"Mbak, mempelai prianya di mana, ya? Saya cari nggak ada," tanya salah satu perias pengantin kepada Sania yang masih dirias. Hampir selesai.Sania perlahan menoleh ke sumber suara dengan perasaan biasa-biasa saja. Ia mengira kalau Attar paling pergi sebentar untuk urusan kecil. "Paling ke toilet, Mbak. Tunggu aja." Sania menyahut santai. Ia membalikkan wajah menghadap cermin. Orang di sebelahnya yang bertugas meriasnya pun melanjutkan tugas finishing."Saya sudah menunggu lebih dari tiga puluh menit loh, Mbak. Saya mau nambahin make-up dia sedikit. Tapi saya sudah cari ke mana-mana nggak ada. Tanya sama orang-orang yang hadir di depan pun nggak ada," kekeh wanita berusia tiga puluh tahunan itu yang berdiri di belakang Sania.Sania membuka kedua kelopak mata. Jantungnya seolah direbut paksa dan dibawa pergi. Firasatnya mendadak tidak enak. "Sebentar, Mbak." Sania menginterupsi periasnya agar berhenti dulu merias dirinya. Ia mengambil ponsel yang berada di dalam tas tak jauh darinya.S
"Ternyata kamu udah dewasa, Ay. Nggak lihat kamu beberapa minggu aja udah gede." Attar menyadari cara Ayra berbicara layaknya orang dewasa."Hehe. Gara-gara banyak merenung nih, Pak." Ayra menjawab dengan sedikit malu.Attar menautkan jari tangannya dengan jari-jemari tangan milik Ayra. Lelaki itu menaiki tangga ingin menuju kamar Ayra. "Kamarmu di atas?""Iya, Pak." Ayra menjawab sambil mengikuti langkah pria yang berada di sebelahnya. Mereka berjalan bersamaan dengan jemari saling bertautan."Aku mau numpang tidur. Capek," ucap Attar sembari melepas dasi yang masih mengikat di lehernya. Attar merasa sedikit lelah setelah mengemudi mobil selama satu jam lebih. Selain itu, matanya juga lumayan mengantuk.Sesampainya di kamar, Attar melepaskan tautan jemari mereka. Ia lalu mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruang kamar Ayra."Kamarmu rapi banget, Ay." Kemudian mata Attar menuju meja belajar Ayra yang juga sangat rapi. "Kamu nggak belajar? Senin ujian, 'kan?""Aku lagi nggak bisa b
Ayra berjalan cepat dan berhasil menarik lengan tangan Rendra serta menghentikan langkah kaki pria tersebut. "Stop, Ren! Kamu nggak berhak urusi kehidupan orang lain!" tegasnya dengan tatapan tajam."Aku masih belum mau putus denganmu, Ra." Suara Rendra tak kalah tegas.Ayra tak mau mendengar apapun lagi dari mulut Rendra. Ia langsung menarik tangan Rendra agar mereka berjalan keluar rumah. Ayra melakukannya dengan amarah yang membumbung tinggi seperti kesetanan. Tenaga Rendra saja kalah jika dibandingkan dengan tenaganya."Lepasin aku, Ra.""Nggak! Pergi kamu dari sini, Rendra!" Ayra sudah berhasil membawa Rendra keluar pintu. Ia pun mendorong sekaligus melepaskan tangan Rendra."Jangan berani-beraninya kamu datang ke sini buat ganggu aku lagi, Ren. Apalagi sampai mengusik Pak Attar.""Ra, kamu tuh bener-bener, ya? Kamu kenapa sih? Tiba-tiba berubah gini? Bukannya dulu kamu cinta mati sama aku?" Rendra hampir menarik kembali tangan Ayra, tetapi berhasil ditepis berkali-kali oleh gadi
"Sabar, Sayang. Mungkin Attar memang bukan jodohmu. Masih ada lelaki yang lebih pantas untuk mendapatkanmu.""Tapi dia benar-benar tega mempermalukan aku, Ma. Aku malu sama teman-temanku, sama semua tamu undangan yang aku undang dari luar negeri. Semuanya berantakan!" teriak Sania masih tidak terima dengan pernikahannya yang tiba-tiba batal karena Attar entah berada di mana tidak ada yang tahu.Sania sudah berada di rumahnya. Ia enggan mencari Attar lagi karena sudah lelah. Sempat pergi ke rumahnya Attar tetapi lelaki itu tidak ada di sana. "Aaaa!" Sania berteriak histeris sembari menangis. Ibunya hanya berani berdiri di sebelah gadis itu.Sania duduk di tepi ranjang kamar miliknya. Meratapi gagalnya pernikahan pertama. Sekarang bayang-bayang sikap laku Attar bisa ia mengerti semuanya. Setelah dipikir-pikir, Attar memang tidak berniat menikah dengannya.***Setelah acara makan selesai, Attar meminta Ayra untuk kembali ke rumah Attar seperti semula. Dengan senang hati, Ayra menerima a
