Tatiana— Lengkapnya Tatiana Sujatmiko. Gadis berusia delapan belas tahun itu merupakan anak tunggal dari pengusaha mebel asal Semarang. Meski demikian, Tatiana lahir dan besar di Jakarta.
Seperti kebanyakan anak Metropolitan lainnya, Tatiana dekat dengan hiburan malam. Setiap malamnya ia bahkan tak pernah berada di rumah. Ia dijuluki sebagai The Girl of Senoparty. Selain itu Tatiana cukup rebel alis suka sekali memberontak. Seluruh larangan orang tuanya merupakan hal yang harus ia laksanakan. Ibarat kata— larangan adalah suatu perintah untuk dilakukan.
Contohnya seperti malam ini,
“Muach!!” Tatiana mencium pipi Soraya. Gadis itu meninggalkan bekas saliva di pipi putih sang mama.
“Mau ke mana kamu Tiana?” tanya Januar yang tak lain merupakan papa Tatiana. Pria berusia empat puluh enam tahun itu menelisik penampilan sang putri. Tak ada satu pun bagian yang terlewat dari pengamatan Januar.
“Biasa, Pah.”
“Biasa apa?!” Sentak Januar. Jangan katakan putrinya akan berpesta sampai pagi di kelab malam. Sungguh Januar tak rela putrinya terus terjerumus pada lembah kemaksiatan. “Naik! Ganti pakaian kamu!” Dengan nada tingginya, Januar memerintah.
“Apa sih, Pah! Kan udah nggak terbuka kayak yang semalem!” Decak Tatiana. Ia sudah meladeni amukan papanya. Mengganti dress mini yang membentuk lekukan tubuhnya dengan crop top long sleeve dan ripped jeans. Kurang apa dirinya menjadi anak coba.
“Nggak terbuka?!” Januar berdiri dari tempatnya duduk. Pria itu mendekati sang putri, “lihat Tiana! Lihat!” Ujung kaos yang Tatiana kenakan ia tarik, “baju macem apa ini, Nak?! Puser kamu keliatan!”
Tatiana memutar bola matanya, merasa jengah dengan kecerewetan papanya. Kemarin pria itu mengomentari kedua aset berharganya yang katanya menonjol sampai ingin tumpah, sekarang pusar bodongnya. Sepertinya ia lebih baik telanjang tak mengenakan apa pun agar papanya tak bisa lagi berkomentar.
“Pah! Gaul dong! Dandanan anak jaman sekarang emang begini!” Ucapnya lalu mencium pipi Januar, “udah ya! Tiana udah ditungguin sama Brandon di depan. Papa jangan kunciin pintu depan, ntar Tiana pecahin kaca ruang tamu kalau dikunciin lagi!” Ancamannya supaya papa tak lagi menghukumnya untuk tidur di taman depan.
“Jangan berani-beraninya kamu keluar rumah, Tatiana! TATIANA!”
Tatiana melambaikan tangannya tanpa mau repot menghentikan langkah. Gadis itu terus berjalan, tak mempedulikan Januar yang berang dibelakangnya.
“Hi, Sweety..” Sapa Brandon— Sahabat Tatiana. Dari balik jendela mobilnya yang terbuka pemuda itu melirik penampilan sahabatnya. “Anjing, tumben banget casual, lo Titi? Ajeb-Ajeb loh kita, bukan ngemall, Cuy!”
“Gara-Gara Pak Ustad Januar, Anjing!! Kesel gue!! Gimana gue pamer tete kalau kayak gini?” Tatiana menaikan sepasang gunung kembarnya. Menyangganya ke atas sembari memasang tampang muak.
Brandon terbahak di joknya. Ucapan Tatiana hanyalah guyonan yang pantas ia tertawakan. Berpenampilan seterbuka apa pun, sahabatnya itu selalu memasang kuda-kuda untuk melancarkan bogeman ketika ada tangan-tangan jahil yang ingin menyentuhnya.
“Masuk deh! Udah ditungguin bocahan kita. yang punya acara katanya nggak sabar pengen ketemu lo!”
Menyimak rambutnya ke belakang, Tatiana sukses meledakan tawa Brandon. Gadis itu memutari mobil hitam kesayangan Brandon, masuk ke dalam, “let’s go, Brody! Kita guncang lantai dansa Senopati malam ini,” serunya dengan tangan terjulur ke depan, seolah seperti superman yang ingin terbang.
