"Sabar, Sayang. Mungkin Attar memang bukan jodohmu. Masih ada lelaki yang lebih pantas untuk mendapatkanmu.""Tapi dia benar-benar tega mempermalukan aku, Ma. Aku malu sama teman-temanku, sama semua tamu undangan yang aku undang dari luar negeri. Semuanya berantakan!" teriak Sania masih tidak terima dengan pernikahannya yang tiba-tiba batal karena Attar entah berada di mana tidak ada yang tahu.Sania sudah berada di rumahnya. Ia enggan mencari Attar lagi karena sudah lelah. Sempat pergi ke rumahnya Attar tetapi lelaki itu tidak ada di sana. "Aaaa!" Sania berteriak histeris sembari menangis. Ibunya hanya berani berdiri di sebelah gadis itu.Sania duduk di tepi ranjang kamar miliknya. Meratapi gagalnya pernikahan pertama. Sekarang bayang-bayang sikap laku Attar bisa ia mengerti semuanya. Setelah dipikir-pikir, Attar memang tidak berniat menikah dengannya.***Setelah acara makan selesai, Attar meminta Ayra untuk kembali ke rumah Attar seperti semula. Dengan senang hati, Ayra menerima a
"Reti? Kamu kenapa?" Seorang wanita menanyakan kondisi anaknya yang tampak kurang sehat. "Nggak papa, Ma." Reti menjawab dan hendak masuk ke kamar. Semula ia baru saja dari luar untuk membeli obat anti mual."Kamu keliatan pucat sama gelisah gitu? Kamu sakit? Kita periksa ke dokter, mau?" Ibunya Reti mendekati putrinya. Namun yang ada, justru ia segera dijauhi oleh Reti."Nggak usah, Ma! Nggak perlu!" seru Reti dan langsung masuk ke kamar bahkan mengunci pintu itu. Membuat ibunya mengernyitkan dahi heran.Tak berhenti di situ, ibunya Reti kembali bersuara sembari mengetuk pintu kamar. "Reti, kamu pasti lagi sakit 'kan, Sayang? Ayo keluar dan kita periksa ke dokter. Jangan bikin mama cemas.""Aku nggak apa-apa, Ma!" Kali ini jawaban Reti membentak keras hingga sang ibunya tersentak."Iya sudah," lirih ibunya Reti dengan perasaan kecewa. Ia berpikir mungkin saja anaknya itu tengah pening memikirkan ujian kelulusan yang akan dilaksanakan hari Senin. Jadi wajar saja kalau gadis tersebut
"Ngapain kamu telfon aku terus? Aku lagi nggak mau bahas apapun sama kamu apalagi mengenai dirimu itu." Rendra menyahut panggilan telepon Reti dengan suara sumbang."Ren, kita ketemu sebentar saja bisa, nggak?" pinta Reti memohon. Ia hanya bisa bergantung pada Rendra saat itu. Tidak mungkin memberitahu pada kedua orang tuanya sebab mereka pasti akan sangat kecewa. Apalagi jika pihak laki-laki tidak mau bertanggung jawab. Hancur sudah harga diri dan martabat ayah ibunya."Cukup, Reti. Seberapa besar usahamu, aku nggak akan cinta sama kamu apalagi tanggung jawab. Itu bukan tanggung jawabku." Rendra terus menolak."Kamu br*engsek, Rendra! Kamu maunya cuma senang-senang tapi nggak mau bertanggung jawab?!" sentak gadis itu dengan suara tertahan supaya tidak terdengar oleh anggota keluarganya."Lah, emang cewek centil kayak kamu pantasnya cuma buat senang-senang, 'kan? Cewek penggoda! B*tch! Siapa lagi yang kamu goda selain aku, hum? Aku ragu kalau itu anak aku. Jadi, jangan pernah meminta
Ayra merasa pening setelah bertempur dengan buku-buku pelajaran di meja belajarnya. Kendati demikian, ia berhasil menghabiskan hari minggu dengan memperdalam materi untuk ujian besok.Gadis itu berjalan ke ruang televisi membawa camilan yang baru saja diambil dari dapur. Sebelah tangannya membawa minuman dingin. Ayra duduk di sofa, di mana ada Attar yang sudah berada di sana terlebih dulu.Ayra menghempaskan tubuhnya ke sandaran sofa. Mulutnya mengunyah makanan dan matanya tertuju pada langit-langit rumah."Udah selesai belajarnya?" tanya Attar sembari menoleh ke wajah samping Ayra. "Sudah. Semoga Pak Attar puas." Ayra menyahut pelan. Pikirannya masih berada di fase keluar dari materi pelajaran yang membuat otaknya penat.Attar terkekeh mendengar jawaban gadis di sebelahnya. Usut punya usut, Attar lah yang menyuruh dan memaksa agar hari Minggu ini Ayra menghabiskan waktu untuk belajar hingga sore supaya malamnya bisa rileks dan tidur lebih awal."Nanti tinggal mandi, kita makan di lu
