeh beritakan kepada Januar. Dengan dalih demi kebaikan Tatiana sendiri, ia meminta restu papa Tatiana. Mengharapkan ridho pria itu selagi dirinya memberikan keistimewaan.
Beruntung Januar dapat mengerti keputusannya. Laki-laki yang sedang menempuh perjalanan kembali ke Jakarta itu secara penuh memasrahkan putrinya ke tangan Kyai Sholeh. Apa pun yang sekiranya baik untuk sang putri, ia menyertakan izinnya tanpa harus dipertanyakan kepadanya.
“Alhamdulillah kalau begitu Mas Janu. Untuk sementara, Tatiana akan tinggal di ndalem bersama saya dan keluarga. Untuk sementara, biarkan kami yang menangani Tatiana.” Ucap Kyai Sholeh ditengah-tengah sambungan teleponnya.
‘Nggih, Mas Sholeh. Pangapunten kalau saya merepotkan Mas dan keluarga.”
“Mboten, Mas. Saestu, mboten merepotkan,” balas Kyai Sholeh karena memang tak merasa direpotkan, dititipi Tatiana oleh temannya. Ia senang karena dirinya masih diingat. Dengan begitu, silaturahmi mereka tak lagi terputus oleh jarak.
“Nggih sampun, Mas. Itu saja. Mas Janu dan rombongan hati-hati nggih, berkabar kalau sudah sampai di rumah. Assalamualaikum,” pesan Kyai Sholeh sebelum memutus sambungan teleponnya. Pria dengan peci putih dikepala itu meletakkan ponselnya ke atas meja. “Nduk, bagaimana Zahra?” tanya-nya kepada sang putri yang menduduki sofa keluarga disebelahnya.
Setelah mengamuk dan mencoba menyerang putranya— Khoiron, Tatiana menangis, mengingat akan betapa tega sahabatnya yang merupakan ayah gadis itu.
Lama Tatiana dan Khoiron saling kejar. Gadis itu lantas dibawa ke kamar pribadi putrinya untuk ditenangkan.
“Tidur, Bi. Sepertinya kelelahan,” jawab Zahra. “Jadinya Mbak Tatiana di sini dulu ya, Bi?”
“Iya, Nduk. Takutnya nanti para santri mengadu ke orang tuanya. Kita juga yang repot, Nduk,” papar Kyai Sholeh. “Ditatar dulu bahasanya ya, sama sekalian nanti kita tanya, sudah sejauh apa Tatiananya bisa ngaji. Kalau turun ke asrama, yang lain hafalan, dianya nggak kan, jadi buah bibir. Kasihan Tatiananya.”
“Umi sampun ngertos, Bi?”
Kyai Sholeh menggelengkan kepalanya. Pria bersahaja itu melepaskan peci dari kepalanya. “Biar jadi urusan Abi. Insha Allah, Umi nggak akan keberatan. Sedikit spot jantung saja nanti pasti,” kelakarnya membuat sang putri tertawa.
Zahra sendiri tidak bisa membayangkan, akan jadi seperti apa Tatiana ketika berhadapan dengan ibunya. “Mbak Tatiananya kuat mental nggak ya, Bi?”
“Loh, ya itu, sepertinya kuat sih,” ujarnya dengan kekehan. Kyai Sholeh juga menanti bagaimana respon istrinya. Kebetulan bersama abah dan ayah mertuanya, perempuan kesayangan setelah almarhum uminya itu tengah pergi.
“Habis Mbak Tatiana ditatar Umi, Bi, hehehe..”
“Dibantu ya, Nduk, Mbaknya. Amanah untuk kita dia. Nanti setengah jam lagi dibangunkan untuk sholat. Kamu bimbim dia,” pinta Kyai Sholeh. “Pelan-Pelan saja. Nggak usah memaksa dia. Abi yakin kamu bisa, Nduk.”
“Serahkan sama Zahra, Bi. Kalau untuk belajar sholat sama ngaji, Zahra bisa. Urusan lain biar Mas, nanti Zahra temani kalau sempat.”
“Ya harus sempat. Mereka bukan mahrom, tidak baik hanya berdua-dua saja. Nanti ada setan menggoda,” peringat Kyai Sholeh agar putrinya senantiasa menjaga kakak dan tamunya. “Minta santri atau sepupu kamu kalau sedang berhalangan membantu.”
“Nggih, paham, Bi.”
Setengah jam kemudian, Zahra benar-benar menjalankan perintah Kyai Sholeh. Gadis cantik itu membangunkan Tatiana dari lelapnya.
“Mbak, bangun. Mendekati waktu magrib.”
“Berisik! Ganggu aja lo, Njing!!” Bentak Tatiana lalu mengubah posisi tidurnya.
‘Astagfirullah,’ Zahra mengusap dadanya, beristighfar di dalam hati. Sudah benar tamunya diasuh di ndalem. “Mbak Tatiana,” ulangnya kembali mencoba peruntungan.