Di rumahnya kedua orang Tatiana dibuat tak tenang. Januar sedari tadi berjalan mondar-mandir, memikirkan cara supaya dapat membawa pulang putrinya.
“Pah gimana ini? Tiana makin nggak bisa diatur. Apa kita masukin ke pesantren aja ya?”
Usulan tersebut sempat tercetus dalam pembahasan keduanya mengenai kelakuan sang putri yang semakin jauh dari kata baik. Mereka takut Tatiana semakin terbawa arus pergaulan muda-mudi Jakarta, lalu menjerumuskan gadis itu ke dalam akhir kehidupan yang disesalinya.
“Mama nggak apa-apa?” Januar memandang sang istri lekat. Ia sangat tahu jika Soraya tak pernah bisa berjauhan dengan sang putri. Setiap putrinya pulang dalam keadaan setengah teler, wanita itulah yang setia merawat Tatiana. Sebelum Tatiana sampai di rumah, Soraya tak akan bisa memejamkan matanya.
Dengan pandangan sedih, Soraya membalas tatapan Januar. “Demi kebaikan Tiana,” ucapnya lirih. Tak apa jika harus menahan rindu kepada sang putri. Asalkan Tatiana kembali menjadi putri mereka yang manis dan meninggalkan gemerlapnya dunia malam.
“Mama yakin?” tanya Januar, menuntut kepastian. Ia memiliki seorang teman yang kebetulan merupakan penerus suatu pondok pesantren di Jawa Tengah. Saat berkonsultasi mengenai putrinya, temannya tersebut menawarkan diri, tentu saja jika ia berkenan, untuk menitipkan putrinya dibimbing di pondok.
“He’em,” kepala Soraya mengangguk. “Tapi anak kita nggak akan jadi teroris kan, Pah?”
“Hus, ngawur Mama!” Januar mengayunkan tangannya. Pemikiran istrinya ini ada-ada saja. “Ya nggak-lah! Mereka belajarnya agama. Ngaji Mah, bukan rakit bom!” Jelas Januar.
“Mama mau sekalian tah?” tawar Januar, siapa tahu istrinya pun ingin belajar lebih dalam tentang agama mereka.
“Nanti dulu deh, Pah. Tiana dulu aja. Mama kan nggak dugem, Pah. Arisan aja paling. Kan nggak nyusahin Papa,” cicit wanita itu.
Malam itu Januar dan Soraya membereskan barang-barang yang mereka persiapkan secara diam-diam. Banyak pakaian muslim serta khimar-khimar panjang, mereka masukan ke dalam koper. Tak ada satu pun pakaian terbuka milik Tatiana yang terselip di sana. Seluruhnya hanya pakaian-pakaian layak pakai.
“Jadi kita nunggu sampai jam tiga, Pah?”
Januar membenarkan. Mereka harus menunggu Tatiana sampai benar-benar setengah sadar, baru mulai melakukan misi penculikan. Jika gadis itu sadar, tentu akan sangat sulit menyeretnya untuk pergi ke pesantren. Hanya cara ini-lah yang bisa mereka tempuh.
“Setengah jam lagi kita berangkat, Mah. Mama juga harus pakai jilbab ya. Nanti nggak boleh masuk ke sana.”
“Demi Tiana, Demi Tiana,” racau Soraya membuat Januar terkekeh.
Baiklah— kali ini mereka sudah mantap akan menceburkan putri kesayangan mereka ke pondok pesantren. Semoga saja setelah itu, Tatiana akan bertaubat dan menjadi anak rumahan yang baik dan taat beragama.
*
“Kin, kamu ikut saya masuk, ya.”
“Baik, Pak.” Sadikin menuruni mobil, mengikuti langkah majikannya. Pria itu langsung diserang pusing ketika memasuki pintu kelab. “Astagfirullah,” ucapnya pelan sembari mengelus dadanya. Baru kali ini Sadikin memasuki tempat dimana ia biasa menjemput anak majikannya. Dibayar mahal pun Sadikin tak akan mau lagi masuk. Matanya sakit melihat gemerlapnya lampu warna-warni ditengah gelapnya ruangan. Belum lagi musik yang mengalun melebihi speaker orang hajatan di kampungnya.
“Habisin!! Habisin!!”
