Share

[3] Hukuman Menanti..

Menyaksikan bagaimana perilaku dan lugasnya Tatiana dalam mengumpat, Kyai Sholeh telah memutuskan hal besar. Pria itu akan membimbing Tatiana secara privat bersama keluarganya, sebelum melepaskan Tatiana pada khalayak umum, ke tengah-tengah para santrinya.

Hal tersebut turut Kyai Sholeh beritakan kepada Januar. Dengan dalih demi kebaikan Tatiana sendiri, ia meminta restu papa Tatiana. Mengharapkan ridho pria itu selagi dirinya memberikan keistimewaan.

Beruntung Januar dapat mengerti keputusannya. Laki-laki yang sedang menempuh perjalanan kembali ke Jakarta itu secara penuh memasrahkan putrinya ke tangan Kyai Sholeh. Apa pun yang sekiranya baik untuk sang putri, ia menyertakan izinnya tanpa harus dipertanyakan kepadanya.

“Alhamdulillah kalau begitu Mas Janu. Untuk sementara, Tatiana akan tinggal di ndalem bersama saya dan keluarga. Untuk sementara, biarkan kami yang menangani Tatiana.” Ucap Kyai Sholeh ditengah-tengah sambungan teleponnya.

Nggih, Mas Sholeh. Pangapunten kalau saya merepotkan Mas dan keluarga.”

Mboten, Mas. Saestu, mboten merepotkan,” balas Kyai Sholeh karena memang tak merasa direpotkan, dititipi Tatiana oleh temannya. Ia senang karena dirinya masih diingat. Dengan begitu, silaturahmi mereka tak lagi terputus oleh jarak.

Nggih sampun, Mas. Itu saja. Mas Janu dan rombongan hati-hati nggih, berkabar kalau sudah sampai di rumah. Assalamualaikum,” pesan Kyai Sholeh sebelum memutus sambungan teleponnya. Pria dengan peci putih dikepala itu meletakkan ponselnya ke atas meja. “Nduk, bagaimana Zahra?” tanya-nya kepada sang putri yang menduduki sofa keluarga disebelahnya.

Setelah mengamuk dan mencoba menyerang putranya— Khoiron, Tatiana menangis, mengingat akan betapa tega sahabatnya yang merupakan ayah gadis itu.

Lama Tatiana dan Khoiron saling kejar. Gadis itu lantas dibawa ke kamar pribadi putrinya untuk ditenangkan.

“Tidur, Bi. Sepertinya kelelahan,” jawab Zahra. “Jadinya Mbak Tatiana di sini dulu ya, Bi?”

“Iya, Nduk. Takutnya nanti para santri mengadu ke orang tuanya. Kita juga yang repot, Nduk,” papar Kyai Sholeh. “Ditatar dulu bahasanya ya, sama sekalian nanti kita tanya, sudah sejauh apa Tatiananya bisa ngaji. Kalau turun ke asrama, yang lain hafalan, dianya nggak kan, jadi buah bibir. Kasihan Tatiananya.”

“Umi sampun ngertos, Bi?”

Kyai Sholeh menggelengkan kepalanya. Pria bersahaja itu melepaskan peci dari kepalanya. “Biar jadi urusan Abi. Insha Allah, Umi nggak akan keberatan. Sedikit spot jantung saja nanti pasti,” kelakarnya membuat sang putri tertawa.

Zahra sendiri tidak bisa membayangkan, akan jadi seperti apa Tatiana ketika berhadapan dengan ibunya. “Mbak Tatiananya kuat mental nggak ya, Bi?”

“Loh, ya itu, sepertinya kuat sih,” ujarnya dengan kekehan. Kyai Sholeh juga menanti bagaimana respon istrinya. Kebetulan bersama abah dan ayah mertuanya, perempuan kesayangan setelah almarhum uminya itu tengah pergi.

“Habis Mbak Tatiana ditatar Umi, Bi, hehehe..”

“Dibantu ya, Nduk, Mbaknya. Amanah untuk kita dia. Nanti setengah jam lagi dibangunkan untuk sholat. Kamu bimbim dia,” pinta Kyai Sholeh. “Pelan-Pelan saja. Nggak usah memaksa dia. Abi yakin kamu bisa, Nduk.”

“Serahkan sama Zahra, Bi. Kalau untuk belajar sholat sama ngaji, Zahra bisa. Urusan lain biar Mas, nanti Zahra temani kalau sempat.”

“Ya harus sempat. Mereka bukan mahrom, tidak baik hanya berdua-dua saja. Nanti ada setan menggoda,” peringat Kyai Sholeh agar putrinya senantiasa menjaga kakak dan tamunya. “Minta santri atau sepupu kamu kalau sedang berhalangan membantu.”