“Apaan sih! Gue ngan.. Eh, loh! Lo siapa?” Tatiana menemui setengah kesadarannya. Kelopak matanya mengerjap menatap Zahra, sebelum bertraveling mengabsen seluruh isi kamar yang dirinya tempati.
“Bukan kamar gue,” gumamnya.
“Saya Zahra, Mbak. Anaknya Pak Sholeh, temannya Papa Mbak Zahra.”
Barulah setelah itu Tatiana menjerit, “huwaaa!! Ternyata bukan mimpi! Gue beneran dibuang ke pesantren! Omaaa!!! Cepetan bangkit dari kubur, Omaa!!”
Suara Tatiana yang menggelar membuat Aisyah— Istri Kyai Sholeh memasuki kamar putrinya. “Ya Allah, ada apa ini? Kok teriak-teriak, Nak?” Songsongnya, menanyakan apa yang telah terjadi. Wanita yang sudah diberitahu oleh suaminya tersebut mendekati ranjang, tempat dimana tamunya masih betah merebahkan diri.
“Nak Tatiana, ayo bangun! Mandi sekarang,” ia menepuk lengan Tatiana. “Dibantu Mbaknya berdiri, Zahra!” Perintahnya tegas kepada sang putri.
“Weh! Apaan ini, Ra! Zahra!”
“Mbak, saya nggak berani ngelawan Umi. Maaf ya,” lirihnya ketika membangunkan tubuh Tatiana secara paksa. “Mbak Tatiana nurut aja. Nanti malah diceramahin Umi sampai subuh,” gadis itu berucap pelan agar uminya tidak mendengar informasi yang dirinya bagikan.
“Umi?” Beo Tatiana, mengarahkan wajahnya untuk melihat wanita yang Zahra sebut sebagai umi. “Ibu lo, maksudnya? Bininya Kyai Sholeh?”
“Iya!” Sela Aisyah. “Sekarang jadi Umi kamu juga. Cepat bangun! Apa Zahra tidak memberitahu kalau tidur selepas Ashar itu tidak baik?”
“Maaf Umi, Zahra nggak tega. Mbak Tatiana kelihatan lelah sekali,” cicit Zahra menyampaikan argumentasinya mengapa santri mereka bisa terlelap saat sore hari.
“Ya kan saya ngantuk,” terang Tatiana, terdengar seperti tengah melawan Aisyah. Gadis itu memang tengah berusaha membela Zahra. “Nggak baik lagi kalau saya tetep melek ya, Tante! Saya cosplay jadi reog ntar!”
“Mau Tantenya saya makan?!” tanyanya dengan mata membola.
“Nak Tatiana yang saya makan hidup-hidup! Jangan membantah lagi, masuk ke kamar mandi! Jangan lupa ambil wudhu sekalian. Setelah Umi sholat, Umi akan lihat, Nak Tatiana bisa sholat atau tidak.”
“Wah, Anjing! Gue diejek nggak bisa sholat!” Padahal kenyataannya Tatiana memang tidak bisa. Di sekolahnya tidak pernah ada tugas mengenai sholat. Maklum ia bersekolah di Yayasan Katolik. Seruan misa biasanya yang ada, itu pun untuk yang beragama non muslim.
“ASTAGFIRULLAHALADZIM! Kamu baru saja mengumpati Umi? Menyamakan Umi dengan hewan, Nak Tatiana?!”
“Umi, sabar, Umi,” Zahra memegang lengan Aisyah. “Abi bilang pelan-pelan,” ia mengingatnya uminya supaya lebih sabar lagi menghadapi Tatiana.
Aisyah menarik napasnya dalam. Sama seperti Tatiana, ia dulu pun tidak berasal dari lingkungan pesantren. Dirinya jatuh cinta pada anak seorang Kyai hingga membuatnya memperdalam agamanya. Perbedaannya dengan Tatiana, ia sukarela belajar dan tinggal di lingkungan pondok, tidak seperti gadis itu yang masih mereka diasingkan.
“Nak Tatiana,” panggil Aisyah lembut, “seorang gadis tidak baik mengumpat. Setiap kata yang keluar dari lisan kita, suatu hari akan dimintai pertanggung jawaban, Nak. Kamu harus belajar menjaganya sekarang atau kalau tidak…”
Perasaan Tatiana mendadak tidak enak. Jantungnya berdebar sangat keras sekali. Terlebih wanita yang Zahra panggil dengan sebutan umi tersebut sengaja menggantung kata-katanya.
“Umi akan menghukum kamu membersihkan setiap toilet di pesantren ini.”
“What the..”
“Dimulai dari detik ini,” serobot Aisyah, memotong umpatan yang sebentar lagi akan diterimanya.
Cara tersebut rupanya cukup ampuh. Aisyah tersenyum kala Tatiana membekap bibirnya. Hal tersebut membuatnya tersenyum. Sepertinya tidak akan sulit mengubah si bar-bar, anak teman suaminya. Tatiana cukup takut hidup ditengah kesulitan.