Mata Januar membulat. Di atas sebuah panggung, putrinya terlihat menenggak cairan yang ia ketahui sebagai alkohol. Pria itu berlari menerjang lautan masa yang menyoraki putrinya. “TIANA!!” Teriaknya membuat Tatiana menyadari kedatangannya.
“Eh, Anjir! Bokap gue!” Gadis itu berjalan sempoyongan mendekati sang papa, “Pah, ngapain di sini? Mau cari sugar baby? Mama ngambek loh nanti!” Ujarnya keras. Alkohol benar-benar sudah menguasai dirinya.
“Sama temen Tiana, mau Pah?” Ia malah menawarkan teman kuliahnya. Kali-Kali saja papanya berminat. “Seksoy, Pah. Body-nya kayak… Eh.. Eh!!”
Brakk!!
Suara gedubrak akibat terjatuhnya tubuh Tatiana terdengar membuat teman-temannya meringis.
“Hehe.. Tiana jatoh, Pah!” Cengirnya mendongakkan wajah. “Selow.. Selow!! Bisa berdiri kok.” Satu detik kemudian, Tatiana berdiri lalu memberi hormat, selayaknya sang papa adalah tiang bendera, “Indonesia…”
“Liriknya gimana sih?” Ia menoleh ke arah Brandon. “Lupa gue udah lama nggak sekolah, Nyet!! Spill coba!”
Brandon menutup wajahnya. ‘Anying! Gobloknya ke DNA,’ batinnya. Di tempatnya berdiri ia sudah gemetaran— keringat dingin karena kedatangan mendadak papa sahabatnya.
“Bawa Tiana keluar, Brandon! Bantuin Om, atau Om laporin kelakuan kamu ini ke Papa kamu!!”
“Om, iya, Om! Jangan Om!”
Dibantu Brandon, Januar akhirnya berhasil memboyong tubuh sang putri keluar. Pria itu lantas memberikan peringatan kepada anak sahabatnya. “Setelah ini, awas kamu bantuin Tiana kabur. Om mau anterin dia ke pesantren.”
“What the fuck?” Cepat-Cepat Brandon menyadari kesalahannya. Ia membekap mulutnya karena telah lancang mengumpat disela keterkejutannya atas informasi yang papa Tatiana sampaikan.
“Seriusan Om?”
“Nggak liat kamu muka, Om? Pulang sana! Apa kamu sekalian mau ikut mondok?”
Brandon mengangkat kedua tangannya ke udara, “ampun, Om!” Kakinya melangkah mundur sebelum lari terbirit-birit.
Di sepanjang perjalanan menuju Jawa Tengah, Tatiana tak bisa diam. Selayaknya orang mabuk, gadis itu bertingkah konyol. Bernyanyi, menangis bahkan juga mengajak Soraya berghibah tentang Januar yang ingin mendekati sahabat seksinya.
“Udah bener Pah dia dimasukin pesantren. Mama ikhlas!” Seloroh Soraya.
Rombongan Januar sampai pukul sepuluh pagi. Pondok Pesantren Al Hidayah menjadi destinasi mereka meninggalkan ibu kota. Mobil mewah milik pengusaha mebel tersebut terparkir di depan bangunan besar yang sederhana.
Tidurnya Tatiana memberikan Januar dan Soraya waktu untuk bertegur sapa terlebih dahulu dengan sang pemilik pondok. Keduanya terlarut dengan pertemuan yang lama tak tersanggupi karena kesibukan Januar. Sedangkan di dalam mobil, kelopak mata Tatiana perlahan-lahan terbuka. Sudah saatnya ia terbangun dari tidur lelapnya.
“Kok gue di mobil?” Heran Tatiana. Kepalanya bergerak kesana-kemari, menyadari jika dirinya berada di mobil milik sang papa.
“Anjir!! Kok pada jilbaban semua! Gue dimana, Taik!!” Pekiknya. Tatiana lalu mencari tas miliknya. Gadis itu melompat turun, mencoba menanyakan titik lokasi yang kakinya pijak.
“Mbak ini dimana ya?”
“Eh, iya Mbak, gimana?”
“Congekan ini orang,” monolog Tatiana, ngawur. “Tempat ini, namanya apaan?!” Ngegasnya.
“Oh ini, Mbak? Ini pondok pesantren Al Hidayah, Mbak.”
“PESANTREN?!” Teriaknya, maha dahsyat.
“Tiana!!”