Nggih, paham, Bi.”

Setengah jam kemudian, Zahra benar-benar menjalankan perintah Kyai Sholeh. Gadis cantik itu membangunkan Tatiana dari lelapnya.

“Mbak, bangun. Mendekati waktu magrib.”

“Berisik! Ganggu aja lo, Njing!!” Bentak Tatiana lalu mengubah posisi tidurnya.

‘Astagfirullah,’ Zahra mengusap dadanya, beristighfar di dalam hati. Sudah benar tamunya diasuh di ndalem. “Mbak Tatiana,” ulangnya kembali mencoba peruntungan.

“Apaan sih! Gue ngan.. Eh, loh! Lo siapa?” Tatiana menemui setengah kesadarannya. Kelopak matanya mengerjap menatap Zahra, sebelum bertraveling mengabsen seluruh isi kamar yang dirinya tempati.

“Bukan kamar gue,” gumamnya.

“Saya Zahra, Mbak. Anaknya Pak Sholeh, temannya Papa Mbak Zahra.”

Barulah setelah itu Tatiana menjerit, “huwaaa!! Ternyata bukan mimpi! Gue beneran dibuang ke pesantren! Omaaa!!! Cepetan bangkit dari kubur, Omaa!!”

Suara Tatiana yang menggelar membuat Aisyah— Istri Kyai Sholeh memasuki kamar putrinya. “Ya Allah, ada apa ini? Kok teriak-teriak, Nak?” Songsongnya, menanyakan apa yang telah terjadi. Wanita yang sudah diberitahu oleh suaminya tersebut mendekati ranjang, tempat dimana tamunya masih betah merebahkan diri.

“Nak Tatiana, ayo bangun! Mandi sekarang,” ia menepuk lengan Tatiana. “Dibantu Mbaknya berdiri, Zahra!” Perintahnya tegas kepada sang putri.

“Weh! Apaan ini, Ra! Zahra!”

“Mbak, saya nggak berani ngelawan Umi. Maaf ya,” lirihnya ketika membangunkan tubuh Tatiana secara paksa. “Mbak Tatiana nurut aja. Nanti malah diceramahin Umi sampai subuh,” gadis itu berucap pelan agar uminya tidak mendengar informasi yang dirinya bagikan.

“Umi?” Beo Tatiana, mengarahkan wajahnya untuk melihat wanita yang Zahra sebut sebagai umi. “Ibu lo, maksudnya? Bininya Kyai Sholeh?”

“Iya!” Sela Aisyah. “Sekarang jadi Umi kamu juga. Cepat bangun! Apa Zahra tidak memberitahu kalau tidur selepas Ashar itu tidak baik?”

“Maaf Umi, Zahra nggak tega. Mbak Tatiana kelihatan lelah sekali,” cicit Zahra menyampaikan argumentasinya mengapa santri mereka bisa terlelap saat sore hari.

“Ya kan saya ngantuk,” terang Tatiana, terdengar seperti tengah melawan Aisyah. Gadis itu memang tengah berusaha membela Zahra. “Nggak baik lagi kalau saya tetep melek ya, Tante! Saya cosplay jadi reog ntar!”

“Mau Tantenya saya makan?!” tanyanya dengan mata membola.

“Nak Tatiana yang saya makan hidup-hidup! Jangan membantah lagi, masuk ke kamar mandi! Jangan lupa ambil wudhu sekalian. Setelah Umi sholat, Umi akan lihat, Nak Tatiana bisa sholat atau tidak.”

“Wah, Anjing! Gue diejek nggak bisa sholat!” Padahal kenyataannya Tatiana memang tidak bisa. Di sekolahnya tidak pernah ada tugas mengenai sholat. Maklum ia bersekolah di Yayasan Katolik. Seruan misa biasanya yang ada, itu pun untuk yang beragama non muslim.

“ASTAGFIRULLAHALADZIM! Kamu baru saja mengumpati Umi? Menyamakan Umi dengan hewan, Nak Tatiana?!”

“Umi, sabar, Umi,” Zahra memegang lengan Aisyah. “Abi bilang pelan-pelan,” ia mengingatnya uminya supaya lebih sabar lagi menghadapi Tatiana.

Aisyah menarik napasnya dalam. Sama seperti Tatiana, ia dulu pun tidak berasal dari lingkungan pesantren. Dirinya jatuh cinta pada anak seorang Kyai hingga membuatnya memperdalam agamanya. Perbedaannya dengan Tatiana, ia sukarela belajar dan tinggal di lingkungan pondok, tidak seperti gadis itu yang masih mereka diasingkan.