Sepanjang ber-wudhu, Tatiana tak henti-hentinya mengumpat di dalam hati. Ia selalu lupa urutan sampai-sampai dimarahi oleh Aisyah. Perempuan yang tampak sebaya dengan mamanya itu sungguh membuat emosinya meroket. Meski begitu ia tak dapat meluapkan kekesalannya. Tatiana tidak ingin dihukum. Ancaman Umi Zahra sepertinya akan benar-benar dijalankan jika ia berkata kasar.
“Ulang lagi, kamu lihat bagaimana Zahra wudhu.”
Sudah sampai pada tahap membasuh kening dan Tatiana gagal lagi. Proses itu terlewat karena Tatiana langsung membasahi daun telinganya.
“Contohkan Zahra. Umi pantau!!”
Usai perkara mensucikan diri selesai, Aisyah menanyakan seputar bacaan-bacaan apa saja yang harus Tatiana baca ketika sholat. Pertanyaan ini ditujukan untuk melihat seberapa jauh pengetahuan Tatiana akan gerakan-gerakan dalam ibadah wajib tersebut.
Jawabannya tentu saja— buta bacaan serta gerakan sholat. Aisyah dibuat memejamkan matanya, untuk menenangkan gemuruh di hatinya.
“Nggak apa-apa, Nak Tatiana. Umi akan ajari kamu sampai bisa,” cakap Aisyah.
‘Nggak mau, huweee!! Ribet banget dah!’ Jerit hati Tatiana, membatin. Belum genap satu hari ia sudah merasa tidak sanggup. Ia rindu kehidupannya di Jakarta. Disana ia tidak perlu susah-susah untuk belajar sholat. Orang tuanya tak pernah memaksa seperti Umi Zahra.
“Kita tunggu para laki-laki selesai jamaah, setelah itu kita makan. Zahra akan peragakan gerakan-gerakan sholat, sekaligus mencontohkan surat-surat pendek yang mudah dihafalkan.” Kilat dimata Aisyah membuat Tatiana mereguk hambar salivanya.
Adakah cara untuk kabur dari pesantren?!
*
Nasi yang Tatiana telan seakan terasa seperti jarum-jarum tak kasat mata yang melukai kerongkongannya. Tatiana rindu mamanya. Ia ingin mendengar mamanya mengomel karena ia makan terlalu sedikit, atau menyaksikan papa dan mamanya saling melempar kemesraan di meja makan.
Makan malam yang dirinya lalui sekarang sungguh berbeda. Tak ada suara selain denting sendok yang mungkin tak sengaja beradu dengan piring. Bahkan dalam keramaian anggota keluarga teman papanya, Tatiana merasakan apa itu yang dinamakan kesepian.
Kehampaan itu memeluk relung hatinya. Kunyahan dalam mulutnya semakin memelan dan butir demi butir air mata keluar dari sudut-sudut matanya. Tatiana kemudian terisak.
“Mama,” ucapnya tak jelas. Tangannya yang kecil mencoba menghapus deraian air matanya. “Papa,” kali ini ia memanggil Januar.
Aisyah yang melihat itu meletakan peralatan makannya. Wanita itu meninggalkan kursi makan. Merengkuh tubuh Tatiana. Ia dekap kepala Tatiana, “ada Umi, Nak. Tatiana punya Umi di sini. Jangan sedih lagi,” ungkapnya seakan tahu apa yang membuat Tatiana menangis.
“Sudah ya.. Nanti cantiknya hilang.”
Pembelajaran sholat yang sejatinya akan dilakukan setelah makan malam tak jadi dilakukan. Aisyah mengerti kondisi Tatiana. Istri Kyai Sholeh itu menundanya, menetapkan hari esok selepas sarapan. Tatiana lalu diminta untuk beristirahat supaya dapat menyerap pembelajaran besok pagi.
Nahasnya, untuk sekedar menutup kedua matanya saja Tatiana tak bisa. Rutinitas hariannya terbiasa dimulai usai matahari terbenam. Ia termasuk ke dalam golongan nokturnal, bedanya setiap pagi di hari kerja, ada mata kuliah yang harus ia hadiri ke kampus.
“Zahra udah molor, bisa kali nyebat.”
Tatiana mengambil tas miliknya. Ia berjalan mengendap, berharap aksinya tak ketahuan Zahra. Rasa mulutnya sudah asam. Ia membutuhkan nikotin untuk menormalkan enzim-enzim dimulutnya.
Gadis itu keluar dengan tak mengenakan hijabnya. Ia berpikir jika seluruh penghuni rumah sudah melanglang buana menuju mimpi mereka.
“Aman nih kayaknya,” pekiknya senang karena tak menemukan adanya tanda-tanda kehidupan. Tatiana semakin percaya diri jika misi merokoknya akan berhasil. Untung saja sewaktu berpesta terakhir kali ia sempat membeli tiga bungkus rokok. Orang tuanya juga tak merampas tasnya. Keberuntungan memihaknya.