Tubuh Tatiana menegang. Suara papanya terdengar begitu horor sekarang. Tidak. Ia harus kabur. Keberadaannya saat ini sudah sangat menggambarkan niat jahat papanya. Ia tahu sekali jika dirinya sebentar lagi akan diasingkan.
“Anjinglah, Bangsat!! Papa nggak sayang gue lagi! KABUUUURRR!!!” Ucapnya lalu berlari terbirit-birit. Tatiana tak memikirkan apa pun. Di otaknya hanya tertulis satu kata, yaitu lari. Ia tidak mau dibuang ke pondok pesantren. Bisa-Bisa tubuh dan jiwanya terbakar nantinya.
Merasa sudah jauh berlari, Tatiana menyandarkan dirinya pada sebuah batang pohon beringin. Napasnya ngos-ngosan. Ia membutuhkan amunisi untuk menyejukan pikirannya yang carut marut akibat ulah jahanam sang papa.
“Udud dulu lah! Papa nggak mungkin bisa nangkep gue.” Dari dalam sling bag-nya, Tatiana mengeluarkan sebungkus rokok dan korek. Ia mulai menyelipkan lintingan tembakau pada sudut bibirnya. Menyalakan bara api ke ujung rokok.
“Astaga! Apaan dah ini,” lirihnya nelangsa. Perasaan semalam ia masih asyik berpesta bersama teman-teman kampusnya. Ia cukup tercengang usai melihat titik lokasi dimana tempatnya berada saat ini.
“Brandon taik! Kenapa dia nggak jagain gue. Gue harus telepon dia buat minta jemput.”
Sembari berjalan untuk meneruskan agenda kaburnya, Tatiana terus menghisap rokoknya. Tangan kirinya sibuk memegangi ponsel— mencoba menghubungi Brandon.
Bruk!!
“Allahuakbar!!”
Tatiana berjengit. Bola matanya seakan ingin terlepas dari sangkarnya saat seorang laki-laki terus menyeka tangannya.
“Heh!! Lo pikir gue najis!” Amuk Tatiana tak terima.
“Astagfirullah!”
Pria itu menundukan kepalanya, seakan menghindari tatapan dengan Tatiana. Tentu saja Tatiana dibuat berang olehnya.
“Nggak sopan ya lo! Gue ngajak lo ngomong ya, Nyet!!”
“Innalillahi!!”
“Gue belum mau mati, Bangsat!!” Semakin menjadi emosi Tatiana dibuatnya.
“Ya Allah..”
Tanpa Tatiana sadari, sosok yang sedari tadi mengingat Tuhannya karena celetukan-celetukan kasarnya itu merupakan anak dari pemilik pondok pesantren, tempatnya akan dititipkan secara paksa.
“Itu dia anaknya!! Kin.. Tangkep anak saya!!”
“Aaaaa!! Nggak mauuuu!!! Omaaa, anakmu durhakaaaaa!!!”
Run Bestie, RUN!
“Dikin, lepasin gue!!”Tatiana meronta-ronta ingin dilepaskan. Dikedua sisi tubuhnya, Sadikin dan papanya memegangi lengannya. Mereka mengangkat dirinya, membuat kakinya terseret-seret hingga mengikuti langkah keduanya.“Papa, Tiana nggak mau. Papa jahat!” Tatiana seakan tahu mengapa ia sampai berada di sebuah pondok pesantren ketika terbangun. Tak mungkin papanya ingin menjadi donatur. Pria itu pasti ingin meninggalkannya di negeri entah berantah ini.“Papa! Lepas, Papa!” Pinta Tatiana, mengiba.“Diam, Tiana! Papa lakuin semua ini karena sayang sama kamu.” Sebenarnya Januar tak tega. Tapi mau bagaimana lagi. Putrinya harus mendapatkan pendidikan agama agar jalan hidupnya berubah. “Satu tahun aja, Sayang. Tolong sekali ini aja, kamu nurut sama kata Papa, ya?”“Nggak mau! Papa nggak sayang Tiana!”Apa yang Tatiana alami sukses menjadi tontonan warga pondok pesantren. Banyak anak yang tengah menuju ke masjid, berhenti berjalan untuk menonton aksi Tatiana.Mereka memekik kala Tatiana men