“Nak Tatiana,” panggil Aisyah lembut, “seorang gadis tidak baik mengumpat. Setiap kata yang keluar dari lisan kita, suatu hari akan dimintai pertanggung jawaban, Nak. Kamu harus belajar menjaganya sekarang atau kalau tidak…”

Perasaan Tatiana mendadak tidak enak. Jantungnya berdebar sangat keras sekali. Terlebih wanita yang Zahra panggil dengan sebutan umi tersebut sengaja menggantung kata-katanya.

“Umi akan menghukum kamu membersihkan setiap toilet di pesantren ini.”

What the..”

“Dimulai dari detik ini,” serobot Aisyah, memotong umpatan yang sebentar lagi akan diterimanya.

Cara tersebut rupanya cukup ampuh. Aisyah tersenyum kala Tatiana membekap bibirnya. Hal tersebut membuatnya tersenyum. Sepertinya tidak akan sulit mengubah si bar-bar, anak teman suaminya. Tatiana cukup takut hidup ditengah kesulitan.

Sepanjang ber-wudhu, Tatiana tak henti-hentinya mengumpat di dalam hati. Ia selalu lupa urutan sampai-sampai dimarahi oleh Aisyah. Perempuan yang tampak sebaya dengan mamanya itu sungguh membuat emosinya meroket. Meski begitu ia tak dapat meluapkan kekesalannya. Tatiana tidak ingin dihukum. Ancaman Umi Zahra sepertinya akan benar-benar dijalankan jika ia berkata kasar.

“Ulang lagi, kamu lihat bagaimana Zahra wudhu.”

Sudah sampai pada tahap membasuh kening dan Tatiana gagal lagi. Proses itu terlewat karena Tatiana langsung membasahi daun telinganya.

“Contohkan Zahra. Umi pantau!!”

Usai perkara mensucikan diri selesai, Aisyah menanyakan seputar bacaan-bacaan apa saja yang harus Tatiana baca ketika sholat. Pertanyaan ini ditujukan untuk melihat seberapa jauh pengetahuan Tatiana akan gerakan-gerakan dalam ibadah wajib tersebut.

Jawabannya tentu saja— buta bacaan serta gerakan sholat. Aisyah dibuat memejamkan matanya, untuk menenangkan gemuruh di hatinya.

“Nggak apa-apa, Nak Tatiana. Umi akan ajari kamu sampai bisa,” cakap Aisyah.

‘Nggak mau, huweee!! Ribet banget dah!’ Jerit hati Tatiana, membatin. Belum genap satu hari ia sudah merasa tidak sanggup. Ia rindu kehidupannya di Jakarta. Disana ia tidak perlu susah-susah untuk belajar sholat. Orang tuanya tak pernah memaksa seperti Umi Zahra.

“Kita tunggu para laki-laki selesai jamaah, setelah itu kita makan. Zahra akan peragakan gerakan-gerakan sholat, sekaligus mencontohkan surat-surat pendek yang mudah dihafalkan.” Kilat dimata Aisyah membuat Tatiana mereguk hambar salivanya.

Adakah cara untuk kabur dari pesantren?!

*

Nasi yang Tatiana telan seakan terasa seperti jarum-jarum tak kasat mata yang melukai kerongkongannya. Tatiana rindu mamanya. Ia ingin mendengar mamanya mengomel karena ia makan terlalu sedikit, atau menyaksikan papa dan mamanya saling melempar kemesraan di meja makan.

Makan malam yang dirinya lalui sekarang sungguh berbeda. Tak ada suara selain denting sendok yang mungkin tak sengaja beradu dengan piring. Bahkan dalam keramaian anggota keluarga teman papanya, Tatiana merasakan apa itu yang dinamakan kesepian.

Kehampaan itu memeluk relung hatinya. Kunyahan dalam mulutnya semakin memelan dan butir demi butir air mata keluar dari sudut-sudut matanya. Tatiana kemudian terisak.

“Mama,” ucapnya tak jelas. Tangannya yang kecil mencoba menghapus deraian air matanya. “Papa,” kali ini ia memanggil Januar.

Aisyah yang melihat itu meletakan peralatan makannya. Wanita itu meninggalkan kursi makan. Merengkuh tubuh Tatiana. Ia dekap kepala Tatiana, “ada Umi, Nak. Tatiana punya Umi di sini. Jangan sedih lagi,” ungkapnya seakan tahu apa yang membuat Tatiana menangis.