Apakah ia harus menangisi rokoknya yang selamat?
Sepertinya, iya!
Hahahaha!
Bruk!!
“Anjing!” Umpat Tatiana ketika tubuhnya menabrak seseorang. Orang tersebut langsung berpaling, membalikan tubuhnya untuk menghindari Tatiana. Kepalanya menunduk.
“Maaf saya tidak sengaja,” lontar si pria— yang ternyata merupakan anak pemilik rumah, Khoiron. Ia memang terbiasa pulang pada tengah malam, setelah menyelesaikan sholatnya di masjid pondok pesantren.
“Lo lagi, Lo lagi!” Tatiana mengamuk. Ia menyimpan kekesalan yang begitu mendalam pada sosok dihadapannya. “Sini lo! Gue masih pengen nempeleng pala lo!” Tatiana berusaha meraih lengan Khoiron. Gadis itu mengerang, merasa semakin kesal karena Khoiron menghempaskan tangannya.
“Mbak maaf, jangan sentuh saya. Kita bukan mahrom.”
“Muna banget nih laki, Njrot!” Geram Tatiana. “Hidup dijaman Babik-Lonia ya, lo?”
Tatiana tak menyerah. Satu kali saja. Ia benar-benar ingin memukul anak Kyainya. Ia tak mau mati penasaran nantinya. Jadi sebelum ia berpulang karena penderitaannya hidup di pondok pesantren, Tatiana akan membalaskan dendam kesumatnya.
“Kena nggak lo, Anying! Mampus lo!!” Tania memberikan hadiah-hadiah kecil berupa tonjokan ke punda Khoiron.
Khoiron sama sekali tidak kesakitan, ia terus menghindar bukan karena rasa sakit, melainkan ketakutannya kepada Sang Pencipta. Selama ini ia terus menjaga dirinya dari makhluk yang bukan mahramnya, berharap dapat mengikis dosa-dosa yang ada.
“Buahahaa… Puas gue! Makan nih bogem mentah, Sat!!”
Lampu ruang tamu menyala. Tatiana kontan melepaskan tangannya. Darah ditubuhnya berhenti tiba-tiba, melihat Aisyah berdiri sembari memandangnya lekat.
“Dimana jilbab kamu, Tatiana? dan apa yang kamu lakukan malam-malam begini?!”
Hening, Tatiana tak dapat menjawab pertanyaan itu. Ia justru mendekap erat tasnya. Di dalam otak kecilnya— Tatiana sedang menyelamatkan harta paling berharganya.
“Khoiron, masuk ke dalam kamar!” Titah Aisyah.
“Nggih, Umi.” Khoiron berjalan cepat. Ia harus segera meminta ampun kepada Sang Khalik.
“Sebentar,” tahan Aisyah, menghentikan langkah putranya. “Ingatkan Umi besok untuk menghukum Tatiana. Umi mendengar umpatan kasarnya ke kamu tadi.”
‘The fuck!’
Sudahlah! Tamat riwayat Tatiana. Hukuman menantinya besok.
Khoiron, pria itu mengangguk, “baik Umi. Akan Khoir ingatkan besok,” ucapnya sebelum melangkahkan kakinya cepat. Ia sungguh takut jika Tatiana akan menyentuhnya lagi. Selama ini, memandang wanita pun ia tidak berani, kecuali itu keluarga dan mahramnya. Khoiron begitu menjaga dirinya. Menghindari dosa sekecil apa pun untuk mendapatkan keridhoan serta kemurahan hati Sang Ilahi pada kehidupan kekalnya kelak.“Astagfirullah, Ya Allah. Ampunilah dosa-dosa, Hamba. Jauhkanlah Hambamu ini dari hal-hal yang menjerumuskan Hamba pada kemurkaanmu, Ya Rabb.” Panjatnya merasa telah melakukan hal yang salah.Khoiron membersihkan dirinya. Pada sepertiga malam menuju datangnya waktu subuh, pria itu tak pernah melelapkan diri. Ia menghabiskan penantiannya untuk menghadap Sang Pencipta dengan lantunan ayat suci. Sampai waktu itu tiba, Khoiron sama sekali tidak beranjak dari sajadahnya. Barulah ketika adzan subuh berkumandang, ia bergegas menuju masjid bersama ayahanda dan kakeknya.“Abi dengar dari Umi,