Menyaksikan bagaimana perilaku dan lugasnya Tatiana dalam mengumpat, Kyai Sholeh telah memutuskan hal besar. Pria itu akan membimbing Tatiana secara privat bersama keluarganya, sebelum melepaskan Tatiana pada khalayak umum, ke tengah-tengah para santrinya.Hal tersebut turut Kyai Sholeh beritakan kepada Januar. Dengan dalih demi kebaikan Tatiana sendiri, ia meminta restu papa Tatiana. Mengharapkan ridho pria itu selagi dirinya memberikan keistimewaan.Beruntung Januar dapat mengerti keputusannya. Laki-laki yang sedang menempuh perjalanan kembali ke Jakarta itu secara penuh memasrahkan putrinya ke tangan Kyai Sholeh. Apa pun yang sekiranya baik untuk sang putri, ia menyertakan izinnya tanpa harus dipertanyakan kepadanya.“Alhamdulillah kalau begitu Mas Janu. Untuk sementara, Tatiana akan tinggal di ndalem bersama saya dan keluarga. Untuk sementara, biarkan kami yang menangani Tatiana.” Ucap Kyai Sholeh ditengah-tengah sambungan teleponnya.‘Nggih, Mas Sholeh. Pangapunten kalau saya mer
Khoiron, pria itu mengangguk, “baik Umi. Akan Khoir ingatkan besok,” ucapnya sebelum melangkahkan kakinya cepat. Ia sungguh takut jika Tatiana akan menyentuhnya lagi. Selama ini, memandang wanita pun ia tidak berani, kecuali itu keluarga dan mahramnya. Khoiron begitu menjaga dirinya. Menghindari dosa sekecil apa pun untuk mendapatkan keridhoan serta kemurahan hati Sang Ilahi pada kehidupan kekalnya kelak.“Astagfirullah, Ya Allah. Ampunilah dosa-dosa, Hamba. Jauhkanlah Hambamu ini dari hal-hal yang menjerumuskan Hamba pada kemurkaanmu, Ya Rabb.” Panjatnya merasa telah melakukan hal yang salah.Khoiron membersihkan dirinya. Pada sepertiga malam menuju datangnya waktu subuh, pria itu tak pernah melelapkan diri. Ia menghabiskan penantiannya untuk menghadap Sang Pencipta dengan lantunan ayat suci. Sampai waktu itu tiba, Khoiron sama sekali tidak beranjak dari sajadahnya. Barulah ketika adzan subuh berkumandang, ia bergegas menuju masjid bersama ayahanda dan kakeknya.“Abi dengar dari Umi,
“Nggak mau! Tiana nggak mau nikah sama dia!!”Tatiana kabur. Ia mendorong tubuh Aisyah, mencari celah supaya bisa berlari menjauh. Sumpah menikah muda tidak pernah ada di dalam kamus Tatiana. Ia dibuang papanya untuk berguru, mencari kitab suci ke barat, bukannya dipinang dengan bismilah oleh pria yang dirinya benci.“Le! Kok malah dlongop! Dikejar calon istrimu,” sentak Kyai Sholeh melihat keterdiaman putranya.Jujur— Khoiron masih belum dapat mengumpulkan nyawanya. Kesadarannya seakan ditarik naik ke awang-awang, setelah mendapatkan perilaku tidak terpuji santriwati sang ayah. Pria itu mengerjap, mencoba menata puing-puing jiwanya yang berserakan ke segala arah.“Ya Allah,” desah Kyai Sholeh.“Umi, tolong. Minta bantuan ke anak-anak. Tatiana nggak tahu daerah sini, Umi,” kepanikan menjalari Kyai Sholeh. Ia takut hal buruk menimpa Tatiana. Putri sahabatnya itu dititipkan kepadanya, menjadi amanah yang begitu besar untuk dirinya jaga.“Ndak akan jauh, nanti dia papasan dengan Zahra,”
Niat Khoiron meminang Tatiana sudah bulat. Ia memang tidak memiliki perasaan apa pun terhadap gadis itu. Mengenalnya pun baru satu hari. Pertemuan-Pertemuan mereka pun tak pernah berjalan baik. Selalu ada ketegangan yang menyertai perjumpaan itu. Sejak awal bertemu, sinar permusuhan bahkan selalu ditampakkan untuk dirinya.Namun sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab, ia harus dapat memperbaiki kesalahan— yah, walau kesalahan tersebut jelas tidak berasal dari dirinya. Tapi dirinya jelas diseret masuk ke dalam lembah dosa yang sama. Kepada perbuatan yang tidak semestinya dilakukan seorang insan yang belum terikat tali pernikahan.“Nak Khoir, saya rasa tidak perlu. Kamu tidak harus mengorbankan diri karena kenakalan putri saya.”Dua jam setelah sahabatnya memberikan kabar mengenai tindakan nekat sang putri, Januar langsung bertolak menuju Semarang. Bersama sang istri, ia pergi menggunakan pesawat dari Jakarta. Melakukan penerbangan singkat lalu dijemput oleh anak sahabatnya di