"Reti? Kamu kenapa?" Seorang wanita menanyakan kondisi anaknya yang tampak kurang sehat. "Nggak papa, Ma." Reti menjawab dan hendak masuk ke kamar. Semula ia baru saja dari luar untuk membeli obat anti mual."Kamu keliatan pucat sama gelisah gitu? Kamu sakit? Kita periksa ke dokter, mau?" Ibunya Reti mendekati putrinya. Namun yang ada, justru ia segera dijauhi oleh Reti."Nggak usah, Ma! Nggak perlu!" seru Reti dan langsung masuk ke kamar bahkan mengunci pintu itu. Membuat ibunya mengernyitkan dahi heran.Tak berhenti di situ, ibunya Reti kembali bersuara sembari mengetuk pintu kamar. "Reti, kamu pasti lagi sakit 'kan, Sayang? Ayo keluar dan kita periksa ke dokter. Jangan bikin mama cemas.""Aku nggak apa-apa, Ma!" Kali ini jawaban Reti membentak keras hingga sang ibunya tersentak."Iya sudah," lirih ibunya Reti dengan perasaan kecewa. Ia berpikir mungkin saja anaknya itu tengah pening memikirkan ujian kelulusan yang akan dilaksanakan hari Senin. Jadi wajar saja kalau gadis tersebut
"Ngapain kamu telfon aku terus? Aku lagi nggak mau bahas apapun sama kamu apalagi mengenai dirimu itu." Rendra menyahut panggilan telepon Reti dengan suara sumbang."Ren, kita ketemu sebentar saja bisa, nggak?" pinta Reti memohon. Ia hanya bisa bergantung pada Rendra saat itu. Tidak mungkin memberitahu pada kedua orang tuanya sebab mereka pasti akan sangat kecewa. Apalagi jika pihak laki-laki tidak mau bertanggung jawab. Hancur sudah harga diri dan martabat ayah ibunya."Cukup, Reti. Seberapa besar usahamu, aku nggak akan cinta sama kamu apalagi tanggung jawab. Itu bukan tanggung jawabku." Rendra terus menolak."Kamu br*engsek, Rendra! Kamu maunya cuma senang-senang tapi nggak mau bertanggung jawab?!" sentak gadis itu dengan suara tertahan supaya tidak terdengar oleh anggota keluarganya."Lah, emang cewek centil kayak kamu pantasnya cuma buat senang-senang, 'kan? Cewek penggoda! B*tch! Siapa lagi yang kamu goda selain aku, hum? Aku ragu kalau itu anak aku. Jadi, jangan pernah meminta
Ayra merasa pening setelah bertempur dengan buku-buku pelajaran di meja belajarnya. Kendati demikian, ia berhasil menghabiskan hari minggu dengan memperdalam materi untuk ujian besok.Gadis itu berjalan ke ruang televisi membawa camilan yang baru saja diambil dari dapur. Sebelah tangannya membawa minuman dingin. Ayra duduk di sofa, di mana ada Attar yang sudah berada di sana terlebih dulu.Ayra menghempaskan tubuhnya ke sandaran sofa. Mulutnya mengunyah makanan dan matanya tertuju pada langit-langit rumah."Udah selesai belajarnya?" tanya Attar sembari menoleh ke wajah samping Ayra. "Sudah. Semoga Pak Attar puas." Ayra menyahut pelan. Pikirannya masih berada di fase keluar dari materi pelajaran yang membuat otaknya penat.Attar terkekeh mendengar jawaban gadis di sebelahnya. Usut punya usut, Attar lah yang menyuruh dan memaksa agar hari Minggu ini Ayra menghabiskan waktu untuk belajar hingga sore supaya malamnya bisa rileks dan tidur lebih awal."Nanti tinggal mandi, kita makan di lu
Attar menarik rahang Ayra. Ia mendekatkan wajahnya hingga berhasil memagut bibir gadis itu dengan lembut. Kedua belah bibir mereka saling bertaut dalam waktu lama. Perlahan Attar menggerakkannya dengan tempo pelan. Ayra memejamkan mata. Darahnya berdesir hangat saat ia masuk ke dunia dewasa bersama lelaki yang ia cintai. Gadis itu pasrah mengikuti irama ciuman yang Attar berikan padanya. Jantung Ayra berdegup begitu cepat. Ia terlena dengan perlakuan lembut Attar.Ayra merasakan pinggangnya ditarik oleh Attar. Membuatnya tak sanggup menolak dan terus menerima gerakan ciuman bertubi yang perlahan membakar hasratnya. Kedua tangannya meremat kemeja Attar sebagai sasaran.Pagutan keduanya terpisah dengan pelan. Attar mengakhirinya dengan mengusap bibi Ayra yang memerah. Wajah gadis itu juga bertambah merona. Attar menatap lekat wajah Ayra sembari menjauh beberap inci.Namun tangan Ayra kembali menarik baju atasan yang Attar kenakan. Gadis itu menempelkan bibir mereka lagi sembari memeja