“Nggak mau! Tiana nggak mau nikah sama dia!!”Tatiana kabur. Ia mendorong tubuh Aisyah, mencari celah supaya bisa berlari menjauh. Sumpah menikah muda tidak pernah ada di dalam kamus Tatiana. Ia dibuang papanya untuk berguru, mencari kitab suci ke barat, bukannya dipinang dengan bismilah oleh pria yang dirinya benci.“Le! Kok malah dlongop! Dikejar calon istrimu,” sentak Kyai Sholeh melihat keterdiaman putranya.Jujur— Khoiron masih belum dapat mengumpulkan nyawanya. Kesadarannya seakan ditarik naik ke awang-awang, setelah mendapatkan perilaku tidak terpuji santriwati sang ayah. Pria itu mengerjap, mencoba menata puing-puing jiwanya yang berserakan ke segala arah.“Ya Allah,” desah Kyai Sholeh.“Umi, tolong. Minta bantuan ke anak-anak. Tatiana nggak tahu daerah sini, Umi,” kepanikan menjalari Kyai Sholeh. Ia takut hal buruk menimpa Tatiana. Putri sahabatnya itu dititipkan kepadanya, menjadi amanah yang begitu besar untuk dirinya jaga.“Ndak akan jauh, nanti dia papasan dengan Zahra,”
Niat Khoiron meminang Tatiana sudah bulat. Ia memang tidak memiliki perasaan apa pun terhadap gadis itu. Mengenalnya pun baru satu hari. Pertemuan-Pertemuan mereka pun tak pernah berjalan baik. Selalu ada ketegangan yang menyertai perjumpaan itu. Sejak awal bertemu, sinar permusuhan bahkan selalu ditampakkan untuk dirinya.Namun sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab, ia harus dapat memperbaiki kesalahan— yah, walau kesalahan tersebut jelas tidak berasal dari dirinya. Tapi dirinya jelas diseret masuk ke dalam lembah dosa yang sama. Kepada perbuatan yang tidak semestinya dilakukan seorang insan yang belum terikat tali pernikahan.“Nak Khoir, saya rasa tidak perlu. Kamu tidak harus mengorbankan diri karena kenakalan putri saya.”Dua jam setelah sahabatnya memberikan kabar mengenai tindakan nekat sang putri, Januar langsung bertolak menuju Semarang. Bersama sang istri, ia pergi menggunakan pesawat dari Jakarta. Melakukan penerbangan singkat lalu dijemput oleh anak sahabatnya di
“Makanya jangan aneh-aneh jadi anak! Lagian kamu, Tiana. Anak gadis main sosor aja!”Di kamar tamu yang dijadikan tempat keluarga kecil Tatiana beristirahat, telinga Tatiana tak bisa lolos dari merepetan Januar— sang papa. Gadis itu masih saja dimarahi karena tindakan arogan dan jahilnya kepada anak Kyai Sholeh yang kerap dipanggil ‘Gus,’ di lingkungan pondok pesantren itu.“Khilaf, Pah! Dia sih gegayaan nggak mau dipegang! Tiana kan jadi pengen ngerjain.”“Nah, sekarang nikmatin hasil dari kejahilan kamu,” sambung Soraya.Kedua orang tua Tatiana terpaksa menerima pinangan Kyai Sholeh untuk putranya. Mereka tak dapat berbuat apa-apa ketika ancaman penjara membayangi diri putri kesayangan mereka.“Tahu dia bakal ngacau begini, nggak Papa pesantrenin, Mah,” desah Januar meraup wajah tampannya. Pria berusia empat puluhan itu memandang putrinya lalu menarik telinga anak itu, “ya Allah, Nak! Kamu yang Papa harap bisa berubah, malah makin-makin di sini!”“Pah sakit, Pah!” Erang Tiana membua
Khoiron membaringkan tubuh Tatiana ke atas pembaringannya. Sebuah ranjang yang tak bisa dikatakan lebar sebab ia berdiam hanya seorang. Tangannya menyentuh pinggiran niqab yang Tatiana kenakan. Berniat melepaskan kain berwarna hitam itu agar tak mengganggu jalannya pernapasan sang istri yang pingsan.Tatiana— gadis yang berada di hadapannya bernama Tatiana Sujatmiko. Nama yang ia ikrarkan dihadapan kakek, abi dan ayah mertuanya. Nama yang ia lantunkan untuk menjadi pendamping hidupnya agar dapat menyempurnakan ibadahnya terhadap Sang Khalik.Persis seperti apa yang adiknya ceritakan, parasnya begitu rupawan. Garis wajahnya kecil dengan dagu meruncing. Bulu matanya lentik. Hidungnya mancung dan kedua bibirnya yang kerap ia dengar mengumpat, ternyata begitu tipis.“MasyaAllah, sungguh indah ciptaan Mu, ya Rabb.”Selain umi dan adiknya, Khoiron tak pernah memuji sosok lain. Mata dan hatinya terjaga, menginginkan keindahan yang dapat ia reguk ketika itu halal baginya.Seperti sekarang con