Attar menarik rahang Ayra. Ia mendekatkan wajahnya hingga berhasil memagut bibir gadis itu dengan lembut. Kedua belah bibir mereka saling bertaut dalam waktu lama. Perlahan Attar menggerakkannya dengan tempo pelan. Ayra memejamkan mata. Darahnya berdesir hangat saat ia masuk ke dunia dewasa bersama lelaki yang ia cintai. Gadis itu pasrah mengikuti irama ciuman yang Attar berikan padanya. Jantung Ayra berdegup begitu cepat. Ia terlena dengan perlakuan lembut Attar.Ayra merasakan pinggangnya ditarik oleh Attar. Membuatnya tak sanggup menolak dan terus menerima gerakan ciuman bertubi yang perlahan membakar hasratnya. Kedua tangannya meremat kemeja Attar sebagai sasaran.Pagutan keduanya terpisah dengan pelan. Attar mengakhirinya dengan mengusap bibi Ayra yang memerah. Wajah gadis itu juga bertambah merona. Attar menatap lekat wajah Ayra sembari menjauh beberap inci.Namun tangan Ayra kembali menarik baju atasan yang Attar kenakan. Gadis itu menempelkan bibir mereka lagi sembari memeja
Rendra menundukkan kepala dengan wajah sedih. Sakit di hatinya kali ini sudah tidak dapat digambarkan lagi dengan kata-kata. Seolah diamnya cukup mewakili semua perasaan yang ia rasakan.“Masih mau gangguin aku? Sebentar lagi aku akan menikah dengannya,” ungkap Ayra menyerang mental Rendra secara bertubi-tubi. Ia tersenyum puas melihat Rendra yang menunduk tak berani menatap dirinya.“Kamu sama saja dengan perempuan di luar sana, Ra. Aku pikir kamu bisa jaga diri.”Ada secercah rasa sakit yang memantik lubuk batin Ayra setelah mendengar ucapan Rendra. Kalimat itu benar, tetapi sebagian besar salah. Karena Ayra tidak menyerahkan mahkotanya secara sembarangan. Ia masih memiliki harga diri.“Kamu salah, Ren. Aku nggak sama seperti mereka. Aku berbeda dari perempuan yang kamu sentuh. Aku masih bisa menjaga harga diri,” pungkas Ayra lalu meninggalkan Rendra.Kali ini nyali Rendra menciut. Ia membiarkan Ayra pergi begitu saja. Mungkin setelahnya, tak ada lagi keberanian dirinya mengganggu A
“Aku ke sini buat ketemu sama kamu. Anak kita minta ketemu,” ucap Sania dengan wajah riang menatap Attar. Ia juga tersenyum senang menampilkan deretan gigi putihnya yang rajin.Kedua mata Ayra membelalak kaget saat mendengar pengakuan Sania. Ia melepaskan tangannya yang sempat memegang erat lengan tangan Attar. Gadis itu benar-benar terkejut atas kalimat yang Sania ucapkan. Rasa sakit perlahan menusuk hati sampai ia tak sanggup menanggapi dengan sepatah kata. Lidahnya terasa kelu.Ayra tidak tahan berada di sana. Ia langsung meninggalkan ruangan tersebut dan berlari menuju tempat yang jauh dari keberadaan Attar dalam keadaan kecewa dan menahan tangis.Attar bingung dengan sikap Sania yang gila itu. “Kamu apa-apaan sih?!” sentak Attar tertahan. Ia langsung berjalan untuk menarik wanita di hadapannya agar keluar dari ruangan miliknya.“Sebaiknya kamu keluar sekarang, Sania. Kita nggak ada hubungan apa-apa lagi,” paparnya sembari menarik lengan tangan Sania.“Haha. Aku ke sini bukan untu
Seorang gadis baru saja menaiki taksi online setelah menjauh dari gedung yang membuatnya pening dan sakit hati. Ayra menitihkan air mata sepanjang perjalanannya yang entah ke mana, kali ini gadis itu tidak memiliki tujuan.Seharusnya saat ini masih ada Fera yang bisa menolongnya. Menjadikan sebagai tempatnya berbagi cerita. Ayra butuh bahu dan telinga. Namun orang itu tidak ada. Ia bersandar lemah di sandaran kursi mobil.Ayra tahu dan sadar sejak tadi ponselnya terus berbunyi dan itu adalah Attar yang melakukan panggilan suara. Ayra ingin membuat ponselnya mati, tetapi rasanya enggan. Lebih baik bisa dihubungi meskipun tidak akan pernah ia jawab. Supaya Attars semakin tahu kalau ia sungguh marah dengan apa yang terjadi.Ayra merenungkan semua kejadian yang menimpa pada hidupnya. Merasa dunia sangat tidak adil terhadapnya. Apa yang terjadi semuanya serba menyakitkan dan menjauhkannya dari sebuah kebahagiaan.Semua yang Ayra miliki seolah direbut oleh alam semesta. Orang tua, sahabat,