“Makanya jangan aneh-aneh jadi anak! Lagian kamu, Tiana. Anak gadis main sosor aja!”Di kamar tamu yang dijadikan tempat keluarga kecil Tatiana beristirahat, telinga Tatiana tak bisa lolos dari merepetan Januar— sang papa. Gadis itu masih saja dimarahi karena tindakan arogan dan jahilnya kepada anak Kyai Sholeh yang kerap dipanggil ‘Gus,’ di lingkungan pondok pesantren itu.“Khilaf, Pah! Dia sih gegayaan nggak mau dipegang! Tiana kan jadi pengen ngerjain.”“Nah, sekarang nikmatin hasil dari kejahilan kamu,” sambung Soraya.Kedua orang tua Tatiana terpaksa menerima pinangan Kyai Sholeh untuk putranya. Mereka tak dapat berbuat apa-apa ketika ancaman penjara membayangi diri putri kesayangan mereka.“Tahu dia bakal ngacau begini, nggak Papa pesantrenin, Mah,” desah Januar meraup wajah tampannya. Pria berusia empat puluhan itu memandang putrinya lalu menarik telinga anak itu, “ya Allah, Nak! Kamu yang Papa harap bisa berubah, malah makin-makin di sini!”“Pah sakit, Pah!” Erang Tiana membua
Khoiron membaringkan tubuh Tatiana ke atas pembaringannya. Sebuah ranjang yang tak bisa dikatakan lebar sebab ia berdiam hanya seorang. Tangannya menyentuh pinggiran niqab yang Tatiana kenakan. Berniat melepaskan kain berwarna hitam itu agar tak mengganggu jalannya pernapasan sang istri yang pingsan.Tatiana— gadis yang berada di hadapannya bernama Tatiana Sujatmiko. Nama yang ia ikrarkan dihadapan kakek, abi dan ayah mertuanya. Nama yang ia lantunkan untuk menjadi pendamping hidupnya agar dapat menyempurnakan ibadahnya terhadap Sang Khalik.Persis seperti apa yang adiknya ceritakan, parasnya begitu rupawan. Garis wajahnya kecil dengan dagu meruncing. Bulu matanya lentik. Hidungnya mancung dan kedua bibirnya yang kerap ia dengar mengumpat, ternyata begitu tipis.“MasyaAllah, sungguh indah ciptaan Mu, ya Rabb.”Selain umi dan adiknya, Khoiron tak pernah memuji sosok lain. Mata dan hatinya terjaga, menginginkan keindahan yang dapat ia reguk ketika itu halal baginya.Seperti sekarang con
‘Jakarta, I’m coming!’Uh— siapa sangka estimasi pembuangan yang dirancang satu tahun, ternyata hanya terjadi beberapa hari saja. Hohohoho! Nikmat Tuhan mana lagi yang ingin Tatiana dustakan. Pernikahan dadakan dengan anak pemilik pesantren menjadi dua hal berbeda.Disatu sisi, Tatiana mengamuk karena dipaksa melepas masa lajangnya, akan tetapi disisi lain, ia harus berpesta guna merayakan kebebasannya dari tempat pengungsian. Penderitaannya telah berakhir. Tidak akan ada lagi manusia yang memintanya menghafalkan doa-doa untuk sholat.Pria itu— Khoiron, akan berada di daerah kekuasaannya. Dia pasti tidak akan bisa menyengsarakan, karena sebaliknya, dirinyalah yang akan melakukan hal tersebut agar Khoiron tak betah tinggal di Jakarta.“Mantunya Abi mukanya senang sekali. Nggak sabar ya pengen pulang ke kota?”Tatiana menganggukkan kepalanya dengan semangat. Ia benar-benar sudah tidak sabar. Setelah sampai nanti, ia ingin berkunjung ke rumah sahabatnya. Mengincar beberapa tulang di tubu