‘Jakarta, I’m coming!’Uh— siapa sangka estimasi pembuangan yang dirancang satu tahun, ternyata hanya terjadi beberapa hari saja. Hohohoho! Nikmat Tuhan mana lagi yang ingin Tatiana dustakan. Pernikahan dadakan dengan anak pemilik pesantren menjadi dua hal berbeda.Disatu sisi, Tatiana mengamuk karena dipaksa melepas masa lajangnya, akan tetapi disisi lain, ia harus berpesta guna merayakan kebebasannya dari tempat pengungsian. Penderitaannya telah berakhir. Tidak akan ada lagi manusia yang memintanya menghafalkan doa-doa untuk sholat.Pria itu— Khoiron, akan berada di daerah kekuasaannya. Dia pasti tidak akan bisa menyengsarakan, karena sebaliknya, dirinyalah yang akan melakukan hal tersebut agar Khoiron tak betah tinggal di Jakarta.“Mantunya Abi mukanya senang sekali. Nggak sabar ya pengen pulang ke kota?”Tatiana menganggukkan kepalanya dengan semangat. Ia benar-benar sudah tidak sabar. Setelah sampai nanti, ia ingin berkunjung ke rumah sahabatnya. Mengincar beberapa tulang di tubu
“Kamu nggak bisa lari, Dek!”Khoiron menutup pintu belakang mobilnya sebelum berlari kencang mengejar Tatiana. Tanpa ba-bi-bu, pria itu mengangkat tubuh sang istri, memanggul layaknya gadis itu karung berisikan butiran beras-beras.“ANJING! Woi! Turunin gue!!” Jerit Tatiana memukuli punggung Khoiron. Kepalanya langsung pusing karena dijungkir-balikkan.“Toloooong!! Gue diculik Om-Om mesum!!” Teriak Tatiana meminta bantuan. “Isilop!!! 911!! Brandoooon!! Sembooooh!!”“Om Botaaaakkk!!!” Semua orang Tatiana panggil, termasuk si pemilik acara tutup pintu.Khoiron menggelengkan kepalanya. Pria itu tidak takut sekali pun orang-orang mulai mendatanginya. “Istri saya, Pak, Bu,” jelasnya mencoba menyakinkan mereka.“Bohong! Gue bukan istrinya!” bukan Tatiana namanya jika menyerah begitu saja. Ia tidak akan membiarkan Khoiron menang. Lagipula tidak ada bukti yang menunjukan mereka telah menikah. “Papa! Mama! Tolongin Tiana! Ada orang jahat!!”“Mas! Jangan bohong! Mbaknya bilang bukan istri Mas!”
Berniat ingin membangunkan Tatiana, Khoiron justru dibuat terkejut. Pria itu sampai memegangi dadanya karena istrinya tiba-tiba saja terduduk.“Hiyaa!!!”Tatiana mengubah posisinya, merangkak menaiki kepala ranjang. “Kenapa lo ada disini? Gue udah kabur kayak babi ngepet,” seingatnya ia sudah berlari tunggang-langgang untuk menghindari kejaran Khoiron. Memasuki hutan belantara. Menyebrangi lautan bahkan memanjat Burj Khalifa.Mengapa ia masih melihat wajah Khoiron yang datar seperti papan triplek di hadapannya?Mata Tatiana mengedar. Ia merasa familiar dengan ruangan yang ditempatinya sekarang. Perasaan ia sedang melompat ke atas helikopter karena Khoiron memiliki sayap layaknya capung. Menghindari kejaran pria itu sampai tunggangannya oleng ke laut merah.“Eh, loh, ini kamar gue,” gumamnya pelan, melihat satu per satu perabotan yang ada. Otaknya masih sangat waras. Ia tak menderita amnesia walau beberapa kali jatuh bangun dalam pelariannya. “Weh, sakti banget gue ternyata,” ucapnya b
“Ibu..”Tatiana mengangkat kedua tangannya ke atas.Tidak, tidak!— Ia tidak akan terpengaruh dengan raut memelas suami tercintanya. Pria itu harus merasakan betapa spektakulernya kelakuan anak mereka saat menginginkan sesuatu.‘Enak aja! Bikinnya bareng-bareng, masa bagian puyengnya, Ibu yang paling banyak.’ Dumel Tatiana, membantin.“Mau ini, Ayah! Mas Adnan mau ini.” Keras kepala Adnan dengan menunjuk satu unit mobil yang sedang dipamerkan pada lantai dasar sebuah Mall ternama di Jakarta.Tatiana terkekeh sembari memalingkan wajahnya. Biarlah ia berdosa. Namun wajah frustasi suaminya sangatlah menghibur jiwa emak-emaknya.“Beliin! Mas Adnan mau punya mobil yang pintunya 2, Ayah.”“Ya Allah, Mas.. yang pintunya 4 kan udah punya.”“Kan empat, nggak dua!” Ngeyel Adnan, membalas kata-kata sang ayah.“Mas..”“Enggak dalem!” potong anak itu menolak panggilan Khoiron.Khoiron menatap lembut kedua mata putranya yang membola. “Kok begitu jawab ke Ayahnya, Mas?” Sama seperti tatapannya, suara