“Sudah ya.. Nanti cantiknya hilang.”

Pembelajaran sholat yang sejatinya akan dilakukan setelah makan malam tak jadi dilakukan. Aisyah mengerti kondisi Tatiana. Istri Kyai Sholeh itu menundanya, menetapkan hari esok selepas sarapan. Tatiana lalu diminta untuk beristirahat supaya dapat menyerap pembelajaran besok pagi.

Nahasnya, untuk sekedar menutup kedua matanya saja Tatiana tak bisa. Rutinitas hariannya terbiasa dimulai usai matahari terbenam. Ia termasuk ke dalam golongan nokturnal, bedanya setiap pagi di hari kerja, ada mata kuliah yang harus ia hadiri ke kampus.

“Zahra udah molor, bisa kali nyebat.”

Tatiana mengambil tas miliknya. Ia berjalan mengendap, berharap aksinya tak ketahuan Zahra. Rasa mulutnya sudah asam. Ia membutuhkan nikotin untuk menormalkan enzim-enzim dimulutnya.

Gadis itu keluar dengan tak mengenakan hijabnya. Ia berpikir jika seluruh penghuni rumah sudah melanglang buana menuju mimpi mereka.

“Aman nih kayaknya,” pekiknya senang karena tak menemukan adanya tanda-tanda kehidupan. Tatiana semakin percaya diri jika misi merokoknya akan berhasil. Untung saja sewaktu berpesta terakhir kali ia sempat membeli tiga bungkus rokok. Orang tuanya juga tak merampas tasnya. Keberuntungan memihaknya.

Apakah ia harus menangisi rokoknya yang selamat?

Sepertinya, iya!

Hahahaha!

Bruk!!

“Anjing!” Umpat Tatiana ketika tubuhnya menabrak seseorang. Orang tersebut langsung berpaling, membalikan tubuhnya untuk menghindari Tatiana. Kepalanya menunduk.

“Maaf saya tidak sengaja,” lontar si pria— yang ternyata merupakan anak pemilik rumah, Khoiron. Ia memang terbiasa pulang pada tengah malam, setelah menyelesaikan sholatnya di masjid pondok pesantren.

“Lo lagi, Lo lagi!” Tatiana mengamuk. Ia menyimpan kekesalan yang begitu mendalam pada sosok dihadapannya. “Sini lo! Gue masih pengen nempeleng pala lo!” Tatiana berusaha meraih lengan Khoiron. Gadis itu mengerang, merasa semakin kesal karena Khoiron menghempaskan tangannya.

“Mbak maaf, jangan sentuh saya. Kita bukan mahrom.”

“Muna banget nih laki, Njrot!” Geram Tatiana. “Hidup dijaman Babik-Lonia ya, lo?”

Tatiana tak menyerah. Satu kali saja. Ia benar-benar ingin memukul anak Kyainya. Ia tak mau mati penasaran nantinya. Jadi sebelum ia berpulang karena penderitaannya hidup di pondok pesantren, Tatiana akan membalaskan dendam kesumatnya.

“Kena nggak lo, Anying! Mampus lo!!” Tania memberikan hadiah-hadiah kecil berupa tonjokan ke punda Khoiron.

Khoiron sama sekali tidak kesakitan, ia terus menghindar bukan karena rasa sakit, melainkan ketakutannya kepada Sang Pencipta. Selama ini ia terus menjaga dirinya dari makhluk yang bukan mahramnya, berharap dapat mengikis dosa-dosa yang ada.

“Buahahaa… Puas gue! Makan nih bogem mentah, Sat!!”

Lampu ruang tamu menyala. Tatiana kontan melepaskan tangannya. Darah ditubuhnya berhenti tiba-tiba, melihat Aisyah berdiri sembari memandangnya lekat.

“Dimana jilbab kamu, Tatiana? dan apa yang kamu lakukan malam-malam begini?!”

Hening, Tatiana tak dapat menjawab pertanyaan itu. Ia justru mendekap erat tasnya. Di dalam otak kecilnya— Tatiana sedang menyelamatkan harta paling berharganya.

“Khoiron, masuk ke dalam kamar!” Titah Aisyah.

Nggih, Umi.” Khoiron berjalan cepat. Ia harus segera meminta ampun kepada Sang Khalik.

“Sebentar,” tahan Aisyah, menghentikan langkah putranya. “Ingatkan Umi besok untuk menghukum Tatiana. Umi mendengar umpatan kasarnya ke kamu tadi.”

The fuck!

Sudahlah! Tamat riwayat Tatiana. Hukuman menantinya besok.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status