Mendekati pukul lima sore hari, Tatiana, Adnan dan Soraya— ketiganya tampak rapi, berjajar pada halaman luas kediaman mereka.Barisan vertikal yang ketiganya bentuk itu, merupakan pemandangan yang sehari-harinya akan terlihat jika saja tidak turun hujan kala hari hari kerja berlangsung.Di dalam barisan itu, ketiganya akan melakukan sebuah penghormatan besar kepada dua orang terkasih yang telah rela menghabiskan waktunya untuk bekerja keras agar mereka dapat hidup enak.Mereka akan menunggu kepulangan para pencari nafkah. Menyambut keduanya dengan senyum hangat supaya seluruh lelah yang merajai diri mereka sirna.Dalam hal ini, tradisi itu dibentuk setelah si kecil Adnan terlahir ke dunia. Sebuah kebiasaan kecil yang pada akhirnya terus dipertahankan dan menjadi rutinitas harian yang keberadaannya tak pernah ditinggalkan oleh Tatiana dan mamanya.“Itu mobil Ayah.” Seru Adnan, gembira. “Opa sama Ayah pulang, ye-ye-ye-ye!” Anak itu melompat kegirangan, merasa tak sabar untuk menyambut a
Tatiana tak pernah berhenti dibuat istighfar oleh atraksi anak laki-lakinya. Si kecil yang kini menginjak usia 5 tahun itu mempunyai banyak sekali tingkah. Kulit di dadanya mungkin sudah menipis saking seringnya dibelai secara mandiri karena kelakuan membagongkannya.“Ibu nyerah, Mas Adnan!” Tatiana mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ia menyerah, mengibarkan benderah putih ke angkasa.Ayah anak itu baru saja pergi beberapa menit yang lalu, dan si kecil sudah kembali berulah.Adnan memang sangat tahu caranya menguji batas kesabaran ibunya. Dia mencari momen terbaik saat satu-satunya manusia yang ditakutinya tak lagi berada di rumah.“Mas, Ya Allah! Ikan koinya Ibu loh, mati itu ntar Mas!” lontar Tatiana, lemas tak bertenaga.Tatiana pikir dengan dirinya menyatakan kekalahkannya, putranya akan berbaik hati untuk hengkang dari kolam kesayangannya. Namun ternyata, ia salah. Anak itu tetap melanjutkan kegiatan merusuhnya.“Mas Adnan baik loh, Ibu. Mas kan lagi bantu ikan koinya Ibu napas.
Holla, temen-temen.Setelah banyak merenung, Qey mohon maaf karena pada akhirnya, cerita Gus! I Lap Yuh! ini akan tamat sesuai dengan naskah aslinya.Keputusan ini diambil karena beberapa aspek, khususnya dari segi kesehatan Qey yang tampaknya tidak mumpuni untuk mengerjakan 3 on going sekaligus.Takutnya, seluruh karya termasuk judul ini malah akan terbengkalai nantinya. Jadi, Qey putuskan untuk hanya meng-uploud ekstra partnya saja dan mengurungkan niat untuk melangkah ke seasion 2-nya. Bagi pembaca baru, cerita ini sudah ada sequelnya, judulnya Pelet Cinta Lolita!, ya. Disitu menceritakan kisah cintanya Mas Adnan dengan Female Lead, Lolita. Bu Tatik & Ayah Khoir ada disana juga kok, jadi kangen kalian sama pasangan ini akan sedikit terobati nantinya.Segitu aja ya temen-temen. Mohon doanya untuk kesembuhan Qey. Semoga diakhir tahun ini, sakitnya Qey ditutup dengan penutupan tahun. Doain Qey sehat dan pulih sedia kala ya. Amin, Amin.Terima kasih atas perhatiannya, Semua.Salam Saya
Hai, semua. This is Qey.Kemarin saat Qey up chapter untuk ending, kebetulan ada kakak yang mengusulkan untuk dilanjutkan ke Season 2-nya. Untuk kakak-kakak yang lain bagaimana? Season 2-nya akan fokus ke Bu Tatik & keluarga kecilnya, termasuk Mas Adnan versi bocil ya. Karena untuk cerita Mas Adnan sendiri, versi dewasanya sudah ada tuh dijudul "Pelet Cinta Lolita." Kebetulan Mas Adnan tokoh utama prianya disana. Qey membutuhkan masukan sebelum akhirnya memutuskan apakah naskah chapter spesial yang ada akan tetap dijadikan chapter ekstra, atau digunakan untuk melanjutkan ke Season 2. Jadi, please komen ya semua. Terima kasih atas perhatiannya.
“Mas.. Zahra cantik ya?”Kepala Khoiron mengangguk, “iya, Dek,” ucapnya menjawab pertanyaan sang istri kepadanya.Pria itu meremas tangan Tatiana yang berada di dalam genggamannya, lalu kembali berucap, “tapi istri Mas ini, jauh lebih cantik.”Dibalik niqab yang dirinya kenakan, senyum seindah mekarnya bunga di musim gugur, menghiasi wajah Tatiana.“Mas ini! Zahra ratunya hari ini!” Tutur Tatiana, pura-pura menghardik Khoiron. Ia tidak ingin dibuat salah tingkah di momen bersejarah sahabat dan adik iparnya. Kalau pun ada kebahagiaan, seharusnya itu berasal dari acara penting mereka berdua. Bukannya dari hasil gombalan suaminya.Khoiron pun memalingkan wajahnya ke kanan. Ia menatap kedua manik Tatiana dalam. “Mas nggak mau bohong. Ibunya Mas Adnan wanita paling cantik. Ratunya Mas setiap hari.”“Uhuk!”Suara batuk dibelakang mereka menyadarkan Tatiana, jika saat ini keduanya tengah berada di dalam kerumunan santri-santri yang tengah menemani Zahra.“Ya Allah, Mas! Malu.”“Gus Khoir tern
Di dalam kamus Khoiron, ia tidak mengenal apa itu pamali. Pamali hanyalah sebuah culture yang keberadaannya terus dipertahankan dari tahun ke tahun. Namun ia tetap tidak bisa membawa Adnan pergi ke luar rumah terlalu lama. Bagaimana pun, usia Adnan masih beberapa hari. Daya tahan tubuhnya masihlah belum sekuat orang dewasa.“Adek, kita sepertinya nggak bisa bawa Mas Adnan ke kampus.”“Loh, kenapa Mas?”“Mas Adnannya masih kecil, Ibu. Pamernya ditunda saja dulu ya?”Tatiana adalah wanita yang mudah untuk diberikan pengertian. Istrinya mungkin sedikit keras kepala dalam beberapa hal, tapi dia bukan seseorang yang akan mengorbankan orang terkasih demi kesenangan pribadinya.“Mas Adnannya bisa sakit, Ibu. Urusan Brandon, biar ayah yang ngomong ke dia. Dia pasti nggak akan berani nakal.”“Nurut ya, buat Mas Adnan kecil kita.”“Kalau Ayah ngomong buat Mas Adnan, gimana Ibu bisa nggak nurut.” Tutur Tatiana sembari menyandarkan dirinya pada dada bidang Khoiron.Anaknya adalah sosok paling pen
“Mas Adnan, emang Ibu salah ya?”Tatiana menyangga kepalanya menggunakan tangan. Ia tidur menyamping, menatap putranya kesayangannya.“Jawab dong, Mas. Ibu nggak salah kan, ya?”Khoiron mengulum bibirnya. Istrinya sedang mencari pembenaran, hanya saja kepada orang yang salah.Apa yang istrinya harapkan dari seorang bayi mungil tak berdosa? Pembelaan?! Jelas Adnan belum bisa melakukannya. Putranya mereka masih tak memiliki daya untuk hal itu. Tunggu usianya bertambah, nanti Adnan akan dapat diajak berkomunikasi.“Adnan, mah! Ibu hopeless nih. Ayah juga ngambek ke Ibu. Ibu jadi nggak ada temennya, Mas.”“Kok bawa-bawa Ayah, Bu? yang ngambek bukannya Ibu, ya?”“Mas diem!”Lucu sekali istrinya. Dia yang mogok bicara pada semua orang, tapi malah mengaku menjadi pihak tersakiti. Mana mengelabui anak sendiri. Sungguh nakal!“Mas dianggurin nih?! Mentang-mentang sudah punya Mas Adnan sekarang.”“Aduh! Ada yang ngomong, siapa sih! Ganggu quality time aku sama anakku aja deh!”Khoiron terkikik.
“Uh, gemesinnya anak Ibu. Ibu pengen gepengin kamu, Dek.”Khoiron yang baru saja memasuki kamar, kontan berlari mendekati ranjang. “Adek! Istighfar! Jangan gepengin Adnan!” Ucap, pria itu panik. Gemasnya sang istri sungguh membahayakan. Masa anak sendiri mau dibuat gepeng.“Bercanda, Mas Khoir!”“Huh!” Khoiron melepaskan napasnya. Ia pikir istrinya serius ingin menggepengkan anak mereka.“Umi gimana, Mas? Udah dipanggilin dokter belum?”“Udah sadar kok..” Khoiron mendudukan dirinya disamping Tatiana. Tangannya yang besar menggenggam telapak kecil anak lelakinya. “Nggak sampai harus manggil dokter. Umi cuman kaget aja, Dek.”Jangan kan uminya, abinya kalau berada di kamar, pasti juga akan ikut pingsan. Ia tidak mengira kalau kenakalan istrinya sampai bisa membuat heboh satu komplek.“Hehe.. Mama dulu juga pingsan, Mas.” Cengir Tatiana. Mamanya sampai dilarikan ke rumah sakit saat rumahnya di demo. Akhirnya masalah diselesaikan oleh orang tua Brandon. Mereka hanya perlu mengganti mobil